Di masa lalu, sosok ayah sering digambarkan sebagai figur yang tegas, kaku, dan penuh wibawa. Ia hadir sebagai pemimpin keluarga yang jarang menunjukkan emosi, apalagi bermain atau bercanda dengan anak-anaknya. Bagi sebagian orang, ayah adalah seseorang yang dihormati, namun juga ditakuti. Hubungan emosional yang hangat dan terbuka antara ayah dan anak menjadi hal langka—jika bukan sesuatu yang dianggap aneh.
Padahal, banyak ayah sebenarnya menyimpan kasih sayang yang besar untuk anak-anaknya. Namun demi menjaga citra “kepala keluarga” yang harus disegani, mereka menahan diri untuk tidak terlalu terlibat dalam urusan pengasuhan emosional, membiarkannya menjadi “wilayah ibu”. Tak jarang, sang ayah hanya hadir sebagai pencari nafkah, bukan sebagai figur yang ikut membentuk dunia batin anaknya.
Akibatnya, generasi yang tumbuh di bawah pola ini banyak yang merasa asing dengan ayahnya sendiri. Hubungan mereka terasa canggung, dingin, dan tidak terbuka. Anak sulit mencurahkan isi hati, sementara ayah juga bingung bagaimana cara memulai obrolan selain menanyakan nilai rapor atau memberi wejangan. Hubungan ini tak jarang terus terbawa hingga dewasa: jarang pelukan, apalagi ungkapan “aku sayang ayah.”
Namun, zaman mulai berubah.
Generasi ayah hari ini mulai menyadari pentingnya kelekatan emosional dengan anak. Mereka tidak lagi malu untuk duduk bersila bersama anak di ruang bermain, ikut menggambar di tembok, atau tertawa saat bermain cilukba. Mereka tahu, menjadi teman anak bukan berarti kehilangan wibawa, justru memperkuat rasa hormat melalui kedekatan emosional yang sehat.
Peran ayah tidak lagi semata-mata sebagai "penegak aturan", tapi juga sebagai pendengar yang hadir, teman diskusi yang bijak, dan tempat berlindung yang nyaman. Banyak penelitian modern dalam psikologi perkembangan menunjukkan bahwa kehadiran emosional ayah sama pentingnya dengan peran ibu dalam membentuk kepribadian anak. Ayah yang hangat dan responsif dapat meningkatkan rasa percaya diri anak, mendorong kecerdasan emosional, dan memperkuat relasi sosial mereka di kemudian hari.
Namun, tentu saja perubahan ini tidak datang begitu saja. Ia lahir dari refleksi panjang dan keberanian untuk memutus pola lama. Dibutuhkan keberanian bagi seorang ayah untuk mengakui bahwa cara lama tak selalu relevan, dan bahwa kedekatan dengan anak adalah kebutuhan, bukan kelemahan.
Kini, ayah-ayah muda punya pilihan. Mereka bisa menjadi figur yang hadir utuh dalam kehidupan anak-anaknya, bukan hanya sebagai simbol kedisiplinan, tetapi juga sebagai teladan kehangatan. Momen sederhana seperti mengantar sekolah, mendongeng sebelum tidur, atau sekadar mengobrol ringan saat makan malam bisa menjadi investasi emosional yang tak ternilai.
Jika dahulu bermain dan bercanda dengan anak dianggap aneh, maka hari ini, itu adalah keharusan. Karena masa depan bukan hanya milik anak-anak yang cerdas secara akademik, tapi juga mereka yang merasa dicintai, dihargai, dan didampingi—oleh kedua orang tuanya, termasuk ayahnya.
No comments:
Post a Comment