Mungkin bagi sebagian orang, suara "bising" yang berasal dari masjid itu bukan satu soal yang dianggap berat. Mereka mungkin menganggap hal itu sebagai syiar Islam yang harus dilestarikan sehingga regulasi penggunaan atau pembatasan toa masjid dianggap tidak relevan. Mereka mungkin juga tidak merasa terganggu waktu istirahatnya oleh suara-suara itu.
Tapi bagaimana dengan mereka yang merasa terganggu? Karena setiap orang memiliki kebiasaan berbeda. Mungkin sebagian orang terbiasa dengan suara-suara meski dalam keadaan tidur, tapi ada yang tidak bisa tidur dengan suara keras di sekitarnya.
Saya misalnya--meski saya tahu pengalaman pribadi ini subjektif--sering mengalami hal ini gegara jamaah masjid kampung yang baca barzanji pakai speaker luar sampai larut malam. Syukurnya di sini nggak sampai ada orang bangunin sahur pukul dua dini hari. Karena di kesempatan yang lain, ada seorang teman yang misuh-misuh karena dibangunkan oleh toa masjid pukul 2 dini hari. Mana kostannya samping masjid lagi.
Lebih ajib lagi, bangunin sahurnya pakai sound Mimi Peri lagi! Apa-apaan! (Soal bangunin sahur macam orang tak beradab, kamu akan menemukan orang bangun sahur pakai sound avatar, nyanyi-nyanyi gak jelas dan semisalnya. Seakan di masjid gak perlu adab dan tata krama.
Barangkali ada di luar sana orang-orang yang misuh-misuh dalam diam. Cuma gak berani karena khawatir dibilang 'orang gak tahu diri yang anti sama syiar agama sendiri. Padahal gak semua yang berisik itu dianggap 'syiar' Islam. Justru "syiar palsu" yang bertentangan dari tujuan agama itu sendiri. Agama sebagai jalan yang membawa kemaslahatan. Syiar itu tidak bisa dinilai atau diukur dari ramai atau tidak ramainya toa masjid.
Bro, kita gak aneh-aneh kok. Cuma tadarusan aja!
Coba deh belajar lagi soal hukum tadarus dengan suara yang dikeraskan.
Hukum membaca Alquran di masjid dengan suara keras itu diperbolehkan selama tidak mengganggu orang lain. Baik orang yang tengah beribadah di masjid ataupun orang di luar masjid. Kalau baca Alquran tapi justru mengganggu, jatuhnya bukan pahala, tapi dosa. Bisa aja sih dapat pahala dari baca Qur'annya. Tapi di saat yang bersamaan dapat dosa karena mengganggu orang lain.
Biar lebih afdhol, nih sekalian saya kutip dalilnya yang saya ambil dari laman konsultasi syariah (dot) com.
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha dari al-Bayadhi (yaitu Farwah bin Amru) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui manusia ketika mereka sedang shalat dan suara bacaan mereka keras, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang shalat itu bermunajat (memohon) kepada Tuhannya, maka hendaklah dia melihat apa yang dimohonkannya, dan janganlah sebagian di antara kalian membaca al-Quran dengan keras di hadapan yang lain.” Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang senada dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu.
Sebenarnya untuk tadarusan saya tidak sensi (beda perkara soal bangunin sahur) Lha wong orang ngaji masa kita mau marah. Cuma dikondisikan saja. Jangan sampai dua masjid yang jaraknya berdekatan sama-sama nyetelin murotal kenceng, akhirnya suara dari dua toa itu bersipongang dan tabrakan satu sama lain. Bukannya bikin adem malah jadi terkesan bising karena suara yang tumpang tindih. Disepakati aja antara dua DKM, masjid/mushola mana yang mau melantunkan Al-Qur'an.
Terus, kalo memang mau ada tadarusan, please, selektiflah. Jangan biarkan mic itu dikuasai oleh bocil-bocil yang belum lancar baca Alquran. Kalau bisa dipilih mereka yang sudah fasih, lancar dan tartil bacaan Qur'annya.
Meski secara pribadi saya lebih prefer ke tadarusan tanpa speaker luar.
Again, kalau memang tetep pengen speaker luar, kalau bisa suaranya diatur soft ya. Jangan kencang-kencang. Desibelnya dikurangi. Apalagi di pemukiman padat penduduk.
Dan omong-omong, soal regulasi penggunaan speaker dalam ini juga ternyata bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara dengan mayoritas muslim seperti Arab Saudi dan Mesir. Di Mekah yang 100% muslim saja diatur dengan ketat. Adalah hal yang wajar jika kemudian di Indonesia juga diatur hal seperti ini.
Ini tidak ada sangkut pautnya dengan islamophobia. Apalagi menganggap aturan ini aturan pesanan minoritas terhadap mayoritas. Lha wong, yang sesama muslim aja banyak kok yang tidak berkenan.
Tapi masa iya orang dangdutan dan hajatan gak diatur. Sementara orang pake toa masjid diatur!
Gini, masa iya sih kita mau disamakan sama orang-orang jahil yang suka dangdutan. Orang mabuk dangdut ya wajar gak tahu aturan dan tatakrama. Barangkali mereka gak paham adab. Lha, jamaah masjid, DKM masjid atau siapa pun itu yang ada korelasinya dengan agama, masa iya gak paham adab? Tidak perlu menolak aturan ini dengan membandingkannya dengan 'kemungkaran' yang lain. Karena itu beda level.
Bijaksana Dalam Memahami Pembatasan Toa Masjid
Saya tidak setuju ketika umat Islam di Bali harus ikut-ikutan Nyepi dengan cara tidak menyalakan lampu dan tidak shalat berjama'ah di masjid. Ini sama saja memaksa umat Islam merayakan nyepi. Ya minimal tidak berkendara, tidak apa-apa. Tapi kalau ibadah shalat di masjid saja harus diatur oleh mayoritas maka itu jelas keliru. Lha wong, menurut Islam shalat berjama'ah itu fardu. Ini sama saja memaksa Hindu merayakan hari raya idul Fitri dengan mengikuti ritual orang Islam. Dan tentunya bukan hanya saya, banyak yang menganggap itu tidak relevan, meski umat Islam di Bali sendiri dengan legowo menerima aturan itu karena khawatir terjadi kisruh. Di sini kita berpikir aturan itu tidak adil. Dan memang tidak adil.
Saya tidak setuju ketika Prancis menerapkan aturan larangan memakai jilbab dan abaya dengan segala kebijakan anti islamnya dengan alasan sekulerisme. Dan tentunya seluruh umat Islam menganggap hal itu satu hal yang menjijikan.
Lalu,
Ketika kita menjadi mayoritas, kita akan menganggap bahwa kita bisa egois sebagaimana orang-orang mayoritas di dua kasus yang saya sebut di atas. Lalu bedanya kita dengan mereka apa?
Lho, emang ada ya, umat Islam ketika mayoritas menjadi egois?
Ada
Tapi--triger warning--di sini saya bukan menggugat agama saya sendiri! Tapi menggugat sebagian penganutnya.
Jangan jauh-jauh di negeri kita saja. Ketika ada aturan toa masjid saya pada bilang begini, "Kita mayoritasnya di sini, kalau tidak suka pindah saja."
Saya pikir timbangan benar atau salah itu bukan soal mayoritas atau minoritas. Semua ditimbang berdasar asas keadilan dan kemaslahatan bersama yang menjadi ruh dari ajaran Islam itu sendiri.
NB: Saya sebenarnya pada mulanya tidak mau berkomentar soal pembatasan shalat saat Nyepi di bali dengan alasan umat Islam di Bali sendiri adem ayem. Cuma saya sengaja ketengahkan di sini untuk memberi sebuah analogi kepada teman-teman yang menganggap aturan pembatasan toa itu 'merugikan mayoritas.'
No comments:
Post a Comment