BUKU BACAAN UNTUK IMAM
Oleh Octaviani Anugrah
(Cerpen ini keluar sebagai juara Harapan Pertama dalam Lomba Cerpen anak Islami MUI)
Siang itu Nandi tengah bermain ular tangga dengan adiknya Elina. Ketika asyik bermain, dia melihat ada dua orang anak yang membawa karung lewat jendela ruang depan. Anak yang pertama mungkin seusia dengan dirinya. Anak yang kedua hampir seusia Elina jika dilihat dari postur tubuhnya. Hanya saja, keduanya anak lelaki.
Tiba-tiba Nandi jadi teringat tentang pencurian tanaman hias yang marak terjadi di kompek perumahan. Akhir-akhir ini ibu-ibu tetangga mengeluh kehilangan tanaman hiasnya. Minggu kemarin Bu Sari kehilangan Caladiumnya. Tiga hari yang lalu Bu Resa kehilangan palem mini. Sehari setelahnya Bu Siti kehilangan tanaman monstera di halaman rumahnya.
Banyak yang curiga, pencuri itu adalah pemulung yang biasa masuk ke komplek perumahan. Nandi jadi curiga, jangan-jangan kedua bocah cilik itu pelakunya. Memang banyak sekali pemulung yang biasa masuk ke komplek, tapi sepertinya dua bocah itu lebih sering daripada pemulung yang lainnya. Oleh karena itu, ketika waktu makan malam tiba, Nandi mengungkapkan kecurigaannya kepada Mama.
“Nandi, kenapa kamu yakin teman kamu itu yang mencuri pot-pot tanaman hias di komplek?” tanya Mama sembari menatap tajam kea rah Nandi. Jelas Mama tidak suka karena anaknya berburuk sangka.
“Ma, kok mama bilang dia teman Nandi?” Nandi balik bertanya. Tidak suka Mama menyebut bocah pemulung itu dengan sebutan ‘teman kamu.’
“Setidaknya dia seumuran dengan kamu, Nandi. Jadi, kenapa kamu yakin dia pelakunya?”
“Karena dia yang sering datang keluar masuk komplek perumahan.”
“Tapi itu hanya dugaan. Tidak ada bukti sama sekali. Sayang, kita tidak boleh berburuk sangka kepada sesama. Apalagi kita belum mempunyai bukti. Buruk sangka itu datangnya dari setan. Mama tidak suka kamu memiliki pemikiran seperti itu.”
“Iya, maafkan Nandi, Ma,” ujar Nandi sembari menunduk.
Hari berikutnya Nandi melihat dua bocah itu kembali berkeliaran di komplek perumahan. Seperti biasa, mereka menenteng karung dan pengait besi. Karung di tangan kiri, pengait besi di tangan kanan. Bocah paling kecil juga memiliki karung dan pengait besi yang sama. Hanya saja ukuran karungnya jauh lebih kecil. mereka menyusuri jalanan sembari mengamati sekitar. Barangkali ada sesuatu yang bisa mereka ambil. Nandi melihat mereka mengambilbotol minuman bekas, kertas kardus, dan barang-barang plastik bekas yang bisa didaur ulang.
Nandi mengamati mereka berdua dengan seksama dari halaman depan ketika kedua bocah itu menghampiri tempat sampah di depan rumahnya. Bocah yang paling besar mengorek tempat sampah dan memasukan beberapa gelas plastik dengan pengait. Beberapa saat kemudian si bocah terbelalak demi menemukan tumpukan buku dan majalah lama dari dalam tong sampah. Kemudian dia celingak-celinguk.
Tadinya Nandi mau masuk ke dalam rumah ketika anak itu mulai celingak-celinguk ke depan rumah. Tapi terlambat, karena anak itu sudah memanggilnya. “Kak! Kak!”
Nandi berbalik dan menatap si bocah paling besar dengan raut bertanya-tanya. “Ada apa?”
“Aku menemukan buku-buku dan majalah yang masih bagus di tong sampah,” terangnya sembari mengangkat tumpukan cerita anak, komik dan majalah itu. Nandi tentu tahu itu buku-buku lamanya. Kemarin sore dia disuruh Mama untuk membersihkan kamar, kemudian membuang barang-barang yang sudah tidak digunakan. Nandi pikir buku-buku tua dan majalah yang sudah sobek kavernya itu hanya memenuhi kamarnya. Kamarnya jadi terlihat berantakan. Ada tiga bundel buku dan majalah yang sejak kemarin dia simpan di tempat sampah itu.
“Iya, itu buku-buku bekasku. Kemarin aku membuangnya,” jelas Nandi. Dia mulai tertarik untuk berbicara dengan bocah itu. Dia kemudian menghampiri pagar dan membuka pintu pagar sehingga berhadapan langsung dengan anak itu.
“Oh, aku pikir buku-buku ini tidak sengaja terbuang. Makanya aku tadi tanya, khawatir Kakak masih membutuhkannya.”
“Jangan panggil aku kakak. Sepertinya kita seumuran.”
“Oh begitu, nama kamu siapa? Aku Imam,” ujar bocah itu sembari mengulurkan tangan.
Nandi menyambut uluran tangan itu. “Aku Nandi. Apakah dia adikmu?” tanyanya sembari melirik bocah lelaki yang lebih kecil. bocah kecil yang seusia dengan adiknya itu tersenyum lebar. Giginya terlihat ompong dua.
“Iya, dia adikku. Namanya Irfan. Dia selalu kepingin ikut aku memulung. Oh iya, aku boleh membawa buku-buku ini kan?”
“Kamu membutuhkannya?”
“Ya, aku dan adikku suka sekali membaca buku. Kami tidak punya banyak bahan bacaan. Aku tadi sangat senang karena menemukan buku-buku ini di dalam tempat sampah.”
“Oh, aku kira kalian akan menjualnya ke pengepul barang bekas.”
“Wah, kalau dikasih ke pengepul, harganya sangat murah. Lebih baik aku bawa pulang aja untuk menambah koleksi bacaanku.”
“Tapi buku-buku itu sudah jelek. Jilidnya saja sudah lepas, kertasnya using. Beberapa halaman sudah robek entah kemana.”
“Tidak apa-apa. Ini masih bagus kok.”
“Ya sudah bawa saja. Oh iya, kalau kalian mau, aku masih punya banyak buku di dalam rumah. Kalau kamu mau, aku akan mengambilkannya untukmu,” tawar Nandi dengan semringah.
Imam pun tampak sangat bahagia. Matanya berbinar. “Serius, Nandi?”
“Iya. Aku bawakan ya.”
“Baiklah, kalau memang tidak merepotkan.”
“Tidak kok. Tunggu sebentar disini ya.”
Nandi pun masuk kembali ke dalam rumah. Dia menghampiri Mama yang tengah membuat adonan kue di ruang makan. “Ma, kunci gudang dimana?”
“Lho, tumben kamu menanyakan kunci gudang. Mau mengambil apa memangnya?” tanya Mama, sementara matanya masih tertuju pada adonan tepung yang sudah mulai kalis.
“Tadi aku ketemu sama Imam dan adiknya. Mereka ternyata suka baca buku, Ma. Makanya aku mau kasih mereka buku-buku lama yang Nandi simpan di gudang.”
“Imam? Siapa Imam?” kali ini Mama mendongak dan menatap Nandi keheranan. Seingat Mama, tidak ada teman Nandi yang bernama Imam.
“Itu lho Ma, bocah pemulung yang biasa datang ke komplek.”
“Oh, jadi kalian sudah berkenalan?” tanya Mama.
“Iya, barusan Nandi ngobrol sama Imam dan adiknya. Mereka menemukan buku-buku yang kemarin Nandi buang dan meminta buku itu kepada Nandi.”
“Nah, bagus. Daripada dibuang lebih baik dikasih ke Imam. Eh, lagi pula, kalau Imam pelaku pencurian pot tanaman hias, itu tidak mungkin. Sepertinya dia anak yang sangat baik. Buktinya, menemukan buku yang sudah dibuang di tempat sampah saja, dia harus minta izin sama kamu.”
“Ah, Mama!” wajah Nandi bersemu merah. Dia tahu Mama tengah menyindirnya karena pernah berburuk sangka kepada Imam.
Mama menyudahi aktifitasnya. Dia membilas tangan di wastafel dan meraih kunci gudang dari dalam almari kemudian menyerahkannya kepada Nandi. “Nah, sembari menunggu kamu mengambil buku, Mama mau bikin sirop buat Imam dan adiknya ya.”
Nandi pun melesat ke arah gudang. Dia mulai menyortir dan memilah buku-buku yang akan dia berikan kepada Imam. Ada serial Lima Sekawan, serial Goosebumps, Trio detektif, komik-komik islam, majalah-majalah lama dan beberapa novel anak. Dia pun menumpuknya di dalam sebuah kardus dan membawanya ke depan.
Sementara Mama sudah terlebih dahulu ke beranda dengan membawa tiga jus mangga dan meletakannya di lantai.
“Nah, ini buku-buku buat kamu,” seru Nandi dengan antusias. Dia menyerahkan sekardus buku itu ke hadapan Imam.
Kali ini Imam tidak hanya tersenyum bahagia, tapi juga terlihat berkaca-kaca. Imam merasa terharu dengan kebaikan Nandi dan mamanya. “Ka-kamu tidak merasa sayang memberikan buku-buku bacaan keloksimu?”
“Tidak kok. Ini koleksi lama. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi.”
“Kalau begitu, terimakasih banyak ya,” kata Imam sembari menyeka sudut matanya. Dia sangat bahagia.
“Ngomong-ngomong, kalian kelas berapa dan sekolah dimana?” kali ini Mama yang bertanya.
“Kami tidak sekolah, Bu,” jawab Imam. Ada getar kesedihan dari suaranya.
“Lho, kenapa tidak sekolah?”
“Kami harus menjaga nenek yang sakit di gubuk, Bu. Nenek belum pernah mendaftarkan aku dan Irfan ke sekolah karena keburu sakit. Setiap hari kami harus memulung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.”
“Orangtua kalian kemana?”
“Emak pergi ke Arab Saudi lima tahun yang lalu untuk menjadi pembantu. Tapi sejak itu tidak ada kabar.”
“Kalau kalian tidak sekolah, lalu dari mana kalian bisa belajar membaca dan menulis. Bukankah kamu hobi baca buku?”
“Ada kakak-kakak mahasiswa yang dahulu mengajari kami membaca dan menulis di bawah jembatan layang. Mereka membagikan buku tulis, buku bacaan, pakaian dan sembako kepada kami. Sampai sekarang pun mereka suka datang ke kediaman kami,” terang Imam. Dia tampak begitu dewasa ketika menjawab pertanyaan Mama. Mungkin kondisi hidupnya yang prihatin membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya.
Mama tidak bisa berkata apa-apa. Begitu juga Nandi. Ada rasa iba yang menyelusup ke dalam hati Mama dan Nandi.
“Imam sama Irfan mau makan?”
“Tidak usah, Bu. Kami sudah sarapan tadi,” jawab Imam dengan sungkan. Tapi tampaknya Irfan tertarik dengan tawaran makan. Dia mengangguk-angguk semangat sebelum dicubit oleh kakaknya.
Mama tertawa melihat tingkah mereka berdua. “Ya sudah, kalian makan di sini ya. kebetulan Nandi juga belum makan siang.”
Mereka pun makan siang bersama. Setelah itu Imam dan Irfan pamit dengan mengucapkan terimakasih kepada Nandi dan Mama. Bahkan Imam mengucapkan rasa terimakasihnya berkali-kali.
“Kalau buku-buku itu sudah habis dibaca, kamu boleh kok main lagi ke sini,” ujar Nandi sebelum Imam pergi dengan membawa sekardus buku.
Hari itu, Nandi belajar tentang kepedulian terhadap sesama. Nandi juga mengerti bahwa ternyata menolong sesama manusia itu sangat membahagiakan dan menyenangkan. Benar apa yang dikatakan Pak Tobing, guru agamanya di sekolah. Suatu hari Pak Tobing pernah bilang begini, “Ketika kita bisa membantu sesama teman, maka Allah akan memberikan kebahagiaan ke dalam hati kita.”
“Nah, sekarang kamu punya teman baru, Nandi. Kapan-kapan kita ajak mereka ke toko buku ya.”
Nandi mengangguk kuat-kuat, kemudian memeluk Mama.
TAMAT
No comments:
Post a Comment