12 Apr 2020

Diari Santri [1] Perkara Tiang Jemuran dan Sempak yang Hilang


Satu pengalaman paling absurd ketika di pondok pesantren adalah tentang CD (celana dalam) yang seringkali tertukar, atau kadang-kadang juga raib dari tali jemuran. Mungkin bagi kalian yang belum pernah mencicipi kehidupan penjara suci, tidak akan pernah mengerti tentang episode yang satu ini. Atau mungkin bagi kalian yang pernah mencicipi dunia pondok pesantren modern, tidak pernah mengalami kejadian semacam ini yang notabene terjadi di pondok pesantren tradisional yang minim sarana.
Baiklah, disini saya akan menceritakannya untuk kalian. Semoga saja ini tidak menjadikan kalian keder dan ilfil dengan dunia pesantren. Tapi sebelum berpanjang lebar tentang celana dalam yang tertukar (kok jadinya saya inget sinetron televisi tentang anak yang tertukar ya. Hahay) sebelumnya saya ingin bercerita tentang perkara tiang jemuran.
Sekarang, kita fokus pada tiang jemuran
Ketika aku mondok, hanya ada tiga tiang jemuran yang berada di samping kobong[1]. Tentunya tiga tiang jemuran tersebut sering jadi rebutan para santri untuk menjemur pakaian mereka yang terdiri dari sempak, sarung, sorban dan teman-temannya. Siapa cepat dia dapat. Jika tidak dapat tempat di tiang jemuran, sebagian santri menjemur pakaian mereka di atap kobong yang lapang. Penyebab utama dari keterbatasan tempat di tiang jemuran tersebut adalah santri-santri yang bandel menjemur tanpa memakai hunger. Padahal, jika semua santri memakai hunger, bisa sajaketiga tiang jemuran tersebut cukup untuk semua penghuni kobong putra.
Yang paling menyedihkan adalah ketika si tiang jemuran kelebihan beban hingga pada akhirnya menyerah begitu saja. Ambruk ke tanah dan pada akhirnya aku harus kembali mencuci baju tersebut.
Pernah aku mencuci baju sebanyak tiga ember besar karena rasa malas yang selalu bersarang. Bayangkan saja, aku hanya mencuci semingu sekali, tepatnya di hari ahad saja. Dan ketika semua cucian sudah siap dijemur, aku langsung membawanya ke area tiang jemuran. Mejemurnya satu persatu dengan memakai hunger sehingga berjajar rapi. Setelah itu aku akan menghitung jumlah pakaian yang aku cuci. Jika aku tidak hafal jumlah cucianku, alamat aku tidak akan pernah ngeh jika ada pakaian yang hilang dari tempatnya. Lebih-lebih makhluk kecil bernama sempak. Selain itu, aku biasanya mengusahakan semua pakaianku berjejer di satu tempat dan tidak terpisah satu sama lain. Singkat cerita, selesailah urusan cuci mencuci dan jemur menjemur tersebut.
Fuiih...
Tiba-tiba
Bruk...bruk...
Tiang jemuran tak tahu diri itu dengan seenak dirinya sendiri ambruk di belakangku. Mataku dengan nanar melihat pakaian-pakaianku yang kembali berserak di tanah becek akibat hujan semalaman. Akh..ingin rasanya mengunyah si tiang jemuran hingga habis tak tersisa.  
Mari kita beralih ke celana dalam alias sempak. Aku sih lebih enak menyebutnya sempak. Jadi, ketika mondok, aku membawa tiga pak sempak yang masing-masing satu pack berisi tiga sempak. Tahukah kamu berapa lama sempak itu bertahan? Hanya sekitar setengah tahun. Bukan, bukan berarti aku membuangnya atau menggantinya dengan yang baru. Ya, lebih tepatnya aku mengganti sempak-sempakku dengan sempak baru karena terpaksa beli yang baru. Singkatnya, sebagian sempakku hilang di tiang jemuran.
Lho, kok bisa? Ya bisa lah, apa sih yang nggak bisa buat kamu. Oh, jaka sembung ya.
Jadi begini, setiap kali jemur sempak, ada aja sempak yang hilang. Entah hilang karena memang benar-benar raib dari tempatnya, atau hilang dengan kata lain ada penggantinya. (seringkali dengan warna yang serupa tapi kualitas yang berbeda. Hehe)
Jadi begitulah sodara-sodara. Kecurangan tidak hanya dikenal di kotak-kotak TPS ketika pemilu tiba, tapi juga di tiang jemuran oleh tangan-tangan jahil yang tidak mengenal prikemanusiaan yang adil dan beradab.
Ini nggak ada sangkut pautnya dengan aksi orang pesugihan yang doyan nyuri celana dalam demi menuntaskan misi sugihnya sebagai prasyarat nyeleneh mbah dukun yang harus dituruti. Lagian kan ini sempak cowok. Eh, jadi ngelindur kesana kemari kan.
Berdasar analisa saya yang kadang mendadak bisa menjadi detektif amatiran semacam sherlock holmes ini, ada dua penyebab kenapa seringkali celana dalam itu raib dari jemuran.
Pertama, ini adalah imbas dari sistem rusak yang telah lama membudaya. Jadi, konon sebelum ini terjadi pada saya, telah terjadi pada teman-teman yang lainnya. Misal, si A sempaknya hilang diembat oleh orang lain, akhirnya dia pun mengembat punya orang lain di jemuran. Yah, ini hanya ulah segelintir orang dari semua santri yang ada lho ya. Nggak semua santri kayak gitu. Mungkin mereka mikir, “Sempak aku aja ada yang ngambil, ya udah aku ambil aja milik yang lain.”
Kedua, mungkin juga ada salah paham. Dan ini juga pernah aku alamin. Jadi ceritanya aku pernah kehilangan sempak di tiang jemuran entah yang keberapa kalinya. Kemudian beberapa hari kemudian aku menemukan sempakku yang raib tersebut di tiang jemuran. Setelah aku teliti bak detektif handal, saya punya kesimpulan bahwa itulah sempak saya yang hilang beberapa hari yang lalu. Rupanya ‘si maling’ tengah menjemur harta curiannya. Dasar bodoh! Tentu saja aku segera mengamankan harta berhargaku tersebut. Seandainya aku masih punya stock sempak yang banyak, tak sudi rasanya memakai sempak bekas sarang burung milik orang lain. Tapi mau gimana lagi. Aku juga lagi butuh tahu! Nah, kemungkinan kasus seperti ini juga sering terjadi. Tapi sayangnya mereka tidak berpikir bahwa bisa saja ada orang lain yang memiliki sempak dengan merek bahkan warna yang sama seperti yang dia punya. Tapi untuk kasusku ini, aku 100% yakin kalau itu adalah sempakku, karena aku sudah memberinya tanda.
Dan sodara-sodara, kasus tukar tertukar ini tidak hanya menimpa sempak-sempak yang malang, tapi juga terjadi pada kaus kaki-kaus kaki buluk yang bersarang di lubang-lubang sepatu yang sama buluknya.
Baiklah sodara-sodara, tadi kita telah bercerita panjang lebar tentang jemuran dan sempak-sempak yang tertukar. Sekarang kita akan berbicara tentang cucian.
Ada tiga tipe santri dalam urusan cuci baju. Tipe pertama, santri yang sangat rajin sampai-sampai hampir setiap hari dia mencuci pakaiannya. Bahkan nggak tanggung-tanggung pake pewangi bahkan membawa setrika dari rumah sendiri. Tipe kedua, ada santri yang terbilang biasa-biasa saja. Santri tipe kedua ini tidak keseringan mencuci baju. Paling minimal seminggu sekali atau tergantung dari banyaknya koleksi baju atau pakaian di lemarinya. Semakin banyak baju atau pakaian yang dia punya, semakin jarang dia mencuci. Tipe ketiga, santri yang sangat malas kuadrat. Sampai-sampai ada yang tidak mencuci baju hingga dua pekan lamanya. What? Serius? Iya, aku serius! Karena aku sendiri pernah melhatnya sendiri. Itu bukan aku lho ya. Kalau aku sih paling nggak berada di tipe kedua. Ehehe.
Orang-orang malas itu juga merendam baju tanpa pernah mengeksekusinya hingga tuntas. Rendaman baju di ember mereka biarkan berhari-hari hingga bulukan dan menguarkan bau tak sedap. Hal ini cukup mengganggu penghuni seisi asrama.
Nah, biasanya seringkali ada cucian menumpuk di pojokan kamar mandi. Tentunya hal ini membuat para mudir jengkel. Pada akirnya, para mudir itu berinisiatif melaporkan hal ini kepada Aa, panggilan kami untuk pemimpin pondok.
Besok paginya, semua baju kotor yang menumpuk di pojok kamar mandi dan rendaman yang berhari-hari itu dibawa keluar asrama. Aa menyuruh semua santri untuk berkumpul tepat di depan rumahnya. Rumah Aa berhadap-hadapan dengan dua asrama putra tempat kami tinggal.
Kemudian Aa menyuruh A Ulin sebagai mudir maju ke depan sembari membawa beberapa ember baju kotor dan beberapa baju yang sudah direndam di kepan. Sontak bau tak sedap menguar.
“Kalian ini bagaimana sih. Malasnya minta ampun. Urusan cuci baju saja tidak becus.” Geram Aa. “Sekarang,” lanjutnya sembari mengalihkan pandangan kepada A Ulin, “perlihatkan satu persatu pakaian tersebut dan biarkan mereka mengaku.”
A ulin pun maju ke depan dengan membawa tongkat kayu untuk mengait pakaian kotor tersebut. A Ulin pun beraksi, tongkat diaduk-aduk ke dalam ember besar dan kain pertama terjuntai.
“Punya siapa itu?”
“Punya Bondan!!” seru anak-anak yang tentu saja diantara mereka akan mengenal dan mengetahui pakaian yang biasa dipakai oleh teman mereka.
Begitulah seterusnya. Mereka koor menyebut nama pemilik baju setiap kali satu baju-baik itu sarung, baju koko, sempak dan teman-temannya- diangkat si tongkat kayu ajaib milik A ulin, setiap nama baru muncul. Si empunya baju dengan malu-malu maju ke hadapan dengan wajah yang merah padam karena menahan rasa malu. Bagaimana tidak malu, jika kemalasan dia dipertontonkan di hadapan semua santri dan diceramahi Aa panjang lebar. Setelah itu disoraki oleh semua teman asrama. Alamaak...malunya.
Kemudian mungkin kamu berbisik, “santri kok gitu?’ Eit, jangan langsung menghakimi dong. Karena aku hanya menceritakan tentang segelintir orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki rasa kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana sila kedua dari pancasila. Hehe. Aku berani bertaruh kalau mayoritas santri itu baik.
Jadi  begini saja, kalau ada satu dua orang sunda yang jelek akhlaknya misalnya, maka nggak elok dong jika kamu kemudian memukul rata alias gebyah uyah begitu saja dengan mengatakan bahwa orang sunda itu jahat. Ih, nggak adil tahu.






[1] Kobong: asrama atau ruangan tempat santri menetap

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

1 comment:

  1. Artikel yang bagus kak, penulisannya juga bagus :D

    ReplyDelete