18 Jul 2025

Sarjana Menjadi ART: Realitas Pasar Kerja dan Paradoks Pendidikan

 




“Untuk apa gelar jika tak menjamin kesejahteraan?”

Pertanyaan ini kerap muncul di tengah realitas pahit yang dihadapi banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini kita sering menjumpai lulusan sarjana yang memilih bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART), baby sitter, bahkan office boy/girl (OB). Bukan karena mereka malas atau tidak berdaya saing, melainkan karena pekerjaan itu menawarkan gaji yang lebih besar dan stabil dibanding profesi yang idealnya sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.

Fenomena ini menyimpan ironi yang mendalam. Di satu sisi, pendidikan tinggi dipromosikan sebagai jalan menuju mobilitas sosial dan ekonomi. Namun di sisi lain, pasar kerja justru memaksa lulusan sarjana untuk memilih jalur di luar profesi yang dicita-citakan atau bahkan dianggap rendahan oleh sebagian masyarakat.

Menurut laporan BPS (2023), tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas mencapai 5,63%. Sementara lulusan SMA/SMK bahkan lebih tinggi. Namun data ini belum menggambarkan seluruh cerita. Banyak lulusan yang tidak menganggur, tetapi bekerja di sektor informal atau sektor domestik dengan pekerjaan yang tidak sesuai bidang keilmuan mereka.

Seorang lulusan S1 Keperawatan mengaku lebih memilih menjadi baby sitter di Jakarta karena gajinya mencapai Rp5 juta per bulan—jauh lebih tinggi dibanding gaji di klinik swasta kecil yang hanya menawarkan Rp1,5 juta. Ada pula lulusan Sastra Inggris yang bekerja sebagai OB di kantor startup asing.

Mereka bekerja sebagai OB dengan kesadaran bahwa gengsi tidak mengenyangkan. Yang mereka pikirkan adalah mampu bertahan hidup di tengah kondisi yang terkadang membuat orang tak lagi memiliki kewarasan. Bahkan barangkali mereka berpikir bahwa nasib mereka jauh lebih baik dibandingkan para sarjana pengangguran.

Contoh fragmen yang saya tulis di atas mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat. Di tengah mahalnya biaya hidup dan tekanan ekonomi, pilihan pragmatis menjadi lebih rasional daripada mengejar idealisme.

Paradoks Pendidikan Tinggi

Teori Human Capital milik Gary Becker menyatakan bahwa pendidikan meningkatkan keterampilan dan produktivitas individu, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan. Namun dalam konteks Indonesia, asumsi ini mulai dipertanyakan. Ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri menjadi penyebab utama. Banyak perguruan tinggi gagal menjembatani keterampilan praktis yang dibutuhkan pasar kerja.

Seorang akademisi dari Universitas Indonesia pernah menyebut fenomena ini sebagai “overeducation, underemployment”—yakni ketika seseorang memiliki pendidikan lebih tinggi daripada yang dibutuhkan pekerjaannya. Ini bukan hanya masalah individu, tetapi gejala struktural akibat ketidakseimbangan antara jumlah sarjana yang dihasilkan dan ketersediaan lapangan kerja formal yang relevan.

Situasi ini tidak sepenuhnya kesalahan para lulusan. Mereka justru menunjukkan sikap adaptif dan realistis. Masalah utamanya adalah lemahnya kebijakan ketenagakerjaan, rendahnya investasi sektor produktif, dan buruknya sistem pendidikan vokasi yang mampu menjembatani dunia akademik dengan kebutuhan industri.

Lebih menyedihkan lagi, pekerjaan informal seperti ART atau OB sering tidak mendapatkan jaminan sosial, perlindungan hukum, atau jenjang karier yang layak. Ini mengakibatkan para pekerja muda hidup dalam ketidakpastian jangka panjang, meskipun penghasilan awalnya tampak lebih baik.

Kita tidak boleh mencemooh mereka yang bekerja di sektor domestik. Justru mereka patut diapresiasi karena bersedia menghadapi kenyataan dan menolak menjadi beban negara. Tapi sistem yang gagal menyediakan ruang kerja layak bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi harus dikritik.

Pemerintah perlu mendesain ulang kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan tinggi. Kampus harus lebih peka terhadap tren dunia kerja dan tidak hanya mengejar akreditasi administratif. Kurikulum perlu mengintegrasikan keterampilan hidup (life skills), magang industri, dan kewirausahaan agar lulusan lebih adaptif di berbagai sektor.

Ketika seorang sarjana menjadi ART atau OB, kita tidak sedang menyaksikan kegagalan individu, melainkan retaknya sistem. Sudah waktunya kita menata ulang paradigma tentang kerja, pendidikan, dan keberhasilan. Bahwa kerja adalah soal pengabdian dan tanggung jawab, bukan sekadar gelar atau jabatan.

Mereka yang tidak gengsi bekerja “apa saja” justru sedang mengajarkan kita pelajaran penting: harga diri bukan ditentukan oleh pekerjaan, tetapi oleh kejujuran dan kerja keras.


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment