#diari_santri
[2] CINTA MONYET
ALA SANTRI
PARA pujangga
bilang hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga. Itu sih kata penyanyi
dangdut dalam senandungnya yang entah benar atau nggak. Yang jelas, aku sepakat
sih bahwa kita memang butuh yang namanya cinta. Nah, ngobrolin tentang cinta
tentunya universal lho ya, nggak melulu tentang cinta-cintaan antara lawan
jenis yang dimabuk asmara. Tapi di kesempatan kali ini aku mau ngobrolin
tentang tema cinta-cintaan –well, lebih tepatnya cinta monyet- antara santri
laki dan santri perempuan. Mungkin kejadian cinta monyet ini nggak bakalan
pernah terjadi di pondok pesantren yang dipisah antara pondok laki dan
perempuan. Tapi tidak sedikit juga lho pondok pesantren yang di dalamnya ada
santri perempuan dan laki-laki yang belajar di kelas yang sama. Hanya saja
kelas dibatasi oleh tabir antara santri laki-laki dan perempuan. Salahsatunya
adalah pondok pesantren tempat penulis mondok. Makanya, kalau urusan ngobrolin
tentang cinta monyet, aku punya segudang cerita. Mau tau? Cekidot deh. Seperti
biasa, aku mau menjabarkannya –ceile, kayak mau presentasi aja- dengan beberapa
point.
Pertama, fenomena
kakak-adek-an
Jadi begini, ada
seorang santri ikhwan yang konon katanya menganggap seorang santri perempuan
menjadi adik angkatnya atau sebaliknya. Nah, bisa ditebak, tersebab pengakuan
kakak adik angkat inilah mereka bisa bebas berinteraksi satu sama lain dan bisa
mengobrol sepuasnya.
Ketika ada yang
protes, maka dia dengan seenak udel bilang, “lho, apa salahnya, kita kan Cuma
kakak adek-an.”
Aku sih hanya
bisa tepok jidat. Lha iya, kakak adek-an. Kakak jadi-jadian dan adek jadi-jadian.
Tetep aja bukan mahram bahlul. Jatuhnya tetep aja khalwat.
“Etapi, aku kan
cuman nganggep dia tuh adik, nggak lebih dari itu. Dia juga sama kok, nganggep
aku kakak.”
Hmm, urusan hati
mana ada yang tahu selain kamu dan dia. Yo wis lah, kalau sudah debat tentang
kakak adek-an, kita hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tapi syukur
alhamdulillah pada akhirnya Aa Makbul bisa mengendus sindikat nggak bener ini
ketika ada seorang mudirah akhwat yang melaporkan interaksi terlarang antara
‘si kakak dan si adik jadi-jadian’ di belakang gedung pondok. Alhasil, si
pelaku berhasil diinterogasi dan dihukum di tengah khalayak ramai. Nah kalau
udah gini kan jadi tontonan gratis. Suka miris dan kasihan juga sih. Hehe
Pasti kalian
penasaran kan, apa sih hukuman pelanggaran cinta terlarang di penjara suci.
Cukup mengerikan guys.
Pertama, kamu
akan dijemur selama tiga jam lamanya sembari dikalungin kertas karton
bertuliskan, ‘Aku menyesal telah pacaran’, plus menjadi tontonan santiwan dan
santriwati dari loteng asrama. Duh, nggak kebayang deh gimana malunya tuh
terdakwa. Kalau penulis sendiri sih alhamdulillah nggak pernah ngalamin
kejadian macam ini. Dulu tuh aku masih polos, nggak kenal namanya
cinta-cintaan. Hahay.
Kedua, denda
20.000 rupiah juga harus dibayar tunai setelah aktifitas pacaran mereka
terendus oleh para detektif-detektif syariat alias para jasus yang bisa
mengendus setiap pelanggaran yang dilakukan oleh santri bandel.
Masih adakah
hukuman yang lain untuk mereka yang coba-coba ngerasain asyiknya cinta monyet
di dunia pesantren? Ada satu lagi hukuman paling horror. Apa itu.
Ketiga, surat
cinta yang dibaca pake toa? Serius aku tuh, ini kayaknya hukuman paling menguji
nyali bagi para pelanggar.
Konon, ada
seorang ikhwan yang mengirim surat cinta kepada akhwat yang dia suka. (duh,
jadi inget jaman dulu ya. Jaman dimana belum ada email, medsos dan meseenger
untuk berkirim pesan). Lha iya, kan di pesantren emang nggak boleh bawa gadget.
Tak ada cara lain selain dengan menggunakan sepucuk surat untuk mengungkapkan
cinta di hati yang berbunga-bunga sama si doi.
Singkat cerita,
surat tersebut ditemukan oleh para jasus[1] pondok
dan langsung melaporkannya kepada Aa. Aku sih 100% yakin bahwa surat itu nggak
mungkin disimpan di sembarang tempat. Si pelanggar sudah pasti akan sangat
ekstra hati-hati dengan menyelipkan surat itu di tumpukan bawah buku atau
dimana pun tempat paling aman yang tidak mungkin diendus oleh jasus. Tapi
mereka nggak pernah sadar sih bahwa kalau si jasus itu penciumannya tajam
banget cuy. Mereka bahkan punya anak buah yang bisa memonitor setiap aktifitas
santri. Dan santri-santri itu tentu saja nggak pernah ada yang tahu siapa
diantara teman-temannya yang menjadi mata-mata amatiran. Biasanya sih yang
menjadi mata-mata itu adalah mereka yang juga melanggar dan kemudian untuk
‘menghapus’ dosa mereka, mereka harus memata-matai sesama temannya sendiri dan
melaporkan setiap pelanggaran yang mereka lihat. Wuhuuy...
Lho, kok aku jadi
ngalor ngidul ya. Oke, kita kembali kepada surat cinta yang malang tersebut.
Alkisah, di suatu
malam yang damai, tepatnya selepas melaksanakan shalat isya berjamaah, Aa
berdiri di hadapan ratusan santri perempuan dan laki-laki yang dipisahkan oleh
tabir yang terpentang di tengah-tengah masjid. Matanya yang bijaksana nan
berwibawa menyapu ratusan santri dan diam beberapa saat lamanya. Kalau aku sih
udah punya firasat, jika Aa mengumpulkan semua santri selepas isya sembari menyapu
kami dengan tatapannya, itu artinya ada perkara besar yang akan disampaikan.
Eng ing eng, firasat saya benar adanya.
Aa berdehem dua
kali. Kemudian setelah itu menceramahi kami tentang aturan pondok dan tentang
haramnya interaksi lawan jenis yang tidak ada hubungan mahrom plus
mewanti-wanti tentang bahaya khalwat. Nah, kalau sudah ceramah tentang mahrom
dan khalwat, sudah pasti kami semua sudah menduga ada kasus cinta monyet yang
terungkat, baik di santri ikhwan atau akhwat.
“Mardiah! Mana
suratnya!” seru Aa.
Seorang akhwat
senior yang menjadi mudirah segera maju ke depan dan menyerahkan surat cinta
yang berhasil terbongkar di pihak akhwat.
“Lusi! Maju ke
depan!”
Dan pada akhirnya
mulut kami hanya monyong membentuk huruf O. Oh, jadi pelanggarnya si Lusi.
Sebenarnya Lusi itu bukan nama sebenarnya. Pertama, penulis lupa nama si
pelanggar, kedua bosan juga sih pake inisial ‘sebut saja namanya mawar.’ Ahaha.
Kayak berita di koran aja.
“Siapa yang
mengirim surat ini ke kamu, Lusi?” tanya Aa dengan suara baritonnya yang tentu
saja membuat si Lusi semakin keder dan gentar.
“Jawab, Lusi!”
Well, sebenarnya
sih tentu sudah ada Ttd pengirim di lembar paling bawah, cuman Aa sengaja
bertanya pada lusi untuk mempermalukan si pelanggar dari santri laki-laki
sehingga ada efek jera. Lha, kebangetan kalau masih melanggar setelah
dipermalukan kan?
“Satria, A!”
Ratusan pasang
mata santri ikhwan kini beralih kepada sosok yang duduk di pojokan. Sosok yang
memiliki nama Satria. Lihatlah, wajahnya merah padam bukan alang kepalang bak
pencuri ayam kampung yang ketahuan oleh hansip desa.
“Satria, maju ke
depan!” seru Aa, masih dengan suara baritonnya.
Si Satria maju
dengan tubuh gemetar dan pandangan yang mendunduk ditengah pandangan ratusan
pasang mata dan bisik-bisik yang mulai terdengar bak dengungan lebah.
“Benar kamu yang
menulis surat ini?”
“I-iya A.”
“Sekarang bacakan
suratmu ini.” Pinta Aa, kemudian Aa mengalihkan pandangannya ke A Ulin yang ada
di ambang pintu, “Ambilkan microfon.”
Wajah si Satria
semakin merah padam. Tentu saja dia sudah paham apa yang akan diminta darinya.
MEMBACAKAN SURAT CINTANYA PAKAI MICROFON DI HADAPAN RATUSA SANTRI. Aje gilee...
A ulin
menghidupkan microfon dan menyerahkannya kepada Aa. Aa memberikan surat cinta
dari Mardiah kepada Satria plus microfon di tangan Satria yang gemetar dan
keringetan.
“Baca Sekarang.”
Masih dengan
wajah yang merah padam dan suara yang gemetar setengah berbisik, Satria mulai
membaca surat cintanya. Meskipun berbisik, suara itu cukup jelas terdengar atas
jasa si microfon yang sengaja didekatkan oleh Aa ke hadapan Satria.
Salam sayang
untuk Lusiku tercinta
Gerr!!! Kalimat
pembuka itu berhasil membuat mulut para santri tertawa terpingkal-pingkal.
Gombalan maut di kalimat pembuka saja sudah keluar, bagaimana isi suratnya.
Pasti lebih seru untuk disimak. Sementara wajah si Satria semakin merah padam
bak udang bakar. Entah dengan wajah si Lusi, karena kami para santri ikhwan
tidak bisa melihatnya dari balik tabir. Kemungkinan dia mengalami hal yang
sama.
Lusi, selama ini
aku selalu gundah gulana memikirkanmu. Kamu bagai rembulan yang selalu aku
nantikan di malam purnama.
Grr!! Singkat
kata, kalimat demi kalimat yang dibacakan, selalu mengundang tawa dan semua itu
berakhir ketika Satria menuntaskan kalimat terakhir dari surat cintanya. Seakan-akan
siksaan paling mengerikan telah diangkat dari bahu Satria. Tapi tetap saja rasa
malu itu masih tetap bertahan.
Tiba-tiba seorang
santri dari tingkat tsanawiyah bernama Roni mengacungkan tangan.
“Iya Roni, ada
apa?” tanya Aa demi melihat Roni mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Anak ini
memang dikenal pemberani dan kadang santri-santri yang punya trakc record buruk
karena kebandelannya sering dibuat mangkel. Roni dengan berani sering
mengungkap setiap pelanggaran teman-temannya meski dia sendiri bukan seorang
jasus.
“Sebenarnya surat
cinta kak Satria bukan dia yang nulis.”
“Terus Siapa?”
tanya Aa dengan tatapan penuh tanda tanya. Semua santri pun ikut-ikutan pada
melongok dan menunggu satu nama lagi disebut sebagai pesakitan. Walaah. Pantes saja
surat Satria sangat puitis. Kami-kami sih dari awal merasa heran, sejak kapan
si Satria bisa nyastra kayak gitu.
“Kak Abdullah
yang bikinnya. Seminggu yang lalu Roni lihat Kak Satria minta kak Abdullah buat
bikinin surat cinta.”
Hmm, jalan cerita
semakin berliku dan asyik untuk disimak, kawan!
Kali ini tentu
saja kalian bisa menebak apa yang akan Aa lakukan untuk si Abdullah si
fasilitator cinta monyet antara dua orang santri yang dilanda asmara. Kemudian Aa
berceramah tentang buruknya orang-orang yang mendiamkan keburukan bahkan
membantu orang lain dalam bermaksiat kepada Allah. Kata Aa, hukumnya sama
dengan si pelaku maksiat itu sendiri.
Dan usut punya
usut, si Abdullah mau saja membuatkan surat cinta si Satria dengan imbalan
berupa uang. Walah...cerdas juga naluri bisnis Abdullah ini ya.
Terakhir, Aa
memberikan bonus hukuman berupa jilidan batang rotan di betis Satria, Lusi dan
tentu saja termasuk betis Abdullah, masing-masing 20 jilidan.

No comments:
Post a Comment