28 Sept 2021

Pesta Para Setan

 Satria benar-benar pusing. Kepalanya pening bukan karena masalah uang. Baginya, uang sangat mudah didapat. Sama mudahnya seperti mengeluarkan kentut atau mengorek kotoran di lubang hidung dan telinga. Uang itu begitu penuh di dompet kulitnya yang sangat mahal itu. Sampai-sampai dompet kulit itu begitu ketat saking banyaknya uang berjejalan di sana. Dan semua berwarna merah. Masih harum dan mulus. Belum lagi rekeningnya yang selalu gendut hasil dari mengutil proyek ini dan itu. Proyek terakhir yang membuat dia semakin kaya mendadak adalah adanya proyek pembangunan masjid besar di pusat kota. Konon Satria adalah orang penting yang menjadi bagian dari panitia. Dia pula yang memiliki akses penuh dalam keuangan pembangunan itu. Bagi Satria, tak ada kata takut. Dia tidak takut KPK, karena ada uang yang mampu dia gunakan untuk menyuap mulut-mulut yang berpotensi menimbulkan keberisikan. Uang itu mampu membuat mereka diam. Sama persis seperti burung piaraannya yang bisa mendadak diam setelah dikasih pakan. 

 

Sungguh ajaib memang fungsi uang.

 

Dia juga tidak takut Tuhan hanya karena mengembat dana masjid.  “Setidaknya aku tidak sebejat kementrian sosial yang mengembat dana orang yang kelaparan. Orang tak punya masjid megah belum tentu tak bisa makan,” begitulah hibur hatinya yang terkadang merasa gundah. 

 

Ya, jadi seperti kubilang, Satria tidak pusing dengan urusan uang atau jabatan. Jabatan yang dia pegang cukup mentereng dan menjanjikan. Hanya ongkang-ongkang kaki sembari menonton serial HBO dan Netflix saja sudah cukup. Ada sekretaris cantik yang bisa diandalkan dalam semua hal. Termasuk dalam urusan ranjang sekalipun. Ada kaki tangan yang bisa dia perintahkan untuk mengerjakan ini dan itu. Aku kan komisaris. Komisaris tak perlu repot dengan kegiatan tetek bengek yang bikin kepala pening tujuh keliling. Begitulah pikir Satria.

 

Yang bikin Satria pusing adalah laku istrinya. Bukan, bukan tentang uang belanja. Karena uang belanja telah dia berikan secara jor-joran kepada istrinya yang cantik dan putih semampai itu. jika mau dibandingkan dengan para pemenang Miss Universe, istrinya tak terpaut jauh. Hanya sedikit gemuk saja. Coba saya tekankan, hanya sedikit gemuk. Tidak kurang tidak lebih. 

 

Sang istri bebas menggunakan kartu kredit yang diberikan Satria kepadanya. Tak tanggung-tanggung, sang istri cantik jelita itu mengantongi tiga kartu kredit yang bisa dia gunakan sepuasnya. Unlimited. Kartu-kartu kredit itu biasa digunakan untuk belanja baju-baju branded di mall. Mulai dari sepatu, baju, kosmetik dan lain semacamnya. Belum lagi urusan makan di restoran dan kafe yang sangat berkelas. Belum tentang arisan dengan istri-istri pejabat yang berjuta-juta nilainya. Belum tentang emas berlian yang harus selalu up to date dengan model terbaru yang selalu tersedia hampir setiap bulan di toko langganan para kaum jet set. Semua adalah surga yang melenakan sang istri. 

 

Satria pusing bukan karena istrinya wanita karir yang selalu bergaul dengan kalangan atas. Dia pusing karena libidonya sangat tinggi. Sementara sang istri tidak mampu mencukupi semua hasrat seksualitasnya. Pun sang sekretaris cantik yang setia menemaninya –termasuk di ranjang sekalipun-. Ada saat-saat dimana Satria membutuhkan pelampiasan saat itu juga. 

 

Sementara Angelina, sang istri sirri yang dia nikahi diam-diam di kota seberang tidak selalu ada untuknya. Wanita itu hanya dia gunakan sebagai ‘ban serep’ untuk melayaninya ketika dia ke luar kota. 

 

“Aku lebih mending dari si fulan dan fulan dan fulan. Mereka punya istri hampir di setiap kota,” hibur Satria untuk menghibur nuraninya yang terkadang berontak meminta pembebasan dari kekangan nafsu durjana yang dihembuskan oleh iblis dan bala tentaranya.

 

Malam itu, Satria benar-benar pusing karena libidonya mulai kembali memuncak. Tak ada sekretaris yang bisa memuaskannya. Ini tengah malam, bukan jam kerja. Si sekretaris semampai itu tidak mungkin mau datang ke rumahnya dengan berbagai alasan. Istrinya? Istrinya sibuk belanja di mall, memburu barang-barang branded di midnight sale. Sang istri diantar oleh sopir pribadi yang baru bekerja untuk keluarganya selama tiga bulan. Joko namanya, anak Surabaya asli. 

 

Angelina? Satria membutuhkan waktu tujuh jam untuk sampai ke kota istri sirrinya itu. Sementara hasrat itu harus dia tuntaskan sekarang. 

 

Tiba-tiba Satria menyeringai lebar. Kenapa aku tidak mencoba aplikasi kencan? begitulah pikirnya kala itu. Dia teringat kebiasaan si Binsar, tangan kanannya yang selalu menolong dia untuk mengajukan proposal ke pemerintahan. Hampir setiap minggu si Binsar selalu menyewa boneka hidup di aplikasi kencan. ‘Boneka hidup’ adalah istilah yang sering digunakan si Binsar ketika dia menyewa jasa para PSK-PSK untuk kelas atas yang dia temukan dengan mudah di aplikasi kencan.

 

“Kau Tahu, Bos. Sekarang ini mencari cewek-cewek cantik itu sama seperti mencari rokok kretek,” terang Binsar dengan logat Medannya yang sangat kental. “Bos hanya perlu geser-geser foto mereka di aplikasi. Bos mau perempuan yang tingginya berapa, berat badannya berapa, warna kulitnya apa, warna rambut apa, semuanya lengkap di keterangan, Bos.”

 

“Wah, sudah kaya dagangan si Nerli saja.”

 

“Memang mereka dagangan, Pak. Mereka dagang kehangatan tubuh mereka,” timpal Binsar diiringi gelak tawa yang sangat renyah. Seperti tawa setan yang mencatat satu poin dosa di samping kiri si Binsar. Malaikat mungkin bilang, kau telah menambah satu poin dosa karena telah mempromosikan pelacuran kepada Bosmu, Binsar.

 

Ternyata benar apa yang disangkakan oleh malaikat pencatat amal yang bertugas mengawal Binsar tempo hari. Hari ini si bos Satria terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Satria meraih ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Binsar. Bertanya apa nama aplikasi kencan yang biasa anak buahnya itu gunakan.

 

Tak berapa lama, muncul pesan balasan di aplikasi pesan singkat. Tak menunggu lama, Satria segera mendownload aplikasi itu. hanya beberapa detik saja aplikasi tersebut sudah terpasang dan bisa digunakan hanya dengan log in akun surel secara otomatis. 

 

Mata Satria nanar. Manik mata tajamnya awas memperhatikan satu demi satu display foto wanita-wanita cantik nan semampai yang terpampang di aplikasi. Jempolnya sibuk menggeser satu demi satu foto yang dia amati lengkap dengan keterangannya. Plus tarif dalam semalam.

 

“Gila! Mahal sekali cewek-cewek ini!” serunya dengan mata terbelalak. Tarif wanita-wanita lacur itu ada yang mencapai belasan juta. “Tak apalah! Apa gunanya uang kalau tidak digunakan!” Ya, bagi Satria, saking banyaknya uang yang dia punya, sampai-sampai dia bingung bagaimana cara menghabiskannya. Satria pikir, dengan berburu ‘boneka hidup’ ini, dia setidaknya mampu menghabiskan uang untuk kesenangan dan hiburan yang selama ini tidak pernah membuatnya merasa puas. 

 

Akan tetapi, beberapa menit setelah itu, mata Satria hampir meloncat dari kelopaknya. Di sana, di salahsatu display dengan tarif belasan juta, terpampang wajah sang istri dengan senyuman yang sangat menggoda. Di bawah tertulis, ‘Siap memuaskan Anda. Tidak puas, uang kembali!’

 

Tiba-tiba dunia Satria mendadak gelap. Sementara para setan durjana tertawa membahana. di malam yang sama, sang istri tengah asyik mansyuk dengan sang sopir pribadi di hotel bintang lima. Bersama setan-setan yang berpesta pora di atasnya.

Tamansari, 28-9-2021

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment