28 Feb 2025

Bagaimana Hoax Diproduksi?

 


Sebuah medsos milik partai berlambang garuda memberikan informasi keliru tentang gerakan mahasiswa #IndonesiaGelap. Dalam narasi yang diunggah di medsosnya, partai berlambang garuda itu memberikan sebuah tangkapan foto sekumpulan mahasiswa berjaket kuning tengah membagikan uang dengan narasi, 'mahasiswa yang demo Indonesia gelap itu ternyata mahasiswa bayaran!


Kemudian beberapa media bernas mencoba mengecek foto itu di mesin pencarian google lens dan menemukan fakta bahwa foto itu bukan dalam peristiwa démontrasi Indonesia gelap yang dilaksanakan di bulan Februari 2025. Tapi foto itu bersumber dari aksi démonstrasi menolak PPN 12% Desember yang lalu. Foto kegiatan demonstrasi yang berbeda dgn narasi. Soal uang yang dibagikan saat demo, ketika dizoom dan disandingkan dengan foto-foto lainnya di kegiatan yang sama, maka diketahui itu hanya uang mainan sebagai simbol bahwa mata uang negara tengah dipermainkan.


Setelah fakta2 kekeliruan itu mengemuka, medsos partai berlambang kepala garuda itu serta merta menghapus unggahan itu. Lenyap. Tak pula meminta maaf atas informasi keliru yang diberikan. Ini sekelas partai lho, bisa-bisanya menebar hoax.


Para pendukungnya setali tiga uang. Sudah terlanjur repost ke sana ke mari, eh ternyata itu informasi palsu, dimana gambar dan caption gak nyambung dan tak memiliki korelasi sama sekali. 


Fragmen di atas adalah sebagai contoh betapa hoax begitu mudah diproduksi dan menyebar. Apalagi jika hoax itu diproduksi oleh institusi besar dan publik figur yang banyak pengikut. Biasanya, para penggemar akan menelan semua yang disampaikan oleh idolanya, entah figur atau partai. Dan semua itu dianggap fakta. Maka penting bagi kita untuk memiliki saringan dan tidak buru-buru percaya tanpa meninjau informasi itu terlebih dahulu. 


Saya pingin ketawa kalo liat orang koar-koar bahwa apa yang dia katakan adalah sebuah fakta hanya dari:


1. Pengalaman pribadi yang subjektif. Padahal bisa saja pengalaman setiap orang itu berbeda dan beragam. Sehingga dengan pengalaman masing-masing, setiap orang memiliki sudut pandang dan pemikiran yang berbeda.


2. Tidak menyajikan fakta dan keterangan dari dua belah pihak yang kontra. Both of side. Padahal, ini adalah hal yang paling mendasar dalam kaidah-kaidah jurnalistik. Mencukupkan diri dengan hanya menyajikan keterangan dari salah satu pihak tanpa mendengar keterangan dari pihak yang berseberangan adalah hal yang cacat. Hal ini tidak melulu soal wawancara pihak-pihak yang terlibat pro dan kontra, tapi juga membaca data dengan sudut pandang yang beragam.


3. Mencukupkan diri pada asumsi pribadi (opini). Ini ada kaitannya dengan point yang pertama. Bedanya, poin 1 bicara soal pengalaman pribadi, yang poin ketiga ini hanya opini/pendapat tanpa adanya pengalaman langsung atau data-data. Ya sah-sah saja sebenarnya memiliki opini, tapi yang konyol adalah menganggap opini pribadi atau opini orang-orang yang satu pandangan dengannya sebagai sebuah kebenaran tanpa disertai dan ditunjang dengan data-data valid yang komprehensif.


Termasuk dalam poin 3 ini adalah orang-orang sumbu pendek yang begitu mudah percaya dengan propaganda-propaganda--bahkan mereka tidak bisa membedakan antara propaganda dan fakta objektif--. Misal, mereka melihat video pendek di platform, membagikannya tanpa menyaring, dan pada akhirnya malu sendiri ketika kedapatan bahwa itu adalah pendapat subjektif yang bertentangan dengan fakta yang sesungguhnya. Lalu menghapusnya diam-diam tanpa klarifikasi bahwa informasi yang kadung dia bagikan adalah informasi keliru.


Tapi yang jelas hoax akan terus diproduksi dan disebarkan selama ada dua pihak yang berseberangan ingin saling menyerang lewat jalan lancung. Karena kabar hoax dibuat oleh orang jahat, disebar oleh orang bodoh, dan dipercaya oleh orang idiot.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment