Hari itu, medio tahun 2021, saya mencoba peruntungan untuk mengajukan naskah saya ke sebuah penerbit yang boleh dibilang penerbit bonafide yang sudah puluhan tahun lamanya malang melintang di dunia literasi dan penerbitan. Selang beberapa pekan setelah mengajukan naskah via surel, saya mendapatkan surel balasan dari editor. Betapa bahagia hati saya dibuatnya karena ada respon yang sangat cepat dari redaksi.
Akan tetapi kegembiraan saya menguap. Bukan karena pemberitahuan bahwa naskah saya ditolak atau semisalnya. Mengingat untuk penilaian sebuah naskah yang masuk ke meja redaksi biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 bulan lamanya, tergantung dari antrian naskah yang masuk.
Yang menjadi soal utama adalah bahwa editor tersebut memberitahukan kepada saya bahwa penerbitannya mulai fokus pada penerbitan buku digital (e-book) sejak awal tahun 2021.
“Kami sudah menghentikan penerbitan buku baru versi cetak sejak akhir tahun 2020,” aku sang editor kepada saya. Kemudian beliau menawarkan kepada saya untuk melanjutkan menerbitkan buku di platformnya dengan versi digital atau menarik naskah tersebut dari penerbit yang dia gawangi.
Saya merasa gamang. Akankah saya menerbitkan buku versi digital di penerbit tersebut atau saya sendiri yang menerbitkan buku itu sekaligus saya sendiri yang memasarkannya dengan modal dari kocek saya sendiri (baca: self publishing).
Yang jelas, pada akhirnya saya memutuskan untuk menarik naskah tersebut dan mencoba peruntungan di platform digital lain dengan beragam pertimbangan.
Saya pikir melemahnya industri penerbitan ini adalah hal yang tidak bisa kita hindari pasca merebaknya digitalisasi dalam semua lini kehidupan. Kemudian hal ini mencapai titik kulminasi ketika kita didera pandemi covid-19. Jika kita melihat laporan-laporan yang beredar, kita bisa menemukan fakta bahwa semasa pandemi atau pasca pandemi, bisnis penerbitan buku cenderung melemah. Hal ini sebagaimana diungkap dalam artikel yang ditulis oleh Nabila Syafira, 'Bagaimana Pandemi Covid-19 Mengubah Dunia Penerbitan.' Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa penerbitan buku cetak semakin menurun. Sebaliknya, karena ada himbauan untuk tetap di rumah, permintaan dan pembelian buku elektronik cenderung meningkat.
Agaknya para penerbit tahu diri dan tahu keadaan yang tidak bisa dihindari itu sehingga mereka harus beradaptasi dengan digitalisasi. Selain menerbitkan buku versi cetak, penerbit juga menerbitkan buku versi digital. Jika buku tersebut dianggap menarik, biasanya diterbitkan dalam dua format. Akan tetapi jika penerbit merasa pesimis buku versi cetak tidak terlalu menangguk untung, mereka hanya menerbitkannya dalam bentuk buku elektronik.
Cobalah kita lihat betapa jika dahulu buku hanya ada dalam versi cetak, maka kini buku-buku tersebut juga dipajang di rak virtual dalam bentuk digital. Begitu juga dengan platform-platform kepenulisan semacam wattpad, KBM App dan semacamnya. Platform baca dan tulis digital itu jumlahnya ada lusinan. Bahkan orang sekarang bisa baca buku gratis secara legal di aplikasi ipusnas.
Jaringan toko buku setali tiga uang dengan penerbit yang mencoba bertahan dalam era digital. Mereka juga memasarkan buku-buku digital di aplikasi baca yang mereka luncurkan. Sebagai contoh adalah Gramedia digital. Di aplikasi tersebut, kita bisa membeli beragam buku digital dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga buku cetak. Kita bisa membeli buku satuan atau bebas akses beragam buku dengan berlangganan.
Jika teman-teman ke toko buku, cobalah teman-teman lihat bagaimana spot toko buku kini tidak hanya menjual buku, tapi juga keperluan dan peralatan sekolah, alat digital hingga alat olahraga sekalipun. Hampir 30% spot pojok toko buku kini diisi oleh item non-buku. Padahal tahun 80-an, yang namanya toko buku pure menjual buku. Kini toko buku pun sudah memahami bahwa orang-orang mulai jarang yang tertarik dengan buku cetak dan lebih memilih produk buku digital.
Selain itu, permasalahan yang tak kalah mengerikannya adalah produksi buku bajakan yang semakin masif. Selain memilih membaca buku digital, sebagain orang juga lebih cenderung berbelanja buku secara online lewat berbagai macam e-commerce. Letak masalahnya bukan berubahnya pola belanja buku, melainkan pada penjualan buku bajakan yang marak di e-commerce. Bahkan seringkali buku bajakan yang dijual di platform jauh lebih laris dibandingkan dengan penjualan buku aslinya. Tentunya hal ini kiamat bagi pihak penerbit dan penulis. Mereka dirugikan serugi-ruginya.
Kenapa buku bajakan lebih diminati? Karena buku-buku bajakan itu sangat murah. Mereka menjual buku dengan harga yang miring karena memang kualitas kertas dan penjilidan yang apa adanya. Tidak ada bagi hasil ke penulis, penerbit, pemasar serta potongan pajak, sehingga wajar jika harganya jauh lebih murah. Sementara para pembaca kita, tidak pernah sadar akan pentingnya membeli buku original. Mereka masa bodoh dengan nasib-nasib para penerbit dan penulis yang megap-megap karena kehabisan napas.
Sehingga dengan alasan inilah para penulis dan para penerbit menjadi jengah dan kurang bersemangat. Penerbit malas menerbitkan buku baru. Penulis malas untuk menulis lagi. Apalagi tak ada tindakan tegas dari aparat atau instansi terkait hak cipta. Pada akhirnya, hal ini berimbas pada nasib literasi dan peradaban di masa yang akan datang. Jika penerbit dan penulis sudah malas memproduksi buku, seperti apa kualitas anak cucu kita di masa yang akan datang?
Inilah senja kala dunia penerbitan. Ambang kerapuhan itu telah mulai tampak terlihat sempurna. Jika sebelumnya kita sudah melihat bagaimana media massa, baik berupa koran dan majalah, bertumbangan satu persatu, kini dunia penerbitan mulai mengalami hal yang sama. Mereka tidak mau rugi dan mengambil resiko buku terbitan numpuk di gudang karena tidak laku di pasaran.
Bisa saja segelintir orang menghasilkan kesuksesan luar biasa dari buku. Tapi orang itu sudah diperhitungkan di dunia ingar bingar digital. Kita tentunya tidak asing dengan fenomena ketika ada satu tokoh publik menerbitkan buku dan penjualannya meledak. Begitu juga kita juga tidak aneh melihat buku yang diterbitkan dari platform kepenulisan yang pembacanya sudah berjuta-juta. Jadi, untuk sukses menerbitkan buku cetak, sekarang kamu harus punya modal bernama ‘nama’. Kamu harus terkenal, baru bukumu bisa meledak. Kamu tidak hanya harus bermodal kepiawaian dalam tulisan, tapi juga harus pandai-pandai menaikan nama di platform media sosial atau media kepenulisan digital.
Sementara, para insan literasi yang tak punya nama (atau paling tidak belum dikenal khalayak), mereka berpuas diri dengan menerbitkan bukunya secara self publishing hanya untuk menuntaskan rasa haus akan eksistensi di dunia literasi. Kemudian mereka sendiri yang menjualnya. Mungkin ada yang hanya mampu menjual satu dua eksemplar, lusinan, puluhan hingga ratusan.
Terlepas dari semua itu, kita tak boleh mengeluh. Saatnya berinovasi dan berkreasi. Dunia memang tidak selalu seperti yang kita inginkan. Tapi kita harus tetap bertahan melestarikan aksara di tengah belantara digitalisasi yang semakin menggejala.
No comments:
Post a Comment