“Jeng Nisa, itu adik kamu yah.” Tanya Lidya sembari menunjuk
seorang perempuan yang sedang mengasuh anaknya Nisa di halaman rumahnya.
“Bukan, itu Nabila, istri kedua suami saya. Suami saya kan
nikah lagi seminggu yang lalu. Orangnya baik, makanya saya suruh ke sini buat
bantu jagain anak. Ada banyak kerjaan.” Terang Nisa sembari memilah sayur di
gerobak mang Asep.
“Kamu nggak cemburu jeng?”
“Cemburu gimana sih jeng. Lha wong suami saya itu baik. Kurang
apa dia sama istri. Kalo bisa adil saya rela kok dimadu.”
Jeng Lidya menghela nafas, “Enak kamu jeng. Suami saya
boro-boro bisa sebaik suami kamu. Lha iya, punya istri satu aja nggak bisa
adil. Dia nggak becus bikin istri nyaman.”
“Gini aja jeng, kamu harus intropeksi, siapa tahu kamu juga
punya salah sama suami.”
“Lho, kok jeng Nisa malah memojokan saya?”
“Lha iya jeng, kalo kamu ingin suami kamu peka, kamu juga
harus peka sama suami.”
Lidya menghela nafas lagi, “Oke, terimakasih sarannya. Tapi saya
tetep kepikiran andai suami saya kayak suami kamu.”
“Hus, jangan gitu lho jeng. Inget kata pepatah rumput
tetangga lebih hijau.”
“Lha kan halaman kamu nggak ada rumputnya jeng Nisa.”
Si emang Asep hanya mesem-mesem mendengar curhatan ibu-ibu
di hadapannya. Baginya, gerobak sayur itu tak ubahnya sebagai ‘gerobak curhat’ yang telah menampung ratusan
curhat, gossip dan celoteh’ ala ibu komplek.
***
“Heh Lidya, sarapannya mana nih, dasar lelet!”
“Ya ampun, tinggal ambil sendiri. Nggak liat apa saya lagi
nyuci. Dasar suami nggak tau diri!”
“Apa kamu bilang? Kamu yang nggak tau diri, jadi istri yang
baik aja nggak becus!”
“Kamu yang perpectionist. Emangnya istri itu budak apa? Tuh
liat Pa Muslim.”
“Siapa muslim?”
“Itu suami Nisa tetangga sebelah kita. Punya dua istri aja
dia bisa peka sama istri, nggak kayak kamu, punya istri satu aja nggak bisa
peka.”
“ngapain banding-bandingin saya sama si Muslim.”
“Ya biar kamu kayak dia.”
Ya udah sana, jadi istri ketiga si muslim. Saya nggak rugi
kalo pisah sama kamu. Toh masih banyak wanita lain.”
“Dasar suami nggak peka!!”
Tak lama terdengar suara ember dibanting.
Sementara Nisa dan Nabila yang sedang duduk di halaman rumah
mereka mendengar keributan tetangga sebelahnya dengan tatapan mata penuh arti. Sejurus
kemudian geleng-geleng kepala.
***
“Jeng Nisa, saya itu cape ngadepin suami saya yang keras
kepala. Mana cuek lagi, nggak ngerti keadaan istri. Saya nyesel jadi istri dia.”
Curhat Lidya dengan muka cemberut. Sementara tangannya sibuk memilah kankung
dan brokoli dalam gerobak sayur mang Asep
“Sabar ya jeng. Mungkin kamu bisa memperbaiki hubungan sama
suami.”
“Gimana caranya?”
“Ya bertindak baik. Api jangan dibalas dengan api, apalagi
bensin. Api bisa padam kalo disiram air. Keburukan suami jangan dibalas dengan
keburukan yang sama, ya nggak bakalan ada ujungnya jeng.”
“Terus saya harus gimana?”
“Ambil hati suami, misalnya menyajikan kopi setiap pagi,
menyajikan makanan makan malam yang disukai. Pokoknya yang bikin suami seneng
deh.”
“Wah, itu mah sama aja seperti nyuruh tukang sayur jadi tukang
reparasi paying. Nggak nyambung.”
Si tukang sayur mang Asep mendelikan mata karena dilibatkan
dalam ajang curhat ibu-ibu langganananya.
“Ya kalo nggak ada itikad baik nggak bakalan ada hasil. Memang
sudah seharunya istri seperti itu, kok malah nggak nyambung. Kamu ogah ngelayanin
suami karena hati kamu udah nggak konek sama suami.”
“Oke deh, akan saya coba besok jeng. Doain ya.”
***
“Mas kopinya.” Ujar Lidya dengan senyum yang dia paksakan
bertengger di bibirnya.
Edo mengerutkan keningnya “Ngapain sih kamu. Pasti ini ada
maunya.”
“Lho, emang kenapa kalo saya ngasih kopi. Takut diracun? Nggak
kok, saya nggak masukin sianida.”
“Udah deh, kamu mau apa? Tumben-tumbenan ngasih kopi. Udah ah,
saya mau berangkat kerja.” Ketus Edo sembari melempar koran ke meja dan
melengos pergi.
Lidya menghela nafas. Dasar lelaki kecoa.
***
“Oh iya, mala mini jangan makan di luar ya. Saya udah
nyiapin makan malam special. Pasti kamu suka.” Ujar Lidya dengan suara lembut. Beberapa
detik dia menunggu respon. Tapi taka da suara selain suara kresek-kresek. Dan beberapa
detik kemudian sambungan terputus. Oh bukan terputus, tapi diputus.
Akhirnya, malam itu Lidya makan malam sendiri dengan hati
yang dongkol bukan main. Cape-cape dia masak untuk ‘memperbaiki kesenjangan’, tak
ada hasilnya sama sekali.
TAMAT
No comments:
Post a Comment