28 May 2017

Lelaki yang Menangis

Mata lelaki itu menerawang jendela yang basah oleh embun pagi. Seakan ada  satu hal yang menarik untuk dia pandang di luar ruangan tersebut. Tapi tatapan matanya kosong. Dia masih tidak percaya dengan semua yang dilaluinya. Seakan hanya kilasan-kilasan mimpi yang datang sekilas. Tapi ini benar-benar nyata di dalam hidupnya, senyata mentari pagi yang perlahan panasnya dia bisa rasakan perlahan, menembus jendela dan menghapus basah embun tanpa jejak.

Lelaki itu memutar kursi roda bermesinnya dan merasa bosan dengan rutinitas paginya. Tanpak satu tangkup roti dan segelas susu sudah tersedia di atas meja.  Aminah pembantunya sudah menyediakannya sejak lima belas menit tadi, tapi dia tidak mempedulikannya.

Lelaki itu dengan susah payah bangkit dari kursi rodanya menuju tempat tidur. Ingin rasanya dia tidur sepanjang hari ini. Rasa sakit tiba-tiba menjalar di tungkai kakinya ketika ia menggerakan kakinya. Harussnya minggu ini kakinya tidak sakit lagi. Sudah  dua bulan semenjak operasi kakinya, dokter meyakinkan kakinya tidak akan sakit. Walau pun dengan sangat menyesal dokter itu mengatakan ia akan menjadi lumpuh seumur hidup.

“Adil, ada sesorang mencarimu.” Wajah Aminah pembantunya menyembul dari ambang pintu. Pembantu yang baik hati itulah yang selalu melayani kebutuhan Adil di setiap harinya. Pembantu yang setia sejak kakek dan nenek Adil masih hidup. Bahkan, jika Adil pulang dari akademi polisi dahulu, yang pertama kali dia rindukan adalah masakan berkuah Aminah yang selalu menerbitkan seleranya.

“Siapa?”jawab Adil dengan malas. Mau tak mau  dia mendongakan kepalannya.

Aminah mendengus kesal.” Mau sampai kapan kau akan terus seperti ini, setidaknya kau perlu keluar. Aku tidak akan memberitahukan kepadamu siapa yang datang sebelum kau bangkit. Lihat saja sendiri.” Aminah berlalu dengan diiringi omelan tidak senang.

Adil bangkit dan menggerutu panjang. Padahal dia ingin tidak ada seorang pun yang mengganggunya. Dua minggu ini ayah dan ibunya berangkat ke Uni Emirat Arab. Jadi dia tidak perlu mengkhawatirkan omelan atau apa pun itu dari kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menikmati ketersendiriannya. Bukan, lebih tepatnya, merasakan kesakitannya sendiri. Karena tidak ada yang perlu dinikmati dari kesendiriannya. Dia merasa tersiksa. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menggugat nasibnya. Menyesali nasibnya yang harus terdampar di kursi roda sialan tersebut.


Jika ayah dan ibunya di rumah mereka selalu menceramahinya dengan optimisme yang tinggi. Menyuruhnya ke sana dan kemari. Menyuruhnya untuk rutin mengunjungi teman-temannya atau bahkan menelpon teman-temannya  untuk datang menemuninya. Terkesan berlebihan memang. Tapi ayah dan ibunya merasa bahwa mereka harus membuatnya beraktifitas dan melupakan kesedihannya. Tapi Adil merasa itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Selain membuat dia semakin minder dan membenci kenyataan yang harus dia hadapi.

Adil berhasil duduk di kursi roda bermesin tersebut dan mengarahkannya ke ruang depan. Dan di sana sudah menunggu dua orang wanita. Tentu saja yang satu adalah Aminah yang mengobrol asyik. Sementara yang satu lagi wanita berhijab pendek dengan mata yang indah dan senyum yang merekah. Adil mendecakkan lidah dan merasa menyesal keluar dari kamarnya. Ia berniat untuk berbalik ke kamar ketika suara itu memanggilnya.”Adil, bagaimana kabarmu?”

Aminah bangkit, seakan tahu apa yang akan dilakukan Adil, tangannya yang gemuk dan besar mencengkram pegangan kursi rodanya dan mengarahkannya ke tuang tamu. Membiarkan Adil ada di antara mereka. Adil mendengus kesal.

“Zainab ingin menemuimu dan tentu saja khawatir dengan keadaanmu, kau malah lancang tidak menjawabnya. Jawablah.” Aminah menatapnya dengan tatapan tidak suka.

Adil melirik malas, dan lagi-lagi bibir indah itu merekah dengan senyumnya.” Muhsin selalu menanyakanmu. Dia merindukanmu.”

Adil tidak menyahut.

“Dia selalu memaksaku untuk mengunjungimu.”


“Oh, jadi kau mengunjungiku karena terpaksa. Kau dipaksa oleh Muhsin?” seru Adil sengit.


Wanita itu menggigit bibirnya.”Bukan begitu, maksudku aku harap kau bisa mengerti. Berkali-kali kau tidak membalas pesanku dan tidak  menjawab telponku.”

“Aku sibuk.”

Amina menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus panjang.”Setidaknya kau bisa bersikap wajar Adil.”

“Kau bukan ibuku kan Aminah?”

Wanita tersebut tanpak jengah dengan perdebatan tersebut.”Kau tidak keberatan kan jika datang ke rumah orang tuaku. Muhsin ulang tahun tiga hari lagi. Kau bisa hadir, karena itulah yang diharapkannya.”

“Sudah sejak pertama kali kita berpisah aku sudah mengatakan kepadamu, biarkan anak itu  tinggal bersamaku, kau tetap saja bersikeras. Toh aku juga bisa mengurusnya. Atau setidaknya kedua orang tuaku bisa merawat cucunya. Ya, aku lumpuh sekarang.”

“Adil...”

***

Adil masih ingat hari naas itu. Ketika dia dan dua orang temannya mengepung dua orang perampok bank di sebuah rumah. Adil yakin dia akan bisa meringkus dua perampok kelas kakap itu. Toh dia sudah mempunyai banyak pengalaman dalam urusan ringkus-meringkus penjahat. Tapi nyatanya, justru dari sinilah babak kehidupan yang paling tidak dia harapkan berawal. Ketika dia mulai sadar, bahwa kedua kaki yang dia gunakan untuk melangkah sangatlah berharga.

Darah mengucur deras seperti mata air yang terpancar. Adil hanya bisa terbelalak kaget, sementara dia tidak bisa menggerakan kedua kakinya sama sekali. Baru dia sadari sekarang bahwa tiga tembakan itu bersarang tepat di kedua kakinya, lutut dan tungkainya. Mungkin tembakan itu tepat mengenai pembuluh darah arteri dan memutuskannya. Atau bahkan menghancurkan tulang kakinya.

Satu tembakan kembali menggema dan satu hentakan di dadanya membuat Adil limbung dan muntah. Dia merasa pusing. Rasa panas dan sakit menjalar dari dadanya. Detak jantungnya seakan berhenti.

Adil meringis dengan sakit tak tertahankan. Tapi dia bukan hanya meringis karena rasa sakit itu, ia meringis ketika sesosok tubuh besar berdiri dengan pongah di hadapannya. Mengacungkan pistol tepat ke arah dahinya. Lelaki itu tidaknya tidak puas dengan menembak tiga kali kakinya dan satu di dadanyaa.

DOR!

Bunyi letusan yang memekakan telinga itu membuat adil ngeri. Ia memejamkan matanya. Jangan-jangan dia sudah pergi dari kehidupan dunia. Tapi kenapa dia tidak merasakan sakit? Adil membuka matanya dan didapatinya lelaki yang siap membidiknya tadi sudah tumbang dengan bersimbah darah.
Hasyim muncul dengan tergesa-gesa.”beruntung aku tidak terlambat datang. Bisa-bisa  kau bisa mati karenanya.”

Kau tahu, Adil masih beruntung karena peluru yang menembus dadanya tidak sampai mengoyak jantungnya. Peluru kaliber 45 yang menembus dadanya itu hanya meleset beberapa mili dari jantungnya. Menurut dokter Sirjani, perlu beberapa bulan atauh bahkan sampai satu tahun untuk bisa memulihkan trauma dan sakit di dadanya. Sungguh nasib yang baik karena selamat dari peluru mematikan itu.

***
Ah, kau salah besar jika kelam yang melingkupi wajah Adil hanya karena kelumpuhannya. Tapi memang rasa frustasi itu meringkusnya setelah dia memutuskan berpisah dengan istrinya. Lebih tepatnya mereka berdua memutuskan untuk berpisah dengan alasan masing-masing yang mungkin engkau sendiri belum mengetahuinya.

Oh, aku lupa menceritakan kalau Adil itu anggota pasukan khusus kepolisian setempat. Baginya, dunia kepolisian adalah segalanya. Tak salah jika dia sebelumnya sekolah di akademi kepolisian dan mengikuti taruna.

Bagi Adil, tak ada yang harus lebih diprioritaskan selain kerjanya dalam satuan khusus yang dibentuk atasannya. Seorang anggota satuan keamaan adalah kehormatan dan kebanggaan tiada tara.

Saat itu Adil pulang dari tugasnya dalam kondisi lelah luar biasa. Hari itu dia apes, dia tidak bisa menangkap seorang pembunuh. Dan dia benar-benar malu karenanya. Ketika pulang, didapatinya istrinya cemberut. Bukan hanya untuk hari ini saja, tapi hari-hari sebelumnya dia selalu cemberut.

“Tak bisakah kau menarik bibirmu sehingga tidak menjengkelkan seperti itu.” Seru Adil tak senang.

“Tak bisakah kau menyisakan waktu untuk anak istrimu. Kau bahkan tidak pernah libur sama sekali.” Jawab istrinya tak kalah pintar.”Kau pikir untuk apa kau menikah dan punya anak?”

Mungkin istrinya kesal dengan kesibukan dia. Berangkat kerja setelah subuh, bahkan kadang sebelum subuh dan pulang pada tengah malam.

“Bukankah aku sudah memberimu uang belanja bulanan lebih dari yang kau butuhkan?”elak Adil. Dia merasa tak senang dibantah istri. Baginya, istri itu adalah pengabdi yang tidak boleh melawan, termasuk membantah ucapan dan ketetapan suami.

“Kau kira hanya dengan memberi uang itu cukup membeli kebahagiaan. Aku butuh dirimu sebagai seorang istri. Muhsin pun butuh dirimu sebagai seorang anak.”

“Diam! Bisakah kau mengerti aku merasa lelah. Tak bisakah kau membiarkanku istirahat?”

Si istrinya diam.”Kau pernah bilang, kerja lemburmu bukan atas kemauan atasanmu, bukan juga karena keperluan mendesak. Tapi kau tetap saja workaholic yang menyebalkan. Tak cukupkah waktu kerjamu yang sudah ada?”


Adil muak dan membanting pintu kamar.


Besoknya, Istrinya mengatakan dengan lantang, bahwa dia lebih baik berpisah. Dan hak asuh anak tetap ada pada istrinya. Karena istrinya bersikukuh dengan alibi yang membuat Adil tidak  bisa berbuat apa-apa.”Apa jadinya jika Muhsin tinggal bersamamu. Selama hidup bersamaku saja kau tidak pernah peduli, apalagi jika kau sudah bercerai. Muhsin akan terbengkelai dan kau akan semakin gila kerja.

“Terserah dirimu!”

Tiga bulan setelah itu, Adil harus menerima kenyataan bahwa dia lumpuh. Seorang duda yang lumpuh. Tidak lagi diharapkan bisa bekerja di kepolisian. Apalagi untuk menangkap atau memburu penjahat. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Mungkin dia akan pensiun muda dan menghabiskan waktunya dengan rasa kesepian yang tidak bisa digambarkan. Tercampakan dari dunia kerja, dan kehilangan kehidupan rumah tangga.

***

“Tak bisakah kau menghargai niat baik Zainab? Kau sehari yang lalu tidak menghadiri acara ulang tahun anakmu. Lagi pula, Zainab pernah bilang, dia ingin hidup kembali bersamamu. Dia merasa kasihan dengan Muhsin” Ibunya menatap Adil tak mengerti. Sudah dua hari ini dia telah kembali dari UEA.

“Masa bodoh dengan semua itu. Aku tidak pernah memintanya bercerai. Dia sendiri yang minta. Jika memang  dia butuh suami, cari saja lelaki lain. Bukan lelaki lumpuh sepertiku? Apa yang dia harapkan?”

“Mungkin zainab hanya butuh dirimu sebagai suami dan sebagai ayah dari anaknya. Bukan sebagai suami yang menjadikan anak istrinya nomor dua setelah mengurus pekerjaan. Dan sekarang dia melihat dirimu sudah terbebas dari cinta kerja.”

“Untuk apa? Aku tak akan bisa membahagiakannya. Mungkin di kemudian hari dia akan menggugat cerai untuk yang kedua kalinya hanya karena aku tidak memberinya nafkah yang berkecukupan seperti yang pernah aku beri kepadanya ketika aku normal.”

“Adil...”


***


Hari itu, lagi-lagi Adil harus menahan rasa kesal karena Zainab kembali berkunjung ke rumah. Dan lagi-lagi Amina dan kedua orang tuanya antusias. Kali ini wanita itu membawa anaknya, Muhsin. Anaknya juga.

Mau tidak mau dia mendatanginya. Walau dia harus menghindari tatapan wanita itu. Dia sangat rindu kepada anak semata wayangnya. Penyejuk hatinya.

“Bagaimana kabarmu sayang.”tanyanya sembari menjawil pipi Muhsin. Muhsin menggelayut manja dan menepuk-nepuk dada Adil.

“Muhsin juga ingin membeli kursi mesin yang ayah punya.”pintanya disambut gelak tawa mereka.”Bisa dipakai ke sekolah kan.”

Adil tersenyum.

“Kapan ayah pulang ke rumah?”

Mungkin maksudnya rumah yang Zainab tinggali. Rumah yang menjadi tempat bernaung mereka ketika keluarga mereka utuh, sebelum perceraian itu terjadi.

Adil tak mampu menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut Muhsin.

***

“Bu, kali ini kita makan malam di luar saja. Jadi Amina tidak usah memasak malam ini.”

“Tidak biasanya kau mengajak makan malam di luar.” Ujar ibunya dengan tatapan heran.

“Aku ingin suasana yang baru. Sekalian ajak pula Zainab dan kedua orang tuanya. Sudah lama kita tidak silaturahim.” Jawab Adil.

Ibunya tersenyum lebar.

***

Malam itu, jadilah mereka berkumpul di sebuah kafe. Kali ini Adil merasakan getaran di hatinya. Getaran kebahagiaan dan keceriaan ketika ia bisa melihat Zainab dan Muhsin.

Tapi tiba-tiba ia merasakan dadanya sakit luar biasa. Rasa nyeri itu menjalar dan seakan menusuk-nusuk jantungnya. Adil merasa sesak, ia berusaha untuk terlihat ceria dan bertahan. Tapi beberapa menit kemudian ia ambruk dari kursi rodanya. Pandangannya gelap. Yang dia dengar terkahir adalah jeritan kedua orang tuanya, Zainab dan mantan mertuanya.

Adil merasakan tubuhnya melayang dan ringan bagai kapas. Tapi dia heran, karena dia bangkit dari pembaringan rumah sakit, tapi dia masih meilhat Adil yang lain di tempat tidurnya. Dia berusaha untuk membangunkannya. Adil histeris. Jangan-jangan aku sudah mati, pikirnya. Dia mencoba memasuki jasadnya. Tapi dia tidak bisa.

Adil melihat monitor yang menjadi garis lurus. Menandakan jasad dirinya sudah tidak berjiwa lagi. Adil mendengar jeritan. Oh Zainab, Adil benar-benar menangis ketika melihat Zainab memeluk dadanya dengan isakan tangis yang memilukan.

Tak berapa lama, kedua orang tuanya, mantan mertuanya dan anak semata wayangnya datang ke ruangan tersebut. Kembali histeris itu bertambah, hingga dokter dan suster datang.

Kali ini, untuk pertama kalinya Adil menangis dan tergugu di pojok ruangan. Menangis menatap jasadnya yang beku, dan menangis melihat keluarga dan orang yang dia cintai menangisinya.

Adil menatap Zainab dengan tatapan penuh sesal. Belum pernah dia disesaki rasa sesal seperti sesalnya kali ini. Ingin ia mendekap wanita itu dan meminta maaf atas segala keegoisannya. Tapi dia tidak bisa. Dia mendekati Zainab dan mendekapnya, ingin merebahkan kepalanya di dadanya. Seperti yang dulu Zainab sering lakukan di kala dia sedih. Tapi Adil hanya menangkap angin. Tangannya menembus tubuh Zainab.

Adil menangis. Kali ini tangis sesal untuk cinta dan kasih sayang yang tulus dari Zainab. Tuhan, andai waktu bisa diputar ulang.
Unknown
Unknown

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

1 comment:

  1. Kesempatan dapat Uang ... share ya 5.E.E.8.0.A.F.E. F4n5833771n9 ^_^

    ReplyDelete