22 Sept 2021

Menjual Keperawanan

 

Cerpen oleh Husni Magz

 

“Kamu masih perawan kan?” tanya itu masih terngiang-ngiang di benak Fina. Tanya yang terlontar dari bibir bergincu Raisya, sahabatnya yang telah lima tahun lamanya malang melintang dalam bisnis syahwat. Menjajakan kemolekan tubuhnya kepada para pria hidung belang di tepian jalan, kemudian membawanya ke hotel-hotel murahan yang tersebar di seantero kota. Kemudian setelah itu –sebagaimana sesumbar Raisya kepada Fina- dia bisa mendapatkan banyak uang. Para lelaki haus syahwat itu terlalu banyak memiliki uang sampai-sampai bingung bagaimana cara menghabiskan uang. Dan menghamburkan uang-uang itu untuk membeli tubuh yang molek adalah satu diantara belasan cara yang biasa lelaki kaya itu lakukan. 

 

Kala itu, Fina mengangguk pelan. Tentu saja dia masih perawan. Raisya pikir, aku itu perempuan macam apa sehingga dia bertanya tentang keperawananku, begitulah tanya Fina di dalam hati. Tiada seorang pria pun yang pernah menyentuhnya. Bahkan dia belum pernah pacaran. Dia hanya pernah bertetangga dengan seorang pemuda yang diam-diam dia kagumi dalam diam. Namanya Bagaskara, dan yang dia tahu, pemuda penuh pesona itu biasa dipanggil Bagas. Mereka bertetangga kurang lebih setahun lamanya. Konon, lelaki muda itu  anak seorang pengusaha yang masuk akademi kepolisian. Dan kabar terbaru, lelaki itu telah diterima sebagai polisi dengan pangkat letnan. 

 

“Nah, kenapa kau tidak menjual keperawananmu saja? Bukankah kau butuh uang untuk operasi emakmu?”

 

“Aku tidak mungkin melakukan itu!” seru Fina cepat. Dia bergidik. Bahkan ide itu tidak pernah terlintas di benaknya. Dia masih waras untuk melakukan hal-hal yang keluar dari tatanan norma sosial dan agama. 

 

“Terserah kamu. Apakah kamu memilih membiarkan ibumu mati karena kanker karena mempertahankan prinsipmu? Atau kamu mengorbankan keperawanan dan prinsip demi menolong nyawa ibumu itu,” jelas Raisya bak penasihat yang sangat bijak dalam urusan skala prioritas. 

 

Fina gamang. Apa yang dikatakan Raisya ada benarnya. “Andai emak tahu, tentu dia lebih memilih mati dengan kankernya daripada membiarkan aku menjual keperawananku kepada para pria hidung belang.”

 

“Bodoh! Jangan biarkan ibumu tahu. Kau buat alasan yang masuk akal. Kau bilang padanya bahwa kau diterima kerja di sebuah perusahaan. Habis perkara.” Raisya memang gadis pintar. Fina tahu itu. Dan dia juga pintar dalam urusan debat mendebat. 

 

Fina mengangguk pelan. Agaknya dia harus mempertimbangkan saran sang teman. 

 

“Jika kau mau, malam besok aku akan mengajakmu menghadap Mami. Aku akan menawarkanmu untuk melayani seorang anggota dewan yang mencari gadis yang masih perawan.”

 

Fina masih tidak bisa berkata-kata. Di hatinya masih tersisa rasa gamang. 

 

“Omong-omong, kenapa aku mengajakmu, karena diantara aku dan teman-temanku yang bekerja dengan Mami, tidak ada satu pun yang masih perawan. Andai aku masih perawan, aku akan melayani klien yang satu ini dan tak akan pernah bilang kepadamu,” terang Raisya dengan tawa cekikikan. “Kau tahu, anggota dewan itu dompetnya tebal. Rekeningnya gemuk. Dan yang jelas tak akan pernah membawamu menginap di hotel murahan yang sarung bantalnya bau apek.”

 

Fina menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah. Aku mau ikut bertemu Mami besok. aku butuh uang itu pekan ini."

 

Raisya tersenyum lebar. Dia mungkin senang karena bisa menjaring satu teman baru dalam bisnis syahwatnya. Atau jangan-jangan berlaku pula sistem bisnis MLM dalam bisnis esek-esek itu. Fina tak peduli. Yang dia pedulikan hanyalah bahwa dia butuh uang.  

 

Ya, Semua kekacauan ini bermula dari uang. Agaknya semua permasalahan hidup yang dialami manusia di dunia ini selalu bermuara pada masalah uang. Dan Fina benar-benar dibuat pusing dengan benda itu. Tak ada uang yang tersisa di dompet kumalnya. Pun di saldo rekeningnya. Entah berapa bulan lamanya rekening itu kosong. Sementara saat ini dia butuh uang untuk menebus biaya operasi kanker emaknya. Dokter bilang, emak tidak bisa dioperasi jika uang belum bisa dibayarkan saat itu juga. Fina tentu saja tidak akan membiarkan emaknya mati secara perlahan-lahan tanpa melakukan apa pun. Itu baru operasi, belum dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin hari rasanya semakin mencekik saja. 

 

Fina sudah mencoba peruntungan dengan melamar kerja kesana kemari. Tapi itu semua nihil. Lagi pula, jika harus bekerja, dia harus menunggu gajian sebulan kemudian. Dia menginginkan uang itu sekarang. Bukan besok, bukan pula pekan depan. Apalagi bulan depan.  Kemudian Raisya datang membawa ide yang menurutnya masuk akal. 

 

Hingga tanpa perlu berpikir tentang prinsip, moral dan nilai, Fina menyanggupi saran Raisya untuk bekerja sama dengan Mami yang baik hati. Raisya bilang, Mami hanya meminta 20 persen dari total bayaran yang diberikan lelaki haus asmara. Dan itu boleh dibilang sangat kecil jika dibandingkan dengan potongan dari mucikari pada umumnya. 

 

Malam inilah Fina harus rela mengorbankan keperawanannya kepada lelaki asing. Debar di hati Fina bertalu-talu bak rebana yang ditabuh tiada henti. Lelaki dengan pakaian rapi itu menatapnya dengan tatapan yang lapar. Tatapan tajam itu tak ubahnya seperti tatapan serigala yang sudah tak sabar untuk mengoyak dan menjilati daging kelinci yang terhidang di hadapannya. Satu persatu, pakaian itu terlah dipreteli di hadapannya. Dasi, kemudian kemeja licin, kemudian ikat pinggang, kemudian…. Fina hanya bisa terpejam.

 

“Kenapa kau memejamkan mata, sayang. Buka matamu. Biar aku contohkan bagaimana caranya membuka baju,” bisik pria asing itu dengan senyuman lebar. 

 

Fina nyaris membuka kaus yang masih melekat di tubuhnya ketika terdengar gedoran di pintu kamar hotel. Ia terperanjat bukan alang kepalang. Pun dengan pria bermata tajam itu. Siapa pula orang yang berani menggedor pintu kamar hotel? Dengan wajah yang ditekuk -karena kesal hasrat syahwatnya tak kesampaian- pria itu kembali memakai kejema dan celananya kembali. 

 

“Siapa?” tanya pria bermata elang itu dengan nada kesal. 

 

“Polisi! Buka pintunya!”

 

Fina tercekat di sisi ranjang. Polisi? Kemudian benaknya mengasosiasikan berita-berita razia kehidupan malam yang pernah dia tonton di acara berita criminal jam dua belas siang di televisi butut 21 inci yang biasa dia tonton bersama Emak. Masih terbayang di benaknya bagaimana belasan wanita bahenol nan semampai itu digiring dari kamar-kamar hotel menuju mobil patroli satpol PP, kemudian dibawa ke markas polisi untuk dilakukan pembinaan. Setelah itu, barangkali dipulangkan ke rumah masing-masing.

Fina terisak. Menangis karena rasa kalut dan takut. Emak pasti akan tahu semua kebejatan yang dia lakukan. Meskipun dia belum sempat disentuh, Emak akan memandang jijik kepadanya. Dalam benaknya, terbayang bagaimana polisi itu mengantarnya ke rumah, kemudian menjelaskan kepada Emak apa yang telah terjadi, kemudian meminta Emak untuk menasihatinya.

Fina terisak sejadi-jadinya ketika pintu kamar terbuka dan dua orang polisi –satu wanita satu pria- datang dengan satu lusin pertanyaan. Apa yang sedang kalian lakukan disini? Apakah kalian sudah menikah? Apakah kalian punya surat nikah yang bisa ditunjukan kepada kami? Apa yang ada di tasmu? Ya Tuhan, kau membawa alat kontrasepsi dan pelumas? Aku tahu apa yang kalian berdua lakukan disini, jadi baiknya kalian ikut kami ke kantor polisi untuk keterangan lebih lanjut.

Lutut Fina lunglai. Tahu-tahu dia sudah ada di dalam ruangan besar bersama belasan temannya yang terjaring razia, termasuk Raisya. Tapi agaknya Raisya tampak biasa-biasa saja. Gadis itu tidak terlihat ketakutan ketika diingerogasi oleh polisi. Kelak, Raisya akan menjelaskan kepada Fina bahwa terjaring razia polisi adalah hal yang biasa.

“Kita tidak pernah dipenjara hanya karena menjajakan tubuh kita, Fin. Kita hanya diberi pembinaan dan nasihat untuk tidak mengulangi kegiatan kita lagi. Tapi, masa bodoh dengan semua nasihat klise itu.” Raisya menjelaskan dengan mengibaskan rambut. Seakan-akan masalah yang harus dia hadapi dengan para petugas berseragam cokelat itu adalah masalah ringan. Seringan ketika dia mengibaskan sebagian rambut indahnya.

Satu demi satu, mereka ditanyai. Termasuk Fina yang gemetaran sejak awal tertangkap basah di kamar hotel. Ketika ditanya, Fina mengaku peliharaan Mami. Petugas pun memanggil Mami dan menanyainya macam-macam. Tapi Fina hanya terus menunduk. Dia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Dia hanya peduli dengan suasana hatinya yang semakin memburuk.

Hingga kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang. Dia pikir itu Raisya, ternyata bukan. Fina mendongak dan melihat wajah yang tidak asing itu menatapnya dengan tatapan penuh Arti. Tatapan yang tidak lagi asing untuknya. Tatapan seorang pria yang tubuh atletisnya dibalut oleh seragam cokelat. Ya Tuhan! dia Bagas.  Sepuluh tahun berlalu dan Fina tidak akan pernah lupa wajah itu. Sepuluh tahun yang lalu dia pernah mengagumi lelaki itu dan berharap untuk bisa kembali berjumpa meski hanya dalam sekilas tatap dan sapa. Tapi kenapa dia harus bertemu dalam keadaan seperti ini? Kenapa pula lelaki itu harus bertugas di kantor polisi dimana dia mendekam karena terjaring razia? Takdir memang terlalu misteri untuk dipikirkan. Dan terlalu banyak kejutan yang tidak pernah bisa diprediksi.

Fina sangat malu. Ada tatapan jijik di mata Bagas. Seakan-akan Fina hanya seonggok tahi yang menjadi sumber kerubungan lalat-lalat hitam.

“Kamu Fina kan?”

“Bukan!” Fina langsung membantah pertanyaan itu.

Akan tetapi Bagas tidak percaya. Kebohongan Fina begitu kentara baginya. Wajah itu masih tetap membekas di benaknya. “Aku tahu kamu Fina. Jadi tidak perlu kau berbohong. Lagi pula, aku mengenalmu dengan sangat baik. Kamu tidak mungkin mengecohku hanya karena model rambut dan baju ketat kurang bahan itu.”

“Aku bukan Fina!” bantah Fina untuk yang kedua kalinya. Untuk urusan yang satu ini, dia sangat beruntung karena sebelum ‘bekerja’ tadi, dia lupa membawa KTP. Sehingga dia bisa mengarang nama samaran kepada para polisi tanpa perlu ketahuan bohongnya.

“Jangan bohong!”

Fina diam. Dia tidak ingin berdebat tentang nama.

“Jadi, kenapa kau berani menjadi seorang pelacur?”

“Karena aku butuh uang!”

“Semurah itukah kamu menghargai tubuhmu? Kupikir kau gadis kalem yang suci. Tapi nyatanya sangat murahan.”

Fina tergugu. Dia mulai terisak. Dia sakit hati dan tidak terima dikata-katai tentang harga diri.  “Apa urusanmu? Kau bukan siapa-siapa untukku? Kita hanya pernah menjadi tetangga, tidak lebih!” desis Fina tak sabaran.

Rekan Bagas datang dan menepuk pundak pria itu. Memberi isyarat untuk tidak bersikap yang tidak-tidak. “Bukannya kau tidak ditugaskan untuk menanyai mereka? Kau hanya bertugas piket hari ini!”

“Untuk gadis yang satu ini beda. Dia pernah menjadi tetanggaku. Kami cukup dekat. Jadi, beri aku kesempatan.”

Rekannya kembali pergi.

Apa dia bilang? Kami cukup dekat? Sejak kapan? Apa maunya? Hati Fina kembali dirubung tanya.

“Memangnya tidak ada pekerjaan halal?”

Fina mendongak. Kepalanya pening. Berdenyut tak karuan. Dia marah karena Bagas yang dahulu dia kagumi dalam diam ternyata bisa membuat dia marah dengan sikapnya yang terkesan menghakimi. “Karena ibuku akan mati jika aku tidak melacur. Kanker itu harus diangkat, dan itu tidak gratis.”

Bagas tercekat. “Jadi, Bu Darsih kena kanker?”

Bahu Fina kembali merosot. Dia terisak perlahan. “Ya, dan aku mohon kepadamu, jangan pernah membocorkan rahasia ini kepada emakku. Atau dia mati karena mendengar berita buruk ini. aku memohon untuk bisa membiarkanku pulang sendiri tanpa perlu melibatkan ibuku.”

“Aku akan usahakan. Tapi kau harus berjanji untuk tidak melakukan pekerjaan hina ini.”

Fina mengangguk dan kembali melanjutkan isaknya yang tertahan. Dia tidak ingin dikasihani, tapi dia tidak bisa menahan rasa pedih di hatinya. Dia tetap menangis tanpa pernah menyadari bahwa pria itu berlalu dari hadapannya.

Bagas memenuhi janjinya, lelaki itu meyakinkan temannya untuk membiarkan Fina pulang sendiri. Bagas bahkan berjanji untuk menjenguk Emaknya dan membawanya ke rumah sakit. Lelaki itu bilang, biar dia yang bayar semua biaya perawatan dan operasi sang ibu. Dunia benar-benar kembali cerah. Awan kelabu yang selama ini menggelayuti hati Fina telah hilang.

Sore itu, Fina datang untuk menjaga Emaknya yang terbaring di ruang perawatan. Sudah dua hari Emaknya di rawat di rumah sakit karena kemurahan Bagas.

Sore itu Fina dibuat heran ketika lelaki itu berdiri di samping ranjang emaknya. Kemudian tersenyum lebar demi melihatnya datang.

“Kok kamu ada disini?”

“Sengaja menjenguk ibumu. Sekalian mau memberi kabar baik kepadamu.”

“Kabar baik apa?”

“Kamu bisa bekerja sebagai pelayan toko di toko material milik Papaku. Aku sudah membicarakan hal ini kepada beliau. Papa setuju untuk mengangkatmu sebagai pegawai tetap di sana. Kebetulan pegawai lama resign karena pindah ke kota sebelah untuk mengikuti suaminya.”

Senyum di bibir Fina terbit merekah. Pun dengan Bagas. Ada rasa bahagia yang menyelusup di hatinya karena bisa menolong gadis yang pernah mengisi mimpinya. Dahulu dia cukup pemalu untuk mengungkapkan rasa suka.

TAMAT

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment