Setiap saat kita tenggelam dalam kenikmatan
yang tiada batats. Setiap saat kita mengecap manisnya semua anugerah Allah
subhanahu wata'ala yang telah diberikan secara Cuma-Cuma. Betapa kenikmatan itu
telah menjadi nafas kita lewat oksigen, kekuatan dan kesehatan kita lewat
makanan dan minuman dan kehormatan lewat pakaian dan tempat tinggal.
Di setiap tarikan nafas kita ada nikmat yang
layak untuk kita syukuri. Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali ada
nikmat yang melingkupi kehidupan kita. Maka benarlah apa yang telah Allah
subhanahu wata'ala firmankan,
“Maka
nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia)
dustakan?”
“Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)
Ketika rasa syukur itu telah hilang dari hati
manusia, maka secara perlahan hati itu akan terpalingkan dari Allah subhanahu
wata'ala yang telah memberinya nikmat. Ketika hati sudah terpaling dari Allah,
maka setan datang dengan dagangannnya yang menggiurkan berupa kemaksiatan. Dan
setelah itu setan akan menawarkan satu persatu
barang dagangannya sehingga manusia menjadi ketagihan. Disinilah petaka
itu dimulai. Manusia sudah tercebur dalam kubangan dosa yang membinasakan.
Sejatinya, kenikmatan yang ditawarkan mengandung racun yang membinasakan.
Ibnul Qayyim Rahimahullah menjabarkan beberapa
dampak buruk dari kemaksiatan. Beberapa diantaranya adalah
Kemaksiatan menghalangi cahaya ilmu dan
kebenaran masuk ke hati seorang hamba
Dikisahkan bahwa Imam Syafi’i Rahimahullah
belajar kepada Imam Malik Rahimahullah. Imam Malik terkagum-kagum dengan
kecerdasannya sehingga dia berpesan kepada muridnya, “Aku yakin bahwa Alah
subhanahu wata'ala telah memasukan cahaya ilmu ke hatimu. Maka janganlah engkau
padamkan cahaya ilmu itu dengan kemaksiatan.”
Di kesempatan yang lain, Imam Syafi’i pernah
menuturkan bahwa dia pernah secara tidak sengaja melihat betis perempuan yang
tersingkap. Dan saat itulah beberapa hafalannya lenyap dari benaknya. Kemudian
Imam Syafi’i mengingat nasihat bijak gurunya, Waki Rahimahullah, “Ketahuilah
bahwa ilmu itu keutamaan dan keutamaan tidak akan diberikan kepada ahli
maksiat.”
Saya pernah mendengar tentang seorang siswa
yang memiliki prestasi yang luar biasa di sekolahnya. Nilainya selalu nyaris
sempurna. Dan rahasia dari semua itu adalah kedekatannya dengan al-quran dengan
cara menghafal dan memahaminya. Dari sini saya memahami bahwa ada relasi yang
kuat antara keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan dan kejernihan berpikir
seseorang. Semakin beriman seseorang, maka dia akan menjelma menjadi manusia
yang bijaksana dan cerdik.
Betapa kita telah mengetahui bahwa masa
keemasan islam zaman dahulu telah melahirkan manusia-manusia jenius multitalent
yang kapabel dalam segala bidang. Kita mengenal al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu
Batutah, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hebatnya, dari
peradaban islamlah bangsa Eropa mendapatkan masa keemasannya. Karena memang
pada saat itu Eropa berada di lembah
kegelapan dan kebodohan, sementara peradaban islam berada dalam masa keeemasan.
Sejarah mencatat bahwa kota metropolitan
pertama di dunia dengan sistem irigasi dan pelayanan publinya adalah Cordoba di
Andalusia (yang saat itu berada di bawah kekuasaan islam). Kemudian orang-orang
mulai berbondong-bondong ke Andalusia untuk belajar. Sampai-sampai pakaian para
syaikh menjadi kebanggaan para mahasiswa dari luar Andalusia. Dari sanalah asal
usul kenapa toga mirip dengan jubah yang biasa dikenakan syaih.
Jika selama ini kita merasa bahwa kita
memiliki banyak kelemahan dalam belajar, lambat berpikir dan tidak bisa fokus
ketika belajar, maka alangkah baiknya melihat bagaimana kondisi hati kita.
Apakah hati kita terpaut kepada Allah subhanahu wata'ala atau jauh dari-Nya
karena kemaksiatan yang kita lakukan. Jika memang itu yang terjadi, segera
perbaiki keimanan dan ketakwaan sehingga ilmu-Nya mengisi hati kita. Jangan
lupa untuk berdoa untuk diberi hati yang lapang untuk menerima ilmu yang akan
Dia limpahkan.
Rabbi zidni ilma, warzuqni fahma. Ya Allah,
tambahkan kepadaku ilmu dan berikan kepadaku pemahaman.
Maksiat menyebabkan seorang hamba terhalang
dari rezeki dan urusannya dipersulit
Jika selama ini kita merasa urusan hidup kita
semakin pelik dan mengenaskan, maka itu bisa jadi ujian, bisa juga sebagai
hukuman dari Allah subhanahu wata'ala karena kemaksiatan kita. Kita merasa
putus asa karena tidak menemukan jalan keluar dari masalah kita. Kita tidak
tahu harus melakukan apa lagi. Disanalah kita harus segera kembali kepada Allah
subhanahu wata'ala sehingga Allah akan memberi kita jalan untuk keluar dari
segala kepedihan dan penderitaan yang mendera.
Ingatlah firman Allah subhanahu wata'ala,
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan
memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Kemaksiatan akan melemahkan jiwa dan raga
Hamba yang selalu bermaksiat kepada Rabbnya
sama saja telah menjemput kehancuran hidupnya. Hatinya akan lemah dan perlahan
cahaya iman meredup dan lenyap. Jiwanya akan melemah sehingga dia tidak lagi
membedakan kebaikan dan keburukan. Bahkan raganya pun ikut lemah. Mungkin
sepintar raganya kuat dan segar bugar, tapi sejatinya tidak ada kekuatan yang
bisa membuat orang lain takut. Orang pendosa adalah selemah-lemahnya makhluk
karena dia telah lepas dari perlindungan Allah subhanahu wata'ala.
Ingatlah bagaimana Umar bin Khatab Radiyallahu
anhu berwasiat kepada pasukan perang di medan yarmuk,
“Aku memerintahkanmu dan seluruh anggota
pasukanmu untuk berhati-hati terhadap perbuatan maksiat, lebih dari hati-hati
kalian terhadap musuhmu. Karena maksiat yang kalian perbuat lebih aku
khawatirkan daripada kekuatan pasukan musuh.
Allah Subhanahu wata'ala memberikan kemenangan kepada pasukan Islam
disebabkan musuh-musuhnya yang berbuat kemaksiatab. Kalau bukan karena itu,
niscaya pasukan Islam tidak akan berdaya menghadapi pasukan musuh. Karena
jumlah pasukan Islam tak seberapa dibanding jumlah pasukan musuh; persenjataan
pasukan Islam pun tak ada apa-apanya dibandingkan persenjataan musuh. Sehingga
seandainya pasukan Islam dan pasukan musuh sama-sama berbuat maksiat, maka
pasukan musuh akan menang karena mereka lebih kuat dari segi jumlah dan
senjata. Jika pasukan Islam tidak berbuat maksiat, maka pasukan Islam akan
menang, karena keshalihan mereka, bukan karena kekuatan mereka.”
Kemaksiatan akan memperpendek umur dan
menghilangkan keberkahan dari seorang hamba
Kehidupan yang hakiki bagi seorang hamba
adalah hidupnya hati. Sementara orang yang hatinya mati, dia berjalan di muka
bumi dipandang sebagai orang mati.
Hakikatnya dia adalah bangkai yang berjalan. Oleh karena itulah Allah
subhanahu wata'ala menyatakan di dalam firman-Nya, “Mereka itu adalah
orang-orang mati yang tidak hidup.” (An-Nahl:
21)
Satu kemaksiatan akan mengundang kemaksiatan
yang lain
Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat
bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian
salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam
kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain.
Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata,
‘Lakukan pula aku.’ Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka
kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi
berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya.
Demikian pula kejelekan. Ketika seorang melakukan kejelekan, maka kejelekan
yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’ Sehingga dia melakukan kemaksiatan
yang kedua. Dan kemaksiatan yang ketiga memanggilnya. Pada akhirnya, keburukan
dan kemaksiatan itu akan menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan dari dirinya.
Bahkan tidak malu lagi untuk menampakan kemaksiatannya. Lebih parah lagi, dia
bangga dengan melakukan kemaksiatan tersebut dan mengajak orang lain untuk
melakukannya.
Rasulullah shallallahu Alaihi wassalam
bersabda,
“Setiap
umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa
dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah
seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek
yang dilakukannya tersebut namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain,
“Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia
telah bermalam dalam keadaan Tuhannya menutupi kejelekan yang diperbuatnya.
Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi
dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Setiap kemaksiatan yang dilakukan di muka bumi
ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah
subhanahu wata'ala,
Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth. Mengambil
hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan
menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib. Berlaku sombong
di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun dan Namruz.
Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya. Bila Allah telah menghinakan seorang hamba
maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya. Hal ini sebagaimana yang
telah Allah subhanahu wata'ala firmankan, “Siapa yang dihinakan Allah niscaya
tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj:
18)
Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia
termasuk orang-orang yang lalai. Inilah yang telah
Alllah subhanahu wata'ala peringatkan kepada kita, “Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
No comments:
Post a Comment