Di masa Orba dulu, orang-orang memahami 'orang komunis' secara hitam putih. Orang yang terafiliasi dengan komunis sudah pasti kejam dan biadab. Tidak ada opsi lainnya. Jika kamu bukan seorang yang kejam, kamu artinya bukan komunis. Tapi kalau kamu kejam, kamu pasti komunis.
Karena paham yang terlalu hitam putih inilah kemudian karya-karya tulis yang kebetulan lahir dari pemikiran orang yang terafiliasi dengan komunis dianggap sebagai karya-karya tulis yang bermuatan ajaran-ajaran biadab yang harus dimusnahkan dan dilarang peredarannya.
Diantara karya tulis yang dituduh berpaham komunis yang dilarang di masa Ode baru itu adalah tetralogi (serial empat buku) Pulau buru karya Pramoedya Ananta Toer. Setiap tersebut dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru karena memang ditulis selama Pram mendekam di penjara rezim orba selama sepuluh tahun lamanya.
Tetralogi karya Pram tersebut resmi dilarang oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1981 dengan dalih bahwa novel-novel itu mengetahkan pertentangan kelas sosial yang identik dengan ajaran komunis. Tetralogi tersebut dilarang setelah delapan bulan terbit dan beredar di khalayak ramai. Pasca pelarangan, buku-buku itu masih tetap dibaca secara sembunyi-sembunyi lewat buku bajakan dan fotocopian.
Selepas SMA, ketika saya sudah bekerja dan mampu menyisihkan sedikit gaji buat beli buku, mencoba membeli salah satu judul dari bagian tetralogi itu, Jejak Langkah. Selepas Jejak Langkah, saya membaca Bumi Manusia dan Rumah Kaca. Kala itu saya berpikir ini memang sebuah mahakarya yang inspiratif dan memberi saya banyak wawasan tentang kondisi masyarakat Indonesia terutama kalangan aktifis nasionalis di masa Hindia Belanda. Apakah di tetralogi Pulau buru itu saya menemukan Pram mengasongkan ideologi komunis dan Marxisme? Saya tidak menemukannya. Atau barangkali saya tidak menyadarinya. Saya justru menemukan pesan-pesan perlawanan terhadap kedzaliman dan keadilan lewat alur dan penokohan yang berkelindan.
Di negeri-negeri komunis sendiri, pelarangan terhadap karya tulis setali tiga uang dengan kondisi yang terjadi di masa Orba di negara Indonesia. Di Cina dan Rusia, buku-buku yang dianggap mengasongkan ide kapitalisme dan bertentangan dengan paham sosialisme dilarang dengan amat keras. Bahkan, di Uni Soviet yang konon banyak melahirkan penulis tersohor, ada penulis yang justru karyanya diterbitkan di negara lain alih-alih di negerinya sendiri.
Di masa silam-dan juga masa sekarang--larangan membaca buku-buku tertentu karena dihakimi sebagai karya-karya yang menyesatkan seringkali tak lepas dari propaganda tak berdasar. Antar ideologi, Mazhab dan kepentingan saling sikut untuk mendapatkan pengaruh, salah satunya adalah dengan melarang penerbitan dan peredaran buku-buku lawan politik/ideologi dan Mazhab.
Kisah pribadi saya pada karya Pram adalah hanya satu fragmen. Ada fragmen lain yang memberi saya pemahaman penuh tentang betapa orang seringkali ketakutan pada buku atau tulisan hanya karena berdasar kata orang.
Ada seorang teman yang menjelaskan bahwa seorang pendakwah milenial yang banyak dikenal di media sosial terindikasi Syiah. Tuduhan itu saya pikir adalah sebuah kebenaran. Lalu saya mencoba membaca buku sang ustadz yang ternyata isinya jauh dari gambaran yang kadung sudah tertanam di benak saya. Saya sudah beberapa kali membaca buku-buku orang yang dianggap Syiah. Saya seringkali bisa mendeteksi bahwa seseorang itu Syiah ketika dia tidak mau mengutip kisah dan hadis-hadis yang menjadi pakem di kalangan ahlus sunnah. Tapi si ustadz yang dianggap Syiah itu justru di beberapa kesempatan mengisahkan narasi inspiratif dari perjalanan hidup bunda Aisyah dan Umar bin Khatab.
Hal yang sama saya dapati dalam pertentangan Mazhab agama. Sering saya menemukan tulisan seseorang yang tidak suka gerakan reformis Salafi yang mengajak para pengikutnya untuk mewaspadai ajaran 'salafi/Wahabi' yang mereka anggap sesat. Begitu pun sebaliknya. Atau mereka yang tidak suka dengan wacana 'Khilafah' akan membuat list buku-buku ala HTI yang tidak boleh 'dikonsumsi.'
Pertanyaannya, Apakah perlu pelarangan itu diberlakukan?
Bagi saya pribadi, larangan seringkali cara yang kontraproduktif untuk membendung sebuah paham. Karena ketika ada larangan, seringkali orang merasa penasaran. Seberbahaya apa sih buku itu?
Sebagai seorang ahlus sunnah, tentu saja saya sepakat jika umat Islam diberi warning tentang faham-faham sesat yang melenceng dari mashdar syar'i dan koridor yang sudah ditetapkan jalannya yang teramat terang dan lurus. Tapi apakah cukup dengan larangan semacam, 'jangan baca buku ini dan itu?'.
Saya pikir tidak. Umat lebih membutuhkan alasan dan hujjah alih-alih larangan tanpa dasar dan bukti. Apalagi propaganda kering yang hanya berupa tuduhan tanpa menjelaskan di mana dan dihalaman berapa kekeliruan sang penulis lengkap dengan bantahan sekalian hujjahnya.
Sementara dalam ranah karya sastra, saya yakin, para penikmat sastra adalah orang-orang pintar dan dewasa yang mampu memilah karya yang baik dan buruk. Karya sastra tidak perlu dilarang karena si pembaca bisa menentukan sendiri penilaian mereka terhadap produk sastra tersebut.
Buat teman-teman yang punya pandangan, bisa berbagi argumen di kolom komentar.
No comments:
Post a Comment