Cerpen Oleh Husni Magz
Aku selalu percaya bahwa ibu tiri adalah makhluk Tuhan yang ditakdirkan kejam dan tidak memiliki sifat welas asih sebagaimana sifat dasar yang dimiliki oleh setiap ibu di dunia ini. Setidaknya anggapan itu telah mengendap sekian lama di dalam benakku dari film dan opera yang aku tonton. Selain itu -tentu saja- cerita Mama dan Tante yang telah berbelas tahun lamanya tinggal dengan empat ibu tiri yang berbeda. Ini adalah satu rekor luar biasa untuk anak-anak tiri yang layak diganjar penghargaan rekor muri atau guiness world.
Perlu kau tahu, semenjak nenek meninggal dunia, kakek jadi keranjingan kawin dan tidak pernah awet menjaga maglihai rumah tangga. Pernikahan pertama paska kematian nenek hanya bertahan dua tahun, setelah itu menikah lagi bertahan satu tahun, bahkan pernikahan yang terakhir bertahan hanya enam bulan. Total empat kali Mama dan Tante berganti ibu tiri.
Dan menurut pengakuan Mama dan Tante, empat ibu tiri itu sama kejamnya terhadap mereka berdua.
"Semua ibu tiri sama saja," kenang Mama kepadaku.
Tante yang menjalin rambutku mengangguk. Membenarkan apa yang dikatakan Mama. “Betul. Bibi sampai frustasi dibuatnya.”
"Dulu Mama pernah tidak dikasih uang jajan selama seminggu hanya karena lupa mencuci piring," tambah Mama dengan nada suara penuh dendam.
"Nah, aku juga ingat itu. Kalau tidak salah itu Misnah, ibu tiri yang urutan kedua. Kita bahkan jarang sekali diberi uang jajan," timbal Tante Asma, kembali menggali kenangan dari masa silam yang menurutku begitu mengerikan untuk diceritakan ulang.
"Kemudian ibu tiri yang ketiga, kita sering dipukul rotan," tambah Mama sembari menerawang.
"Kamu pasti ingat bagaimana ibu tiri yang kedua meminta kita untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara dia terlalu asyik memanjakan diri menonton tayangan opera sabun di layar tivi."
Mendengar cerita Mama dan Tante Asma yang telah mengalami hidup dengan empat ibu tiri yang berbeda membuat aku merinding ngeri. Sekejam itukah para ibu tiri di dunia ini?
Setiap kali aku melihat sosok ibu tiri dalam kehidupan nyata, aku membayangkan wajahnya yang sinis. Banyak ibu tiri yang aku temui. Tetanggaku si Yusi menjadi ibu tiri karena menikah dengan seorang duda beranak dua yang ditinggal mati istrinya. Setiap kali aku berpapasan dengan Yusi, aku bertanya-tanya, sekejam apakah Yusi kepada anak tirinya? Apakah dia suka memukul kedua anak tirinya sebagaimana apa yang dialami Mamaku dahulu? Apakah Yusi suka menghukum anak tirinya dan memaksa mereka untuk melakukan banyak pekerjaan yang tidak layak ditanggung oleh anak kecil? Tapi sejauh aku tahu, sikap Yusi baik-baik saja. Dia tampak menyayangi kedua anak tirinya. Pun kedua anak tiri Yusi tampak begitu intim dengan Yusi. Aku sering melihat Yusi menciumi kedua anak tirinya dan menyuapi mereka layaknya laku ibu kandung pada umumnya.
Suatu hari aku pernah tanya Yusi. “Kamu cinta banget sama kedua anak tirimu itu, Yusi?”
“Pertanyaan macam apa itu? Meskipun mereka tidak lahir dari rahimku, setidaknya mereka dititipkan Tuhan kepadaku. Sehingga mengurus mereka adalah kewajibanku.”
Aku hanya mengangguk dan mencoba memahami realita ini. Atau...barangkali tidak semua ibu tiri jahat?
Tapi tampaknya takdir telah mempermainkanku sedemikian rupa sehingga aku menjadi seorang ibu tiri. Peran yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Peran yang selama ini selalu aku anggap sebagai peran antagonis akibat racun opera sabun yang sering aku tonton dalam tayangan ‘tangisan anak tiri.’
Aku benar-benar merasa dipermainkan oleh takdirku sendiri.
Semua bermula dari Ceu Wati. Kakak perempuanku itu menikah Mas Tono, pemuda Jawa tulen yang telah menjadi suami Ceu Wati selama delapan tahun. Sayang sekali, Ceu Wati mengidap kanker payudara di usianya yang menginjak 27 tahun. Tahu-tahu dia merasakan nyeri di kedua payudaranya.Tahu-tahu vonis dokter mengatakan, kanker itu sudah stadium empat. Enam bulan setelah itu, Ceu Wati berpulang ke haribaan Tuhan.
Sebelum kepergian Ceu Wati, aku sudah dekat dengan kedua anaknya. Nabila, si anak sulung yang kini duduk di bangku kelas dua. Rafkhan, si anak bungsu yang baru menginjak usia tiga tahun. Usia puncak kenakalan masa anak-anak yang seringkali membuat orangtua pusing tujuh keliling. Setelah ibunya wafat, aku semakin dekat dengan kedua keponakanku ini. Sehingga banyak yang bilang, lebih baik aku menjadi ibu mereka berdua.
"Kamu bagusnya nikah sama Mas Tono," pinta Mama suatu hari.
"Dia kan kakak iparku."
"Dia mantan kakak iparmu. Lagi pula agama tidak melarang seseorang menikah dengan bekas kakak iparnya."
Coba kau bayangkan! Bagaimana mungkin aku harus menikah dengan kakak ipar! Meskipun kakak perempuanku sudah meninggal, agaknya aku masih sabil untuk urusan ini. Meskipun boleh dibilang Mas Tono itu mantan kakak ipar, tapi aku sudah menganggapnya kakak. Dia suami kakakku. Aku tidak mungkin menikah dengannya, begitu pikirku.
Tapi kemudian aku berpikir, apa salahnya aku mempertimbangkan saran Mama dan kerabat-kerabat? Banyak pertimbangan yang berkelindan di benakku.
Pertama, aku tidak ingin kedua keponakanku itu tidak terurus. Kedua, jikapun Mas Tono menikah lagi dengan wanita lain, aku khawatir jika wanita yang menjadi ibu tiri bagi kedua keponakanku itu bukan wanita baik-baik. Dalam arti lain, bisa saja dia menjadi ibu tiri yang kejam. Ketiga, atas dua point tersebut, maka aku pikir tidak ada salahnya jika aku menikah dengan Mas Tono demi kebaikan dua keponakanku itu.
Maka, singat cerita, aku menikahlah dengan mantan kakak iparku itu. Semua begitu indah. Ternyata aku bisa berdebar-debar dan jatuh cinta kepada Mas Tono. Aku pikir aku tidak akan bisa menjalani peranku sebagai istri. Dan yang lebih penting dari semua itu, aku ini telah menjadi ibu bagi kedua keponakanku. Ralat, maksudku, ibu tiri mereka. Sekarang mereka bukan lagi keponakan, tapi anak tiriku.
“Sayangi kedua anak tirimu itu sebagaimana kamu menyayangi anak kandung.” Itu nasihat Mama dua malam setelah pernikahanku.
Aku hanya berdecak. Merasa sedikit tersinggung karena seakan Mama tidak percaya bahwa anaknya ini adalah anak yang baik. Mana bisa aku kejam layaknya tingkah ibu tiri di sinetron?
Tapi semuanya tidak mudah! Sangat tidak mudah! Berperan sebagai ibu tiri sudah seperti kutukan yang selalu dianggap hina dina.
Anakku –maksudku anak tiriku- Rafkhan adalah anak yang sangat aktif dan ceria –jika tidak boleh dikatakan sebagai anak yang nakal. Suatu hari, dia mengadu kepada Mama bahwa aku mencubitnya.
Yah, secara harfiah aku memang mencubitnya karena dia telah berani merobek-robek novelku untuk dijadikan mainan pesawat kertas. Aku sedikit kalap sehingga menjawil pipinya hingga merah. Aku tidak mencubit. Hanya menjawil. Tapi anak itu agaknya sudah pintar membuat drama. Dia datang kepada neneknya –ibuku- dan bilang aku mencubitnya dengan keras sehingga pipinya sakit.
“Sudah kubilang, kau jangan terlalu kejam terhadap anak tirimu!” seru Mama tak senang.
Aku hanya mengelus dada dan menggeleng kepala berkali-kali. Baiklah. Ini memang tidak mudah. Peran sebagai ibu tiri telah aku ambil dengan sukarela dan aku harus menerima resikonya.
Di kesempatan yang lain, aku tengah menyuapi Rafkhan nasi goreng. Jika tidak disuapi, mana mau dia makan sendiri. Benar-benar manja memang. Sebagaimana laku anak kecil yang nakal, Rafkhan tak mau diam. Setiap selesai menyuapinya, dia berlari kesana kemari. Sampai-sampai aku pusing sendiri.
“Kalau makan itu diam, bisa kan?” seruku kesal.
Rafkhan meleletkan lidahnya. Ah! Aku seakan-akan tidak pantas dihormati sebagai sosok ibu. Tapi aku diam saja sembari tetap menyuapinya di sela-sela kebandelannya yang berputar layaknya gasing.
“Ayo, habiskan nasinya,” pintaku ketika Rafkhan tampak sudah tidak tertarik disuapi. Dia pun membuka mulutnya, kemudian satu suap masuk. Dia berlari ke kamar, kembali lagi dengan mulut kosong. Kusuapi lagi, masuk lagi ke dalam kamar. Kembali dengan mulut kosong. Aku curiga, apa yang dia lakukan?
Aku pun beranjak ke kamar dan…Ya Salam…. Muntahan nasi itu berceceran di tumpukan cucian yang baru saja aku angkat dari tiang jemuran. Aku kalap. Kujewer telinganya karena rasa kesal sudah naik di ubun-ubun.
Rafkhan menangis sejadi-jadinya. Dia berteriak-teriak memanggil nenek dan Uwak. Dia berteriak-teriak layaknya seorang korban penganiayaan yang parah. Sampai-sampai aku harus membujuknya untuk diam dan merangkulnya. Tapi alih-alih merangkul, justru kakiku terpeleset akibat air yang tumpah oleh kenakalan Rafkhan. Entah untuk apa anak tengil itu menumpahkan air di lantai. Dia memang suka main air. Tubuh besarku berdebum, menindih tubuh ringkih Rafkhan. Kesialan tidak selesai disana. Dahiku terantuk kaki meja. Peningnya luar biasa. Masih untung tidak berdarah. Tapi aku berani bertaruh, besok ada jendolan timbul di dahi sebelah kanan. Yang jelas, si bocah tengil itu tampak kesakitan karena tertimpa tubuhku.
Insiden itu membuat tangis Rafkhan semakin keras. Meraung-raung layaknya suara sirene. Kenapa kau tak bisa diam? Rutukku kesal.
Beberapa detik kemudian aku mendengar suara pintu berdebam. Diiringi langkah kaki tergesa. Di ambang pintu kulihat Uwak, Mama, Mas Tono datang dengan mata penuh tanya.
“Kamu apakan dia?” tanya Uwak sewot.
“Dia tidak bisa diam. Dia…” lidahku kelu. Aku masih sibuk dengan rasa pening akibat terantuk kaki kursi.
“Mentang-mentang ibu tiri, kamu kejam sama Rafkhan!” timpal Mama.
Sementara aku melihat ada sorot mata bertanya-tanya di kedua manik mata Mas Tono. Barangkali dia mempertanyakanku juga, kenapa aku tidak bisa mencintai Rafkhan layaknya anak kandung.
Sementara mereka tidak mau peduli dengan penderitaanku, termasuk rasa pening di kepalaku. Karena aku memang ibu tiri. Ibu tiri selalu kejam, kan?
TAMAT

No comments:
Post a Comment