10 Jan 2015

Nurani yang Terkoyak >>> Part 07


Nur mematut dirinya di depan cermin. Kini di badannya sudah terpasang dua potong kain yang –menurut asumsinya- lebih cocok untuk digunakan oleh anak TK. Atasannya memakai kaos ketat berwarna merah dengan dua logo kafe, di dada sebelah kanan dan punggung. Jika Nur mengangkat tangannya ke atas, secara otomatis pusarnya akan kelihatan. Baju itu terlalu kependekan. Bawahannya ia memakai rok berlipit beberapa senti di atas lutut. Warnanya senada dengan warna kaosnya. Merah menyala. Nur menatap bayangannya dengan tatapan sangsi. Mampukah ia memakai pakaian itu tanpa merasa canggung. Bagaimana pun juga ia merasa geraknya terbatasi.
“kamu kelihatan seksi nur.”
Nur terperanjat dan reflex menoleh ke belakang. Kini di ambang pintu sudah berdiri tante viola dengan senyum merekah.
Nur berusaha tersenyum.”tante, apa bajunya tidak kekecilan?”
“enggak saying, itu sudah pas untuk ukuran badanmu.”
Nur mengangguk walau pun dalam hatinya ia merasa tidak sependapat dengan tante viola. Baginya, baju itu tetap terlalu kecil. Tapi ah, masa bodo.  Apa yang tante viola anggap cocok, aku turuti saja. Toh dia menggajiku nanti
“Ayo, kita sarapan di bawah.”ujar tante viola kemudian dan beranjak dari kamar nurani. Nurani masih mematung dan kembali menatap bayangan tubuhnya di kaca meja rias.
Seksi? Justru aku nggak jauh beda dengan artis-artis yang ada di tayangan gossip televise.
Nur menatap dus di pojok paling bawah lemari. Semalam ia sudah mengepak baju kebaya dan kain batik yang biasa ia gunakan untuk bawahannya. Tante vioal membujuknya untuk menyimpan baju-baju kuno itu di dalam lemari saja. Kerena ia sudah membelikan nur baju-baju yang –katanya- tak kalah bagusnya. Lengkap sudah tante viola menyediakan belasan setel baju. Baju seragam kearja, baju pesta, baju bermain dan baju santai.
Nur memantapkan hatinya dan berusaha memotivasi dirinya. Ya, dia selalu teringat konsep ilmu sosiologi di bukunya maryam. Nur tak peduli dengan nasihat bibi santi. Jika dibandingkan dengan buku, maka tentunya nur lebih percaya terhadap buku. Karena –katanya- buku gudangnya ilmu. Jadi, besar kemungkinan apa yang dikatakan bibi santi adalah salah. Lagian apa ruginya berpenampilan seperti anak-anak ABG di sinetron? Apa salahnya berpenampilan seperti artis-artis di televise. Begitu piker nur.

Tan, besok nur gentian aja sama aku. Aku kan sekarang jaga kafe malam di monas. Nah besoknya bias diganti sama nur. Biar dia bias beradaptasi gitu lho.”
Tante viola menatap sekar dengan senyum mengejek.”kau terlalu bodoh saying. Justru sengaja bibi tidak melibatkan nur di kafe malam. Jika dia langsung ditempatkan disana. Maka dia akan shok dan merasa tertipu. Lebih baik tempatkan dulu dia di kafe siang pondok indah selama satu bulan. Tante akan mengambil hatinya dengan gaji pertama dan segala sesuatunya telah tante siapkan. Jadi ia merasa berhutang budi kepada tante. Ia tak akan bias menolak tawaran tante untuk bekerja di kafe malam.”
“Semudah itukah tante. Biasanya orang kampong sangat kuat memegang adat.”
“aku lebih tahu nur daripada kamu ninon. Aku masih termasuk keluarganya. Suamiku adalah sepupu bapaknya nur. Yeah, keluarga suamiku memang konserfativ. Kolot. Jadinya aku merasa idiot selama menjadi istrinya.  Jika seandainya suamiku masih hidup mungkin aku masih terkungkung oleh budaya kolot. Tapi sekarang aku merasa bebas.”
“dan sekarang tante juga ingin membebaskan nur dari tradisi kolot?” tanya sekar.
“tante sudah memikirkan hal itu masak-masak. Nur itu adalah tipe gadis yang lugu dan penurut. Dan tante merasa beruntung dengan sikapnya ini. Lambat laun nur bakalan nurut sama tante dan kemauan tante. Tenang saja.”
“jika dia tetep ngeyel?”
Tante viola mengerutkan keningnya.”kamu kok banyak nanya ninon.”
“ya, ninon Cuma nanya kemungkinan-kemungkinan yang bias saja terjadi. Kan kita juga harus memikirkan segalanya dengan  matang-matang.” Terang ninon.
Tante viola menghembuskan asap rokok dari kedua celah bibirnya. Mempermainkan asap itu dengan menggerak-gerakkan bibir merahnya.”itu gampang. Tante tinggal memulangkan nur ke kampong.”
“dan reputasi tante di kampong akan jelek. Bias saja nur menceritakan semua kegiatan dan usaha tante yang mereka anggap kotor.”
“bodo dengan semua itu. Aku sudah tidak akan berinteraksi lagi dengan mereka jika seandainya apa yang kau takutkan itu terjadi. Kuanggap sudah putus hubungan keluargaku dengan keluarga besar suamiku setelah kepergiannya.”
“lha, buktinya tante membawa nur kemari dan bersikap baik kepadanya.”cecar ninon.
Sekar menatap ninon dengan tatapn sarkastis.”sejak kapan kamu jadi gadis cantik yang berpikir bolot non.”
Ninon mendelik kesal. Sementara tante viola tersenyum lebar. “karena aku rasa kecantikan nur punya nilai jual yang menjanjikan.”
Sekar dan ninon cemberut mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan tante viola.”memangnya kami tidak menjanjikan buat bisnis tante?”
“hei, kalian jangan ngiri dulu. Semua dari kalian mempunyai keunikan dan potensi untuk bias menggaet lelaki berduit. Jadi, berkompetesilah. Siapa yang banyak meraup untung akan beri kalian uang tip yang tidak sedikit.”ujar tante viola dengan volume suara yang lebih pelan daripada sebelumnya. Dan ia pungkas dengan seringai lebar.
Ninon dan sekar hanya termangu. Bertepatan dengan itu nur sudah dating dan bergabung di meja makan.
“nah, ini baru keren. Kamu jadi gak keliatan kampungan lagi sekarang.”seru sekar dengan nada yang dibuat-buat. Sekali lagi nur dibuat dongkol oleh perempuan kurus pucat ini.
“ayo, sarapan. Habis itu ninon sama nur berangkat ke kafe.” Ujar tante viola sembari meraih setangkup roti dan botol selai nanas yang tepat berada di hadapannya.
Nur menatap ninon dan berbisik.”sekar nggak ikut ke kafe?”
“tugasnya menjaga kafe malam. Kalau kamu jaga kafe siang saja untuk satu bulan.”jawab ninon.
Sekar menatap nur curiga.” Ada apa nur?”
Nur salah tingkah,”nggak!”
Sekar memutar bola matanya dan mulai mengunyah rotinya.

Kafe itu lumayan mewah dan boleh dibilang berkelas. Bangunannya semi minimalis itu dicat dengan paduan warna cerah; merah, ungu, kuning, dan hijau muda. Di depannya area parker dan beberapa meja kecil dan kursi lengkap dengan payung peneduh. Masuk ke dalam di setiap pojok berderet  lemari es, rak-rak botol minuman, freezer, dan beberapa kaset yang bisa diputar langsung oleh pengunjung. Ada satu set DVD dan dua televise di setiap pojoknya. Pojok dekat meja pelayan terdapat etalase yang meuat berbagai camilan dan bahan-bahan olahan minuman dan penganan.
“biasanya pengunjung akan berdatangan kurang lebih jam delapan. Sambil menunggu kita bersih-bersih aja dulu.”terang ninon dan meraih kemoceng. Kemudian menyerahkannya kepada nur. “aku yang ngelap etalase. Tolong masukan the botol sama brendy ke dalam freezer.”
“yang mana?’ Tanya nur.
“itu yang dipojok utara.”
Nur beranjak ke tempat yang dimaksud dan mulai memasukan botol ke dalam freezer satu persatu. Setelah itu dilanjutkan dengan membersihkan rak-rak botol di setiap penjuru dengan kemoceng yang tadi diberikan ninon kepadanya.
“non, saya teh mau nanya sama kamu.”kata nur dengan logat sundanya yang begitu kental.
“iya, mau nanya apa nur.”
“sekar tuh orangnya judes atau bagaimana sih.”
Ninon tersenyum,”kamubelum tahu wataknya nur. Dia itu orangnya emang kayak gitu, nanti juga kamu bakalan biasa kok. Bukan Cuma sama kamu, sama aku juga suka begitu. Jadi nggak usah dipikirin.”
Nur mengangguk.”eh, tadi kamu bilang dia kerjanya malam. Di sini emang bukanya sampe jam berapa?”
“sekar kerja bukan di kafe yang ini. Tante viola punya dua kafe, satunya lagi di dekat monas.”terang ninon sembari menuangkan cokelat ke dalam cetakan kue yang sedari tadi sudah ia siapkan.”tolong ambilkan menteganya di samping kulkas.”
Nur beranjak dan mengambil apa yang diminta ninon.”jadi, yang jaga kafe di monas sekarang siapa?”
“yang dimonas tuh bukanya khusus malam doang. Bahkan bisa buka sampai jam tiga dinihari. Kalau yang ini bukanya siang doang.”
“rame mana antara kafe kita sama yang dimonas itu.”
“jelas yang kafe malam dong. Pelanggan pasti semakin bertambah setiap minggunya.”
“Oh.” Gumam nur. Dan mereka tak sadar beberapa pengunjung sudah berdatangan. Kebanyakan mereka memakai pakaian yang perlente. Mereka memesan menu sarapan dan minuman segar.
“biasanya kafe semakin ramai pas jam istirahat kantor nanti.”ujar ninon sembari mengupas pisang yang akan dijadikan campuran kue.”kita bagi tugas ya.”
Nur mengangguk.”boleh, tugas saya apa.”untuk saat ini kamu tinggal mengantarkan setiap pesanan ke pengunjung dan….oh iya, kamu juga yang mendatangi setiap pengunjung untuk menanyakan pesanan mereka. Buku menu sudah tersedia di setiap meja.” Terang ninon lebih lanjut.
Nur  mengangguk paham dan mulai menghampiri pengunjung dari meja ke meja. Menanyakan menu yang mereka inginkan dan segera memberitahukannya kepada ninon. Ninon akan mempersiapkan setiap pesanan; mengolahnya, memasak dan menyusunnya. Dan giliran nur mengantarkannya kembali ke setiap meja.
Sungguh, nur merasa senang dan sangat menikmati peran barunya sebagai pelayan kafe. Ini benar-benar terlalu gampang dan ringan dibandingkan dengan ngerambet berpetak-petak sawah di pesawahan tuan samsuri. Di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Beda halnya dengan sekarang. Nur hanya berkeliling dari meja ke meja. Itu pun jika pengunjung penuh. Jika tidak, sembari menunggu pengunjung ramai, ia duduk manis membuka-buka buku dan majalah yang memang sengaja disediakan di pojok kafe untuk para pengunjung, bercengkarama dengan ninon dan sesekali menyicipi kue-kue hasil kreasi ninon. Asal tahu saja, ninon selalu membuat kreasi baru untuk kue-kue buatannya.
“aku mendapatkan resep-resep ini dari majalah-majalah dan buku resep kue. Atau aku coba mengkombinasikan yang aku kira cocok dari segi bahan dan rasa. Hasilnya, lumayan memuaskan.” Akunya ketika nur menyicipi kue pastry dan mengatakan bahwa kuenya enak dan legit. Mungkin ini rahasianya kenapa kafe siang itu tak pernah sepi pengunjung. “kita tunggu, nanti siang kita pasti kewalahan meladeni orang-orang kantoran. Jadi sekarang istiraha saja”kata ninon sembari rebahan di sofa belakang meja pelayang. Dan memang pengunjung hanya beberapa orang saja.
Tepat jam tujuh malam, ninon dan nur sampai di rumah. Taksi yang membawa mereka berhenti tepat di depan rumah. Mereka segera turun, membayar ongkos dan menyapa pak heri yang terkantuk-kantuk di pos jaganya. Mungkin dia kecapaian. Nur juga merasakan capai  pegal-pegal di pergelangan tangannya. Tapi, walaupun begitu, Mereka merasa puas dengan apa yang mereka dapat hari ini.
“Alhamdulillah ya, kita bisa dapat tiga ratus ribu rupiah.” Seru nur senang.
“ini nggak seberapa nur. Kalau lagi rame, bisa mencapai tujuh ratus ribu lho.”timpal ninon sembari memasukan uang yang telah ia hitung ke kantong penyimpanan uang untuk kemudian di setor kepada tante viola. “tante viola kemana ya?”
“cape ya mbak, minum dulunih. Aku bikinin goreng sukun sama jus markisa nih.”seru seseorang dari arah ruang makan. Seorang gadis dengan rambut sebahu dan berkulit hitam manis datang membawa nampan berisi dua jus markisa berwarna kuning dan satu piring gorengan.
“waah, makasih banget jeng.” Seru ninon senang. Ia bangkit dari duduknya dan meraih satu buah goreng sukun dari piring. Gadis hitam manis itu menyimpan piring dan gelas itu di atas meja. Kemudian menatap nur dan tersenyum.” Ini mbak nur yang dari garut itu ya.”
“iya.”jawab nur dan membalas senyumnya.
“perkenalkan, saya ajeng.”
“dia yang membantu masak sama bersih-bersih di rumah ini.” Terang ninon.
Ajeng tersenyum dan menarap ninon.”abisin gorengannya ya. Saya mau ke belakang dulu.”
“Eh jeng!”seru ninon dan ajeng menghentikan langkah kakinya.”ada apa?”
“tante lagi keluar ya?”Tanya ninon kemudian.
Ajeng tanpak gelisah.”tante…ada di kamarnya.”
“ya udah, saya mau ke kamarnya langsung. Ada yang mau dibicarain.” Ujar ninon dan branjak hendak ke kamar tante viola.
Ajeng tanpak semakin gelisah.”eh non, jangan ganggu tante.”
Ninon mengerutkan kening,”mengganggu? Saya udah biasa masuk kamarnya kok.”
“jangan dibangunin. Kasihan, nyonya viola lagi istirahat. Tadi berpesan sama saya, dia nggak mau digangu katanya.”
“ooh.”ujar ninon pelan dan kembali duduk di sofa. Ajeng tanpak lega dan menghela nafas. Kemudian kembali lagi ke ruang makan. Nur merasa heran, kenapa ajeng tanpak grogi dan ketakutan ketika ninon berniat untuk menemui langsung tante viola di kamarnya. Tapi, nur merasa tak punya hak untuk mempertanyakan hal itu. Ia kembali mencomot satu sukun goreng dan menyeruput jus markisa buatan ajeng.

Jam menunjukan sudah pukul tujuh pagi ketika nur membereskan piring-piring kotor dan membawanya ke bak pencucian. Ajeng hanya bekerja dari siang hingga malam. Jadi, paginya, tugas memasak dan mencuci piring dilimpahkan kepada penghuni rumah. Berhubung kedua rekannya dan tate viola belum muncul dari kamar mereka, nur berinisiatif untuk mengerjakannya sendiri. Toh pekerjaan itu tidak terlalu berat untuk ia lakukan. Apalagi di kampong ia sudah terbiasa dengan rutinitas layaknya ibu rumah tangga selepas shalat subuh sampai jam delapan siang. Lagi pula pekerjaan itu tidak seberat rutinitasnya kala di kampong dulu. Nur hanya mencuci piring-piring kotor bekas makan semalam, membuang sampah ke tempatnya. Menyapu lantai dapur dan mencuci pakaian kotor adalah tugas ajeng nanti siang. Tante viola sudah mengutarakan hal itu sebelumnya.
Tak berapa lama ninon dan tante viola sudah muncul di ambang pintu dapur. Tante viola tanpak masih mengantuk. Ia mengucek-ngucek matanya. Sementara ninon sudah berdandan rapid an siap untuk berangkat ke kafe mereka. Pun begitu dengan nur. Selesai shalat subuh tadi, ia langsung mandi dan memakai seragam kafenya.
“sekar mana? Masih tidur?” Tanya nur. Pertanyaan itu ia tujukan kepada tante dan ninon. Matanya tak terlepas dari piring-piring kotor yang ia bilas.
“dia kecapean. Semalam pulang jam dua malam.” Terang tante viola.
“seperti yang pernah kubilang nur, kafe malam banyak pelanggannya dan ada nilai tambahnya pula,”timpal ninon dan satu cubitan dari tangan tangan tante viola berhasil mendarat di paha kirinya.





Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment