Betapa banyak orang yang menginginkan
kebebasan dengan lari menjauhi Allah subhanahu wataala. Dia menyangka bahwa
Allah subhanahu wata'ala akan mengekangnya dengan aturan-aturan di dalam kitab
suci yang harus dia ikuti. Dia menyangka bahwa dengan berlari dari Allah
subhanahu wata'ala jiwanya akan merdeka seutuhnya. Dia berharap mendapatkan
ketenangan, harapan dan masa depan yang baik dengan sedikit melenceng dari
jalur yang harus dia lalui. Atau paling tidak, dia tidak berani menanggalkan
agama dan keimanan, tapi dia beranggapan bahwa agama hanya sebagai jaminan
bahwa dia tidak kekal di neraka, bukan sebagai jalan hidup yang harus dia
jalani 100%. Padahal, siapa yang sanggup menghuni neraka walau hanya sedetik.
Naudzbulillah.
Dia tidak sadar dan tidak paham bahwa justru
kemerdekaan sejati adalah ketika kita dekat dengan Allah subhanahu wata'ala dan
mencintainya. Semakin jauh kita dari-Nya, maka semakin jiwa kita menjadi budak
sehina-hinanya. Menjadi budak dunia, jabatan, wanita, uang, obsesi dan semua
yang selama ini manusia harapkan untuk mendapatkannya. Sementara ketika Tuhan
ada di hatinya, maka dia tidak lagi menjadi budak harta dunia.
Maka benarlah apa yang dipanjatkan oleh Abu
Bakar Radiyallahu anhu ketika berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala, “Ya
Allah, jadikan harta itu di tanganku, bukan di hatiku.” Ya, karena hati hanya
untuk Allah subhanahu wata'ala. Manusia diberi dua pilihan, meletakan antara
Allah atau dunia di hatinya. Jika dia mementingkan dunia, maka dia tidak akan
mendapatkan ketenangan dengan mendapatkan cinta Allah. Tapi ketika dia
mengutamakan hatinya untuk tempat cinta-Nya yang luas, maka dunia itu akan
datang ke dalam genggaman tangannya. Atau paling tidak dunia itu tidak datang,
tapi dia hidup dalam keadaan damai karena ada Allah subhanahu wata'ala
bersamanya.
Benarlah apa yang dikatakan ulama, ‘Dunia itu
seperti bayangan. Ketika dikejar dia lari menjauhi kita, tetapi ketika kita
berlari kepadanya, dunia itu justru mengejar kita.” Sungguh analogi yang indah,
bukan?
Bagaimana kita tidak merdeka, sementara Allah
subhanahu wata'ala telah memberikan kepada kita apa yang kita butuhkan.
Bagaimana kita tidak merdeka sementara Allah subhanahu wata'ala telah
mengharamkan apa yang merugikan dan membahayakan jiwa kita. Semua yang Dia
larang adalah buruk bagi jiwa kita, sebaliknya yang Dia halalkan baik bagi
kita.
Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)
Bagaimana kita tidak merasa puas dengan
syariat-Nya? Sementara kita sebagai bani Adam telah dimuliakan dengan sujudnya
para malaikat kepada bapak kita, Adam. Allah subhanahu wata'ala telah
melebihkan kita dibanding makhluk-makhluk lain yang Dia ciptakan. Subhanallah
Inilah hakikat dari islam serta seperangkat
aturannya. Islam sebagai jalan hidup yang sejati yang menjauhkan manusia dari
kejahatan menuju kebaikan, menemukan kedamaian dari kebingungan, dan
mendapatkan keadilan dari kedzaliman. Islam adalah ketundukan, dan ketundukan
lahir dari cahaya iman di dada. Cahaya iman ini tak ubahnya seperti makanan
bagi tubuh kita. Kita tak mungkin bisa hidup tanpa adanya pasokan nutrisi dari
makanan yang kita makan. begitu pun dengan jiwa kita, dia membutuhkan makanan
spiritual berupa keimanan. Jika iman itu jarang kita perbaharui dengan amal
kebaikan maka spiritualitas kita melemah hingga perlahan mati. Naudzubillah.
Jasad kita setidaknya membutuhkan tiga
komponen untuk tetap bertahan hidup. Tiga komponen itu adalah air, makanan, dan
oksigen. Kita akan mati jika tidak mendapatkan ketiganya. Begitu juga dengan
ruh jiwa kita. Jiwa kita membutuhkan tiga komponen layaknya jasad kita. Adapun
tiga komponen yang dibutuhkan jiwa adalah rasa cinta (mahabbah), rasa harap
(raja’), dan rasa takut (khauf). Ketiga komponen ini datang dari keimanan yang
terpatri di dalam dada seorang muslim.
No comments:
Post a Comment