Matahari hampir tenggelam di batas cakrawala ketika nur tiba
di kafe. Ia segera mengambil tempat duduk dekat jendela. Sesekali melihat
arloji warna merah menyala yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa kali ia menoleh kea rah pintu kafe,
mencoba meyakinkan dirinya bahwa lelaki itu akan segera datang dan duduk
bersamanya.
Tak berapa lama, lelaki itu benar-benar datang ketika nur
mengaduk-aduk juice alpukat yang ia pesan sepuluh menit yanglalu. Datang dengan
tiba-tiba dan duduk di hadapannya.
“melamun saja kau!”serunya sembari menggebrak meja bundar
kafe.
Nur terperanjat dan bersungut-sungut. Ia memasang wajah
cemberut.”aku sudah lama menunggu lho.”padahal nyatanya baru sepuluh menit.
Lelaki itu nyengir dan menatap nur dengan tatapan
sarkastis.”terlambat sebentar kan tidak masalah nur.”
“kebiasaan orang Indonesia. Mentolerir hal-hal yang sepele.
Makanya orang Indonesia tak pernah maju.”ujar nur. Ia tersenyum mengejek.
Lelaki itu masih dengan seringainya. Tangan kekarnya
mengenggam tangan nur.”wow, nur! Gadis kampung sepertimu juga sudah tahu konsep
waktu ya. Hebat! Lha, kamu sendiri orang mana? Indonesia kan?”
Nur tersenyum.”orang Indonesia tapi nggak mainstream.”
Lelaki tersebut mengangguk. Ia merasa tak perlu untuk
melanjutkan perdebatan dan berusaha mengalihkan pembicaraan.”kamu cantik
memakai jilbab merah itu nur. Pastinya, ustadzah ngajarin kamu pakai jilbab
ya.”
Nur mengangguk.”aku lebih nyaman seperti ini. Lagi pula, di
kampung dulu aku biasa memakainya yadi.”
“aku merasa bahagia bisa melepaskanmu dari pengaruh tante
viola yang berhati iblis itu nur.”
Nur tersenyum lebar. Matanya berkaca-kaca.”justru karena hal
itu aku memintamu untuk datang ke sini.”
“karena hal apa?”Tanya yadi yang langsung penasaran dengan kata-kata
nur barusan.
Nur menatap langit senja yang mulai memerah. “kau tahu,
semenjak pertemuan kita di kafe dulu, aku merasa kaulah lelaki yang
sebenar-benarnya lelaki. Sebelumnya, aku tak pernah menyangka, kau akan
menolongku dari keadaanku yang serba sulit. Aku sangat berterimakasih atas
semua pertolonganmu yadi.” Nur menyeka air mata yang menyembul dari kedua
kelopak matanya.
Yadi menghela nafas dan menggenggam tangan nur.”itu sudah
kewajibanku nur.”hanya itu yang keluar dari mulutnya. Selebihnya hanya diam.
Yadi membiarkan nur menghabiskan waktu untuk tangisnya.
Nur menatap yadi yang sedari tadi diam.”kau tahu yadi, aku
sangat berharap memiliki hatimu. Setelah semua ketulusanmu itu, aku takut
kehilanganmu. Aku merasa, tak pernah mencintai lelaki melebihi cintaku padamu
yadi.”
Yadi kembali menghela nafas dan terdiam. Member waktu kepada
nur untuk mengungkapkan segala isi hatinya.
“yadi, aku tak peduli apa yang akan kau pikirkan terhadap
diriku. Aku tak peduli kau menyebutku wanita yang tak tahu malu. Tapi, jika aku
tak mengatakan hal yang jujur kepadamu. Aku akan tersiksa dengan perasaanku
sendiri. Aku tak akan bisa melupakan semua kebaikanmu begitu saja.”
yadi kembali menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.”aku
tahu nur. Aku tahu semua perasaanmu. Tapi aku juga tak mau menyakiti hati orang
yang mencintaiku.”
Nur terperanjat.”maksudmu? kau sudah punya tunangan?”
bibirnya bergetar. Ada nada kekecewaan di sana.
Yadi menatap nur dengan tatapan sulit dipahami.”bahkan aku
sudah menikah nur. Aku sudah punya seorang anak.”
Air mata berderai di pipi nur. Kini pupuslah seluruh
harapannya terhadap lelaki perkasa di hadapannya itu. Semenjak pertama bertemu,
ia sudah merajut harapan dan cintanya untuk lelaki itu. Tapi ternyata kenyataan
harus berkata sebaliknya. Nur menoca tegar dan menghapus air mata yang terus
berleleran di pelupuk matanya.
“maafkan aku nur. Bukan maksudku membuatmu sedih seperti
ini.”tangan yadi masih menggenggam hangat tangan nur.
“tapi kau mencintaku bukan? Kau jangan membohongi dirimu.”
entah apa yang harus yadi katakana. Tiba-tiba dadanya berdebar-debar. Ia tidak memungkiri apa yang dikatakan nur barusan. Ia mencintai nur sama seperti nur mencintainya. Ah, andai perkenalan itu tidak ada. Mungkin ia tak akan sekalut seperti sekarang ini.
entah apa yang harus yadi katakana. Tiba-tiba dadanya berdebar-debar. Ia tidak memungkiri apa yang dikatakan nur barusan. Ia mencintai nur sama seperti nur mencintainya. Ah, andai perkenalan itu tidak ada. Mungkin ia tak akan sekalut seperti sekarang ini.
“kalau memang kau beristri. Nikahi aku untuk menjadi istri
keduamu yad. Aku rela. Aku sangat rela. Asalkan aku bisa mencurahkan cintaku
untukmu. Asalkan aku bisa hidup bersamamu.”
Hati yadi semakin bergemuruh. Semua perasaannya
terkoyak-koyak oleh kata-kata nur barusan. Ia merasa kalut dengan perasaaan
yang semakin tidak karuan.”itu tidak semudah seperti yang kita duga nur.”
Nur terdiam. Ia mencoba menata hatinya yang penuh dengan
luapan emosi.”aku tidak yakin bisa melupakanmu yad.”
“aku tahu. Tapi, dengarkan dulu kata-kataku nur.”ujar yadi.
Genggaman tangannya mengendur.”kau masih ingat kan pertemuan pertama kita. “
Nur mengangguk pelan. Ia hanya menunduk. Tapi tangisnya
masih menyisakan isakan pelan.
“dulu, aku sempat bertengkar dengan asanti istriku. Aku
memergokinya sedang jalan dengan lelaki lain di mall. Aku kalap dan
mentalaknya. Aku tak sempat berpikir tentang bagaimana resiko perceraian.
Padahal, kami sudah mempunyai seorang putra yang sangat lucu dan masih
membutuhkan kasih saying kami. Aku langsung menjatuhkan talakku karena luapan
emosi dan cemburu. Istriku pulang ke rumah orang tuanya dengan tangisan yang
belum pernah aku lihat ia menangis seperti itu. Sebelumnya, istriku sempat
memohon-mohon untuk mengampuninya. Tapi aku terlanjur marah.”
“setelah kepergian istriku, aku menyerahkan putraku kepada
ibuku. Dan sejak itulah aku merasa kehilangan harapan lagi. Aku sudah merasa
frustasi dengan masalah keluargaku. Dari sana, aku lebih sering menghabiskan
malamku di kafe-kafe. Salahsatunya di kafemu nur. Saat pertama kali aku
mengenalmu.”
Nur mendongakan kepalanya. Ia mulai berhenti terisak sejak
beberapa menit yang lalu. Matanya merah karena tangis. Mendengar penuturan yadi
barusan, rasa ingin tahunya menyeruak begitu saja.
Yadi kembali menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.”
Aku mulai menyukaimu ketika pertama kali kau berusaha mendekatiku. Seandainya
aku masih memelihara dendam terhadap istriku, bisa saja aku menuruti tawaran
dan bujuk rayumu saat itu nur. Alhamdulillah, aku ternyata masih bisa menjaga
keimananku.”
”jangan kau ungkap hal itu! Aku tidak suka.”uajr nur dengan wajah merona merah. Jelas ia merasa malu dan seakan-akan ditelanjangi oleh kata-kata yadi barusan.”aku terpaksa melakukannya. Lagi pula, aku sekarang sudah berubah kan?”
”jangan kau ungkap hal itu! Aku tidak suka.”uajr nur dengan wajah merona merah. Jelas ia merasa malu dan seakan-akan ditelanjangi oleh kata-kata yadi barusan.”aku terpaksa melakukannya. Lagi pula, aku sekarang sudah berubah kan?”
“maafkan aku. Bukan makasudku mengungkit-ungkit
kesalahanmu.”jawab yadi.”tapi, dimataku, kau gadis yang berbeda. Aku bahkan
bisa menduga bahka kau terpaksa melakukan perkarjaanmu saat itu. Sejak itu, aku
merasa dekat denganmu dan…..”mata yadi menatap tajam nur.”mencintaimu!”
“tapi hati terdalamku masih menyimpan harapan lain. Aku
masih mencintai asanti dan berharap dia berubah. Apa yang aku harapkan memang
tidak salah. Berkali-kali asanti mendatangiku dan memohon-mohon layaknya anak
TK yang minta uang jajan terhadap mamanya. Hatiku luluh ketika asanti merajuk
dan memohon maafku untuk yang keenam lakinya. Aku kebali rujuk dengan istriku
dan kembali menjalani kehidupan rumah tangga seperti semula.”
“aku sempat khawatir dengan semua perasaanku kepadamu nur.
Aku sempat pula merajur harapan bersamamu. Tapi kenyataan memang harus berkata
lain. Aku harus membangun kembali rumah tanggaku yang hampir ambruk. Kukira,
lebih baik aku memperbaiki yang sudah ada daripada membangun lagi kehidupan
yang lain. Toh aku sudah punya buah cinta dari asanti.”
“sempat terpikir pula olehku untuk menikahimu menjadi istri
keduaku. Tapi…tapi aku dan asanti sudah mengikat janji untuk memegang teguh
kesetiaan yang sempat karam dari hati kami.”
Kali ini yadi menangis tersedu-sedu. Bahkan nur merasa
yakin, bahwa yadi lebih merasakan sakit dibanding dirinya sendiri. Keadaan
berbalik.
Yadi menyeka air matanya. Dia tak ingin menjadi bahan
tontonan para pengunjung kafe. Bagaimana mungkin seorang lelaki menangis di
tempat ramai seperti itu. Bagaimana mungkin ia harus menangis di hadapan nur.
Tak mungkin yadi bisa menerima kecengengan dirinya.
“kamu belum pesan minuman. Mau minum apa?”Tanya nur mencoba
mencairkan suasana.
Yadi menyeka sisa-sisa air matanya.”sama seperti dirimu.”
Nur memanggil pelayan kafe. Tak berapa lama seorang
perempuan datang dan nur menyebutkan pesanannya. Pelayan itu menganggukan
kepala dan kembali berlalu.
“tanpaknya, mulai sekarang kita harus saling melupakan satu
sama lain.”ujar nur.” Aku tak ingin merusak rumah tanggamu. Rumaha tanggamu tak
boleh hancur untuk yang kedua kalinya.”
Yadi mendesah.”terimakasih nur. Kau memang gadis yang baik.”
Nur menghela nafas dan mencoba tersenyum lebar.”melupakan
bukan berarti benar-benar lupa. “
“tentu.”jawab yadi pendek.
Pelayan kafe muncul dengan nampan di tangan kanan. Ia
meletakan gelas berisi juice alpukat di atas meja bundar. Berlalu setelah
mengucapkan terimakasih.
“ayo minum. Cairan tubuhmu kan udah banyak dikeluarin lewat
mata.”seloroh nur.
Yadi tersenyum lebar.”kamu juga kan?”
Mereka kembali terdiam dan sibuk dengan pikiran
masing-masing. Atau bahkan mencoba menyelami kedalaman hati yang masih
menyimpan misteri. Baik yadi atau pun nur tak merasa menyesal dengan apa yang
mesti mereka putuskan.
“oke, aku harus pulang sebelum manghrib tiba.”uajr yadi.
Matanya yang setajam mata elang melirik arloji yang melingkari pergelangan
tangan kirinya yang kokoh.
“aku juga.”timpal nur. Ia meraih tasnya dan menyampirkan di
bahu kirinya.”sampai ketemu di lain waktu.”ujarnya dan melenggang pergi.
“nur! Tunggu!”teriakan yadi menghentikan langkah nur. nur
menoleh kea rah lelaki yang memiliki mata elang itu dan tersenyum. Ia tak akan
melewatkan waktu bersama yadi tanpa senyuman. Setidaknya, senyuman terakhir
sebelum perpisahan benar-benar membuat mereka lupa satu sama lain.
Yadi mendekat dan ia juga tersenyum. “aku selalu mendoakanmu
nur. semoga allah memberimu suami yang lebih baik dan sempurna dari pada
diriku. Semoga allah mengirimkan kepadamu suami yang lebih besar cinta dan
kasih sayangnya dari pada perhatianku yang hanya sementara.”
nur tersenyum dan mengangguk.”amiin!”ujarnya lirih. Padahal dalam hatinya nur berkata lain. Tak ada lelaki yang lebih baik dan sempurna di banding dirimu. Tak ada lelaki yang lebih perhatian dari pada kamu yadi.
nur tersenyum dan mengangguk.”amiin!”ujarnya lirih. Padahal dalam hatinya nur berkata lain. Tak ada lelaki yang lebih baik dan sempurna di banding dirimu. Tak ada lelaki yang lebih perhatian dari pada kamu yadi.
Perpisahan memang selalu menyakitkan.menyisakan luka yang
sulit untuk bisa menyembuhkannya. Hanya menunggu keajaiban waktu yang akan
menghapus jejak-jejak kerinduan dan kenangan yang masih tersisa. Kadang,
perpisahan harus mengorbankan perasaan dan ego. Tak ada lagi yang lebih penting
selain realitas yang mesti dijalani. Meski itu pahit, tapi nur yakin, kehidupan
akan berkata lain. Kehidupanlah yang akan mengajarkan arti dari kepasrahan akan
garisan takdir-Nya.
*****
Adzan maghrib baru berlalu lima menit yang lalu ketika nur
sampai di rumah ustadzah aminah. Ia mengucapkan salam dan mengetuk pintu dua
kali.
Seseorang menjawab salam dari dalam. Tak berapa lama daun
pintu terbuka. Arif yang membukanya. Ia tersenyum tipis dan segera menunduk.
“sudah pulang.”ujarnya pendek dan membuka daun pintu lebar-lebar.
“sudah.”jawab nur dengan jawaban sama pendeknya. Bahkan nur
tidak bisa mengerti, kenapa lelaki itu selalu menunduk di hadapan dirinya.
Apakah arif tahu bahwa dirinya bekas perempuan hina yang bahkan kehilangan
kehormatannya sendiri.? Apakah di mata lelaki soleh akan terlihat, mana
perempuan yang baik dan mana perempuan yang buruk? Apakah arif menganggap aku
perempuan buruk yang bahkan meliriknya pun haram?
Ah! Kenapa aku harus
menghakimi diriku sendiri? Toh, aku sudah berubah. Kenapa kau harus memikirkan
respon arif terhadap diriku sendiri. Memangnya dia siapa?
“dari mana nur?”Tanya ustadzah aminah yang masih mengenakan
mukena. Baru saja ia menunaikan shalat maghrib berjamaah bersama arif, wafa dan
bibi. Arif yang biasanya mengimami mereka sekeluarga.
“habis ketemu sama yadi bu.”jawab nur jujur. Ia menyimpan
tas kulitnya di atas meja.
“sudah shalat maghrib belum?”Tanya ibu aminah lebih lanjut.
“sedang tidak shalat bu.”jawab nur. ia duduk di samping si
bibi yang tanpak serius menjahit kain jariknya yang sobek.
“memang ada apa ketemuan sama si yadi?”kali ini bibi yang
bertanya.
Nur merasa ragu untuk menjawab. Tapi ia melihat ustadzah
aminah dan arif menatapnya. Seakan-akan mereka juga ingin tahu jawabannya.
“mm…saya hanya menyampaikan ucapan terimakasih saja. Selama
ini yadi yang membantu saya hingga terbebas dari tante viola.”
Ustadzah aminah mengangguk-anggukan kepalanya.”lain kali,
kalau ingin ketemu yadi nggak harus keluar rumah dan berduaan di luar. Nggak
baik perempuan berdua-duaan sama lelaki yang bukan muhrim. Bisa saja kamu minta
yadi datang dan kita ngobrol bareng di sini.”
Nur menganggukan kepalanya. padahal, aku tak akan pernah ketemu yadi lagi. Aku tak akan pernah
membiarkan luka hatiku kembali menganga hanya untuk melihat sosoknya sekali
pun.
Tiba-tiba wafa muncul dari ruang tengah. Seperti
kebiasaannya, di tangannya terdapat
sebuha buku tebal. Dia memang maiak baca. “eh, tahu nggak ka knur. Tante
viola dan om pendi-mu sudah tertangkap ba’da ashar tadi.”
“nur terperangah dan tersenyum lebar.”Alhamdulillah!”ujarnya
sembari menatap ustadzah aminah. Mencoba mencari kepastiaan dari tatapan
matanya.
Ustadzah aminah tersenyum dan mengangguk.”benar nur. letkol
hartono tadi menelpon ke sini. Katanya mereka berhasil menangkap penculikmu di
puncak bogor. Ada beberapa orang yang berhasil mengetahui persembunyian
mereka.”
Sekali lagi nur mengucap hamdalah.
“setidaknya, kamu akan merasa bebas keluar rumah dan bisa
menolong membeli sayuran di pasar pagi lagi nur.”ujar bibi sembari tertawa.
Disambut tawa nur dan semua yang ada di ruangan itu.
Tuhan, ternyata
kebahagiaan akan selalu datang setelah masa-masa yang penuh kesulitan. Bahkan
kebahagiaan itu Kau genapi dengan hadirnya orang-orang baik di sekelilingku.
Aku tak pernah bisa memprediksi semua anugrahmu selain rasa syukur yang selalu
datang bersamaan dengan anugerah yang bertubi-tubi ini.
No comments:
Post a Comment