Satu pengalaman
paling absurd ketika di pondok pesantren adalah tentang CD (celana dalam) yang
seringkali tertukar, atau kadang-kadang juga raib dari tali jemuran. Mungkin bagi
kalian yang belum pernah mencicipi kehidupan penjara suci, tidak akan pernah
mengerti tentang episode yang satu ini. Atau mungkin bagi kalian yang pernah
mencicipi dunia pondok pesantren modern, tidak pernah mengalami kejadian
semacam ini yang notabene terjadi di pondok pesantren tradisional yang minim
sarana.
Baiklah, disini
saya akan menceritakannya untuk kalian. Semoga saja ini tidak menjadikan kalian
keder dan ilfil dengan dunia pesantren. Tapi sebelum berpanjang lebar tentang
celana dalam yang tertukar (kok jadinya saya inget sinetron televisi tentang
anak yang tertukar ya. Hahay) sebelumnya saya ingin bercerita tentang perkara
tiang jemuran.
Sekarang, kita
fokus pada tiang jemuran
Ketika aku
mondok, hanya ada tiga tiang jemuran yang berada di samping kobong[1].
Tentunya tiga tiang jemuran tersebut sering jadi rebutan para santri untuk
menjemur pakaian mereka yang terdiri dari sempak, sarung, sorban dan
teman-temannya. Siapa cepat dia dapat. Jika tidak dapat tempat di tiang
jemuran, sebagian santri menjemur pakaian mereka di atap kobong yang lapang.
Penyebab utama dari keterbatasan tempat di tiang jemuran tersebut adalah
santri-santri yang bandel menjemur tanpa memakai hunger. Padahal, jika semua
santri memakai hunger, bisa sajaketiga tiang jemuran tersebut cukup untuk semua
penghuni kobong putra.
Yang paling
menyedihkan adalah ketika si tiang jemuran kelebihan beban hingga pada akhirnya
menyerah begitu saja. Ambruk ke tanah dan pada akhirnya aku harus kembali
mencuci baju tersebut.
Pernah aku mencuci
baju sebanyak tiga ember besar karena rasa malas yang selalu bersarang. Bayangkan
saja, aku hanya mencuci semingu sekali, tepatnya di hari ahad saja. Dan ketika
semua cucian sudah siap dijemur, aku langsung membawanya ke area tiang jemuran.
Mejemurnya satu persatu dengan memakai hunger sehingga berjajar rapi. Setelah itu
aku akan menghitung jumlah pakaian yang aku cuci. Jika aku tidak hafal jumlah
cucianku, alamat aku tidak akan pernah ngeh jika ada pakaian yang hilang dari
tempatnya. Lebih-lebih makhluk kecil bernama sempak. Selain itu, aku biasanya
mengusahakan semua pakaianku berjejer di satu tempat dan tidak terpisah satu
sama lain. Singkat cerita, selesailah urusan cuci mencuci dan jemur menjemur
tersebut.
Fuiih...
Tiba-tiba
Bruk...bruk...
Tiang jemuran tak
tahu diri itu dengan seenak dirinya sendiri ambruk di belakangku. Mataku dengan
nanar melihat pakaian-pakaianku yang kembali berserak di tanah becek akibat
hujan semalaman. Akh..ingin rasanya mengunyah si tiang jemuran hingga habis tak
tersisa.
Mari kita beralih
ke celana dalam alias sempak. Aku sih lebih enak menyebutnya sempak. Jadi,
ketika mondok, aku membawa tiga pak sempak yang masing-masing satu pack berisi
tiga sempak. Tahukah kamu berapa lama sempak itu bertahan? Hanya sekitar
setengah tahun. Bukan, bukan berarti aku membuangnya atau menggantinya dengan
yang baru. Ya, lebih tepatnya aku mengganti sempak-sempakku dengan sempak baru
karena terpaksa beli yang baru. Singkatnya, sebagian sempakku hilang di tiang
jemuran.
Lho, kok bisa? Ya
bisa lah, apa sih yang nggak bisa buat kamu. Oh, jaka sembung ya.
Jadi begini,
setiap kali jemur sempak, ada aja sempak yang hilang. Entah hilang karena
memang benar-benar raib dari tempatnya, atau hilang dengan kata lain ada
penggantinya. (seringkali dengan warna yang serupa tapi kualitas yang berbeda.
Hehe)
Jadi begitulah
sodara-sodara. Kecurangan tidak hanya dikenal di kotak-kotak TPS ketika pemilu
tiba, tapi juga di tiang jemuran oleh tangan-tangan jahil yang tidak mengenal
prikemanusiaan yang adil dan beradab.
Ini nggak ada
sangkut pautnya dengan aksi orang pesugihan yang doyan nyuri celana dalam demi
menuntaskan misi sugihnya sebagai prasyarat nyeleneh mbah dukun yang harus
dituruti. Lagian kan ini sempak cowok. Eh, jadi ngelindur kesana kemari kan.
Berdasar analisa
saya yang kadang mendadak bisa menjadi detektif amatiran semacam sherlock
holmes ini, ada dua penyebab kenapa seringkali celana dalam itu raib dari
jemuran.
Pertama, ini
adalah imbas dari sistem rusak yang telah lama membudaya. Jadi, konon sebelum
ini terjadi pada saya, telah terjadi pada teman-teman yang lainnya. Misal, si A
sempaknya hilang diembat oleh orang lain, akhirnya dia pun mengembat punya
orang lain di jemuran. Yah, ini hanya ulah segelintir orang dari semua santri
yang ada lho ya. Nggak semua santri kayak gitu. Mungkin mereka mikir, “Sempak
aku aja ada yang ngambil, ya udah aku ambil aja milik yang lain.”
Kedua, mungkin
juga ada salah paham. Dan ini juga pernah aku alamin. Jadi ceritanya aku pernah
kehilangan sempak di tiang jemuran entah yang keberapa kalinya. Kemudian
beberapa hari kemudian aku menemukan sempakku yang raib tersebut di tiang
jemuran. Setelah aku teliti bak detektif handal, saya punya kesimpulan bahwa
itulah sempak saya yang hilang beberapa hari yang lalu. Rupanya ‘si maling’
tengah menjemur harta curiannya. Dasar bodoh! Tentu saja aku segera mengamankan
harta berhargaku tersebut. Seandainya aku masih punya stock sempak yang banyak,
tak sudi rasanya memakai sempak bekas sarang burung milik orang lain. Tapi mau
gimana lagi. Aku juga lagi butuh tahu! Nah, kemungkinan kasus seperti ini juga
sering terjadi. Tapi sayangnya mereka tidak berpikir bahwa bisa saja ada orang
lain yang memiliki sempak dengan merek bahkan warna yang sama seperti yang dia
punya. Tapi untuk kasusku ini, aku 100% yakin kalau itu adalah sempakku, karena
aku sudah memberinya tanda.
Dan
sodara-sodara, kasus tukar tertukar ini tidak hanya menimpa sempak-sempak yang
malang, tapi juga terjadi pada kaus kaki-kaus kaki buluk yang bersarang di
lubang-lubang sepatu yang sama buluknya.
Baiklah sodara-sodara,
tadi kita telah bercerita panjang lebar tentang jemuran dan sempak-sempak yang
tertukar. Sekarang kita akan berbicara tentang cucian.
Ada tiga tipe
santri dalam urusan cuci baju. Tipe pertama, santri yang sangat rajin
sampai-sampai hampir setiap hari dia mencuci pakaiannya. Bahkan nggak
tanggung-tanggung pake pewangi bahkan membawa setrika dari rumah sendiri. Tipe kedua,
ada santri yang terbilang biasa-biasa saja. Santri tipe kedua ini tidak keseringan
mencuci baju. Paling minimal seminggu sekali atau tergantung dari banyaknya
koleksi baju atau pakaian di lemarinya. Semakin banyak baju atau pakaian yang
dia punya, semakin jarang dia mencuci. Tipe ketiga, santri yang sangat malas
kuadrat. Sampai-sampai ada yang tidak mencuci baju hingga dua pekan lamanya. What?
Serius? Iya, aku serius! Karena aku sendiri pernah melhatnya sendiri. Itu bukan
aku lho ya. Kalau aku sih paling nggak berada di tipe kedua. Ehehe.
Orang-orang malas
itu juga merendam baju tanpa pernah mengeksekusinya hingga tuntas. Rendaman baju
di ember mereka biarkan berhari-hari hingga bulukan dan menguarkan bau tak
sedap. Hal ini cukup mengganggu penghuni seisi asrama.
Nah, biasanya
seringkali ada cucian menumpuk di pojokan kamar mandi. Tentunya hal ini membuat
para mudir jengkel. Pada akirnya, para mudir itu berinisiatif melaporkan hal
ini kepada Aa, panggilan kami untuk pemimpin pondok.
Besok paginya,
semua baju kotor yang menumpuk di pojok kamar mandi dan rendaman yang berhari-hari
itu dibawa keluar asrama. Aa menyuruh semua santri untuk berkumpul tepat di
depan rumahnya. Rumah Aa berhadap-hadapan dengan dua asrama putra tempat kami
tinggal.
Kemudian Aa
menyuruh A Ulin sebagai mudir maju ke depan sembari membawa beberapa ember baju
kotor dan beberapa baju yang sudah direndam di kepan. Sontak bau tak sedap
menguar.
“Kalian ini
bagaimana sih. Malasnya minta ampun. Urusan cuci baju saja tidak becus.” Geram Aa.
“Sekarang,” lanjutnya sembari mengalihkan pandangan kepada A Ulin, “perlihatkan
satu persatu pakaian tersebut dan biarkan mereka mengaku.”
A ulin pun maju
ke depan dengan membawa tongkat kayu untuk mengait pakaian kotor tersebut. A
Ulin pun beraksi, tongkat diaduk-aduk ke dalam ember besar dan kain pertama
terjuntai.
“Punya siapa itu?”
“Punya Bondan!!”
seru anak-anak yang tentu saja diantara mereka akan mengenal dan mengetahui
pakaian yang biasa dipakai oleh teman mereka.
Begitulah seterusnya.
Mereka koor menyebut nama pemilik baju setiap kali satu baju-baik itu sarung,
baju koko, sempak dan teman-temannya- diangkat si tongkat kayu ajaib milik A
ulin, setiap nama baru muncul. Si empunya baju dengan malu-malu maju ke hadapan
dengan wajah yang merah padam karena menahan rasa malu. Bagaimana tidak malu,
jika kemalasan dia dipertontonkan di hadapan semua santri dan diceramahi Aa
panjang lebar. Setelah itu disoraki oleh semua teman asrama. Alamaak...malunya.
Kemudian mungkin
kamu berbisik, “santri kok gitu?’ Eit, jangan langsung menghakimi dong. Karena
aku hanya menceritakan tentang segelintir orang yang tidak bertanggung jawab
dan tidak memiliki rasa kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana sila
kedua dari pancasila. Hehe. Aku berani bertaruh kalau mayoritas santri itu
baik.
Jadi begini saja, kalau ada satu dua orang sunda
yang jelek akhlaknya misalnya, maka nggak elok dong jika kamu kemudian memukul
rata alias gebyah uyah begitu saja dengan mengatakan bahwa orang sunda itu
jahat. Ih, nggak adil tahu.

Artikel yang bagus kak, penulisannya juga bagus :D
ReplyDelete