12 Apr 2020

Cinta Monyet Ala Santri


#diari_santri
[2] CINTA MONYET ALA SANTRI
PARA pujangga bilang hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga. Itu sih kata penyanyi dangdut dalam senandungnya yang entah benar atau nggak. Yang jelas, aku sepakat sih bahwa kita memang butuh yang namanya cinta. Nah, ngobrolin tentang cinta tentunya universal lho ya, nggak melulu tentang cinta-cintaan antara lawan jenis yang dimabuk asmara. Tapi di kesempatan kali ini aku mau ngobrolin tentang tema cinta-cintaan –well, lebih tepatnya cinta monyet- antara santri laki dan santri perempuan. Mungkin kejadian cinta monyet ini nggak bakalan pernah terjadi di pondok pesantren yang dipisah antara pondok laki dan perempuan. Tapi tidak sedikit juga lho pondok pesantren yang di dalamnya ada santri perempuan dan laki-laki yang belajar di kelas yang sama. Hanya saja kelas dibatasi oleh tabir antara santri laki-laki dan perempuan. Salahsatunya adalah pondok pesantren tempat penulis mondok. Makanya, kalau urusan ngobrolin tentang cinta monyet, aku punya segudang cerita. Mau tau? Cekidot deh. Seperti biasa, aku mau menjabarkannya –ceile, kayak mau presentasi aja- dengan beberapa point.
Pertama, fenomena kakak-adek-an
Jadi begini, ada seorang santri ikhwan yang konon katanya menganggap seorang santri perempuan menjadi adik angkatnya atau sebaliknya. Nah, bisa ditebak, tersebab pengakuan kakak adik angkat inilah mereka bisa bebas berinteraksi satu sama lain dan bisa mengobrol sepuasnya.
Ketika ada yang protes, maka dia dengan seenak udel bilang, “lho, apa salahnya, kita kan Cuma kakak adek-an.”
Aku sih hanya bisa tepok jidat. Lha iya, kakak adek-an. Kakak jadi-jadian dan adek jadi-jadian. Tetep aja bukan mahram bahlul. Jatuhnya tetep aja khalwat.
“Etapi, aku kan cuman nganggep dia tuh adik, nggak lebih dari itu. Dia juga sama kok, nganggep aku kakak.”
Hmm, urusan hati mana ada yang tahu selain kamu dan dia. Yo wis lah, kalau sudah debat tentang kakak adek-an, kita hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tapi syukur alhamdulillah pada akhirnya Aa Makbul bisa mengendus sindikat nggak bener ini ketika ada seorang mudirah akhwat yang melaporkan interaksi terlarang antara ‘si kakak dan si adik jadi-jadian’ di belakang gedung pondok. Alhasil, si pelaku berhasil diinterogasi dan dihukum di tengah khalayak ramai. Nah kalau udah gini kan jadi tontonan gratis. Suka miris dan kasihan juga sih. Hehe
Pasti kalian penasaran kan, apa sih hukuman pelanggaran cinta terlarang di penjara suci. Cukup mengerikan guys.
Pertama, kamu akan dijemur selama tiga jam lamanya sembari dikalungin kertas karton bertuliskan, ‘Aku menyesal telah pacaran’, plus menjadi tontonan santiwan dan santriwati dari loteng asrama. Duh, nggak kebayang deh gimana malunya tuh terdakwa. Kalau penulis sendiri sih alhamdulillah nggak pernah ngalamin kejadian macam ini. Dulu tuh aku masih polos, nggak kenal namanya cinta-cintaan. Hahay.
Kedua, denda 20.000 rupiah juga harus dibayar tunai setelah aktifitas pacaran mereka terendus oleh para detektif-detektif syariat alias para jasus yang bisa mengendus setiap pelanggaran yang dilakukan oleh santri bandel.
Masih adakah hukuman yang lain untuk mereka yang coba-coba ngerasain asyiknya cinta monyet di dunia pesantren? Ada satu lagi hukuman paling horror. Apa itu.
Ketiga, surat cinta yang dibaca pake toa? Serius aku tuh, ini kayaknya hukuman paling menguji nyali bagi para pelanggar.
Konon, ada seorang ikhwan yang mengirim surat cinta kepada akhwat yang dia suka. (duh, jadi inget jaman dulu ya. Jaman dimana belum ada email, medsos dan meseenger untuk berkirim pesan). Lha iya, kan di pesantren emang nggak boleh bawa gadget. Tak ada cara lain selain dengan menggunakan sepucuk surat untuk mengungkapkan cinta di hati yang berbunga-bunga sama si doi.
Singkat cerita, surat tersebut ditemukan oleh para jasus[1] pondok dan langsung melaporkannya kepada Aa. Aku sih 100% yakin bahwa surat itu nggak mungkin disimpan di sembarang tempat. Si pelanggar sudah pasti akan sangat ekstra hati-hati dengan menyelipkan surat itu di tumpukan bawah buku atau dimana pun tempat paling aman yang tidak mungkin diendus oleh jasus. Tapi mereka nggak pernah sadar sih bahwa kalau si jasus itu penciumannya tajam banget cuy. Mereka bahkan punya anak buah yang bisa memonitor setiap aktifitas santri. Dan santri-santri itu tentu saja nggak pernah ada yang tahu siapa diantara teman-temannya yang menjadi mata-mata amatiran. Biasanya sih yang menjadi mata-mata itu adalah mereka yang juga melanggar dan kemudian untuk ‘menghapus’ dosa mereka, mereka harus memata-matai sesama temannya sendiri dan melaporkan setiap pelanggaran yang mereka lihat. Wuhuuy...
Lho, kok aku jadi ngalor ngidul ya. Oke, kita kembali kepada surat cinta yang malang tersebut.
Alkisah, di suatu malam yang damai, tepatnya selepas melaksanakan shalat isya berjamaah, Aa berdiri di hadapan ratusan santri perempuan dan laki-laki yang dipisahkan oleh tabir yang terpentang di tengah-tengah masjid. Matanya yang bijaksana nan berwibawa menyapu ratusan santri dan diam beberapa saat lamanya. Kalau aku sih udah punya firasat, jika Aa mengumpulkan semua santri selepas isya sembari menyapu kami dengan tatapannya, itu artinya ada perkara besar yang akan disampaikan. Eng ing eng, firasat saya benar adanya.
Aa berdehem dua kali. Kemudian setelah itu menceramahi kami tentang aturan pondok dan tentang haramnya interaksi lawan jenis yang tidak ada hubungan mahrom plus mewanti-wanti tentang bahaya khalwat. Nah, kalau sudah ceramah tentang mahrom dan khalwat, sudah pasti kami semua sudah menduga ada kasus cinta monyet yang terungkat, baik di santri ikhwan atau akhwat.
“Mardiah! Mana suratnya!” seru Aa.
Seorang akhwat senior yang menjadi mudirah segera maju ke depan dan menyerahkan surat cinta yang berhasil terbongkar di pihak akhwat.
“Lusi! Maju ke depan!”
Dan pada akhirnya mulut kami hanya monyong membentuk huruf O. Oh, jadi pelanggarnya si Lusi. Sebenarnya Lusi itu bukan nama sebenarnya. Pertama, penulis lupa nama si pelanggar, kedua bosan juga sih pake inisial ‘sebut saja namanya mawar.’ Ahaha. Kayak berita di koran aja.
“Siapa yang mengirim surat ini ke kamu, Lusi?” tanya Aa dengan suara baritonnya yang tentu saja membuat si Lusi semakin keder dan gentar.
“Jawab, Lusi!”
Well, sebenarnya sih tentu sudah ada Ttd pengirim di lembar paling bawah, cuman Aa sengaja bertanya pada lusi untuk mempermalukan si pelanggar dari santri laki-laki sehingga ada efek jera. Lha, kebangetan kalau masih melanggar setelah dipermalukan kan?
“Satria, A!”
Ratusan pasang mata santri ikhwan kini beralih kepada sosok yang duduk di pojokan. Sosok yang memiliki nama Satria. Lihatlah, wajahnya merah padam bukan alang kepalang bak pencuri ayam kampung yang ketahuan oleh hansip desa.
“Satria, maju ke depan!” seru Aa, masih dengan suara baritonnya.
Si Satria maju dengan tubuh gemetar dan pandangan yang mendunduk ditengah pandangan ratusan pasang mata dan bisik-bisik yang mulai terdengar bak dengungan lebah.
“Benar kamu yang menulis surat ini?”
“I-iya A.”
“Sekarang bacakan suratmu ini.” Pinta Aa, kemudian Aa mengalihkan pandangannya ke A Ulin yang ada di ambang pintu, “Ambilkan microfon.”
Wajah si Satria semakin merah padam. Tentu saja dia sudah paham apa yang akan diminta darinya. MEMBACAKAN SURAT CINTANYA PAKAI MICROFON DI HADAPAN RATUSA SANTRI. Aje gilee...
A ulin menghidupkan microfon dan menyerahkannya kepada Aa. Aa memberikan surat cinta dari Mardiah kepada Satria plus microfon di tangan Satria yang gemetar dan keringetan.
“Baca Sekarang.”
Masih dengan wajah yang merah padam dan suara yang gemetar setengah berbisik, Satria mulai membaca surat cintanya. Meskipun berbisik, suara itu cukup jelas terdengar atas jasa si microfon yang sengaja didekatkan oleh Aa ke hadapan Satria.
Salam sayang untuk Lusiku tercinta
Gerr!!! Kalimat pembuka itu berhasil membuat mulut para santri tertawa terpingkal-pingkal. Gombalan maut di kalimat pembuka saja sudah keluar, bagaimana isi suratnya. Pasti lebih seru untuk disimak. Sementara wajah si Satria semakin merah padam bak udang bakar. Entah dengan wajah si Lusi, karena kami para santri ikhwan tidak bisa melihatnya dari balik tabir. Kemungkinan dia mengalami hal yang sama.
Lusi, selama ini aku selalu gundah gulana memikirkanmu. Kamu bagai rembulan yang selalu aku nantikan di malam purnama.
Grr!! Singkat kata, kalimat demi kalimat yang dibacakan, selalu mengundang tawa dan semua itu berakhir ketika Satria menuntaskan kalimat terakhir dari surat cintanya. Seakan-akan siksaan paling mengerikan telah diangkat dari bahu Satria. Tapi tetap saja rasa malu itu masih tetap bertahan.
Tiba-tiba seorang santri dari tingkat tsanawiyah bernama Roni mengacungkan tangan.
“Iya Roni, ada apa?” tanya Aa demi melihat Roni mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Anak ini memang dikenal pemberani dan kadang santri-santri yang punya trakc record buruk karena kebandelannya sering dibuat mangkel. Roni dengan berani sering mengungkap setiap pelanggaran teman-temannya meski dia sendiri bukan seorang jasus.
“Sebenarnya surat cinta kak Satria bukan dia yang nulis.”
“Terus Siapa?” tanya Aa dengan tatapan penuh tanda tanya. Semua santri pun ikut-ikutan pada melongok dan menunggu satu nama lagi disebut sebagai pesakitan. Walaah. Pantes saja surat Satria sangat puitis. Kami-kami sih dari awal merasa heran, sejak kapan si Satria bisa nyastra kayak gitu.
“Kak Abdullah yang bikinnya. Seminggu yang lalu Roni lihat Kak Satria minta kak Abdullah buat bikinin surat cinta.”
Hmm, jalan cerita semakin berliku dan asyik untuk disimak, kawan!
Kali ini tentu saja kalian bisa menebak apa yang akan Aa lakukan untuk si Abdullah si fasilitator cinta monyet antara dua orang santri yang dilanda asmara. Kemudian Aa berceramah tentang buruknya orang-orang yang mendiamkan keburukan bahkan membantu orang lain dalam bermaksiat kepada Allah. Kata Aa, hukumnya sama dengan si pelaku maksiat itu sendiri.
Dan usut punya usut, si Abdullah mau saja membuatkan surat cinta si Satria dengan imbalan berupa uang. Walah...cerdas juga naluri bisnis Abdullah ini ya.
Terakhir, Aa memberikan bonus hukuman berupa jilidan batang rotan di betis Satria, Lusi dan tentu saja termasuk betis Abdullah, masing-masing 20 jilidan.


[1] Jasus: mata-mata

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment