18 Apr 2015

NURANI YANG KEMBALI >>PART 21

Matahari hampir tenggelam di batas cakrawala ketika nur tiba di kafe. Ia segera mengambil tempat duduk dekat jendela. Sesekali melihat arloji warna merah menyala yang melingkar di pergelangan tangannya.  Beberapa kali ia menoleh kea rah pintu kafe, mencoba meyakinkan dirinya bahwa lelaki itu akan segera datang dan duduk bersamanya.
Tak berapa lama, lelaki itu benar-benar datang ketika nur mengaduk-aduk juice alpukat yang ia pesan sepuluh menit yanglalu. Datang dengan tiba-tiba dan duduk di hadapannya.
“melamun saja kau!”serunya sembari menggebrak meja bundar kafe.
Nur terperanjat dan bersungut-sungut. Ia memasang wajah cemberut.”aku sudah lama menunggu lho.”padahal nyatanya baru sepuluh menit.
Lelaki itu nyengir dan menatap nur dengan tatapan sarkastis.”terlambat sebentar kan tidak masalah nur.”
“kebiasaan orang Indonesia. Mentolerir hal-hal yang sepele. Makanya orang Indonesia tak pernah maju.”ujar nur. Ia tersenyum mengejek.
Lelaki itu masih dengan seringainya. Tangan kekarnya mengenggam tangan nur.”wow, nur! Gadis kampung sepertimu juga sudah tahu konsep waktu ya. Hebat! Lha, kamu sendiri orang mana? Indonesia kan?”
Nur tersenyum.”orang Indonesia tapi nggak mainstream.”
Lelaki tersebut mengangguk. Ia merasa tak perlu untuk melanjutkan perdebatan dan berusaha mengalihkan pembicaraan.”kamu cantik memakai jilbab merah itu nur. Pastinya, ustadzah ngajarin kamu pakai jilbab ya.”
Nur mengangguk.”aku lebih nyaman seperti ini. Lagi pula, di kampung dulu aku biasa memakainya yadi.”
“aku merasa bahagia bisa melepaskanmu dari pengaruh tante viola yang berhati iblis itu nur.”
Nur tersenyum lebar. Matanya berkaca-kaca.”justru karena hal itu aku memintamu untuk datang ke sini.”
“karena hal apa?”Tanya yadi yang langsung penasaran dengan kata-kata nur barusan.
Nur menatap langit senja yang mulai memerah. “kau tahu, semenjak pertemuan kita di kafe dulu, aku merasa kaulah lelaki yang sebenar-benarnya lelaki. Sebelumnya, aku tak pernah menyangka, kau akan menolongku dari keadaanku yang serba sulit. Aku sangat berterimakasih atas semua pertolonganmu yadi.” Nur menyeka air mata yang menyembul dari kedua kelopak matanya.
Yadi menghela nafas dan menggenggam tangan nur.”itu sudah kewajibanku nur.”hanya itu yang keluar dari mulutnya. Selebihnya hanya diam. Yadi membiarkan nur menghabiskan waktu untuk tangisnya.
Nur menatap yadi yang sedari tadi diam.”kau tahu yadi, aku sangat berharap memiliki hatimu. Setelah semua ketulusanmu itu, aku takut kehilanganmu. Aku merasa, tak pernah mencintai lelaki melebihi cintaku padamu yadi.”
Yadi kembali menghela nafas dan terdiam. Member waktu kepada nur untuk mengungkapkan segala isi hatinya.
“yadi, aku tak peduli apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku. Aku tak peduli kau menyebutku wanita yang tak tahu malu. Tapi, jika aku tak mengatakan hal yang jujur kepadamu. Aku akan tersiksa dengan perasaanku sendiri. Aku tak akan bisa melupakan semua kebaikanmu begitu saja.”
yadi kembali menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.”aku tahu nur. Aku tahu semua perasaanmu. Tapi aku juga tak mau menyakiti hati orang yang mencintaiku.”
Nur terperanjat.”maksudmu? kau sudah punya tunangan?” bibirnya bergetar. Ada nada kekecewaan di sana.
Yadi menatap nur dengan tatapan sulit dipahami.”bahkan aku sudah menikah nur. Aku sudah punya seorang anak.”
