Mungkin saja ada diantara kita yang pernah
merasa kesal karena anak kita terlihat malas-malasan saat belajar. Atau mungkin
kita merasa jengkel ketika anak yang kita ajari ternyata susah menangkap
pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka. Atau mungkin merasa cemas dan
beranggapan anak kita bukan termasuk anak jenius dengan otak yang cemerlang
yang mampu menyerap pelajaran dengan cepat dan berpotensi menjadi juara di
kelasnya.
Oh, jangan sampai kita berpikiran seperti itu.
Cobalah untuk menyadari bahwa potensi setiap anak itu berbeda-beda. Dan setiap
anak juga memiliki kecenderungan yang berbeda, baik dalam hal minat terhadap
satu bidang atau minat terhadap cara penyampaian dalam pembelajaran. Ada anak
yang merasa senang dengan metode mendengarkan dan menulis, ada anak yang cepat
menyerap pelajaran dengan metode visual. Dan ada juga yang mampu berpikir lebih
jauh dan cemerlang setelah praktek di lapangan.
Tetiba saya jadi ingat cerita paman saya. Dia
mempunyai seorang teman yang dikenal sebagai anak yang paling bodoh di kelas.
Beberapa kali tidak naik kelas dengan hasil ujian kenaikan kelas yang
memprihatinkan. Tapi ternyata di masa dewasanya dia menjadi seorang yang sukses
secara vinansial. Menjadi bos pengepul cengkeh dan hasil panen sekampung.
Padahal, di sekolahnya dia payah dalam pelajaran matematika. Mungkin saja
lelaki itu belajar secara nyata hitung-hitungan dalam kehidupan dan bisnis.
Bisa belajar secara langsung dari pengalaman kehidupan.
Maka, kita juga harus menyadari bahwa setiap
anak juga tidak selalu pintar dalam semua hal alias multi talent. Walau pun dia
tidak menguasai semua hal, maka itu bukanlah sebuah kekurangan. Karena setiap
manusia punya kecenderungan masing-masing yang tidak bisa dipaksakan. Setiap
pribadi memiliki kecenderungan untuk mendalami sesuatu yang menjadi
spesialisasinya dalam bidang tersebut.
Bisa saja seorang anak lemah dalam bidang
matematika, tapi dia ahli dalam bidang komputer. Mungkin saja seseorang lemah
dalam bidang bahasa, tapi dia ternyata terampil dalam kerajinan.
Saya bisa mencontohkan dari diri saya sendiri.
Saya paling payah dalam bidang eksakta ketika sekolah dulu. Saya paling bodoh
dalam pelajaran matematika ketika sekolah dasar. Kemudian pelajaran fisika dan
kimia menambah daftar pelajaran yang membuat saya pusing ketika menginjak
bangku SMP.
Tapi saya akui, saya memiliki kelebihan dalam
bidang sastra, sastra dan seni. Di situlah saya menyadari bahwa saya memiliki
kecenderungan pada hal yang bersifat estetika. Estetika bahasa dan seni
lainnya.
Untuk para orang tua, hendaknya mereka
mengetahui apa minat anak-anaknya. Jika anaknya memang belum mengetahui atau
bingung dengan kemampuan yang mereka miliki.
Agama yang Paling Utama
Baiklah, banyak orang tua yang merasa khawatir
dengan pendidikan anak mereka. Sampai-sampai memaksa anak mereka untuk kursus
habis-habisan untuk bisa menjadi bintang kelas. Tapi mereka sama sekali tidak
khawatir dengan pendidikan agama anak-anak mereka.
Para orang tua tidak pernah menanyakan kepada
anak mereka,”kamu sudah shalat dzuhur nak?” ketika anaknya pulang dari sekolah.
Alih-alih menanyakan shalat dzuhurnya, si ibu justru bertanya,”bagaimana
pelajarannya, sudah makan?”
Orang tua tidak mengontrol shalat dan bacaan
al-quran anak-anak mereka. Mereka tidak peduli apakah anaknya bisa mengaji
al-quran atau tidak. tetapi mereka sangat khawatir anak-anak mereka tidak masuk
sepuluh besar di kelas.
Lingkungan Mempengaruhi Agama Anak
Selain dengan didikan yang baik dari orang
tua, anak kita juga perlu dikondisikan dengan lingkungan yang baik. Maka sudah
seharusnya orang tua untuk memilih sekolah yang berkualitas untuk anaknya.
Berkualitas di sini adalah kualitas dalam hal diniyah; sekolah yang mampu
mengup-grade keimanan dan ketakwaan anak-anaknya. Syukur-syukur jika anak bisa
boarding school sehingga bisa terkontrol selama 24 jam dalam sistem yang
islami.
Jika memang si anak tidak sekolah dengan
sistem boarding school [ma’had/pesantren] kita perlu mengkondisikan lingkungan
pergaulan anak. Usahakan lingkungan yang kita tinggal bisa menunjang keimanan
anak-anak kita. Dorong anak-anak kita untuk terlibat dengan organisasi remaja
masjid, umpamanya. Atau dorong anak kita untuk aktif dengan perkumpulan
pengajian pemuda. Jika kita mustahil menjaga anak kita dari pergaulan yang
bobrok di lingkungan sekitar, maka ma’had menjadi solusi yang tepat untuk
menjawabnya.
No comments:
Post a Comment