Aku tertawa. Tapi tidak ada yang berubah. Di dalam diriku masih tetap sama. Ada ruang kesunyian yang selalu memenjarakanku--yang membuatku merasa kesepian sekaligus tercekik. Aku merasakan kekosongan. Lalu aku mencoba mendistraksi rasa kosong itu lewat hiburan video-video pendek yang mengundang tawa. Tertawa sedikit dan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja.
***
Aku tertawa. Ringan dan cepat. Tertawa yang sering kali terasa terpaksa. Tidak ada yang berubah. Dalam diriku, semuanya tetap sama. Ada ruang besar yang kosong—suatu celah sunyi yang terus memenjarakanku. Rasa sepi ini adalah pengunjung yang tak pernah pergi, tak pernah meminta izin untuk hadir. Begitu dekatnya, bahkan kadang ia terasa lebih nyata daripada dunia di luar sana.
Aku tak bisa mengabaikannya, walaupun sudah kucoba berkali-kali. Aku mulai bertanya-tanya: kenapa aku merasa terjebak dalam kesunyian yang begitu pekat? Ke mana aku harus pergi agar bisa bebas dari perasaan ini? Apa yang harus kulakukan agar bisa keluar dari penjara batin yang tak tampak ini?
Kenyataan mulai terasa tak berpihak padaku. Kadang aku merasa seperti sedang bermain-main dengan waktu. Menjalani hari-hari yang penuh kebisingan, tetapi terasa begitu kosong. Aku bekerja, berinteraksi, mengikuti arus kehidupan. Namun, ketika malam tiba, segala yang kucapai seolah tak ada artinya. Semua suara yang mengisi siang hari berubah menjadi gema yang berputar-putar di dalam kepalaku. Keheningan yang mendalam. Dan aku, kembali sendiri.
"Kesepian bukan hanya tentang fisik yang sendirian, tapi juga tentang kehilangan arah di dalam diri sendiri."
— Haruki Murakami
Aku mencoba mendistraksi rasa kosong itu. Video-video pendek TikTok yang mengundang tawa di media sosial menjadi pelarian. Setiap klik seakan memberi secercah kebahagiaan palsu. Tertawa sedikit. Tertawa seakan-akan itu cukup. Seakan bisa menutupi apa yang tidak terlihat oleh orang lain.
Di sana, aku berpura-pura. Seperti aktor yang memainkan peran yang tak ingin dipahami. Aku tertawa—bukan karena bahagia, tetapi karena aku merasa itu yang diinginkan. Aku mulai sadar bahwa tawa itu hanya semacam refleksi dari apa yang seharusnya terjadi. Sebuah usaha keras untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.
Kadang-kadang, aku berpikir bahwa tawa adalah cara untuk mempertahankan kontrol. Dalam dunia yang semakin dipenuhi tekanan, siapa yang ingin dilihat sebagai orang yang lemah? Siapa yang ingin dianggap tidak mampu mengendalikan emosinya? Namun, pada akhirnya aku sadar: bahwa aku sedang menahan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar tawa yang bisa dipaksakan.
"Kita tertawa untuk menutupi tangisan. Kita tersenyum untuk menghapus air mata. Tapi sejatinya, air mata itu tidak pernah hilang, hanya terkubur dalam tawa."
— Anonim
Ketika aku mencoba menenangkan pikiranku dengan hiburan dan tawa yang dipaksakan, dunia di luar seakan berlari semakin cepat. Semua orang terlihat seperti sedang menuju tujuan mereka, sementara aku tetap berada di tempat yang sama. Aku merasa seperti terjebak dalam gambar statis, sementara dunia terus bergerak dengan langkah yang pasti. Mereka semua punya arah, dan aku? Aku hanya bergerak mengikuti arus, tanpa tahu ke mana tujuannya.
Ketika berbicara tentang dunia, kita sering kali dihadapkan pada harapan-harapan yang tak terucapkan. Orang-orang menganggap bahwa kita harus selalu bahagia, selalu terlihat baik-baik saja, dan terus maju dengan keyakinan yang kuat. Tapi bagaimana jika di dalam diri kita, semuanya terasa ragu dan kosong? Apa yang harus kita lakukan ketika dunia menuntut kita untuk melangkah, sementara kaki kita terasa kaku dan rapuh?
Di sini aku menemukan kenyataan pahit: dunia tidak selalu mengerti. Kita tidak bisa selalu menjelaskan perasaan yang kita simpan dalam hati. Kita tidak bisa selalu berbicara tentang kesepian yang menyergap di saat-saat tertentu. Dan itu adalah bagian yang paling menantang—bahwa terkadang, kita hanya harus diam dan memendam semuanya.
"Kadang kita tidak bisa berbicara tentang luka, hanya bisa menyembuhkannya dengan cara kita sendiri."
— Anonim
***
Meski kesepian itu terasa seperti teman yang setia, aku mulai belajar untuk menerima keberadaannya. Mungkin, kesunyian bukanlah sesuatu yang harus kutakuti atau hindari. Mungkin itu adalah ruang yang bisa mengajarkan aku untuk lebih mengenal diriku. Ruang untuk berhenti sejenak dan merenung.
Aku mulai mencoba untuk berhenti dari kebiasaan mendistraksi diriku dengan hiburan yang tidak membawa perubahan. Aku memberi ruang bagi kesunyian untuk mengajarkan aku lebih banyak tentang diriku sendiri. Dan meskipun sulit, aku belajar untuk merasakan keheningan dengan penuh perhatian. Ternyata, dalam diam itu, aku mulai menemukan jawaban-jawaban yang selama ini terabaikan.
"Dalam keheningan, kita bukan hanya mendengar suara yang hilang, tetapi juga menemukan kembali bagian dari diri kita yang tersembunyi."
— Eckhart Tolle
***
Kini aku mulai memahami sesuatu yang lebih dalam. Tawa yang sejati bukanlah tawa yang datang dari luar, dari apa yang terlihat oleh orang lain, tetapi tawa yang lahir dari dalam hati yang telah berdamai dengan dirinya sendiri. Tawa itu bukan sekadar pelarian dari kesepian, tetapi bentuk penerimaan terhadap segala yang ada dalam diri kita—termasuk rasa takut, cemas, dan kesedihan.
Aku percaya bahwa kita semua berhak untuk merasa sepenuhnya—termasuk merasakan kesepian yang datang begitu mendalam. Tidak ada yang salah dengan itu. Setiap tawa yang lahir dari ketulusan adalah langkah kecil menuju pemulihan. Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja. Yang penting adalah kita terus berjalan, meskipun kadang-kadang langkah itu terasa berat.
"Tertawa bukan tentang menutupi kesedihan, tetapi menerima bahwa hidup ini penuh dengan kebahagiaan dan kepedihan yang saling mengisi."
— Anonim
***
No comments:
Post a Comment