Jani membuka pintu dan tampak begitu antusias ketika dia menemukan siapa orang yang mengetuk pintunya di tengah malam begini. “Wah, ternyata kamu, Dan. Ayo masuk.” Dia membuka pintu rumahnya lebar-lebar sembari mengajakku untuk duduk di ruang tamu.
“Kok tumben sih main nggak bilang dulu.”
“Maaf kalo aku ganggu kamu, Jan,” sambarku dengan perasaan
tidak enak.
“Eh, jangan salah paham. Aku justru senang kamu datang.
Maksudku, coba kamu ngasih tahu dulu biar aku bisa siap-siap dulu. Soalnya
kamarku berantakan,” ujar Jani diiringi tawa. Seperti biasa, kami selalu
mengobrol di kamarnya. Sementara Jani menyuruh adik perempuannya yang baru
lulus SMA itu untuk menyiapkan teh manis dan camilan buat kami.
“Jangan repot-repot, Jan,” ujarku dengan perasaan tak enak.
“Sudah. Kayak di rumah siapa aja. Inilah enaknya punya adik,
bisa disuruh-suruh,” selorohnya.
“Duh, itu adik apa pembantu?” timpalku.
“Dua-duanya. Adik sekaligus pembantu,” ujarnya lagi dengan
gelak tawa khasnya.
“Jan, sebenarnya aku ke sini mau ngomongin sesuatu.”
Jani mengerutkan keningnya. Alisnya yang tebal hampir
bertautan. “Kayaknya mau ngobrolin sesuatu yang serius nih.”
Aku mengangguk. “Memang sangat serius. Bahkan genting.”
Kuceritakan pada Jani bahwa aku telah mengungkapkan keislaman diriku kepada
orangtuaku sehingga mereka mengusir diriku dari rumah. Jani tercengang dengan
apa yang aku ceritakan padanya. “Jadi, malam ini aku mau numpang nginep di
rumah kamu ya, Jan. besok biar aku cari kos-kosan murah di sekitar kampus.”
Jani terdiam sesaat. Sejurus kemudian aku melihat matanya
yang basah. Lelaki itu menepuk pundakku, kemudian merangkul bahuku dengan
hangat. “Jangan khawatir Dan. Allah bersama kamu. Kamu tidak sendirian. Ada
aku, ada teman-teman LDK yang selalu siap membantumu.”
Keesokan harinya aku ditemani oleh Jani untuk mencari
kos-kosan murah di sekitar kampus. Memang gampang-gampang susah untuk mencari kos
di lingkungan yang padat dan ramai. Bahkan seharian penuh kami mencari, tak ada
kosan yang kosong.
“Mungkin kita harus mencari di daerah lain yang agak jauh
dari kampus,” saran Jani. “Jadi, sebelum kamu dapat kostan, kamu untuk
sementara tinggal saja di rumahku.”
“Nggak ah, nggak enak, Jan. Belum tentu keluarga kamu
setuju.”
Jadi menggeleng. “Jangan khawatir. Kamu welcome di rumah
kami, Dan. Lagian kan kamu juga sudah sangat kenal dengan Ummi dan Abi. Bahkan
barangkali jika kamu tinggal di rumah kami pun nggak jadi soal.”
Maka sejak saat itu, aku pun tinggal sekamar dengan Jani.
Kedua orangtuanya sangat baik. Aku lumayan betah. Meski aku merasa canggung
karena di rumah itu ada Nadia, adik semata wayang Jani yang sudah remaja.
Teman-teman LDK sering berseloroh barangkali aku dekat dengan Jani karena
sedang mengincar adiknya itu.
Aku hanya bertahan seminggu di rumah Jani. Bukan karena
mereka tidak ingin aku tinggal lebih lama lagi, tapi karena memang aku tidak
enak hati jika selamanya menumpang di rumah orang. Maka setiap hari aku selalu
mencari kos di daerah sekitar kampus. Dan di hari ketujuh aku mendapatkannya.
Sebuah kostan sederhana yang cukup layak untuk aku tinggali. Di hari itu juga
kukatakan kepada Jani bahwa aku sudah menemukan kost yang cocok.
Kau pasti bertanya-tanya, darimana aku bisa mendapatkan uang
untuk biaya hidupku? Bagaimana aku bisa bertahan di saat keluarga telah
membuangku layaknya membuang sampah dan melupakannya begitu saja?
Jangan salah, meski papa sudah mengusirku –bahkan sesumbar
akan mencoret diriku dari kartu keluarga-, aku masih tetap survive karena
dukungan dan support dari teman-teman LDK dan jamaah masjid kampus. Tepat dua
minggu setelah keislamanku, Jani dan Yuanda mendatangi kost dengan membawa
banyak kejutan. Mereka membawakan diriku sembako, baju koko, dan sejumlah uang
di dalam amplop.
“Ini hadiah keislaman dari teman-teman LDK dan jamaah
masjid,” ujar Yuanda sembari menyerahkan amplop ke dalam genggaman tangan
kananku. Ternyata, tampa sepengetahuan diriku, mereka menggalang dana untuk
meringankan beban yang harus aku tanggung.
Setelah mereka berdua pergi, kubuka amplop itu, kuhitung
dengan teliti dan kudapati nominal empat juta di sana. Saat itu aku benar-benar
menangis karena rasa haru yang menyeruak.
Tentunya aku memiliki harga diri dan tak ingin selamanya
bergantung pada belas kasih orang. Aku selalu berdoa kepada Allah supaya Dia
memudahkan segala urusanku ini. Aku juga yakin bahwa apa yang aku lewati tidak
ada apa-apanya dibandingkan semua kepedihan yang dialami Rasulullah sholallahu
alaihi wasallam dan para sahabatnya di masa silam.
Ternyata Allah benar-benar tidak meninggalkanku sendirian.
Sejak aku kost sendiri, aku selalu memutar otak bagaimana caranya biar aku
mendapatkan cuan. Aku mulai ikut mengerjakan proyek bersama dosen dan mencoba
membuka akun freelancer. Dan dari sanalah rezekiku bermunculan. Bahkan tak lama
setelah itu, mama menghubungiku secara rutin. Lebih dari itu, beliau juga
mengirimkan sejumlah uang ke akun rekeningku. Alhamdulillah…
Kali ini Ramadan telah datang. Ramadan pertama dalam hidupku.
Aku pikir aku akan melewatinya dalam kesendirian. Ternyata tidak. Di hari
pertama ini, Jani datang untuk menemaniku berbuka puasa. Di hari kedua, ada
Yuanda dan teman-temannya yang datang sembari membawa bermacam-macam takjil. Di
hari ketiga, aku diundang Jani untuk bukber di rumahnya. “Abi dan Ummi yang
minta,” begitulah dia berkata. Dan sejak saat itu aku cukup sering ikut berbuka
puasa di rumahnya. Atau kadang ikut berbuka di masjid dekat kost supaya aku tidak
terlalu kesepian.
Barangkali definisi kesepian aku dapatkan ketika waktu santap
sahur tiba. Karena pada saat sahurlah aku hanya merasakan kesendirian. Tapi
semua tidak ada apa-apanya dibandingkan kenikmatan yang aku rasakan dalam
menjalani hari-hariku di bulan suci.
Suatu sore, ketika aku tengah menyiapkan menu berbuka di
kost, aku mendengar suara pagar kost dibuka dari luar dan ada seorang perempuan
mengucapkan salam tepat di pintu kostku. Aku menjawab salam itu dan segera
membuka pintu dengan hati yang didera rasa penasaran. Ketika aku membuka pintu,
kudapati seorang gadis berhijab lebar berdiri di samping pintu, menunduk
sedikit sehingga wajahnya setengah tersembunyi. Beberapa detik setelahnya aku
sadar dia Nadia, adik Jani.
“Ummi tadi menyuruh saya mengantar takjil buat kakak.
Kebetulan hari ini Bang Jani sakit, jadi dia nggak bisa ngantar ke sini,”
ujarnya dengan pelan. Masih dengan wajah yang menunduk.
“Oh iya. Terimakasih banyak ya. Terimakasih buat Ummi.”
Dia hanya mengangguk dan sudah siap berlalu. “Jani sakit
apa?”
Demi mendengar tanyaku, dia menghentikan langkah dan
berbalik. “Demam. Mudah-mudahan aja bukan DBD. Sekarang kan lagi musim.”
“Semoga cepat sembuh. Besok Insya Allah saya mau jenguk.”
Dia hanya mengangguk dengan senyum tipis dan berlalu.
Meninggalkan getar-getar halus di hatiku.

No comments:
Post a Comment