Seminggu sejak penangkapan tante viola dan om pendi, nur
merasa rindu akan kampong halamannya. Ia rindu terhadap paman salim, bibi
santi, arti, dani dan ladang jagungya. Bahkan mungkin ladang itu sudah tidak
ada yang menanami. Bagaimana mungkin ada yang menanami, sementara adik
pertamanya arti sibuk dengan sekolahnya di tsanawiyah. Dani sibuk dengan
sekolahnya, oh…bukankah dani dalam masa pemulihan setelah operasi kanker
otaknya. Nur semakin sesak dengan rasa rindu ketika mengingat adik keduanya.
Sudah dua bulan lamanya ia tidak menanyakan kabar dani kepada pamannya. Nomor
pamannya yang biasa ia hubungi sudah tidak aktif lagi.
Nur berencana untuk pulang dua hari mendatang. Makanya, sore
itu ia mendatangi ustadzah aminah yang sedang menulis untuk meminta izin
pulang.”bu, dua hari lagi saya ingin pulang kampong.”
Ustadzah aminah menghentikan kegiatan menulisnya dan
tersenyum mendengar permintaan nur.”kamu rindu sama kedua adikmu ya nur. boleh.
Kamu boleh pulang. Asal jangan sampai melupakan ibu dan keluarga ibu di sini.”
Nur mengangguk.”nur tak akan bisa melupakan semua kebaikan
ibu dan keluarga di sini. Andai tanpa ibu, entah apa yang akan terjadi dengan
saya. Saya sangat berhutang budi dengan semua kebaikan ibu. Bahkan, apa pun
yang ibu pinta, akan saya lakukan sekemampuan saya selama itu bisa membalas
semua kebaikan ibu.”ujar nur panjang lebar. Kedua bola matanya kebali
berkaca-kaca.
Ustadzah aminah
tertegun sesaat. Air mata mulai bermunculan di kelopak matanya yang
berkantung.”kau memang gadis yang baik nur. sudah kewajiban ibu untuk
menolongmu.”ujarnya dengan suara serak. Tangannya merangkul kepala nur dan
membenamkannya ke dalam pelukannya. Entah kenapa, ia ingin sekali memeluk nur. “kau
jangan berpikir tentang balas budi atau semacamnya. Bahkan ibu sudah
menganggapmu anak sendiri nur.”
Tangis nur pecah karena rasa haru. Ia merasa bahagia ketika
ustadzah aminah memeluknya. Disamping hal itu, ia jadi teringat pelukan emak di
saat hidupnya. Ah, emak. Bayangmu selalu
saja muncul di setiap saat dam keadaan.
Nur mengangkat kepalanya dan menghapus air matanya.”saya
akan selalu merindukan ibu dimana pun saya berada. Bahkan, jika memang ibu
ingin saya tinggal di sini untuk membantu semua urusan rumah bersama bibi saya
siap. Tak perlu ibu mengupah saya. Kebaikan ibu sudah lebih dari cukup dari
sekedar upah”
Ibu aminah menyilangkan telunjuk di bibir nur dan
berkata,”bahkan ibu berpikiran seperti itu semenjak keberadaanmu di sini nur.
tapi ibu takut kamu merasa tidak nyaman di sini dan lebih memilih pulang. Makanya saat kamu imnta
izin akan pulang, ibu sempat merasa was-was kamu tidak akan pernah kesini
lagi.”
“kalau memang ibu ingin saya kembali, dengan senang hati
saya akan kembali ke sini.”jawab nur sembari tersenyum.”saya hanya ingin
mengunjungi adik-adik dan melihat keadaan mereka.”
ustadzah aminah mengangguk.”tapi ibu puny aide nur.”
nur mengerutkan keningnya.”idea pa bu?”
ustadzah aminah mengangguk.”tapi ibu puny aide nur.”
nur mengerutkan keningnya.”idea pa bu?”
“bagaimana kalau kamu pulang bareng sama wafa dan arif. Kan
liburan mereka masih panjang. “
Nur merasa ragu mendengar usul ibu ustadzah aminah barusan.”memangnya
mereka mau diajak ke kampong?”
“ya pasti mau. Mereka sekali-kali harus melihat suasana dan
alam pedesaan. Mereka belum pernah pergi ke pedesaan. Hidup di kota terus sejak
kecil. Bahkan pesantrenpun di perkotaan juga.”
“ya, kalau mereka mau sih. Coba aja ibu Tanya ke wafa dan
arif.”ujar nur lagi.
“ya. Ibu akan meminta pendapat mereka nanti malam.”
Sebenarnya nur sangat ingin ustadzah aminah juga ikut ke
kampungnya. Tapi nur sadar, bahwa ustadzah aminah cukup sibuk dengan mengurus
jadwal pengajian-peangajiannya. Di mata ibu aminah, jamaah adalah
segala-galanya.
****
Malam itu wafa dan arif sepakat untuk mengisi liburan
pesantren di kampong nur. bahkan wafa terlihat sangat antusias berkali-kali ia
berceloteh tentang berbagai hal yang ingin ia lakukan di kampong nur nanti.
“nanti antar aku mendaki gunung yan mabk nur. pasti seru!”
Nur mengangguk senang.
“habis itu, kita menangkap ikan di sungai, nyari sarang
lebah untuk diambil madunya, cari belalang di semak belukar dan__”
“memangnya kamu tahu bagaimana kondisi di kampong.”Tanya bibi memotong celotehan wafa.
“memangnya kamu tahu bagaimana kondisi di kampong.”Tanya bibi memotong celotehan wafa.
“yee…bibi, kan saya sering lihat acara petualangan di televisi.”jawab
wafa enteng.
Nur lagi-lagi mengangguk dan tersenyum melihat kegirangan
wafa.
Adapun arif, seperti biasa ia tanpak diam dan hanya menjadi
pendengar setia.
****
Ini benar-benar kejutan yang sangat sempurna. Akhirnya
ustadzah aminah memutuskan untuk ikut berlibur ke kampong halaman nur. dapun
bibi, ia lebih memilih menjaga rumah. Ya karena memang tugas dia. Untuk ikut
pulang ke kampong nur, sepertinya tidak ada hal yang istimewa. Lha, dia juga
orang kampong yang setahun sekali pulang pas lebaran tiba. Selain itu, rumah
juga mesti dijaga selama peghuninya tidak ada. Ustdazah aminah sempat meminta
bibi untuk ikut atau paling tidak sama-sama pulang ke kampungnya di purwokerto.
Tapi bibi lebih memlih tinggal di rumah.
Ustadzah aminah sudah mendelegasikan acara-acaranya kepada
asistennya yang baru sebulan ia rekrut. Disamping itu, ada juga acara-acara
yang ia undur. Tapi nur merasa tak peduli dengan urusan delegasi mendelegasi
atau undur mengundur acara ustadzah aminah. Yang penting baginya, ustadzah
aminah ikut ke kampong dan bisa ia kenalkan kepada paman, bibi dan
adik-adiknya.
Selain itu, nur tak perlu mengeluarkan ongkos yang kebetulan
sekarang lagi naik karena imbas haraga BBM yang naik. Ustadzah aminah akan
membawa mobil kijang inovanya dengan arif sebagai “sopir” andalan.
Pagi-pagi buta setalah melaksanakan shalat subuh brjamaah
mereka segera mempersiapkan perjalanan mereka. Barang-barang bawaan sudah
mereka siapkan semenjak semalam tadi. Yang paling bahagia adalah nur. Ia tak
habis-habisnya mengumbar senyum yang merekah. Hatinya sudah tidak sabar lagi
untuk segera berangkat.
Setelah semua sudah siap, mobil kijang inova putih itu
melaju membelah jalanan kota.
****
Rombongan tiba di gerbang desa tepat saat waktu maghrib
tiba. Mobil kijang itu kini merayap di jalanan berbatu yang berkelok di
sepanjang pinggang bukit. Bahkan harus beberapa kali tergunjang-gunjang karena
terantuk bebatuan jalanan. Semua penumpang sudah tertidur kecuali nur dan arif
yang sedang menyetir. Bagaimana nur bisa tidur, sejak awal perjalanan ia sudah
disibukan oleh perasaannya sendiri. Apalagi ketika mobil melewati gerbang desa.
Hatinya semakin berdegup tidak karuan. Ia sudah tidak sabar untuk bisa melihat
adik-adiknya.
Sementara arif sesekali bertanya arah perjalanan ketika
menemukan jalan pertigaan atau jalan cagak.
“belok kanan.”ujar nur ketika arif meliriknya dari spion
depan. Di depan ada pertigaan.
“terus aja lurus. Nanti di samping mushola ada jalan menuju
perkebunan. Nah, di sana rumah saya.”terang nur. Arif hanya mengangguk.
“capek nyetir ya.”ujar nur mencoba untuk mengawali obrolah.
Ia merasa bosan hanya melontarkan kata seputar belok-kanan-kiri-lurus. Sementara yang lain sudah terbuai mimpinya
kecuali dia dan arif.
“lumayan.”jawab araif pendek.
“kapan-kapan boleh kan mengajari saya menyetir mobil?” Tanya
nur dengan nada retoris.
Arif mengangguk.”tentu saja boleh. Tidak ada yang melarang.”
“lho, ummi sering bilang kalau perempuan dan laki-laki yang bukan muhirm itu tidak boleh berduaan.”ujar nur.ummi adalah panggilan ustadzah aminah untuk anak-anaknya.
“lho, ummi sering bilang kalau perempuan dan laki-laki yang bukan muhirm itu tidak boleh berduaan.”ujar nur.ummi adalah panggilan ustadzah aminah untuk anak-anaknya.
“lho, siapa yang bilang aku yang mau ngajarin kamu. Kan ada
wafa. Dia juga bisa menyetir kok.”timpal arif dengan tersenyum lebar.
Pipi nur merona merah. Ia terlalu percaya diri dengan
menganggap bahwa arif mau mengajarinya menyetir mobil.
“ini sudah sampai di mushola. Kita masuk ke dalam?”Tanya
arif membuyarkan rasa malu yang menyelimuti hati nur.
Nur tergeragap dan
mengiyakan. Sementara ia mulai membangunkan ustadzah aminah dan wafa yang
tertidur pulas.
Mereka berhenti di depan rumah paman salim. Para tetangga
yang berkerumun di teras depan hanya memandang mobil yang melenggang dan
mengira-ngira, siapa kira-kira yang datang.
Paman salim dan bibi santi keluar menuju teras dan menatap
mobil kijang yang berhenti di depan rumah mereka. Nur turun duluan disusul oleh
ustadzah aminah, wafa dan arif.
Paman salim terperanjat kaget mengetahui keponakannya datang.
Bibi santi segera menghambur dan memeluk nur dengan erat.”akhirnya…kau datang
juga nur.”
nur tersenyum bahagia. Tak terasa, air matanya mulai membanjiri pipinya. Ia melepaskan pelukan bibinya.”saya datang sama ustadzah aminah dan anak-anaknya bi.”
nur tersenyum bahagia. Tak terasa, air matanya mulai membanjiri pipinya. Ia melepaskan pelukan bibinya.”saya datang sama ustadzah aminah dan anak-anaknya bi.”
Bibi hendak bertanya lebih lanjut ketika ustadzah aminah dan
wafa menyalaminya. Sementara arif sibuk menurunkan barang-barang dan
meletakannya di teras depan.
“ayo, silakan masuk.”ujar bibi santi dengan sumringah.”biar
paman salim yang bawa barang-barang ke dalam.”katanya sembari melirik arif yang
tengah sibuk menurunkan barang-barang.
“dani dan arti mana bi?”Tanya nur dan celingukan mencar
kedua sosok adik yang ia rindukan.
“mereka tenagah mengikuti acara pramuka selama tiga hari.
Besok sore mereka sudah pada pulang.”terang bibi santi. Nur hanya mengangguk.
Sebenarnya ia agak sedikit kecewa karena tidak bisa segera bertemu adiknya.
Mereka berkumpul di ruang depan yang hanya beralaskan tikar
pandan dan meja kecil. bibi santi sibuk mengeluarkan stoples yang berisi opak
dan wajit. Sementara paman salim menyeduh kopi dan menghidangkannya.
“silakan diminum kopinya.” Bibi santi mengangsurkan kopi dan
penganan.”sambil menunggu nasi matang.”
****
Malam itu mereka makan dengan lahap. Ikan asin dan sambal
terasi dihidangkan. Tak ketinggalan lalapan berupa leuca dan selada yang
dihidangkan mentah-mentah. Ditambah tumis kacang panjang dan goring lele yang
masih panas. Semua makan dengan nikmat, walaupun menunya sangat sederhana.
Beberapa kali arif menambah nasinya dan selada. Ia tampak
lahap malam itu.
“doyan apa lapar sih kak.”komentar wafa dengan nada
sarkastis.
“dua-duanya.”jawab arif sembari mendesah karena kepedasan.
Nur dan ustadzah aminah tertawa mendengarnya. Sementara bibi santi tersenyum
melihat tamu-tamunya yang lahap dengan hidangannya.
****
Pukul sepuluh malam, ustadzah aminah dan kedua anaknya sudah
tertidur pulas di kamar arti. Kebetulan sekali penghuni amar sedang tidak ada,
jadi tempat untuk tidur lebih lega. Sementara nur, paman salim dan bibi santi
masih mengobrol di babanjik.
“kondisi dani sudah baik sekarang. Bahkan ia sudah bisa
kembali bearaktifitas kembali. Padahal, bibi sempat punya firasat buruk
mengenai penyakitnya itu. Beberapa kali bibi mimpi kalau dani itu terjatuh
beberapa kali dan luka di kepalanya.”
Paman salim mengembuskan asap rokok dari kedua celah
bibirnya dan menimpali.”bibimu memang selalu percaya mimpi. Omong kosong itu.”
Nur hanya tersenyum mendengar ucapan pamannya barusan.
Sementara bibi santi hanya cemberut mendengar kata-kata suaminya.
“tapi firasat itu tidak terbukit kan bi?”Tanya nur dengan
tersenyum lebar.” Jadi, tidak selamanya kita harus percaya terhadap mimpi
kita.”
“iya juga sih nur. Tapi tetap saja, mimpi itu seakan nyata
dan bibi takut terjadi hal yang itdak diinginkan terhadap dani. Setelah kaum
meweselkan uang, paman segera membawa dani ke rumah sakit dan menandatangani
persetujuan untuk operasi malam itu
juga.”
“sebenarnya uang yang kau kirimkan masih kurang. Kami harus
meminta satu juta dari pak saep untuk menggenapi biaya operasi.”
“mang saep yang rentenir itu?”Tanya nur dengan ekspresi terkejut.
“mang saep yang rentenir itu?”Tanya nur dengan ekspresi terkejut.
“siapa lagi kalau bukan dia.”jawab paman salim.”tapi paman
sudah melunasinya tiga bulan yang lalu. Paman segera meminjam uang ke haji
samsuri bekas majikanmu untuk membayar utang kepada saep dengan bunga mencapai
empat puluh persen.”
Nur terlongo.
“jadi, paman punya utang ke haji samsuri?”
Paman mengangguk. Seperti biasa, ia masih menikmati rokok
tintingnya dan menghembuskan asap putihnya yang bergulung-gulung dari bibir yang
sudah menghitam.
Nur menghela nafas”biar nur yang akan membayarnya ke haji
samsuri. Masih ada sedikit tabungan.”
“ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya tante viola?”celetuk bibi santi.
“ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya tante viola?”celetuk bibi santi.
Nur terperanjat mendengar pertanyaan bii santi. Padahal, ia
tak ingin menceritakan tentang tante viola. Tapi ia sudah menduga, bibi santi
akan menanyakan perempuan jahat itu. Nur menghela nafas berat. Ia harus
menjelaskan yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya.
Nur mendesah dan menatap paman dan bibinya dengan tatapan
resah. Setelah itu ia menceritakan semua yang telah menimpa dirinya. Hingga
akhirnya bias tinggal bersama dengan keluarga ustadzah aminah.
Bibi santi sampai menangis tersedu-sedu mendengar apa yang
dikatakan keponakannya. Ia beberapa kali merapal istighfar dan memegang tangan
nur dengan gemetar.”bibi tak menyangka
kamu menderita seperti itu.”
paman salim mendengus.”kalau seandainya si viola ada di hadapanku, sudah kuremuk-remuk wajahnya!”serunya dengan marah. Ia mengisap kuat asap rokoknya.
paman salim mendengus.”kalau seandainya si viola ada di hadapanku, sudah kuremuk-remuk wajahnya!”serunya dengan marah. Ia mengisap kuat asap rokoknya.
Nur tersenyum hambar.”paman dan bibi tidak usah khawatir,
kan sekarang tante viola sudah dipenjara. Lagi pula, gusti allah telah
memberikan pengganti yang lebih baik. Mulai sekarang, nur akan tinggal di rumah
ustadzah aminah.”
“viola lebih pantas dihukum mati daripada hanya dipenjara
beberapa tahun.”cerca paman salim.”kalau paman tahu nasibmu akan seperti itu,
paman pasti sudah melarangmu mengikutinya sejak dulu.”
Nur tersenyum.”mungkin gusti allah sudah menakdirkan itu
terjadi kepada nur paman. Lagi pula sekarang bahkan lebih baik kan?”
Paman dan bibi mengangguk. Selebihnya mereka kembali
mengobrol berbagai hal. Kadang, bibi dan paman salim bertanya tentang keluarga
‘majikan baru’ nur, ustadzah aminah. Maka dengan suka hati nur mengutarakan
segala kebaikan keluarga itu kepada dirinya.
No comments:
Post a Comment