10 Jan 2015

Nurani yang Terkoyak >>> Part 04

Dokar yang ditumpangi enam orang itu berhenti tepat di depan terminal. Terminal itu tanpak sudah ramai dengan orang-orang, bus antar kota dan angkot yang siap membawa para penumpang. Tanpak beberapa kondektur tengah berteriak-teriak memanggil dan mencari para penumpang. Nurani, Tante Viola, Paman Salim dan Bibi Santi beserta kedua adik Nurani, Arti dan Dani turun dari dokar. Tante Viola menjingjing koper yang berukuran sedang. Sementara Nur mencangklongkan tas  mendongnya yang sarat dengan barang bawaan;baju-bajunya. Rambutnya dikuncir kuda kebelakang..Arti menjinjing kantong kresek berisi jagung muda. Tante Viola telah memetik jagung-jagung itu dari kebun mereka untuk oleh-oleh ke kota.
Mereka berenam berhenti di bangku panjang depan kios-kios dan warung untuk menunggu bis yang hendak berangkat.
Namun, baru saja mereka hendak duduk bus jurusan kota Jakarta berhenti tepat di depan mereka. Sang kondektur segera turun dari pintu bis dan segera menghampiri mereka. “Ayo, Jakarta?!”
Tante Viola mengangguk,” Ini bang barang bawaannya tolong  bawa.”
Sang kondektur segera menyambar kardus dan koper berukuran sedang. Kemudian menyimpannya di bagasi mobil.
Nur memeluk paman, bibi, dan kedua adiknya. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, hatinya merasa sedih untuk berpisah dengan mereka, berpisah dengan kebunnya yang subur menghijau, berpisah dengan rumah reyotnya, berpisah dengan kampung halamannya dan berpisah meinggalkan kenangan-kenangan untuk ngajugjug kota Jakarta yang ia menyimpan mimpinya di sana.
Nur tak ingin terlarut dalam kesedihan itu. Ia mencoba menahan bulir-bulir bening yang hendak berlomba keluar dari kedua pelupuk matanya. Namun air mata tak juga bisa diajak kompromi. Nurani menangis dalam isak yang tertahan.
Bibi Santi menghapus air mata keponakannya.” Kamu harus inget nasihat bibi. Jaga diri baik-baik di sana.”
Nur mengangguk lemah. Dani adiknya tanpak terdiam di tempatnya. Tak ada air mata di matanya. Tapi dari raut wajahnya terpancar kesedihan yang mendalam. Sementara Arti terisak pelan di sampingnya. Tangannya menggenggam erat tangan kakaknya.
“Ayo teh! Cepat naik!” seru kondektur berjambang lebat dengan muka tak senang. Tanpaknya ia tak mau berlama-lama melihat adegan perpisahan itu. Sudah saatnya bis berangkat dari terminal.
Nur mengangguk ke arah sang kondektur. Kemudian melepaskan genggaman Arti. Ia langkahkan kakinya mengikuti tante Viola yang lebih dulu beranjak dari depan kios warung. Nur masih terisak ketika ia menoleh. Adik-adiknya yang terdiam pilu.
Tante Viola tersenyum melihatnya.” Semuanya akan baik-baik saja. Ayo cepat naik.” Ia meraih tangan Nurani dan segera masuk ke dalam bis.
“Yoo!!” seru sang kondektur yang ditujukan kepada sopir. Dan bis itu melaju meinggalkan terminal. Untuk yang terakhir kalinya Nur menolehkan kepala ke arah jendela. Mencoba untuk menyisir wajah kedua adiknya sampai tak terlihat dari pandangannya. Maka air matanya kembali menderas di kedua belah pipinya.
“Percayalah. Adik-adikmu akan senang dengan keberangkatanmu. Arti bisa kembali sekolah dan Dani bisa membeli seragan dan sepatu baru.”hibur tante Viola yang duduk di samping Nurani. Ia tahu Nurani menangis dan sedih dengan perpisahan itu.
Nur mengangguk dan mencoba tersenyum di hadapan tantenya.
Bis jurusan Jakarta melaju dengan tenang. Sesekali tanpak terantuk-antuk di jalanan yang berlubang.
Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela bis yang masih berembun. Sementara bis terus melaju. Membawa Nur bersama asanya yang tatap melambung sampai Jakarta.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment