11 Feb 2018

Peka



“Jeng Nisa, itu adik kamu yah.” Tanya Lidya sembari menunjuk seorang perempuan yang sedang mengasuh anaknya Nisa di halaman rumahnya.

“Bukan, itu Nabila, istri kedua suami saya. Suami saya kan nikah lagi seminggu yang lalu. Orangnya baik, makanya saya suruh ke sini buat bantu jagain anak. Ada banyak kerjaan.” Terang Nisa sembari memilah sayur di gerobak mang Asep.

“Kamu nggak cemburu jeng?”

“Cemburu gimana sih jeng. Lha wong suami saya itu baik. Kurang apa dia sama istri. Kalo bisa adil saya rela kok dimadu.”

Jeng Lidya menghela nafas, “Enak kamu jeng. Suami saya boro-boro bisa sebaik suami kamu. Lha iya, punya istri satu aja nggak bisa adil. Dia nggak becus bikin istri nyaman.”

“Gini aja jeng, kamu harus intropeksi, siapa tahu kamu juga punya salah sama suami.”

“Lho, kok jeng Nisa malah memojokan saya?”

“Lha iya jeng, kalo kamu ingin suami kamu peka, kamu juga harus peka sama suami.”

Lidya menghela nafas lagi, “Oke, terimakasih sarannya. Tapi saya tetep kepikiran andai suami saya kayak suami kamu.”

“Hus, jangan gitu lho jeng. Inget kata pepatah rumput tetangga lebih hijau.”

“Lha kan halaman kamu nggak ada rumputnya jeng Nisa.”

Si emang Asep hanya mesem-mesem mendengar curhatan ibu-ibu di hadapannya. Baginya, gerobak sayur itu tak ubahnya sebagai  ‘gerobak curhat’ yang telah menampung ratusan curhat, gossip dan celoteh’ ala ibu komplek.

***

“Heh Lidya, sarapannya mana nih, dasar lelet!”

“Ya ampun, tinggal ambil sendiri. Nggak liat apa saya lagi nyuci. Dasar suami nggak tau diri!”

“Apa kamu bilang? Kamu yang nggak tau diri, jadi istri yang baik aja nggak becus!”

“Kamu yang perpectionist. Emangnya istri itu budak apa? Tuh liat Pa Muslim.”
“Siapa muslim?”

“Itu suami Nisa tetangga sebelah kita. Punya dua istri aja dia bisa peka sama istri, nggak kayak kamu, punya istri satu aja nggak bisa peka.”

“ngapain banding-bandingin saya sama si Muslim.”

“Ya biar kamu kayak dia.”

Ya udah sana, jadi istri ketiga si muslim. Saya nggak rugi kalo pisah sama kamu. Toh masih banyak wanita lain.”

“Dasar suami nggak peka!!”

Tak lama terdengar suara ember dibanting.

Sementara Nisa dan Nabila yang sedang duduk di halaman rumah mereka mendengar keributan tetangga sebelahnya dengan tatapan mata penuh arti. Sejurus kemudian geleng-geleng kepala.

***

“Jeng Nisa, saya itu cape ngadepin suami saya yang keras kepala. Mana cuek lagi, nggak ngerti keadaan istri. Saya nyesel jadi istri dia.” Curhat Lidya dengan muka cemberut. Sementara tangannya sibuk memilah kankung dan brokoli dalam gerobak sayur mang Asep

“Sabar ya jeng. Mungkin kamu bisa memperbaiki hubungan sama suami.”
“Gimana caranya?”

“Ya bertindak baik. Api jangan dibalas dengan api, apalagi bensin. Api bisa padam kalo disiram air. Keburukan suami jangan dibalas dengan keburukan yang sama, ya nggak bakalan ada ujungnya jeng.”

“Terus saya harus gimana?”

“Ambil hati suami, misalnya menyajikan kopi setiap pagi, menyajikan makanan makan malam yang disukai. Pokoknya yang bikin suami seneng deh.”

“Wah, itu mah sama aja seperti nyuruh tukang sayur jadi tukang reparasi paying. Nggak nyambung.”

Si tukang sayur mang Asep mendelikan mata karena dilibatkan dalam ajang curhat ibu-ibu langganananya.

“Ya kalo nggak ada itikad baik nggak bakalan ada hasil. Memang sudah seharunya istri seperti itu, kok malah nggak nyambung. Kamu ogah ngelayanin suami karena hati kamu udah nggak konek sama suami.”

“Oke deh, akan saya coba besok jeng. Doain ya.”

***

“Mas kopinya.” Ujar Lidya dengan senyum yang dia paksakan bertengger di bibirnya.

Edo mengerutkan keningnya “Ngapain sih kamu. Pasti ini ada maunya.”

“Lho, emang kenapa kalo saya ngasih kopi. Takut diracun? Nggak kok, saya nggak masukin sianida.”

“Udah deh, kamu mau apa? Tumben-tumbenan ngasih kopi. Udah ah, saya mau berangkat kerja.” Ketus Edo sembari melempar koran ke meja dan melengos pergi.

Lidya menghela nafas. Dasar lelaki kecoa.

***

“Oh iya, mala mini jangan makan di luar ya. Saya udah nyiapin makan malam special. Pasti kamu suka.” Ujar Lidya dengan suara lembut. Beberapa detik dia menunggu respon. Tapi taka da suara selain suara kresek-kresek. Dan beberapa detik kemudian sambungan terputus. Oh bukan terputus, tapi diputus.

Akhirnya, malam itu Lidya makan malam sendiri dengan hati yang dongkol bukan main. Cape-cape dia masak untuk ‘memperbaiki kesenjangan’, tak ada hasilnya sama sekali.

TAMAT
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment