18 Apr 2015

NURANI YANG KEMBALI >>PART 22

Seminggu sejak penangkapan tante viola dan om pendi, nur merasa rindu akan kampong halamannya. Ia rindu terhadap paman salim, bibi santi, arti, dani dan ladang jagungya. Bahkan mungkin ladang itu sudah tidak ada yang menanami. Bagaimana mungkin ada yang menanami, sementara adik pertamanya arti sibuk dengan sekolahnya di tsanawiyah. Dani sibuk dengan sekolahnya, oh…bukankah dani dalam masa pemulihan setelah operasi kanker otaknya. Nur semakin sesak dengan rasa rindu ketika mengingat adik keduanya. Sudah dua bulan lamanya ia tidak menanyakan kabar dani kepada pamannya. Nomor pamannya yang biasa ia hubungi sudah tidak aktif lagi.
Nur berencana untuk pulang dua hari mendatang. Makanya, sore itu ia mendatangi ustadzah aminah yang sedang menulis untuk meminta izin pulang.”bu, dua hari lagi saya ingin pulang kampong.”
Ustadzah aminah menghentikan kegiatan menulisnya dan tersenyum mendengar permintaan nur.”kamu rindu sama kedua adikmu ya nur. boleh. Kamu boleh pulang. Asal jangan sampai melupakan ibu dan keluarga ibu di sini.”
Nur mengangguk.”nur tak akan bisa melupakan semua kebaikan ibu dan keluarga di sini. Andai tanpa ibu, entah apa yang akan terjadi dengan saya. Saya sangat berhutang budi dengan semua kebaikan ibu. Bahkan, apa pun yang ibu pinta, akan saya lakukan sekemampuan saya selama itu bisa membalas semua kebaikan ibu.”ujar nur panjang lebar. Kedua bola matanya kebali berkaca-kaca.
Ustadzah aminah  tertegun sesaat. Air mata mulai bermunculan di kelopak matanya yang berkantung.”kau memang gadis yang baik nur. sudah kewajiban ibu untuk menolongmu.”ujarnya dengan suara serak. Tangannya merangkul kepala nur dan membenamkannya ke dalam pelukannya. Entah kenapa, ia ingin sekali memeluk nur. “kau jangan berpikir tentang balas budi atau semacamnya. Bahkan ibu sudah menganggapmu anak sendiri nur.”
Tangis nur pecah karena rasa haru. Ia merasa bahagia ketika ustadzah aminah memeluknya. Disamping hal itu, ia jadi teringat pelukan emak di saat hidupnya. Ah, emak. Bayangmu selalu saja muncul di setiap saat dam keadaan.
Nur mengangkat kepalanya dan menghapus air matanya.”saya akan selalu merindukan ibu dimana pun saya berada. Bahkan, jika memang ibu ingin saya tinggal di sini untuk membantu semua urusan rumah bersama bibi saya siap. Tak perlu ibu mengupah saya. Kebaikan ibu sudah lebih dari cukup dari sekedar upah”
Ibu aminah menyilangkan telunjuk di bibir nur dan berkata,”bahkan ibu berpikiran seperti itu semenjak keberadaanmu di sini nur. tapi ibu takut kamu merasa tidak nyaman di sini dan  lebih memilih pulang. Makanya saat kamu imnta izin akan pulang, ibu sempat merasa was-was kamu tidak akan pernah kesini lagi.”
“kalau memang ibu ingin saya kembali, dengan senang hati saya akan kembali ke sini.”jawab nur sembari tersenyum.”saya hanya ingin mengunjungi adik-adik dan melihat keadaan mereka.”
ustadzah aminah mengangguk.”tapi ibu puny aide nur.”
nur mengerutkan keningnya.”idea pa bu?”
“bagaimana kalau kamu pulang bareng sama wafa dan arif. Kan liburan mereka masih panjang. “
Nur merasa ragu mendengar usul ibu ustadzah aminah barusan.”memangnya mereka mau diajak ke kampong?”
“ya pasti mau. Mereka sekali-kali harus melihat suasana dan alam pedesaan. Mereka belum pernah pergi ke pedesaan. Hidup di kota terus sejak kecil. Bahkan pesantrenpun di perkotaan juga.”
“ya, kalau mereka mau sih. Coba aja ibu Tanya ke wafa dan arif.”ujar nur lagi.
“ya. Ibu akan meminta pendapat mereka nanti malam.”
Sebenarnya nur sangat ingin ustadzah aminah juga ikut ke kampungnya. Tapi nur sadar, bahwa ustadzah aminah cukup sibuk dengan mengurus jadwal pengajian-peangajiannya. Di mata ibu aminah, jamaah adalah segala-galanya.
****
Malam itu wafa dan arif sepakat untuk mengisi liburan pesantren di kampong nur. bahkan wafa terlihat sangat antusias berkali-kali ia berceloteh tentang berbagai hal yang ingin ia lakukan di kampong nur nanti.
“nanti antar aku mendaki gunung yan mabk nur. pasti seru!”
Nur mengangguk senang.
“habis itu, kita menangkap ikan di sungai, nyari sarang lebah untuk diambil madunya, cari belalang di semak belukar dan__”
“memangnya kamu tahu bagaimana kondisi di kampong.”Tanya bibi memotong celotehan wafa.
“yee…bibi, kan saya sering lihat acara petualangan di televisi.”jawab wafa enteng.
Nur lagi-lagi mengangguk dan tersenyum melihat kegirangan wafa.
Adapun arif, seperti biasa ia tanpak diam dan hanya menjadi pendengar setia.
****
Ini benar-benar kejutan yang sangat sempurna. Akhirnya ustadzah aminah memutuskan untuk ikut berlibur ke kampong halaman nur. dapun bibi, ia lebih memilih menjaga rumah. Ya karena memang tugas dia. Untuk ikut pulang ke kampong nur, sepertinya tidak ada hal yang istimewa. Lha, dia juga orang kampong yang setahun sekali pulang pas lebaran tiba. Selain itu, rumah juga mesti dijaga selama peghuninya tidak ada. Ustdazah aminah sempat meminta bibi untuk ikut atau paling tidak sama-sama pulang ke kampungnya di purwokerto. Tapi bibi lebih memlih tinggal di rumah.
Ustadzah aminah sudah mendelegasikan acara-acaranya kepada asistennya yang baru sebulan ia rekrut. Disamping itu, ada juga acara-acara yang ia undur. Tapi nur merasa tak peduli dengan urusan delegasi mendelegasi atau undur mengundur acara ustadzah aminah. Yang penting baginya, ustadzah aminah ikut ke kampong dan bisa ia kenalkan kepada paman, bibi dan adik-adiknya.
Selain itu, nur tak perlu mengeluarkan ongkos yang kebetulan sekarang lagi naik karena imbas haraga BBM yang naik. Ustadzah aminah akan membawa mobil kijang inovanya dengan arif sebagai “sopir” andalan.
Pagi-pagi buta setalah melaksanakan shalat subuh brjamaah mereka segera mempersiapkan perjalanan mereka. Barang-barang bawaan sudah mereka siapkan semenjak semalam tadi. Yang paling bahagia adalah nur. Ia tak habis-habisnya mengumbar senyum yang merekah. Hatinya sudah tidak sabar lagi untuk segera berangkat.
Setelah semua sudah siap, mobil kijang inova putih itu melaju membelah jalanan kota.
****
Rombongan tiba di gerbang desa tepat saat waktu maghrib tiba. Mobil kijang itu kini merayap di jalanan berbatu yang berkelok di sepanjang pinggang bukit. Bahkan harus beberapa kali tergunjang-gunjang karena terantuk bebatuan jalanan. Semua penumpang sudah tertidur kecuali nur dan arif yang sedang menyetir. Bagaimana nur bisa tidur, sejak awal perjalanan ia sudah disibukan oleh perasaannya sendiri. Apalagi ketika mobil melewati gerbang desa. Hatinya semakin berdegup tidak karuan. Ia sudah tidak sabar untuk bisa melihat adik-adiknya.
Sementara arif sesekali bertanya arah perjalanan ketika menemukan jalan pertigaan atau jalan cagak.
“belok kanan.”ujar nur ketika arif meliriknya dari spion depan. Di depan ada pertigaan.
“terus aja lurus. Nanti di samping mushola ada jalan menuju perkebunan. Nah, di sana rumah saya.”terang nur. Arif hanya mengangguk.
“capek nyetir ya.”ujar nur mencoba untuk mengawali obrolah. Ia merasa bosan hanya melontarkan kata seputar belok-kanan-kiri-lurus. Sementara yang lain sudah terbuai mimpinya kecuali dia dan arif.
“lumayan.”jawab araif pendek.
“kapan-kapan boleh kan mengajari saya menyetir mobil?” Tanya nur dengan nada retoris.
Arif mengangguk.”tentu saja boleh. Tidak ada yang melarang.”
“lho, ummi sering bilang kalau perempuan dan laki-laki  yang bukan muhirm itu tidak boleh berduaan.”ujar nur.ummi adalah panggilan ustadzah aminah untuk anak-anaknya.
“lho, siapa yang bilang aku yang mau ngajarin kamu. Kan ada wafa. Dia juga bisa menyetir kok.”timpal arif dengan tersenyum lebar.
Pipi nur merona merah. Ia terlalu percaya diri dengan menganggap bahwa arif mau mengajarinya menyetir mobil.
“ini sudah sampai di mushola. Kita masuk ke dalam?”Tanya arif membuyarkan rasa malu yang menyelimuti hati nur.
 Nur tergeragap dan mengiyakan. Sementara ia mulai membangunkan ustadzah aminah dan wafa yang tertidur pulas.
Mereka berhenti di depan rumah paman salim. Para tetangga yang berkerumun di teras depan hanya memandang mobil yang melenggang dan mengira-ngira, siapa kira-kira yang datang.
Paman salim dan bibi santi keluar menuju teras dan menatap mobil kijang yang berhenti di depan rumah mereka. Nur turun duluan disusul oleh ustadzah aminah, wafa dan arif.
Paman salim terperanjat kaget mengetahui keponakannya datang. Bibi santi segera menghambur dan memeluk nur dengan erat.”akhirnya…kau datang juga nur.”
nur tersenyum bahagia. Tak terasa, air matanya mulai membanjiri pipinya. Ia melepaskan pelukan bibinya.”saya datang sama ustadzah aminah dan anak-anaknya bi.”
Bibi hendak bertanya lebih lanjut ketika ustadzah aminah dan wafa menyalaminya. Sementara arif sibuk menurunkan barang-barang dan meletakannya di teras depan.
“ayo, silakan masuk.”ujar bibi santi dengan sumringah.”biar paman salim yang bawa barang-barang ke dalam.”katanya sembari melirik arif yang tengah sibuk menurunkan barang-barang.
“dani dan arti mana bi?”Tanya nur dan celingukan mencar kedua sosok adik yang ia rindukan.
“mereka tenagah mengikuti acara pramuka selama tiga hari. Besok sore mereka sudah pada pulang.”terang bibi santi. Nur hanya mengangguk. Sebenarnya ia agak sedikit kecewa karena tidak bisa segera bertemu adiknya.
Mereka berkumpul di ruang depan yang hanya beralaskan tikar pandan dan meja kecil. bibi santi sibuk mengeluarkan stoples yang berisi opak dan wajit. Sementara paman salim menyeduh kopi dan menghidangkannya.
“silakan diminum kopinya.” Bibi santi mengangsurkan kopi dan penganan.”sambil menunggu nasi matang.”
****
Malam itu mereka makan dengan lahap. Ikan asin dan sambal terasi dihidangkan. Tak ketinggalan lalapan berupa leuca dan selada yang dihidangkan mentah-mentah. Ditambah tumis kacang panjang dan goring lele yang masih panas. Semua makan dengan nikmat, walaupun menunya sangat sederhana.
Beberapa kali arif menambah nasinya dan selada. Ia tampak lahap malam itu.
“doyan apa lapar sih kak.”komentar wafa dengan nada sarkastis.
“dua-duanya.”jawab arif sembari mendesah karena kepedasan. Nur dan ustadzah aminah tertawa mendengarnya. Sementara bibi santi tersenyum melihat tamu-tamunya yang lahap dengan hidangannya.
****
Pukul sepuluh malam, ustadzah aminah dan kedua anaknya sudah tertidur pulas di kamar arti. Kebetulan sekali penghuni amar sedang tidak ada, jadi tempat untuk tidur lebih lega. Sementara nur, paman salim dan bibi santi masih mengobrol di babanjik.
“kondisi dani sudah baik sekarang. Bahkan ia sudah bisa kembali bearaktifitas kembali. Padahal, bibi sempat punya firasat buruk mengenai penyakitnya itu. Beberapa kali bibi mimpi kalau dani itu terjatuh beberapa kali dan luka di kepalanya.”
Paman salim mengembuskan asap rokok dari kedua celah bibirnya dan menimpali.”bibimu memang selalu percaya mimpi. Omong kosong itu.”
Nur hanya tersenyum mendengar ucapan pamannya barusan. Sementara bibi santi hanya cemberut mendengar kata-kata suaminya.
“tapi firasat itu tidak terbukit kan bi?”Tanya nur dengan tersenyum lebar.” Jadi, tidak selamanya kita harus percaya terhadap mimpi kita.”
“iya juga sih nur. Tapi tetap saja, mimpi itu seakan nyata dan bibi takut terjadi hal yang itdak diinginkan terhadap dani. Setelah kaum meweselkan uang, paman segera membawa dani ke rumah sakit dan menandatangani persetujuan untuk operasi  malam itu juga.”
“sebenarnya uang yang kau kirimkan masih kurang. Kami harus meminta satu juta dari pak saep untuk menggenapi biaya operasi.”
“mang saep yang rentenir itu?”Tanya nur dengan ekspresi terkejut.
“siapa lagi kalau bukan dia.”jawab paman salim.”tapi paman sudah melunasinya tiga bulan yang lalu. Paman segera meminjam uang ke haji samsuri bekas majikanmu untuk membayar utang kepada saep dengan bunga mencapai empat puluh persen.”
Nur terlongo.
“jadi, paman punya utang ke haji samsuri?”
Paman mengangguk. Seperti biasa, ia masih menikmati rokok tintingnya dan menghembuskan asap putihnya yang bergulung-gulung dari bibir yang sudah menghitam.
Nur menghela nafas”biar nur yang akan membayarnya ke haji samsuri. Masih ada sedikit tabungan.”
“ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya tante viola?”celetuk bibi santi.
Nur terperanjat mendengar pertanyaan bii santi. Padahal, ia tak ingin menceritakan tentang tante viola. Tapi ia sudah menduga, bibi santi akan menanyakan perempuan jahat itu. Nur menghela nafas berat. Ia harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya.
Nur mendesah dan menatap paman dan bibinya dengan tatapan resah. Setelah itu ia menceritakan semua yang telah menimpa dirinya. Hingga akhirnya bias tinggal bersama dengan keluarga ustadzah aminah.
Bibi santi sampai menangis tersedu-sedu mendengar apa yang dikatakan keponakannya. Ia beberapa kali merapal istighfar dan memegang tangan nur dengan gemetar.”bibi tak menyangka  kamu menderita seperti itu.”
paman salim mendengus.”kalau seandainya si viola ada di hadapanku, sudah kuremuk-remuk wajahnya!”serunya dengan marah. Ia mengisap kuat asap rokoknya.
Nur tersenyum hambar.”paman dan bibi tidak usah khawatir, kan sekarang tante viola sudah dipenjara. Lagi pula, gusti allah telah memberikan pengganti yang lebih baik. Mulai sekarang, nur akan tinggal di rumah ustadzah aminah.”
“viola lebih pantas dihukum mati daripada hanya dipenjara beberapa tahun.”cerca paman salim.”kalau paman tahu nasibmu akan seperti itu, paman pasti sudah melarangmu mengikutinya sejak dulu.”
Nur tersenyum.”mungkin gusti allah sudah menakdirkan itu terjadi kepada nur paman. Lagi pula sekarang bahkan lebih baik kan?”
Paman dan bibi mengangguk. Selebihnya mereka kembali mengobrol berbagai hal. Kadang, bibi dan paman salim bertanya tentang keluarga ‘majikan baru’ nur, ustadzah aminah. Maka dengan suka hati nur mengutarakan segala kebaikan keluarga itu kepada dirinya.





Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment