17 Mar 2015

Tumbangnya Pohon Keramat



Pohon bungur itu berdiri kokoh di pinggir pesawahan penduduk. Daunnya yang rimbun meneduhi area sekitarnya. Pohon itu sudah berusia tua. Itu bisa dilihat dari batangnya yang berukuran di atas rata-rata pohon bungur biasa. Biasanya akan tampak sebagian warga mendatangi pohon itu. Mereka membawa nampah berisi sesaji berupa kelapa muda dan beberapa kue-kue khas lainnya. Apalagi jika ada warga yang akan mengadakan hajatan, baik hajatan perkawinan maupun hajatan sunatan. Mereka akan meletakan sesaji itu sehari sebelum hajatan dimulai. Mereka meyakini bahwa pohon itu ada penunggunya. Pohon itu keramat dan angker, begitulah pengakuan warga. Dengan sesaji itu mereka berharap penunggu itu tidak mendatangkan bala bencana terhadap kampung mereka. Mereka berharap hasil panen akan melimpah di setiap tahunnya.

Anak-anak pun dilarang bermain di sekitar pohon itu. Padahal, siapa pun tahu, bahwa pohon itu merupakan tempat yang paling lapang dan sejuk untuk sekedar beristirahat. Anak-anak juga tentu tahu bahwa semak belukar di bawah pohon bungur itu adalah tempat paling cocok untuk bersembunyi ketika mereka tengah bermain petak umpet. Mereka juga tahu bahwa bermain bola di tanah lapang sepetak yang letaknya tak jauh dari pohon itu berdiri tegak adalah hal yang menyenangkan. Selain itu, seseorang diharuskan untuk mengucapkan punten ketika lewat di dekat pohon itu. Jika tidak, katanya penunggunya akan marah dan membuat orang tersebut kesambet di malam harinya. Bahkan bisa kesurupan selama berhari-hari.


Pernah suatu hari Sapri dimarahi emaknya karena berani menggembala domba-dombanya sembari tiduran di bawah pohon bungur.


“Kamu mau kesambet tiduran di situ?” ujarnya kepada Sapri. Matanya mendelik karena  marah. Dia juga khawatir anaknya bermain ke sana untuk yang kesekian kalinya.


Sapri tentu saja manut dan sejak saat itu tidak lagi bermain ke sekitar pohon bungur itu.


Sementara itu, jarak ratusan meter dari rumah Sapri, seorang pemuda tampak berbaring menerawang langit-langit rumahnya yang beratap daun kirai. Rupanya ada suatu masalah yang mengusik benaknya. Oleh masyarakat kampung lelaki itu biasa dipanggil kang Kholid. Dialah yang selama ini tak pernah merasa perlu untuk menyimpan sesaji di pohon bungur. Ketika sunatan anak pertamanya ia digunjing habis para tetangganya karena lakunya itu. Sebenarnya mereka menggunjingnya bukan hanya karena keengganan dia mengirim sesaji, tapi tak lebih karena mereka merasa kesal dengan seruannya. Khalid selalu berceramah di masjid kampung yang nyaris selalu kosong dari jamaah tentang haramnya memberi sesaji kepada penunggu pohon. Tak segan-segan, Khalid mendatangi dukun setempat yang getol menganjurkan ritual-ritual sesaji untuk makhluk ghoib penunggu pohon. Khalid juga menceramahi langsung ibu-ibu yang ia dapati mengucap punten kepada pohon angker.


Khalid adalah seorang pemuda yang datang dari ibukota Jakarta dan menikahi gadis setempat bernama Maryam. Itu pun setelah ia mengenal Maryam di sebuah holaqoh pengajian di kota kecamatan. Yang Khalid tahu, Maryam adalah gadis desa yang cerdas dan berpendidikan. Ia cukup paham masalah agama dan harakah islam. Setelah menikahi Maryam sebulan sebelum bulan Ramadan tiba, mertuanya mengamanahi Khalid beberapa petak sawah untuk ia garap. Selain itau mertuanya juga meminta Khalid untuk menjadi imam masjid. Menggantikan ajengan Ruhdin yang sudah wafat dua tahun yang lalu tanpa meninggalkan atau menunjuk seorang pengganti. Tak lebih hanya karena tidak ada orang yang cocok untuk menempati posisi sebagai Ajengan. Anak-anak muda kampung itu tidak ada yang tertarik menjadi Ajengan. Anak-anak muda itu lebih tertarik untuk bekerja dan merantau ke kota atau menjadi penerus orang tuanya sebagai penggembala sapi dan domba atau menggarap sawah dan ladang yang seadanya.


Khalid pernah bertanya kepada Maryam tentang kiprah Ajengan Ruhdin sebelum pria itu dipanggil Gusti Allah. “Apakah ajengan tidak pernah berdakwah kepada warga tentang tauhid dan kesyirikan?”


Maryam menghela napas panjang. “Ajengan terkesan mendiamkan. Sebelumnya juga pernah menasihati, tapi ya dianggap sebagai angin lalu. Lebih dari itu, Ajengan Ruhdin juga mengamalkan amalan-amalan yang tak jauh beda dengan kebiasaan dukun. Menjual jimat berupa isim, mengajarkan ilmu kekebalan dan semacamnya.”


Khalid menghela napas panjang. Dia harus melakukan perubahan demi kebaikan warga kampung.


Kedatangan Khalid ke kampung itu merupakan suatu kebetulan. Ia langsung membuka pengajian untuk anak-anak kampung di rumahnya yang berdiding gedek bambu. Setiap bakda mangrib, sayup-sayup akan terdengar  dengungan anak-anak yang mengeja al-quran dan membaca nadhom tentang fikih dan tauhid.


Sebenarnya para orang tua tidak pernah keberatan dengan pengajian anak-anaknya. Bahkan mereka merasa senang karena anak-anaknya bisa membaca tulisan arab. Tapi ada satu hal yang membuat mereka merasa jengah dan benci terhadap pemuda berjenggot dan selalu memakai celana cingkrang itu. Mereka merasa jengkel ketika Khalid menentang tradisi mereka yang sudah turun temurun. Salah satunya adalah melarang keras penduduk kampung meletakan sesaji di bawah pohon bungur yang keramat itu. Walau pun begitu mereka menyimpan kejengkelan itu di dada dan bersikap masa bodoh dengan seruan Khalid.


***

Siang hari matahari begitu terik memanggang bumi. Sudah hampir setahun lebih kampung itu dilanda kekeringan. Dimana-mana kerontang. Tak ada sawah yang bisa digarap. Jejak kemarau menyisakan petak-petak yang retak. Bahkan rumput-rumput pun enggan tumbuh sama sekali. Tegalan untuk ngangon domba dan sapi semakin susah dicari. Kebanyakan penduduk beralih menanam singkong yang tahan dengan tanah kering.


Angin bertiup kencang. Menerbangkan debu-debu dari jalan setapak. Mempermainkan daun-daun jati dan mahoni yang meranggas dari pohonnya. Hari sangat panas luar biasa. Orang-orang lebih memilih diam di rumah. Mereka malas keluar rumah kecuali yang punya kepentingan untuk menggembala atau mencari kayu bakar untuk suluh memasak.


Khalid masih berbaring di atas dipan. Dia berpikir, cara apa yang mesti ia lakukan untuk menyadarkan masyarakat dari kesesatan mereka. Telah berbagai cara ia tempuh untuk menjauhkan masyarakat dari tradisi menyimpang dan menyelisihi ajaran agama yang bersih dan hanif. Khalid sudah menceramahi bapak-bapak di masjid kala khutbah jum’at. Walaupun ia yakin, yang shalat jum’at tak lebih dari seperempat kaum lelaki yang tinggal di sekitar masjid. Khalid juga telah blak-blakan mengajak mereka dari rumah ke rumah. Namun rupanya masyarakat tak begitu mempedulikan ajakannya itu.


“Sudahlah kang, jangan terlalu dipikirkan toh akang sudah melaksanakan kewajiban akang mendakwahi mereka. Adapun mengenai hasilnya, kita serahkan kepada Gusti Allah,” ujar Maryam sambil menyiapkan sarapan pagi. Sebakul nasi jagung dan lalapan lengkap dengan sambal terasi telah terhidang di tikar mendong. Baunya semerbak. Membangkitkan selera makan kholid. Ia pun segera bangkit dan duduk berhadapan dengan istrinya.


“Apakah aku harus berhenti tanpa hasil yang berarti, Mar? Padahal Nabi Nuh juga terus berdakwah sampai tiga generasi. Walaupun pengikutnya sangat sedikit, tapi kangjeng Nabi Nuh tak pernah berhenti berdakwah menyebarkan risalah Gusti Allah,” sahut Khalid sembari menyendok nasi dari bakul.


Maryam terdiam.


“Kau masih ingat kan bagaimana kisah kangjeng Nabi Yunus yang ditegur oleh Allah karena meninggalkan umatnya. Apa yang Nabi Yunus rasakaln sama persis seperti apa yang kita rasakan saat ini. Merasa putus asa bukanlah suatu solusi bagi jalan dakwah. Kita harus selalu optimis bahwa Allah akan menyediakan pahala terbaik untuk kita, Mar.”


Tiba-tiba Khalid teringat peristiwa beberapa hari yang lalu. Saat itu dia kembali mengajak warga untuk meninggalkan tradisi mereka. Saat itu ia tengah mengikuti kerja reongan di sawah pak RT. Semua berawal dari obrolan biasa. Tak lama setelah itu ia menggiring obrolan pada percakapan serius mengenai pohon bungur di tepi desa itu. Khalid sadar, ia harus berusaha keras untuk menjauhkan masyarakat desanya dari kesyirikan yang telah kokoh dan mendarah daging. Ia ingin mereka mengenal ajaran yang murni.

Namun apa hendak dikata,dirinya terlalu kecil dan rendah di mata masyarakat desa.

“Memangnya kamu siapa? Kamu hanya orang asing yang terdampar di desa kami,”ejek Ki Marta.

“Justru ini adalah warisan kebudayaan yang harus dilestarikan kang Khalid? bukankah pemerintah juga menganjurkan untuk melestarikan budaya dan kearifan lokal, bukan begitu pak RT?” sahut si Sarmin sembari mengerling kearah pak RT. Ia mencoba mencari persetujuan darinya.

“Justru dengan ritual ini desa kita menjadi subur makmur. Justru gara-gara kedatangan kamu, desa kami jadi mengalami halodo yang panjang!” seru Pak Sirna tak kalah pedas. Benar, banyak warga yang beranggapan bahwa kemarau panjang ini gara-gara seruan Khalid untuk menghentikan ritual sesaji. Pasti penunggu pohon itu marah.

Sore itu Khalid gamang. Ia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kebiasaan buruk warga desanya. Diam-diam ia punya suatu rencana yang sudah ia pikirkan jauh-jauh hari. Khalid sudah muak dengan semua  itu.

“Mar, besok lusa kan hajatan kawin si Marni cucu Nini Kartiyah, ya?” tanya Kholid kepada Maryam istrinya.

“Ya,” jawab Maryam sembari berusaha menghidupkan api yang hampir padam di dalam hawu dengan song-song bambu.

***

“Assalamualaikum.” Terdengar seseorang mengucap salam dari arah depan.

 â€śWaalaikum salam,” jawab Khalid. Ia segera beranjak menuju pintu. Didapatinya seorang pemuda tanggung telah berdiri di sana.

“Eh Saman. Silakan masuk, Man.”

Tamu itu dalah Saman, pemuda kampung yang selama ini dekat dengan Khalid. Dia pula yang selama ini menyambut baik dan mendukung penuh dakwah Khalid. Saman adalah pemuda berpendidikan yang menamatkan SMAnya di kota. Tidak semua anak dan pemuda kampung bisa mengecap pendidikan tinggi seperti halnya Saman, anak Bu Sarmi yang kaya raya di kampung ini. Selain faktor ekonomi, mereka juga tidak menganggap penting dan menyepelekan pendidikan. Bahkan kebanyakan tidak tamat SD.

Saman sering bertandang ke rumah Khalid hanya untuk bertanya dan berdiskusi tentang masalah agama. Perhatiannya begitu besar terhadap dakwah dan harakah. Menurut pengakuannya, Saman pernah aktif di rohis ketika SMA, sehingga sedikit-sedikit bisa memahami hukum agama. Hari itu Saman datang karena dia tahu rencana rahasia dari orang yang paling dia kagumi itu. Hanya kepada Saman Khalid mengungkapkan rahasianya tersebut.

“Kamu serius mau bantu saya?” tanya Khalid dengan nada sangsi. Matanya menatap tajam ke manik mata Saman.

Saman mengangguk mantap. “Saya tidak ragu, Kang. Sudah saatnya ini diakhiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?”

***

Malam itu Khalid bangun dari tidurnya. Ia segera mengambil air wudhu dan melaksanakan kiyamul lail. Setelah itu Khalid berdoa. Bermunajat dan berkeluh kesah, memohon petunjuk kepada rabb-nya. Setelah itu ia meraih kertas dan pena. Menulis di atas kertas tersebut dan melipatnya. Kemudian menyimpannya di samping istrinya yang terlelap.

Ditatapnya Maryam dengan sepenuh cinta. Mengecup keningnya dan membelai rambut yang terurai di pipinya. Tak menunggu lama, Khalid segera keluar dengan menenteng kapak besar di tangan kanan. Menembus pekat malam.

***

Pagi begitu cerah saat kesibukan itu menghiasi rumah mewah di pinggir kampung. Rupanya ada hajatan yang akan segera dilaksanakan. Tampak beberapa perempuan menanak, memasak dan menghias rumah dengan dekorasi-dekorasi dan janur. Nini Kartiyah, si empunya hajat tampak sibuk menyusun kue-kue dan kelapa muda di atas tampah besar. Tak lupa ia menyimpan kemenyan di batok kelapa dan membakarnya dengan hati-hati.

“Toy, tolong bawa sesaji ini ke pohon bungur ya. Moga-moga pesta kawinan si Marni berjalan lancar,” ujar Nini Kartiyah kepada Atoy yang berdiri tak jauh dari tempat ia berada. Tanpa ba bi bu, atoy dan seorang pemuda lain membawa nampan itu menuju pohon bungur di pinggir desa.

Namun betapa terkejutnya Atoy dan temannya ketika mereka melihat sesuatu telah terjadi. Mata mereka taerbelalak tidak percaya. Dan mereka berdua segera bergegas menuju rumah dimana hajatan terselenggara.

“Gawat!! Gawat, Ni !” seru Atoy. Ia terengah-engah setelah berlari sepanjang jalan dari ujung desa hingga rumah Nini Kartiyah. Padahal antara rumah si empunya hajatan dengan pohon itu bukanlah jarak yang cukup dekat. “Pohon bungur sudah tumbang. Sepertinya ada seseorang yang menebangnya semalam.”

Orang –orang terdiam dan saling bersitatap heran.

“Semoga saja penunggu pohon itu tidak menimpakan bencana kepada kita semua,” Seru ki Marta dengan suara berat. Mereka beramai-ramai menuju pohon yang telah tumbang itu. Benar. Mereka semua melihat pohon yang angker dan kokoh itu telah tumbang.

“Ini psati ulah si Khalid! seru ki Marta untuk yang kesekian kalinya. Matanya menatap tajam ke arah pohon bungur yang tak berdaya.

“Ya, bukankah hanya dia yang selama ini membenci ritual kita,” timpal ki Sarmin.

“Ayo kita ke rumahnya. Biar kita seret dia!”

“Kita arak dia di sepanjang kampung.”

Orang-orang ramai membicarakan Khalid. mereka segera berbalik dan menuju rumah Khalid yang jaraknya tak begitu jauh dari lokasi pohon bungur itu. Namun mereka tidak mendapati lelaki itu. Mereka hanya melihat Maryam yang menangis terisak-isak di pangkuan emaknya yang sudah sepuh.

“Mana suamimu yang tak tahu diri itu!” seru Ki Marta dengan tatapan nyalang.

Maryam terperanjat. Pun dengan emaknya. Maryam mengangkat kepalanya dan menyusut air matanya. “Kang Khalid semalam pergi tanpa sepengetahuan saya. Ia meninggalkan surat dan berkata bahwa dia tidak akan kembali lagi sebelum kalian berhenti meletakan sesaji.”

Air mata kembali berderai-derai di kedua kelopak mata maryam.

Orang-orang saling berpandangan. Lalu mereka bubar dari rumah Khalid dengan memendam rasa jengkel.

***

Hari itu hujan turun lebat bagai ditumpahkan dari langit. Air sungai meluap-luap. Sawah-sawah yang selama ini kering kerontang mulai tergenang air. Cakrawala dan awan gemawan tampak membayang di permukaan sawah yang penuh dengan air. Di mana-mana terdengar korekan kodok yang memulai musim kawin. Angin sore berembus sejuk. Menggoyangkan rumpun-rumpun bamu dan menimbukan suara gemerisik daun-daunnya.  Semakin malam, hujan semakin lebat saja.

Pagi harinya, orang sekampung keluar dengan wajah berseri-seri. Kemarau panjang yang membelenggu kini pupus dengan hujan sehari semalam. Hari itu adalah hari kedua setelah kepulangan Kholid. Diam-diam mereka menginginkan keberadaan Kholid. Mereka merindukannya setelah hujan mengguyur sawah-sawah mereka.

“Bukannya setelah pohon itu tumbang tidak ada kutukan sama sekali. Jutru yang terjadi adalah hujan yang mengairi sawah-sawah kita,” ujar Saman kepada bapak-bapak yang membajak sawah mereka. Bapak-bapak itu menundukan kepala dan mengangguk. Membenarkan apa yang diaktan Saman.

“Ini bukti bahwa seruannya benar,” lanjut Saman dan ia pun mulai mencangkul sawahnya bersama warga-warga desa.

Sementara Maryam bermaksud menyusul suaminya ke Jakarta. Mengajaknya kembali meneruskan jejak dakwahnya di kampung. Kembali mengajarkan al-quran dan nadhom  kepada anak-anak kampung. Apalagi sebentar lagi Ramadan tiba.

 

Punten: permisi

Kirai: Rumbia

Harakah: gerakan

Ajengan: Kyai

Ngangon: menggembala

Reongan: kerja bakti, gorong royong

Halodo: kemarau

Hawu: tungku batu

Songsong: Peniup api dari batang bambu

Kiyamul lail: Shalat malam

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment