Mata lelaki itu menerawang jendela yang basah
oleh embun pagi. Seakan ada satu hal
yang menarik untuk dia pandang di luar ruangan tersebut. Tapi tatapan matanya
kosong. Dia masih tidak percaya dengan semua yang dilaluinya. Seakan hanya
kilasan-kilasan mimpi yang datang sekilas. Tapi ini benar-benar nyata di dalam
hidupnya, senyata mentari pagi yang perlahan panasnya dia bisa rasakan
perlahan, menembus jendela dan menghapus basah embun tanpa jejak.
Lelaki itu memutar kursi roda bermesinnya dan
merasa bosan dengan rutinitas paginya. Tanpak satu tangkup roti dan segelas
susu sudah tersedia di atas meja. Aminah
pembantunya sudah menyediakannya sejak lima belas menit tadi, tapi dia tidak
mempedulikannya.
Lelaki itu dengan susah payah bangkit dari
kursi rodanya menuju tempat tidur. Ingin rasanya dia tidur sepanjang hari ini.
Rasa sakit tiba-tiba menjalar di tungkai kakinya ketika ia menggerakan kakinya.
Harussnya minggu ini kakinya tidak sakit lagi. Sudah dua bulan semenjak operasi kakinya, dokter
meyakinkan kakinya tidak akan sakit. Walau pun dengan sangat menyesal dokter
itu mengatakan ia akan menjadi lumpuh seumur hidup.
“Adil, ada sesorang mencarimu.” Wajah Aminah
pembantunya menyembul dari ambang pintu. Pembantu yang baik hati itulah yang
selalu melayani kebutuhan Adil di setiap harinya. Pembantu yang setia sejak
kakek dan nenek Adil masih hidup. Bahkan, jika Adil pulang dari akademi polisi
dahulu, yang pertama kali dia rindukan adalah masakan berkuah Aminah yang
selalu menerbitkan seleranya.
“Siapa?”jawab Adil dengan malas. Mau tak
mau dia mendongakan kepalannya.
Aminah mendengus kesal.” Mau sampai kapan kau
akan terus seperti ini, setidaknya kau perlu keluar. Aku tidak akan
memberitahukan kepadamu siapa yang datang sebelum kau bangkit. Lihat saja
sendiri.” Aminah berlalu dengan diiringi omelan tidak senang.
Adil bangkit dan menggerutu panjang. Padahal
dia ingin tidak ada seorang pun yang mengganggunya. Dua minggu ini ayah dan
ibunya berangkat ke Uni Emirat Arab. Jadi dia tidak perlu mengkhawatirkan
omelan atau apa pun itu dari kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menikmati
ketersendiriannya. Bukan, lebih tepatnya, merasakan kesakitannya sendiri.
Karena tidak ada yang perlu dinikmati dari kesendiriannya. Dia merasa tersiksa.
Tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menggugat nasibnya.
Menyesali nasibnya yang harus terdampar di kursi roda sialan tersebut.
Jika ayah dan ibunya di rumah mereka selalu
menceramahinya dengan optimisme yang tinggi. Menyuruhnya ke sana dan kemari.
Menyuruhnya untuk rutin mengunjungi teman-temannya atau bahkan menelpon
teman-temannya untuk datang menemuninya.
Terkesan berlebihan memang. Tapi ayah dan ibunya merasa bahwa mereka harus
membuatnya beraktifitas dan melupakan kesedihannya. Tapi Adil merasa itu tidak
ada pengaruhnya sama sekali. Selain membuat dia semakin minder dan membenci
kenyataan yang harus dia hadapi.
Adil berhasil duduk di kursi roda bermesin
tersebut dan mengarahkannya ke ruang depan. Dan di sana sudah menunggu dua
orang wanita. Tentu saja yang satu adalah Aminah yang mengobrol asyik.
Sementara yang satu lagi wanita berhijab pendek dengan mata yang indah dan
senyum yang merekah. Adil mendecakkan lidah dan merasa menyesal keluar dari
kamarnya. Ia berniat untuk berbalik ke kamar ketika suara itu
memanggilnya.”Adil, bagaimana kabarmu?”
Aminah bangkit, seakan tahu apa yang akan
dilakukan Adil, tangannya yang gemuk dan besar mencengkram pegangan kursi
rodanya dan mengarahkannya ke tuang tamu. Membiarkan Adil ada di antara mereka.
Adil mendengus kesal.
“Zainab ingin menemuimu dan tentu saja
khawatir dengan keadaanmu, kau malah lancang tidak menjawabnya. Jawablah.”
Aminah menatapnya dengan tatapan tidak suka.
Adil melirik malas, dan lagi-lagi bibir indah
itu merekah dengan senyumnya.” Muhsin selalu menanyakanmu. Dia merindukanmu.”
Adil tidak menyahut.
“Dia selalu memaksaku untuk mengunjungimu.”
“Oh, jadi kau mengunjungiku karena terpaksa. Kau dipaksa oleh Muhsin?” seru
Adil sengit.
Wanita itu menggigit bibirnya.”Bukan begitu,
maksudku aku harap kau bisa mengerti. Berkali-kali kau tidak membalas pesanku
dan tidak menjawab telponku.”
“Aku sibuk.”
Amina menggeleng-geleng kepalanya dan
mendengus panjang.”Setidaknya kau bisa bersikap wajar Adil.”
“Kau bukan ibuku kan Aminah?”
Wanita tersebut tanpak jengah dengan
perdebatan tersebut.”Kau tidak keberatan kan jika datang ke rumah orang tuaku.
Muhsin ulang tahun tiga hari lagi. Kau bisa hadir, karena itulah yang
diharapkannya.”
“Sudah sejak pertama kali kita berpisah aku
sudah mengatakan kepadamu, biarkan anak itu
tinggal bersamaku, kau tetap saja bersikeras. Toh aku juga bisa
mengurusnya. Atau setidaknya kedua orang tuaku bisa merawat cucunya. Ya, aku
lumpuh sekarang.”
“Adil...”
***
Adil masih ingat hari naas itu. Ketika dia dan
dua orang temannya mengepung dua orang perampok bank di sebuah rumah. Adil
yakin dia akan bisa meringkus dua perampok kelas kakap itu. Toh dia sudah
mempunyai banyak pengalaman dalam urusan ringkus-meringkus penjahat. Tapi
nyatanya, justru dari sinilah babak kehidupan yang paling tidak dia harapkan
berawal. Ketika dia mulai sadar, bahwa kedua kaki yang dia gunakan untuk
melangkah sangatlah berharga.
Darah mengucur deras seperti mata air yang
terpancar. Adil hanya bisa terbelalak kaget, sementara dia tidak bisa
menggerakan kedua kakinya sama sekali. Baru dia sadari sekarang bahwa tiga
tembakan itu bersarang tepat di kedua kakinya, lutut dan tungkainya. Mungkin
tembakan itu tepat mengenai pembuluh darah arteri dan memutuskannya. Atau
bahkan menghancurkan tulang kakinya.
Satu tembakan kembali menggema dan satu
hentakan di dadanya membuat Adil limbung dan muntah. Dia merasa pusing. Rasa
panas dan sakit menjalar dari dadanya. Detak jantungnya seakan berhenti.
Adil meringis dengan sakit tak tertahankan.
Tapi dia bukan hanya meringis karena rasa sakit itu, ia meringis ketika sesosok
tubuh besar berdiri dengan pongah di hadapannya. Mengacungkan pistol tepat ke
arah dahinya. Lelaki itu tidaknya tidak puas dengan menembak tiga kali kakinya
dan satu di dadanyaa.
DOR!
Bunyi letusan yang memekakan telinga itu
membuat adil ngeri. Ia memejamkan matanya. Jangan-jangan dia sudah pergi dari
kehidupan dunia. Tapi kenapa dia tidak merasakan sakit? Adil membuka matanya
dan didapatinya lelaki yang siap membidiknya tadi sudah tumbang dengan
bersimbah darah.
Hasyim muncul dengan tergesa-gesa.”beruntung
aku tidak terlambat datang. Bisa-bisa
kau bisa mati karenanya.”
Kau tahu, Adil masih beruntung karena peluru
yang menembus dadanya tidak sampai mengoyak jantungnya. Peluru kaliber 45 yang
menembus dadanya itu hanya meleset beberapa mili dari jantungnya. Menurut
dokter Sirjani, perlu beberapa bulan atauh bahkan sampai satu tahun untuk bisa
memulihkan trauma dan sakit di dadanya. Sungguh nasib yang baik karena selamat
dari peluru mematikan itu.
***
Ah, kau salah besar jika kelam yang melingkupi
wajah Adil hanya karena kelumpuhannya. Tapi memang rasa frustasi itu
meringkusnya setelah dia memutuskan berpisah dengan istrinya. Lebih tepatnya
mereka berdua memutuskan untuk berpisah dengan alasan masing-masing yang mungkin
engkau sendiri belum mengetahuinya.
Oh, aku lupa menceritakan kalau Adil itu
anggota pasukan khusus kepolisian setempat. Baginya, dunia kepolisian adalah
segalanya. Tak salah jika dia sebelumnya sekolah di akademi kepolisian dan
mengikuti taruna.
Bagi Adil, tak ada yang harus lebih
diprioritaskan selain kerjanya dalam satuan khusus yang dibentuk atasannya.
Seorang anggota satuan keamaan adalah kehormatan dan kebanggaan tiada tara.
Saat itu Adil pulang dari tugasnya dalam
kondisi lelah luar biasa. Hari itu dia apes, dia tidak bisa menangkap seorang
pembunuh. Dan dia benar-benar malu karenanya. Ketika pulang, didapatinya
istrinya cemberut. Bukan hanya untuk hari ini saja, tapi hari-hari sebelumnya
dia selalu cemberut.
“Tak bisakah kau menarik bibirmu sehingga
tidak menjengkelkan seperti itu.” Seru Adil tak senang.
“Tak bisakah kau menyisakan waktu untuk anak
istrimu. Kau bahkan tidak pernah libur sama sekali.” Jawab istrinya tak kalah
pintar.”Kau pikir untuk apa kau menikah dan punya anak?”
Mungkin istrinya kesal dengan kesibukan dia.
Berangkat kerja setelah subuh, bahkan kadang sebelum subuh dan pulang pada
tengah malam.
“Bukankah aku sudah memberimu uang belanja
bulanan lebih dari yang kau butuhkan?”elak Adil. Dia merasa tak senang dibantah
istri. Baginya, istri itu adalah pengabdi yang tidak boleh melawan, termasuk
membantah ucapan dan ketetapan suami.
“Kau kira hanya dengan memberi uang itu cukup
membeli kebahagiaan. Aku butuh dirimu sebagai seorang istri. Muhsin pun butuh
dirimu sebagai seorang anak.”
“Diam! Bisakah kau mengerti aku merasa lelah.
Tak bisakah kau membiarkanku istirahat?”
Si istrinya diam.”Kau pernah bilang, kerja
lemburmu bukan atas kemauan atasanmu, bukan juga karena keperluan mendesak.
Tapi kau tetap saja workaholic yang menyebalkan. Tak cukupkah waktu kerjamu
yang sudah ada?”
Adil muak dan membanting pintu kamar.
Besoknya, Istrinya mengatakan dengan lantang,
bahwa dia lebih baik berpisah. Dan hak asuh anak tetap ada pada istrinya.
Karena istrinya bersikukuh dengan alibi yang membuat Adil tidak bisa berbuat apa-apa.”Apa jadinya jika Muhsin
tinggal bersamamu. Selama hidup bersamaku saja kau tidak pernah peduli, apalagi
jika kau sudah bercerai. Muhsin akan terbengkelai dan kau akan semakin gila
kerja.
“Terserah dirimu!”
Tiga bulan setelah itu, Adil harus menerima
kenyataan bahwa dia lumpuh. Seorang duda yang lumpuh. Tidak lagi diharapkan
bisa bekerja di kepolisian. Apalagi untuk menangkap atau memburu penjahat.
Tidak ada yang bisa dibanggakan. Mungkin dia akan pensiun muda dan menghabiskan
waktunya dengan rasa kesepian yang tidak bisa digambarkan. Tercampakan dari
dunia kerja, dan kehilangan kehidupan rumah tangga.
***
“Tak bisakah kau menghargai niat baik Zainab?
Kau sehari yang lalu tidak menghadiri acara ulang tahun anakmu. Lagi pula, Zainab
pernah bilang, dia ingin hidup kembali bersamamu. Dia merasa kasihan dengan
Muhsin” Ibunya menatap Adil tak mengerti. Sudah dua hari ini dia telah kembali
dari UEA.
“Masa bodoh dengan semua itu. Aku tidak pernah
memintanya bercerai. Dia sendiri yang minta. Jika memang dia butuh suami, cari saja lelaki lain. Bukan
lelaki lumpuh sepertiku? Apa yang dia harapkan?”
“Mungkin zainab hanya butuh dirimu sebagai
suami dan sebagai ayah dari anaknya. Bukan sebagai suami yang menjadikan anak
istrinya nomor dua setelah mengurus pekerjaan. Dan sekarang dia melihat dirimu
sudah terbebas dari cinta kerja.”
“Untuk apa? Aku tak akan bisa
membahagiakannya. Mungkin di kemudian hari dia akan menggugat cerai untuk yang
kedua kalinya hanya karena aku tidak memberinya nafkah yang berkecukupan
seperti yang pernah aku beri kepadanya ketika aku normal.”
“Adil...”
***
Hari itu, lagi-lagi Adil harus menahan rasa
kesal karena Zainab kembali berkunjung ke rumah. Dan lagi-lagi Amina dan kedua
orang tuanya antusias. Kali ini wanita itu membawa anaknya, Muhsin. Anaknya
juga.
Mau tidak mau dia mendatanginya. Walau dia
harus menghindari tatapan wanita itu. Dia sangat rindu kepada anak semata
wayangnya. Penyejuk hatinya.
“Bagaimana kabarmu sayang.”tanyanya sembari
menjawil pipi Muhsin. Muhsin menggelayut manja dan menepuk-nepuk dada Adil.
“Muhsin juga ingin membeli kursi mesin yang
ayah punya.”pintanya disambut gelak tawa mereka.”Bisa dipakai ke sekolah kan.”
Adil tersenyum.
“Kapan ayah pulang ke rumah?”
Mungkin maksudnya rumah yang Zainab tinggali.
Rumah yang menjadi tempat bernaung mereka ketika keluarga mereka utuh, sebelum
perceraian itu terjadi.
Adil tak mampu menjawab. Ia hanya tersenyum
dan mengacak-acak rambut Muhsin.
***
“Bu, kali ini kita makan malam di luar saja.
Jadi Amina tidak usah memasak malam ini.”
“Tidak biasanya kau mengajak makan malam di
luar.” Ujar ibunya dengan tatapan heran.
“Aku ingin suasana yang baru. Sekalian ajak
pula Zainab dan kedua orang tuanya. Sudah lama kita tidak silaturahim.” Jawab
Adil.
Ibunya tersenyum lebar.
***
Malam itu, jadilah mereka berkumpul di sebuah
kafe. Kali ini Adil merasakan getaran di hatinya. Getaran kebahagiaan dan
keceriaan ketika ia bisa melihat Zainab dan Muhsin.
Tapi tiba-tiba ia merasakan dadanya sakit luar
biasa. Rasa nyeri itu menjalar dan seakan menusuk-nusuk jantungnya. Adil merasa
sesak, ia berusaha untuk terlihat ceria dan bertahan. Tapi beberapa menit
kemudian ia ambruk dari kursi rodanya. Pandangannya gelap. Yang dia dengar
terkahir adalah jeritan kedua orang tuanya, Zainab dan mantan mertuanya.
Adil merasakan tubuhnya melayang dan ringan
bagai kapas. Tapi dia heran, karena dia bangkit dari pembaringan rumah sakit,
tapi dia masih meilhat Adil yang lain di tempat tidurnya. Dia berusaha untuk
membangunkannya. Adil histeris. Jangan-jangan aku sudah mati, pikirnya. Dia
mencoba memasuki jasadnya. Tapi dia tidak bisa.
Adil melihat monitor yang menjadi garis lurus.
Menandakan jasad dirinya sudah tidak berjiwa lagi. Adil mendengar jeritan. Oh
Zainab, Adil benar-benar menangis ketika melihat Zainab memeluk dadanya dengan
isakan tangis yang memilukan.
Tak berapa lama, kedua orang tuanya, mantan
mertuanya dan anak semata wayangnya datang ke ruangan tersebut. Kembali
histeris itu bertambah, hingga dokter dan suster datang.
Kali ini, untuk pertama kalinya Adil menangis
dan tergugu di pojok ruangan. Menangis menatap jasadnya yang beku, dan menangis
melihat keluarga dan orang yang dia cintai menangisinya.
Adil menatap Zainab dengan tatapan penuh
sesal. Belum pernah dia disesaki rasa sesal seperti sesalnya kali ini. Ingin ia
mendekap wanita itu dan meminta maaf atas segala keegoisannya. Tapi dia tidak
bisa. Dia mendekati Zainab dan mendekapnya, ingin merebahkan kepalanya di
dadanya. Seperti yang dulu Zainab sering lakukan di kala dia sedih. Tapi Adil
hanya menangkap angin. Tangannya menembus tubuh Zainab.
Adil menangis. Kali ini tangis sesal untuk
cinta dan kasih sayang yang tulus dari Zainab. Tuhan, andai waktu bisa diputar
ulang.
Kesempatan dapat Uang ... share ya 5.E.E.8.0.A.F.E. F4n5833771n9 ^_^
ReplyDelete