Cerpen oleh Husni Magz
Dia akan mati karena kanker! Gaung itu selalu menghantui. Ketika tidur gaung itu mengganggu mimpi. Ketika melamun, gaung itu semakin bersipongang merecah setiap asa. Ketika terjaga, gaung itu masih tetap membuntuti. Anakku akan mati karena kanker yang bersarang di otaknya.
“Usianya diprediski hanya tinggal dua bulan.” Vonis dokter kian meleburkan setiap asa yang ada. Bahkan doa-doa pun tampaknya tak memiliki arti apa-apa dibandingkan ketakutan yang menguasai segenap perasaanku. “Oleh karena itu, gunakan waktu yang terbatas ini sebaik-baiknya. Anda bisa melakukan semua hal yang bisa anda lakukan bersama putri Anda. Anda bisa memenuhi semua keinginannya.”
Apa keinginannya? Suatu hari aku pernah bertanya pada Tasya, tentang apa harapan atau keinginan yang dia inginkan selama ini. Tentu saja aku tidak pernah mengatakan secara jujur kepadanya tentang takdir yang harus dia jalani. Aku berharap ada keajaiban sehingga malaikat maut itu tidak datang dua bulan kemudian. Karena kupikir dokter bukan tuhan yang tahu kapan malaikat maut mendapatkan titah untuk membawa bau kematian.
“Kamu mau boneka beruang yang besar?” tanyaku. Dia menggeleng.
“Atau ingin pergi berlibur ke Singapura?” lagi-lagi dia menggeleng.
“Kalau begitu, mau kamu apa, sayang?”
Manik matanya menatapku dengan lembut, menyelusup sanubari yang paling dalam. Kemudian dia melihat mataku mulai berkaca. “Bunda kenapa menangis?”
“Ah, tidak apa-apa. Bunda hanya sayang sama Tasya,” sergahku cepat. “Ayo, katakana apa yang kamu inginkan, sayang.”
“Aku ingin Ayah…”
“Oh, kamu ingin bertemu ayah. Ya sudah, minggu depan kita berkunjung ke Bandung ya. kamu akan bertemu ayah.” Di dalam hati aku bertanya-tanya, bukankah Tasya baru bertemu ayahnya tiga hari yang lalu. Kenapa secepat itu dia ingin kembali bertemu dengan ayahnya?
“Bukan, Ma. Tasya tidak mau ke Bandung. Tasya lelah.”
“Nah, makanya itu, sayang, ke Bandung itu kan bukan jarak yang dekat. Bagaimana kalau Tasya telpon ayah saja.”
“Tasya ingin Mama sama Papa tidak bercerai.”
Kalimat itu jelas membuat jiwaku kembali terguncang. Aku tahu Tasya bukan lagi anak kecil yang bisa dibohongi. Dia anak kelas empat SD yang tahu arti dari kehidupan dan drama yang telah kami lewati bertahun-tahun lamanya. Dia tahu semua itu. Aku saja yang telalu bodoh karena selalu menganggapnya anak kecil.
“Tapi itu tidak mungkin. Mama dan Ayah sudah bercerai setahun yang lalu, kan?”
“Memangnya kalau sudah bercerai tidak bisa menikah lagi ya, Bunda?”
“Iya, tidak boleh bersatu kembali.”
“Tapi orangtua temanku Cika, mereka bisa. Cika pernah bilang bahwa kedua orangtuanya balikan lagi.”
Aku tidak lagi bisa berkata-kata. Tapi, di hatiku yang paling dalam aku didera rasa gamang. Akankah aku harus mewujudkan harapan Tasya sebelum kematian menyambanginya? Apa yang harus lakukan? Apakah aku harus mendatangi Hardi dan memintanya untuk menikahiku kembali? Bah! Sungguh tidak ada harga diri jika aku melakukan itu. Dahulu, aku mengugat cerai karena banyak persoalan yang melatarinya. Hardi bukan orang berada yang mampu membiayai kuliah program magisterku. Sementara dahulu, sebelum menikah dia berjanji akan membiayai pendidikanku. Buktinya nol besar. Ketika aku mendapatkan beasiswa dari Australia untuk program magisterku, dia menolak mentah-mentah.
“Seorang perempuan tidak boleh bepergian tanpa mahromnya!” begitulah sesumbar Hardi.
“Kenapa kamu melarang? Bukannya kamu yang dahulu berjanji akan membiayai kuliahku. Tapi buktinya tidak. Sekarang, giliran saya mendapatkan beasiswa, kamu masih tetap menolak?”
“Toh kuliah bisa dilakukan kapan saja. Sekarang belum waktunya!”
“Lalu kapan?”
Dari titik itulah kemarahanku memuncak. Menguggat cerai ke pengadilan agama demi obsesiku kuliah di luar negeri. Dan aku memang, dia kalah. Hak asuh Tasya ada padaku. Setelah semua proses hukum dan perceraian selesai, aku segera terbang ke Australia, sementara Tasya aku titipkan di rumah ibu di Jakarta. Sayang sekali, setahun telah berjalan, aku harus kembali pulang ke tanah air karena pandemi corona. Aku hanya perlu menghadiri kuliah online lewat zoom meeting, sementara sebagian waktuku kuhabiskan bersama Tasya. Menebus bulan demi bulan yang kulalui tanpanya.
Hingga kanker itu benar-benar menghancurkan kebahagiaanku. Lebih tepatnya kebahagiaan kami semua. Perihal kanker itu, aku juga mengatakannya kepada Hardi. Lelaki itu seperti biasa, tampak begitu tenang dan selalu optimis. Dia bilang, Tasya bisa saja hidup lama dan kanker itu akan lenyap seiring kemoterapi yang selalu dijalani. Untuk urusan mengelola gejolak emosional, dia lebih pintar dibandingkan diriku.
Sekali lagi, aku tegaskan bahwa saat ini aku didera gamang. Aku tidak akan mungkin meminta lelaki itu menikahiku untuk yang kedua kalinya. Mau ditaruh dimana mukaku? Masih mending jika perceraian ini karena kemauannya, bukan karena kemauanku.
Hingga kemudian takdir menemukan jalan lain ketika Tuhan lebih memilih mengambil Tasya dari kehidupanku. Itu hari yang kelam. Hitam. Tak ada gairah sama sekali.
Di hari pemakamannya, aku tergugu di samping tanah yang masih merah. Bunga kamboja berguguran satu persatu, seakan memintaku untuk segera berlalu. Tapi aku tetap bergeming. Duhai, malam ini putriku tidur beralaskan tanah, tanpa selimut dan kedinginan. Malam ini putriku tidur tanpa lampu penerang.
“Hari sudah sore, Nir. Saatnya kita pulang.” Satu suara bariton muncul di belakangku. Bertepatan dengan satu tangan yang mendarat di bahu ringkihku. “Kakak sama Tante sudah pulang semua.”
“Aku tak ingin meninggalkan Tasya sendirian disini.”
“Dia sudah bersama Tuhan, Nir. Kamu harus merelakan kepergiannya.”
Saat itu, kamu mencoba duduk di sampingku dalam diam, menekuri tanah merah pekuburan. Sesekali melirikku dengan mata sayu yang dihinggapi rasa prihatin. Belasan menit kemudian kamu kembali membujukku untuk pulang. Sehingga aku tak punya pilihan lain selain mengikuti kehendakmu.
Setelah kepergian anak semata wayang kita, kau seakan kembali hadir dengan kehangatanmu yang dahulu aku kenali di saat pertama kali kita bertemu. Kau selalu bertanya tentang kabarku, ‘Apakah aku baik-baik saja? Apakah aku butuh bantuanmu? Apakah kamu ingin melakukan sesuatu untukku?’ Ah, semua itu mengingatkanku pada masa-masa dimana romantisme itu hadir jauh sebelum Tasya lahir.
Hingga suatu hari, kamu mengajakku untuk makan malam di restoran dimana kita dahulu pernah saling mengenal. Di malam itulah kita kembali menyadari bahwa ada sepercik cinta dan rindu yang masih bertahan di palung hati kita berdua.
Aku tahu betapa aku ingin mengatakan tentang harapan Tasya sebelum kematiannya. Tapi rasa gengsi dan harga diri mencegahku untuk mengatakan satu kejujuran itu. Hingga pada akhirnya kau sendiri yang membuka hati. “Maukah kita kembali seperti dulu.”
“Maksudmu?”
“Sebelum kepergiannya, Tasya pernah memintaku untuk berjanji supaya bisa menjagamu. Dia bilang, dia tidak ingin hidup di surga dalam keadaan keluarga yang tidak utuh. Dia ingin kita bertiga bersama hingga surga.”
Aku berdecak. “Imajinasi anak-anak memang selalu tinggi.”
“Hei, dia bukan anak-anak. Dia sudah menginjak usia remaja. Apa salahnya jika kamu mempertimbangkan keinginannya.”
Aku menunduk dalam. “Dia juga mengatakan hal yang sama kepadaku.”
Saat itu, aku tahu ada senyum merekah di bibirmu. Ada getar di hatiku. jauh lebih indah dibandingkan larik-larik cahaya matahari senja yang menerobos kisi-kisi jendela dimana kami duduk hanya terpaut meja. Tuhan, kepergian Tasya menjadi jalan kami kembali bersama. Tapi kenapa harus dengan cara itu kami bisa kembali bersatu?
TAMAT

 
 
 Music MP3
 Music MP3 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
No comments:
Post a Comment