Tadi pagi saya menemukan ada teman di facebook yang mengatakan bahwa dirinya pilah-pilih dalam urusan menuntut ilmu. Jika ustadz yang ceramah itu belum pernah mondok, dia ogah dengerinnya. Tapi kalo sang ustadz itu pernah mondok, maka dia pun akan dengan senang hati menerima dan mendengarkan ceramahnya.
Bro and sis, keilmuwan seseorang itu memang bisa diukur dengan seberapa lama dia menuntut ilmu di sebuah tempat pengkaderan ilmu (baca: pesantren/sekolah/kampus dsb). Akan tetapi itu bukan faktor utama seseorang menjadi pintar. Toh, banyak juga lulusan pondok yang jadi sekularis/liberalis. Toh ada juga lulusan pondok yang justru shalat pun masih bolong.
Lagi pula, dengan meremehkan ustadz/ustadzah yang belum pernah mondok, itu artinya ada bibit kesombongan di hati kita. Ingat sabda kangjeng Nabi, “Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan sesama manusia.”
Lha iya, meremehkan ustadz/ustadzah yang belum pernah nyantri itu bisa jadi sombong. Sombong karena diri pernah mondok sementara si ustadz belum pernah. Sombong karena menganggap ustadz2 itu masih cetek keilmuannya, hanya karena belum pernah mencicipi pondok pesantren.
Bro and sis,
Boleh jadi ustadz/ustadzah tersebut tidak pernah nyantri di pondok pesantren, tapi justru belajar agama di universitas islam dengan mengambil konsentrasi ilmu islam? Bukankah itu juga nyantri? Lagian menuntut ilmu agama itu tidak harus melulu ngaji kitab kuning di pesantren2 tradisional, kan?
Atau Boleh jadi ustadz/ustadzah itu tidak pernah menuntut ilmu di lembaga pesantren, tapi dia rutin datang dan sowan ke kyai/ustadz/syaikh untuk mengambil ilmunya secara talaqi. Nah, ini juga nyantri kan?
Atau, boleh jadi ustadz/ustadzah itu tidak pernah mondok, tapi dia rajin menelaah buku/kitab. Kemudian dia akan menanyakan langsung kepada pengarang kitab jika didapatkan ada yang tidak dipahami. Talaqqi lagi. Bukankah ini juga nyantri.
Jadi berhentilah mendefinisikan kata santri dengan hanya mereka yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren tradisional saja.
Lagi pula, kita tidak bisa mengukur kedalaman ilmu seseorang hanya dari selembar ijazah atau riwayat pendidikan di CV.
Lagi lupa kita juga pernah mendengar hadits nabi, “Sampaikanlah walau satu ayat.” Nah, jika memang yang disampaikan ustadz/ustadzah itu benar, maka terima saja. jika salah, ya tinggalkan apa yang salah itu. Mereka mungkin sedang mengamalkan hadits ‘sampaikan meski satu ayat yang kita tahu.’
Lagi pula, gelar ustadz/ustadzah itu tidak disematkan oleh dirinya sendiri, tapi disematkan oleh masyarakat yang percaya pada keilmuan yang bersangkutan.
Lagi pula, pilah pilih ustadz ini kadang dijadikan alat sentiment golongan. Buktinya, ada ustadz muhammadiyah yang dianggap remeh oleh warga NU karena mazhab. Ada ustadz ‘wahabi’ yang ditolak dakwahnya karena pernah ‘nyantri’ di arab Saudi. Nah, lho…
==
JANGAN PANGGIL SAYA USTADZ
“Iya ustadz, saya baru paham,” Ujar seorang teman facebook ketika kami sedang diskusi lewat kolom komentar.
“Aduh, jangan panggil saya ustadz,” sambarku. Bukan apa-apa. Saya paling sungkan kalo sudah dipanggil ustadz. Soalnya panggilan itu terlalu berat untuk saya tanggung. Saya masih pecicilan, kadang khilaf ketinggalan shalat berjamaah, ilmu agama pun masih cetek. Belum status-status lebay yang jauh dari kesan ustadz. Tapi kok ada yang ‘khilaf’ panggil saya ustadz.
“Nggak apa2, ustadz, hitung-hitung doa buat antum,” begitu alibi yang bersangkutan.
Yo wis lah, masa iya aku harus marah atau maksa orang buat nggak manggil saya ustadz. Kebalik ya? Yang ada zaman sekarang orang demen banget dipanggil gelar kehormatan semacam ‘pak ustadz, pak haji, pak dewan, dll.”
Masalahnya, panggilan itu seakan menjadi beban moral buat saya yang masih begini-begini saja. tapi seenggaknya, ketika ada orang yang ‘khilaf’ melihat saya sebagai ustadz, saya jadi hati-hati dalam bertingkah dan berucap. Saya jadi lebih bijaksana dan tidak pecicilan karena ada orang-orang yang menyorot kehidupan saya. Nanti, kalo bertingkah macam-macam, kemudian timbul celotehan ‘ustadz kok gitu!!”
Tuh kan.
Jadi efek positifnya kita jadi ngerasa harus selalu mawas diri.
“Masa ustadz kayak gitu!”
Kalo ada yang berceloteh kayak gitu sih aku bakalan bilang begini, “Siapa sih yang panggil saya ustadz. Saya belum pernah meminta jenengan2 ini manggil saya ustadz. Wkwk.”
Ustadz juga manusia. Bisa salah bisa benar. Dia bukan malaikat. Termasuk yang viral kemarin karena salah bicara (atau memang netizen yang salah menafsirkan kata-kata ustadzah yang dipotong videonya). Jadi, ketika ada kesalahan dari ustadz/ustadzah, tolong cari udzur atau pemakluman. Bukan malah membully, apalagi mencaci.
Kasihan kalian. Sejak kapan diajari kebencian. Sampai bawa-bawa anggota keluarga si ustadzah segala. Ujung-ujungnya ghibah masal.
“Iya dia ustadzah, tapi adiknya kayak gitu. Bisa dakwah ke orang lain, tapi adiknya sendiri dilupain.’
Hei, kita nggak pernah tahu kehidupan orang lain. Kita hanya melihat dari mata kita yang terbatas. Memangnya kita yakin ustadzah yang bersangkutan tidak pernah menasihati sang adik?
Jangankan dia, lha wong setaraf nabi seperti Nabi Nuh dan Luth aja, ada anggota keluarganya yang tak mau menerima nasihat. Apalagi orang-orang macam kita.
No comments:
Post a Comment