Air mata berderai di pipi nur. Kini pupuslah seluruh harapannya terhadap lelaki perkasa di hadapannya itu. Semenjak pertama bertemu, ia sudah merajut harapan dan cintanya untuk lelaki itu. Tapi ternyata kenyataan harus berkata sebaliknya. Nur menoca tegar dan menghapus air mata yang terus berleleran di pelupuk matanya.
“maafkan aku nur. Bukan maksudku membuatmu sedih seperti ini.”tangan yadi masih menggenggam hangat tangan nur.
“tapi kau mencintaku bukan? Kau jangan membohongi dirimu.”
entah apa yang harus yadi katakana. Tiba-tiba dadanya berdebar-debar. Ia tidak memungkiri apa yang dikatakan nur barusan. Ia mencintai nur sama seperti nur mencintainya. Ah, andai perkenalan itu tidak ada. Mungkin ia tak akan sekalut seperti sekarang ini.
“kalau memang kau beristri. Nikahi aku untuk menjadi istri keduamu yad. Aku rela. Aku sangat rela. Asalkan aku bisa mencurahkan cintaku untukmu. Asalkan aku bisa hidup bersamamu.”
Hati yadi semakin bergemuruh. Semua perasaannya terkoyak-koyak oleh kata-kata nur barusan. Ia merasa kalut dengan perasaaan yang semakin tidak karuan.”itu tidak semudah seperti yang kita duga nur.”
Nur terdiam. Ia mencoba menata hatinya yang penuh dengan luapan emosi.”aku tidak yakin bisa melupakanmu yad.”
“aku tahu. Tapi, dengarkan dulu kata-kataku nur.”ujar yadi. Genggaman tangannya mengendur.”kau masih ingat kan pertemuan pertama kita. “
Nur mengangguk pelan. Ia hanya menunduk. Tapi tangisnya masih menyisakan isakan pelan.
“dulu, aku sempat bertengkar dengan asanti istriku. Aku memergokinya sedang jalan dengan lelaki lain di mall. Aku kalap dan mentalaknya. Aku tak sempat berpikir tentang bagaimana resiko perceraian. Padahal, kami sudah mempunyai seorang putra yang sangat lucu dan masih membutuhkan kasih saying kami. Aku langsung menjatuhkan talakku karena luapan emosi dan cemburu. Istriku pulang ke rumah orang tuanya dengan tangisan yang belum pernah aku lihat ia menangis seperti itu. Sebelumnya, istriku sempat memohon-mohon untuk mengampuninya. Tapi aku terlanjur marah.”
“setelah kepergian istriku, aku menyerahkan putraku kepada ibuku. Dan sejak itulah aku merasa kehilangan harapan lagi. Aku sudah merasa frustasi dengan masalah keluargaku. Dari sana, aku lebih sering menghabiskan malamku di kafe-kafe. Salahsatunya di kafemu nur. Saat pertama kali aku mengenalmu.”
Nur mendongakan kepalanya. Ia mulai berhenti terisak sejak beberapa menit yang lalu. Matanya merah karena tangis. Mendengar penuturan yadi barusan, rasa ingin tahunya menyeruak begitu saja.
Yadi kembali menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.” Aku mulai menyukaimu ketika pertama kali kau berusaha mendekatiku. Seandainya aku masih memelihara dendam terhadap istriku, bisa saja aku menuruti tawaran dan bujuk rayumu saat itu nur. Alhamdulillah, aku ternyata masih bisa menjaga keimananku.”
”jangan kau ungkap hal itu! Aku tidak suka.”uajr nur dengan wajah merona merah. Jelas ia merasa malu dan seakan-akan ditelanjangi oleh kata-kata yadi barusan.”aku terpaksa melakukannya. Lagi pula, aku sekarang sudah berubah kan?”
“maafkan aku. Bukan makasudku mengungkit-ungkit kesalahanmu.”jawab yadi.”tapi, dimataku, kau gadis yang berbeda. Aku bahkan bisa menduga bahka kau terpaksa melakukan perkarjaanmu saat itu. Sejak itu, aku merasa dekat denganmu dan…..”mata yadi menatap tajam nur.”mencintaimu!”
“tapi hati terdalamku masih menyimpan harapan lain. Aku masih mencintai asanti dan berharap dia berubah. Apa yang aku harapkan memang tidak salah. Berkali-kali asanti mendatangiku dan memohon-mohon layaknya anak TK yang minta uang jajan terhadap mamanya. Hatiku luluh ketika asanti merajuk dan memohon maafku untuk yang keenam lakinya. Aku kebali rujuk dengan istriku dan kembali menjalani kehidupan rumah tangga seperti semula.”
“aku sempat khawatir dengan semua perasaanku kepadamu nur. Aku sempat pula merajur harapan bersamamu. Tapi kenyataan memang harus berkata lain. Aku harus membangun kembali rumah tanggaku yang hampir ambruk. Kukira, lebih baik aku memperbaiki yang sudah ada daripada membangun lagi kehidupan yang lain. Toh aku sudah punya buah cinta dari asanti.”
“sempat terpikir pula olehku untuk menikahimu menjadi istri keduaku. Tapi…tapi aku dan asanti sudah mengikat janji untuk memegang teguh kesetiaan yang sempat karam dari hati kami.”
Kali ini yadi menangis tersedu-sedu. Bahkan nur merasa yakin, bahwa yadi lebih merasakan sakit dibanding dirinya sendiri. Keadaan berbalik.
Yadi menyeka air matanya. Dia tak ingin menjadi bahan tontonan para pengunjung kafe. Bagaimana mungkin seorang lelaki menangis di tempat ramai seperti itu. Bagaimana mungkin ia harus menangis di hadapan nur. Tak mungkin yadi bisa menerima kecengengan dirinya.
“kamu belum pesan minuman. Mau minum apa?”Tanya nur mencoba mencairkan suasana.
Yadi menyeka sisa-sisa air matanya.”sama seperti dirimu.”
Nur memanggil pelayan kafe. Tak berapa lama seorang perempuan datang dan nur menyebutkan pesanannya. Pelayan itu menganggukan kepala dan kembali berlalu.
“tanpaknya, mulai sekarang kita harus saling melupakan satu sama lain.”ujar nur.” Aku tak ingin merusak rumah tanggamu. Rumaha tanggamu tak boleh hancur untuk yang kedua kalinya.”
Yadi mendesah.”terimakasih nur. Kau memang gadis yang baik.”
Nur menghela nafas dan mencoba tersenyum lebar.”melupakan bukan berarti benar-benar lupa. “
“tentu.”jawab yadi pendek.
Pelayan kafe muncul dengan nampan di tangan kanan. Ia meletakan gelas berisi juice alpukat di atas meja bundar. Berlalu setelah mengucapkan terimakasih.
“ayo minum. Cairan tubuhmu kan udah banyak dikeluarin lewat mata.”seloroh nur.
Yadi tersenyum lebar.”kamu juga kan?”
Mereka kembali terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Atau bahkan mencoba menyelami kedalaman hati yang masih menyimpan misteri. Baik yadi atau pun nur tak merasa menyesal dengan apa yang mesti mereka putuskan.
“oke, aku harus pulang sebelum manghrib tiba.”uajr yadi. Matanya yang setajam mata elang melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya yang kokoh.
“aku juga.”timpal nur. Ia meraih tasnya dan menyampirkan di bahu kirinya.”sampai ketemu di lain waktu.”ujarnya dan melenggang pergi.
“nur! Tunggu!”teriakan yadi menghentikan langkah nur. nur menoleh kea rah lelaki yang memiliki mata elang itu dan tersenyum. Ia tak akan melewatkan waktu bersama yadi tanpa senyuman. Setidaknya, senyuman terakhir sebelum perpisahan benar-benar membuat mereka lupa satu sama lain.
Yadi mendekat dan ia juga tersenyum. “aku selalu mendoakanmu nur. semoga allah memberimu suami yang lebih baik dan sempurna dari pada diriku. Semoga allah mengirimkan kepadamu suami yang lebih besar cinta dan kasih sayangnya dari pada perhatianku yang hanya sementara.”
nur tersenyum dan mengangguk.”amiin!”ujarnya lirih. Padahal dalam hatinya nur berkata lain. Tak ada lelaki yang lebih baik dan sempurna di banding dirimu. Tak ada lelaki yang lebih perhatian dari pada kamu yadi.
Perpisahan memang selalu menyakitkan.menyisakan luka yang sulit untuk bisa menyembuhkannya. Hanya menunggu keajaiban waktu yang akan menghapus jejak-jejak kerinduan dan kenangan yang masih tersisa. Kadang, perpisahan harus mengorbankan perasaan dan ego. Tak ada lagi yang lebih penting selain realitas yang mesti dijalani. Meski itu pahit, tapi nur yakin, kehidupan akan berkata lain. Kehidupanlah yang akan mengajarkan arti dari kepasrahan akan garisan takdir-Nya.
*****
Adzan maghrib baru berlalu lima menit yang lalu ketika nur sampai di rumah ustadzah aminah. Ia mengucapkan salam dan mengetuk pintu dua kali.
Seseorang menjawab salam dari dalam. Tak berapa lama daun pintu terbuka. Arif yang membukanya. Ia tersenyum tipis dan segera menunduk. “sudah pulang.”ujarnya pendek dan membuka daun pintu lebar-lebar.
“sudah.”jawab nur dengan jawaban sama pendeknya. Bahkan nur tidak bisa mengerti, kenapa lelaki itu selalu menunduk di hadapan dirinya. Apakah arif tahu bahwa dirinya bekas perempuan hina yang bahkan kehilangan kehormatannya sendiri.? Apakah di mata lelaki soleh akan terlihat, mana perempuan yang baik dan mana perempuan yang buruk? Apakah arif menganggap aku perempuan buruk yang bahkan meliriknya pun haram?
Ah! Kenapa aku harus menghakimi diriku sendiri? Toh, aku sudah berubah. Kenapa kau harus memikirkan respon arif terhadap diriku sendiri. Memangnya dia siapa?
“dari mana nur?”Tanya ustadzah aminah yang masih mengenakan mukena. Baru saja ia menunaikan shalat maghrib berjamaah bersama arif, wafa dan bibi. Arif yang biasanya mengimami mereka sekeluarga.
“habis ketemu sama yadi bu.”jawab nur jujur. Ia menyimpan tas kulitnya di atas meja.
“sudah shalat maghrib belum?”Tanya ibu aminah lebih lanjut.
“sedang tidak shalat bu.”jawab nur. ia duduk di samping si bibi yang tanpak serius menjahit kain jariknya yang sobek.
“memang ada apa ketemuan sama si yadi?”kali ini bibi yang bertanya.
Nur merasa ragu untuk menjawab. Tapi ia melihat ustadzah aminah dan arif menatapnya. Seakan-akan mereka juga ingin tahu jawabannya.
“mm…saya hanya menyampaikan ucapan terimakasih saja. Selama ini yadi yang membantu saya hingga terbebas dari tante viola.”
Ustadzah aminah mengangguk-anggukan kepalanya.”lain kali, kalau ingin ketemu yadi nggak harus keluar rumah dan berduaan di luar. Nggak baik perempuan berdua-duaan sama lelaki yang bukan muhrim. Bisa saja kamu minta yadi datang dan kita ngobrol bareng di sini.”
Nur menganggukan kepalanya. padahal, aku tak akan pernah ketemu yadi lagi. Aku tak akan pernah membiarkan luka hatiku kembali menganga hanya untuk melihat sosoknya sekali pun.
Tiba-tiba wafa muncul dari ruang tengah. Seperti kebiasaannya, di tangannya terdapat  sebuha buku tebal. Dia memang maiak baca. “eh, tahu nggak ka knur. Tante viola dan om pendi-mu sudah tertangkap ba’da ashar tadi.”
“nur terperangah dan tersenyum lebar.”Alhamdulillah!”ujarnya sembari menatap ustadzah aminah. Mencoba mencari kepastiaan dari tatapan matanya.
Ustadzah aminah tersenyum dan mengangguk.”benar nur. letkol hartono tadi menelpon ke sini. Katanya mereka berhasil menangkap penculikmu di puncak bogor. Ada beberapa orang yang berhasil mengetahui persembunyian mereka.”
Sekali lagi nur mengucap hamdalah.
“setidaknya, kamu akan merasa bebas keluar rumah dan bisa menolong membeli sayuran di pasar pagi lagi nur.”ujar bibi sembari tertawa. Disambut tawa nur dan semua yang ada di ruangan itu.
Tuhan, ternyata kebahagiaan akan selalu datang setelah masa-masa yang penuh kesulitan. Bahkan kebahagiaan itu Kau genapi dengan hadirnya orang-orang baik di sekelilingku. Aku tak pernah bisa memprediksi semua anugrahmu selain rasa syukur yang selalu datang bersamaan dengan anugerah yang bertubi-tubi ini.


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment