Anak-anak pun dilarang bermain di sekitar pohon itu. Padahal,
siapa pun tahu, bahwa pohon itu merupakan tempat yang paling lapang dan sejuk
untuk sekedar beristirahat. Anak-anak juga tentu tahu bahwa semak belukar di
bawah pohon bungur itu adalah tempat paling cocok untuk bersembunyi ketika
mereka tengah bermain petak umpet. Mereka juga tahu bahwa bermain bola di tanah
lapang sepetak yang letaknya tak jauh dari pohon itu berdiri tegak adalah hal
yang menyenangkan. Selain itu, seseorang diharuskan untuk mengucapkan punten
ketika lewat di dekat pohon itu. Jika tidak, katanya penunggunya akan marah dan
membuat orang tersebut kesambet di malam harinya. Bahkan bisa kesurupan selama
berhari-hari.
Pernah suatu hari Sapri dimarahi emaknya karena berani
menggembala domba-dombanya sembari tiduran di bawah pohon bungur.
“Kamu mau kesambet tiduran di situ?” ujarnya kepada Sapri.
Matanya mendelik karena marah. Dia juga khawatir
anaknya bermain ke sana untuk yang kesekian kalinya.
Sapri tentu saja manut dan sejak saat itu tidak lagi bermain
ke sekitar pohon bungur itu.
Sementara itu, jarak ratusan meter dari rumah Sapri, seorang
pemuda tampak berbaring menerawang langit-langit rumahnya yang beratap daun kirai. Rupanya ada suatu masalah yang
mengusik benaknya. Oleh masyarakat kampung lelaki itu biasa dipanggil kang Kholid.
Dialah yang selama ini tak pernah merasa perlu untuk menyimpan sesaji di pohon
bungur. Ketika sunatan anak pertamanya ia digunjing habis para tetangganya
karena lakunya itu. Sebenarnya mereka menggunjingnya bukan hanya karena
keengganan dia mengirim sesaji, tapi tak lebih karena mereka merasa kesal
dengan seruannya. Khalid selalu berceramah di masjid kampung yang nyaris selalu
kosong dari jamaah tentang haramnya memberi sesaji kepada penunggu pohon. Tak
segan-segan, Khalid mendatangi dukun setempat yang getol menganjurkan
ritual-ritual sesaji untuk makhluk ghoib penunggu pohon. Khalid juga
menceramahi langsung ibu-ibu yang ia dapati mengucap punten kepada pohon
angker.
Khalid adalah seorang pemuda yang datang dari ibukota Jakarta
dan menikahi gadis setempat bernama Maryam. Itu pun setelah ia mengenal Maryam
di sebuah holaqoh pengajian di kota kecamatan. Yang Khalid tahu, Maryam adalah
gadis desa yang cerdas dan berpendidikan. Ia cukup paham masalah agama dan harakah
islam. Setelah menikahi Maryam sebulan sebelum bulan Ramadan tiba, mertuanya
mengamanahi Khalid beberapa petak sawah untuk ia garap. Selain itau mertuanya
juga meminta Khalid untuk menjadi imam masjid. Menggantikan ajengan Ruhdin yang
sudah wafat dua tahun yang lalu tanpa meninggalkan atau menunjuk seorang
pengganti. Tak lebih hanya karena tidak ada orang yang cocok untuk menempati
posisi sebagai Ajengan. Anak-anak muda kampung itu tidak ada yang tertarik
menjadi Ajengan. Anak-anak muda itu lebih tertarik untuk bekerja dan merantau
ke kota atau menjadi penerus orang tuanya sebagai penggembala sapi dan domba
atau menggarap sawah dan ladang yang seadanya.
Khalid pernah bertanya kepada Maryam tentang kiprah Ajengan
Ruhdin sebelum pria itu dipanggil Gusti Allah. “Apakah ajengan tidak pernah
berdakwah kepada warga tentang tauhid dan kesyirikan?”
Maryam menghela napas panjang. “Ajengan terkesan mendiamkan.
Sebelumnya juga pernah menasihati, tapi ya dianggap sebagai angin lalu. Lebih
dari itu, Ajengan Ruhdin juga mengamalkan amalan-amalan yang tak jauh beda
dengan kebiasaan dukun. Menjual jimat berupa isim, mengajarkan ilmu kekebalan
dan semacamnya.”
Khalid menghela napas panjang. Dia harus melakukan perubahan
demi kebaikan warga kampung.
Kedatangan Khalid ke kampung itu merupakan suatu kebetulan.
Ia langsung membuka pengajian untuk anak-anak kampung di rumahnya yang
berdiding gedek bambu. Setiap bakda mangrib, sayup-sayup akan terdengar dengungan anak-anak yang mengeja al-quran dan
membaca nadhom tentang fikih dan tauhid.
Sebenarnya para orang tua tidak pernah keberatan dengan
pengajian anak-anaknya. Bahkan mereka merasa senang karena anak-anaknya bisa
membaca tulisan arab. Tapi ada satu hal yang membuat mereka merasa jengah dan
benci terhadap pemuda berjenggot dan selalu memakai celana cingkrang itu.
Mereka merasa jengkel ketika Khalid menentang tradisi mereka yang sudah turun
temurun. Salah satunya adalah melarang keras penduduk kampung meletakan sesaji
di bawah pohon bungur yang keramat itu. Walau pun begitu mereka menyimpan
kejengkelan itu di dada dan bersikap masa bodoh dengan seruan Khalid.
***
Siang hari matahari begitu terik memanggang bumi. Sudah hampir
setahun lebih kampung itu dilanda kekeringan. Dimana-mana kerontang. Tak ada
sawah yang bisa digarap. Jejak kemarau menyisakan petak-petak yang retak.
Bahkan rumput-rumput pun enggan tumbuh sama sekali. Tegalan untuk ngangon domba
dan sapi semakin susah dicari. Kebanyakan penduduk beralih menanam singkong
yang tahan dengan tanah kering.
Angin bertiup kencang. Menerbangkan debu-debu dari jalan
setapak. Mempermainkan daun-daun jati dan mahoni yang meranggas dari pohonnya.
Hari sangat panas luar biasa. Orang-orang lebih memilih diam di rumah. Mereka
malas keluar rumah kecuali yang punya kepentingan untuk menggembala atau
mencari kayu bakar untuk suluh memasak.
Khalid masih berbaring di atas dipan. Dia berpikir, cara apa
yang mesti ia lakukan untuk menyadarkan masyarakat dari kesesatan mereka. Telah
berbagai cara ia tempuh untuk menjauhkan masyarakat dari tradisi menyimpang dan
menyelisihi ajaran agama yang bersih dan hanif. Khalid sudah menceramahi
bapak-bapak di masjid kala khutbah jum’at. Walaupun ia yakin, yang shalat
jum’at tak lebih dari seperempat kaum lelaki yang tinggal di sekitar masjid. Khalid
juga telah blak-blakan mengajak mereka dari rumah ke rumah. Namun rupanya
masyarakat tak begitu mempedulikan ajakannya itu.
“Sudahlah kang, jangan terlalu dipikirkan toh akang sudah
melaksanakan kewajiban akang mendakwahi mereka. Adapun mengenai hasilnya, kita
serahkan kepada Gusti Allah,” ujar Maryam sambil menyiapkan sarapan pagi.
Sebakul nasi jagung dan lalapan lengkap dengan sambal terasi telah terhidang di
tikar mendong. Baunya semerbak. Membangkitkan selera makan kholid. Ia pun
segera bangkit dan duduk berhadapan dengan istrinya.
“Apakah aku harus berhenti tanpa hasil yang berarti, Mar?
Padahal Nabi Nuh juga terus berdakwah sampai tiga generasi. Walaupun
pengikutnya sangat sedikit, tapi kangjeng Nabi Nuh tak pernah berhenti
berdakwah menyebarkan risalah Gusti Allah,” sahut Khalid sembari menyendok nasi
dari bakul.
Maryam terdiam.
“Kau masih ingat kan bagaimana kisah kangjeng Nabi Yunus yang
ditegur oleh Allah karena meninggalkan umatnya. Apa yang Nabi Yunus rasakaln
sama persis seperti apa yang kita rasakan saat ini. Merasa putus asa bukanlah
suatu solusi bagi jalan dakwah. Kita harus selalu optimis bahwa Allah akan
menyediakan pahala terbaik untuk kita, Mar.”
Tiba-tiba Khalid teringat peristiwa beberapa hari yang lalu.
Saat itu dia kembali mengajak warga untuk meninggalkan tradisi mereka. Saat itu
ia tengah mengikuti kerja reongan di
sawah pak RT. Semua berawal dari obrolan biasa. Tak lama setelah itu ia
menggiring obrolan pada percakapan serius mengenai pohon bungur di tepi desa
itu. Khalid sadar, ia harus berusaha keras untuk menjauhkan masyarakat desanya
dari kesyirikan yang telah kokoh dan mendarah daging. Ia ingin mereka mengenal
ajaran yang murni.
Namun apa hendak dikata,dirinya terlalu kecil dan rendah di
mata masyarakat desa.
“Memangnya kamu siapa? Kamu hanya orang asing yang terdampar
di desa kami,”ejek Ki Marta.
“Justru ini adalah warisan kebudayaan yang harus dilestarikan
kang Khalid? bukankah pemerintah juga menganjurkan untuk melestarikan budaya
dan kearifan lokal, bukan begitu pak RT?” sahut si Sarmin sembari mengerling
kearah pak RT. Ia mencoba mencari persetujuan darinya.
“Justru dengan ritual ini desa kita menjadi subur makmur.
Justru gara-gara kedatangan kamu, desa kami jadi mengalami halodo yang panjang!”
seru Pak Sirna tak kalah pedas. Benar, banyak warga yang beranggapan bahwa
kemarau panjang ini gara-gara seruan Khalid untuk menghentikan ritual sesaji. Pasti
penunggu pohon itu marah.
Sore itu Khalid gamang. Ia harus melakukan sesuatu untuk
menghentikan kebiasaan buruk warga desanya. Diam-diam ia punya suatu rencana
yang sudah ia pikirkan jauh-jauh hari. Khalid sudah muak dengan semua itu.
“Mar, besok lusa kan hajatan kawin si Marni cucu Nini
Kartiyah, ya?” tanya Kholid kepada Maryam istrinya.
“Ya,” jawab Maryam sembari berusaha menghidupkan api yang
hampir padam di dalam hawu dengan song-song bambu.
***
“Assalamualaikum.” Terdengar seseorang mengucap salam dari
arah depan.
“Waalaikum salam,” jawab
Khalid. Ia segera beranjak menuju pintu. Didapatinya seorang pemuda tanggung
telah berdiri di sana.
“Eh Saman. Silakan masuk, Man.”
Tamu itu dalah Saman, pemuda kampung yang selama ini dekat
dengan Khalid. Dia pula yang selama ini menyambut baik dan mendukung penuh
dakwah Khalid. Saman adalah pemuda berpendidikan yang menamatkan SMAnya di
kota. Tidak semua anak dan pemuda kampung bisa mengecap pendidikan tinggi
seperti halnya Saman, anak Bu Sarmi yang kaya raya di kampung ini. Selain faktor
ekonomi, mereka juga tidak menganggap penting dan menyepelekan pendidikan.
Bahkan kebanyakan tidak tamat SD.
Saman sering bertandang ke rumah Khalid hanya untuk bertanya
dan berdiskusi tentang masalah agama. Perhatiannya begitu besar terhadap dakwah
dan harakah. Menurut pengakuannya, Saman pernah aktif di rohis ketika SMA,
sehingga sedikit-sedikit bisa memahami hukum agama. Hari itu Saman datang
karena dia tahu rencana rahasia dari orang yang paling dia kagumi itu. Hanya
kepada Saman Khalid mengungkapkan rahasianya tersebut.
“Kamu serius mau bantu saya?” tanya Khalid dengan nada
sangsi. Matanya menatap tajam ke manik mata Saman.
Saman mengangguk mantap. “Saya tidak ragu, Kang. Sudah
saatnya ini diakhiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
***
Malam itu Khalid bangun dari tidurnya. Ia segera mengambil
air wudhu dan melaksanakan kiyamul lail.
Setelah itu Khalid berdoa. Bermunajat dan berkeluh kesah, memohon petunjuk
kepada rabb-nya. Setelah itu ia meraih kertas dan pena. Menulis di atas kertas
tersebut dan melipatnya. Kemudian menyimpannya di samping istrinya yang
terlelap.
Ditatapnya Maryam dengan sepenuh cinta. Mengecup keningnya
dan membelai rambut yang terurai di pipinya. Tak menunggu lama, Khalid segera
keluar dengan menenteng kapak besar di tangan kanan. Menembus pekat malam.
***
Pagi begitu cerah saat kesibukan itu menghiasi rumah mewah di
pinggir kampung. Rupanya ada hajatan yang akan segera dilaksanakan. Tampak
beberapa perempuan menanak, memasak dan menghias rumah dengan dekorasi-dekorasi
dan janur. Nini Kartiyah, si empunya hajat tampak sibuk menyusun kue-kue dan
kelapa muda di atas tampah besar. Tak lupa ia menyimpan kemenyan di batok
kelapa dan membakarnya dengan hati-hati.
“Toy, tolong bawa sesaji ini ke pohon bungur ya. Moga-moga
pesta kawinan si Marni berjalan lancar,” ujar Nini Kartiyah kepada Atoy yang
berdiri tak jauh dari tempat ia berada. Tanpa ba bi bu, atoy dan seorang pemuda
lain membawa nampan itu menuju pohon bungur di pinggir desa.
Namun betapa terkejutnya Atoy dan temannya ketika mereka
melihat sesuatu telah terjadi. Mata mereka taerbelalak tidak percaya. Dan
mereka berdua segera bergegas menuju rumah dimana hajatan terselenggara.
“Gawat!! Gawat, Ni !” seru Atoy. Ia terengah-engah setelah
berlari sepanjang jalan dari ujung desa hingga rumah Nini Kartiyah. Padahal
antara rumah si empunya hajatan dengan pohon itu bukanlah jarak yang cukup
dekat. “Pohon bungur sudah tumbang. Sepertinya ada seseorang yang menebangnya
semalam.”
Orang –orang terdiam dan saling bersitatap heran.
“Semoga saja penunggu pohon itu tidak menimpakan bencana kepada
kita semua,” Seru ki Marta dengan suara berat. Mereka beramai-ramai menuju
pohon yang telah tumbang itu. Benar. Mereka semua melihat pohon yang angker dan
kokoh itu telah tumbang.
“Ini psati ulah si Khalid! seru ki Marta untuk yang kesekian
kalinya. Matanya menatap tajam ke arah pohon bungur yang tak berdaya.
“Ya, bukankah hanya dia yang selama ini membenci ritual kita,”
timpal ki Sarmin.
“Ayo kita ke rumahnya. Biar kita seret dia!”
“Kita arak dia di sepanjang kampung.”
Orang-orang ramai membicarakan Khalid. mereka segera berbalik
dan menuju rumah Khalid yang jaraknya tak begitu jauh dari lokasi pohon bungur
itu. Namun mereka tidak mendapati lelaki itu. Mereka hanya melihat Maryam yang
menangis terisak-isak di pangkuan emaknya yang sudah sepuh.
“Mana suamimu yang tak tahu diri itu!” seru Ki Marta dengan
tatapan nyalang.
Maryam terperanjat. Pun dengan emaknya. Maryam mengangkat
kepalanya dan menyusut air matanya. “Kang Khalid semalam pergi tanpa
sepengetahuan saya. Ia meninggalkan surat dan berkata bahwa dia tidak akan
kembali lagi sebelum kalian berhenti meletakan sesaji.”
Air mata kembali berderai-derai di kedua kelopak mata maryam.
Orang-orang saling berpandangan. Lalu mereka bubar dari rumah
Khalid dengan memendam rasa jengkel.
***
Hari itu hujan turun lebat bagai ditumpahkan dari langit. Air
sungai meluap-luap. Sawah-sawah yang selama ini kering kerontang mulai
tergenang air. Cakrawala dan awan gemawan tampak membayang di permukaan sawah
yang penuh dengan air. Di mana-mana terdengar korekan kodok yang memulai musim
kawin. Angin sore berembus sejuk. Menggoyangkan rumpun-rumpun bamu dan
menimbukan suara gemerisik daun-daunnya.
Semakin malam, hujan semakin lebat saja.
Pagi harinya, orang sekampung keluar dengan wajah
berseri-seri. Kemarau panjang yang membelenggu kini pupus dengan hujan sehari
semalam. Hari itu adalah hari kedua setelah kepulangan Kholid. Diam-diam mereka
menginginkan keberadaan Kholid. Mereka merindukannya setelah hujan mengguyur
sawah-sawah mereka.
“Bukannya setelah pohon itu tumbang tidak ada kutukan sama
sekali. Jutru yang terjadi adalah hujan yang mengairi sawah-sawah kita,” ujar Saman
kepada bapak-bapak yang membajak sawah mereka. Bapak-bapak itu menundukan
kepala dan mengangguk. Membenarkan apa yang diaktan Saman.
“Ini bukti bahwa seruannya benar,” lanjut Saman dan ia pun
mulai mencangkul sawahnya bersama warga-warga desa.
Sementara Maryam bermaksud menyusul suaminya ke Jakarta.
Mengajaknya kembali meneruskan jejak dakwahnya di kampung. Kembali mengajarkan
al-quran dan nadhom kepada anak-anak
kampung. Apalagi sebentar lagi Ramadan tiba.
Punten: permisi
Kirai: Rumbia
Harakah: gerakan
Ajengan: Kyai
Ngangon: menggembala
Reongan: kerja bakti, gorong royong
Halodo: kemarau
Hawu: tungku batu
Songsong: Peniup api dari batang bambu
Kiyamul lail: Shalat malam
No comments:
Post a Comment