17 Jan 2025

Ustadz Jalur Google

 USTADZ TAPI BELUM PERNAH NYANTRI, EMANG KENAPA? 


Tadi pagi saya menemukan ada teman di facebook yang mengatakan bahwa dirinya pilah-pilih dalam urusan menuntut ilmu. Jika ustadz yang ceramah itu belum pernah mondok, dia ogah dengerinnya. Tapi kalo sang ustadz itu pernah mondok, maka dia pun akan dengan senang hati menerima dan mendengarkan ceramahnya. 


Bro and sis, keilmuwan seseorang itu memang bisa diukur dengan seberapa lama dia menuntut ilmu di sebuah tempat pengkaderan ilmu (baca: pesantren/sekolah/kampus dsb). Akan tetapi itu bukan faktor utama seseorang menjadi pintar. Toh, banyak juga lulusan pondok yang jadi sekularis/liberalis. Toh ada juga lulusan pondok yang justru shalat pun masih bolong. 


Lagi pula, dengan meremehkan ustadz/ustadzah yang belum pernah mondok, itu artinya ada bibit kesombongan di hati kita. Ingat sabda kangjeng Nabi, “Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan sesama manusia.”


Lha iya, meremehkan ustadz/ustadzah yang belum pernah nyantri itu bisa jadi sombong. Sombong karena diri pernah mondok sementara si ustadz belum pernah. Sombong karena menganggap ustadz2 itu masih cetek keilmuannya, hanya karena belum pernah mencicipi pondok pesantren.


Bro and sis,


Boleh jadi ustadz/ustadzah tersebut tidak pernah nyantri di pondok pesantren, tapi justru belajar agama di universitas islam dengan mengambil konsentrasi ilmu islam? Bukankah itu juga nyantri? Lagian menuntut ilmu agama itu tidak harus melulu ngaji kitab kuning di pesantren2 tradisional, kan? 


Atau Boleh jadi ustadz/ustadzah itu tidak pernah menuntut ilmu di lembaga pesantren, tapi dia rutin datang dan sowan ke kyai/ustadz/syaikh untuk mengambil ilmunya secara talaqi. Nah, ini juga nyantri kan?


Atau, boleh jadi ustadz/ustadzah itu tidak pernah mondok, tapi dia rajin menelaah buku/kitab. Kemudian dia akan menanyakan langsung kepada pengarang kitab jika didapatkan ada yang tidak dipahami. Talaqqi lagi. Bukankah ini juga nyantri.


Jadi berhentilah mendefinisikan kata santri dengan hanya mereka yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren tradisional saja. 


Lagi pula, kita tidak bisa mengukur kedalaman ilmu seseorang hanya dari selembar ijazah atau riwayat pendidikan di CV. 


Lagi lupa kita juga pernah mendengar hadits nabi, “Sampaikanlah walau satu ayat.” Nah, jika memang yang disampaikan ustadz/ustadzah itu benar, maka terima saja. jika salah, ya tinggalkan apa yang salah itu. Mereka mungkin sedang mengamalkan hadits ‘sampaikan meski satu ayat yang kita tahu.’


Lagi pula, gelar ustadz/ustadzah itu tidak disematkan oleh dirinya sendiri, tapi disematkan oleh masyarakat yang percaya pada keilmuan yang bersangkutan.


Lagi pula, pilah pilih ustadz ini kadang dijadikan alat sentiment golongan. Buktinya, ada ustadz muhammadiyah yang dianggap remeh oleh warga NU karena mazhab. Ada ustadz ‘wahabi’ yang ditolak dakwahnya karena pernah ‘nyantri’ di arab Saudi. Nah, lho…


Ngaji dari Google, Emang Kenapa?


Selama ini, terjadi perselisihan antara Islam tradisionalis dengan islam transnasional. Islam Tradisionalis terkadang mengejek kelompok Islam transnasional dengan sebutan 'santri Google' sembari membangga-banggakan kepiawaian mereka dalam urusan ilmu nahwu Sharaf dan Balaghoh. Seakan-akan, semua permasalahan agama bisa ditimbang dalam ilmu nahwu Sharaf. Tidak itu fiqih atau Tauhid.


Padahal, kalau mau jujur, kalangan islam transnasional juga banyak yang jago dalam urusan kaidah nahwu Sharaf. Hanya saja mereka tidak menganggap nahwu Sharaf sebagai segalanya. Tapi nahwu Sharaf berikut bahasa arab sebagai alat untuk belajar syariat dengan ditunjang disiplin ilmu lainnya.


Sah-sah saja belajar dari Youtube atau google. Meski pada dasarnya belajar di majlis ilmu jauh lebih mulia karena dihadiri oleh para malaikat dan disebut sebagai bagian dari taman surga.


Yang paling penting dari belajar itu adalah jelas maraji' atau sumber rujukan ilmiahnya. Tak peduli dia belajar dari kitab kuning, kitab putih, atau google sekalipun. Hai, sekarang pun kutubus sittah (Kitab hadits yang enam) pun ada di google. Ada websitenya, lengkap dengan perawinya, nomor hadits dan tetek bengek lainnya.


Jadi, tak perlu nyinyir kepada mereka yang nyantri dari google.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment