Cerpen oleh Husni Magz
Disini aku bersimpuh. Di pusara yang masih menguarkan aroma tanah merah. Aku sendiri bingung, harus dimana aku menempatkan diri diantara tiga pusara yang ada di hadapanku. Satu pusara Bapak. Satu pusara Mama. Dan satu pusara Tiara, adik semata wayangku. Dua puluh enam jam yang lalu, ketiganya tewas setelah dilindas tronton bermuatan belasan ton yang hilang kendali. Polisi bilang, sopir tronton sialan itu mengantuk sehingga kendaraan raksasa itu menabrak pazero sport bapak yang terpakir di bahu jalan. Aku tidak tahu apa yang dilakukan mereka bertiga saat malaikat maut datang menyambar seiring dengan sambaran tronton yang menggilas tubuh mereka yang ringkih. Darah bercecer, tubuh terpotong-potong layaknya daging cincang. Berjam-jam lamanya aku tak sadarkan diri karena rasa pedih yang begitu dalam.
Kini, mereka bertiga telah menyatu dengan tanah. Kembali ke asal. Kembali ke mula penciptaan.
Sedari tadi Bibiku satu-satunya, Arini, membujukku untuk segera pulang. Dia bilang, sebentar lagi hujan lebat akan segera turun. Aku mendongak sebentar hanya untuk memastikan bahwa apa yang dikatakan Bibiku itu benar adanya. Ya, kulihat mendung menggelayuti cakrawala. Hitam pekat. Sepekat rasa pedih yang menghimpit jiwaku.
“Bibi pulang dulu saja,” pintaku. Sementara mataku masih terpekur pada pusara yang masih merah dengan bebunga yang berserak tak karuan. Ditebar oleh para pelayat yang berbela sungkawa terhadap kematian tiga orang yang selama ini mungkin pernah ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Kerabat, relasi bisnis, teman, atau apa pun itu. Mereka semua mungkin sedih. Tapi tak sepadan dengan kepedihanku sendiri.
Bibi menghela napas panjang. Aku tidak peduli. Sayup telingaku mendengar suara langkah kaki yang lain, entah siapa, aku tidak peduli. Sayup kudengar bibi berbisik dengan seseorang –yang sepertinya seorang lelaki- aku juga tak peduli. Mataku masih basah, dan memanggil ketiga nama yang kini terbujur di dalam tanah.
Seseorang berjongkok di sisiku. Aku tahu dia bukan bibi jika mengandalkan kemampuan indera penciumanku yang menangkap aroma cologne pria. Aku menoleh, kudapati pria itu duduk di sampingku. Sama-sama terpekur tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aku tidak perlu repot-repot untuk menyapa lelaki itu. Atau mengucapkan terimakasih atas kesediaannya untuk melayat kematian mantan mertua dan adik iparnya. Aku akui dia telah berbaik hati berkesempatan datang. Akan tetapi sudah kubilang kepadamu bahwa aku tidak perlu repot-repot mempedulikannya.
“Yang sabar ya, Dik.” Pada akhirnya dia membuka suara. Suara bariton yang begitu familiar di kedua telingaku. Suara yang pernah membuat duniaku berwarna. Tapi suara itu telah menyisakan satu rasa yang berbeda. Hatiku sudah mati rasa.
Aku tidak perlu repot-repot membalas kata-katanya yang -jika aku dengar dari intonasinya- sangat tulus dan penuh dengan perhatian. Aku terlalu sibuk memikirkan kepedihanku.
“Tadi aku ke bilang ke Bibi, biar aku yang antar kamu pulang. Lagi pula, aku bawa mobilku ke sini.”
Aku hanya perlu diam. Cukup mendengarkan celotehnya. Mataku hanya sibuk menangkap bunga-bunga kamboja yang berguguran di samping pusara Bapak. Bunga kamboja itu tumbuh di atas pusara entah milik siapa. Pohonnya sudah agak besar. Barangkali akar-akarnya sudah merambah jasad yang bersemayam di bawahnya. Akar-akar itu menyesap saripati tubuhnya, kemudian mengalirkannya menuju batang hingga ujung reranting. Mewujud dalam bentuk daun dan bunga. Ah, sesederhana itu siklus kehidupan ini. tidak terlalu rumit. Tapi kepedihan yang kurasakan tidaklah sesederhana bunga kamboja yang tumbuh di atas pusara itu.
“Ayo kita pulang, Dik. Sebentar lagi hujan turun. Seperti biasa, setiap sore pasti hujan lebat.” Kali ini tangan besarnya menyentuh bahuku. Hangat.
“Tinggalkan aku sendiri, Bagas. Aku ingin kesendirian. Aku tidak butuh kamu.” Ya, aku memang tidak lagi membutuhkannya setelah masa itu telah usai. Dua tahun yang lalu kami bercerai di pengadilan agama. Semua gara-gara dia. Aku yang meminta perceraian itu karena pengkhianatannya yang bermesraan dengan wanita lain. Lalu untuk alasan apa dia datang kesini? Menghiburku? Ada belasan manusia lain dari pihak kerabat atau teman-temanku yang bisa menghibur minggu-minggu penuh kepedihan selain dia. Aku tidak butuh perhatiannya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri disini. Jika perlu, aku akan menungguimu sampai kamu benar-benar ingin pulang.”
Kata itu. Kata itu mengingatkanku pada awal bagaimana aku dan dia dekat satu sama lain. Dahulu, dia menganggapku sebagai seorang adik. Dia selalu bilang kepada orang-orang, aku adalah adiknya. Kupikir dia bilang begitu karena dia merindukan sosok adik, sementara sang Mama tak lagi bisa beranak lagi karena rahimnya harus diangkat setelah kanker menggerogotinya.
Orangtuanya dan orangtuaku bertetangga dengan baik. Saling berbagi dan menjaga. Mama selalu menitipkanku kepadanya ketika mereka terlalu sibuk oleh bisnis dan catering. Dia dengan senang hati menjagaku. Saat itu, dia baru kelas satu SMA, sementara aku baru masuk TK. Ketika Mama sibuk, dia mengasuhku layaknya seorang kakak. Mengajakku jalan-jalan, naik wahana, atau membelikanku eskrim vanilla. Di hari ulang tahunku, dia pernah menghadiahiku boneka. Di banyak kesempatan, dia selalu membantuku mengerjakan PR.
Beranjak remaja, aku merasa ada kenyamanan yang begitu aneh hadir di hatiku. Ketika aku masih anak ingusan, aku mengaguminya sebagai kakak. Tapi ketika diriku berubah menjadi seorang gadis, rasa kagum itu pun berubah menjadi rasa suka. Orang bilang itu cinta. Tapi aku tidak tahu pasti apa namanya. Aku sering memimpikannya dan berharap lebih. Tapi aku harus menahan rasa kecewa ketika Kak bagas –begitulah biasa aku memanggilnya- membawa teman-teman perempuannya. Kemudian dia mengenalka mereka kepadaku sebagai pacar. Entah kenapa aku tidak senang setiap kali melihat Kak Bagas dekat dengan teman-teman wanitanya. Dia gampang sekali bergonta-ganti pacar. Dua bulan ini dengan Angelina, dua bulan berikutnya dengan Siska. Tahun kemarin dengan Lina, tahun sekarang dengan Farha. Agaknya dia begitu mudah membuat para wanita jatuh cinta. Termasuk aku? Aku tidak tahu. Hanya saja aku merasa nyaman ketika dekat dengannya.
Kecuali sekarang.
“Memangnya kamu mau duduk disini sampai kapan, Dik? Kamu sekalian mau menginap di makam Bapa?” Dia bukan bertanya, tapi lebih pada menyindir dengan cara yang paling halus. Tangannya kembali terlulur di bahuku. “Ayo kita pulang.”
Aku menghela napas panjang. Mendongak. Hanya menatapnya dalam sekejap, kemudian berlalu tanpa menunggu dia meminta aku untuk bangkit. Dia membuntutiku menyusuri batu nisan demi batu nisan. Batu nisan itu mengingatkanku para prasasti. Disana tertulis nama, tanggal lahir dan tanggal kematian. Disana tertulis sejarah seseorang. Setiap orang punya prasasti masing-masing yang layak untuk dikenang.
“Aku antar pulang ya, Dik.” Dia menggenggam pergelangan tanganku ketika aku berbelok, tak mempedulikan fortuner miliknya yang terparkir di pinggir area pemakaman.
“Aku naik ojek saja, Kak.”
“Tidak. Kakak harus mengantar kamu. Kakak nggak akan membiarkan kamu sendiri dalam kondisi seperti ini.”
Tunggu. Sepertinya aku begitu familiar dengan kata-kata itu. Oh, itu kan kata-kata yang selalu dia ucapkan ketika dia menjagaku.
‘Elisa, jika ada anak nakal yang ganggu kamu, bilang kakak ya.’ dan memang Bagaslah yang kemudian menjewer telinga si Junaedi. Lelaki tengil yang merebut dan menyembunyikan boneka Elisa. Bagas pula yang menampar wajah Satrio, yang menyembunyikan sandal Elisa di pohon mangga.
‘Elisa, jika ada lelaki nakal yang berani mempermainkan hatimu, biar kakak yang menghajarnya.’ Tapi untuk yang satu ini, aku tidak pernah mengadu kepada Bagas. Karena tidak ada seorang lelaki pun yang pernah singgah dan sempat bermain di hatiku. Hanya nama Kak Bagas yang bermain di dalamnya. Hingga pada akhirnya, aku memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya kepada dia. Perlu berbelas tahun lamanya aku untuk mengungkapkannya. Dia tercengang dan setengah tak percaya. Dia kemudian terisak dan berbisik, ‘Kau tahu, aku juga menyimpan perasaan yang sama. Hanya saja, aku takut kamu marah. Karena aku pikir kamu hanya menganggapku sebagai kakak angkat.’ Jadi, aku berpikir bahwa kami sama-sama memendam rasa dan menderita selama belasan tahun lamanya.
“Ayo, kakak antar.” Dia merangkul bahuku, kemudian membuka pintu fortunernya. Aku tidak bisa mengabaikan kehendaknya. Aku duduk di sampingnya. Dalam diam yang begitu sunyi dan beku. Pun dia yang tak lagi berbicara banyak selain sesekali melirikku, entah karena apa.
“Kamu lapar?”
“Tidak.”
“Kalau lapar, Kakak mau mampir di tenda pecel Lele pertigaan yang biasa dulu kita singgah.”
“Tidak. Sudah kubilang aku tidak lapar.”
Ya, dulu, sebelum kami terpisahkan oleh kata ‘cerai’, dia sering sekali membawaku jalan dan makan di luar. Dia bilang, aku harus sering diajak makan sehingga tidak jenuh berada di rumah terus.
“Ya sudah, kita langsung pulang saja.”
Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk sampai ke rumah. Untuk yang terakhir kalinya dia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memalingkan wajahku yang sedari tadi kubuang ke arah yang berlawanan.
“Dik, maafkan kakak ya.”
Ada hening sebentar.
“Setelah kepergian Bapa, Mama dan Tiara, kakak tak akan tega meninggalkanmu sendirian. Kakak selalu ada untuk kamu, jika kamu mengizinkan. Kakak akan menebus semua kesalahan kakak. Sebagaimana janji kakak dahulu, kakak tidak akan pernah meninggalkan kamu dalam kondisi dimana kamu butuh kakak.”
Aku hanya diam. Membuka pintu mobil dan tidak lagi menoleh padanya. Tapi ada hati yang kosong. Hatiku tertinggal di sana. Di samping kemudi. Benakku memikirkan dia. Rasa itu menarikku untuk berlari dan mengatakan kepadanya dengan jujur, bahwa aku akan membuka hatiku untuk dia kembali pulang ke hariaannya.
Di ambang pintu aku menoleh, dan disana wajah itu ada dengan senyuman lebarnya, sembari berkata, “Kalau butuh bantuan, hubungi kakak ya.”
TAMAT

No comments:
Post a Comment