12 Sept 2021

KARENA HATI TAK PERNAH SUNYI

 


Cerpen oleh Husni Magz

Kamu memang selalu serakah. Termasuk dalam urusan hak asuh anak kita, kamu selalu ingin memonopolinya. Kamu bilang, anak yang masih belia masih membutuhkan sosok ibu sehingga dia layak untuk ikut ibu kandungnya. Apa kau pikir seorang anak juga tak membutuhkan ayah?

“Aku akan memberinya ayah. Aku akan menikah,” jawabmu ketika aku bertanya hal itu. Lalu kujawab, “Aku juga bisa memberinya ibu jika aku menikah.”

“Lihat saja nanti, siapa yang akan menikah terlebih dahulu,” tantangmu dengan mengangkat dagu.

Ya, aku kalah. Setidaknya, dalam banyak kasus perceraian yang aku tahu, hak asuh anak selalu jatuh ke tangan sang ibu. Kau memang beruntung karena bisa membawa anak kita ke pangkuanmu. Tapi setidaknya, meski kita telah berpisah, aku masih tetap sebagai ayahnya, bukan begitu?

Aku memintamu untuk tidak terlalu pelit memberiku kesempatan untuk bertemu dengan anak kita. Kau bilang, tentu saja kau akan selalu mengizinkan aku untuk bertemu dengan anak kita setelah perceraian selesai di pengadilan. Nyatanya, berbulan-bulan lamanya aku tidak bisa menemui anakku. Oke, aku tidak perlu menyebutnya dengan istilah ‘anak kita’. Karena setelah perceraian itu, tidak ada lagi kata kita diantara aku dan kamu. Itu adalah anakku, dan juga anakmu.

Rumah megah yang kita bangun bersama-sama jatuh ke tanganmu setelah pembagian harta gono-gini yang prosesnya sangat alot dan panjang. Kau bilang, aku bisa mendapatkan ruko yang selama ini kau pegang, sementara rumah itu bisa kau tinggali.

Setelah perceraian yang paling menyakitkan itu, tanpa pernah aku tahu, ternyata kau menjual rumah itu ke seorang peranakan cina. Kemudian kau menghilang. Pun anakku, dia ikut menghilang bersamamu. Teman-temanmu bilang, kau telah pindah ke luar kota, tapi mereka tidak tahu dimana tempatnya. Atau mereka pura-pura tak tahu? Aku tidak tahu. Karena sejak pernikahan kita dulu, kau memang terlalu pintar untuk memainkan drama.

Hingga pada akhirnya aku menemukan jejakmu. Agaknya kau terlalu bodoh untuk bisa lari dariku. Bagaimana mungkin aku tidak bisa mengendus keberadaanmu jika kau menjauh dari kehidupanku hanya berjarak selemparan batu, jika boleh aku mengkiaskanya. Aku menemukan keberadaanmu di kota tetangga yang hanya membutuhkan waktu dua jam lamanya jika aku harus ke sana. Seorang karib mengaku pernah bertemu denganmu di sebuah kafe yang jaraknya tak jauh dari kantor dia.

“Kalau begitu, kamu bisa kan membantuku?” pintaku kepada karibku itu. Dia menyanggupi dan bertanya apa yang harus dia lakukan untukku. Kubilang, “Kau harus mencari tahu tentang mantan istriku itu. Dimana dia tinggal? Apakah dia sudah menikah? Bagaimana kabar anakku?”

Karibku itu orang baik. Dia bahkan terlalu baik untuk bisa dikatakan sebagai teman biasa. Dia menjadi mata-mata dadakan yang bekerja tak kalah professional dengan sosok Sherlock holmes sekalipun. Hanya membutuhkan waktu seminggu lebih dua hari hingga dia kembali datang dengan membawa berita maha penting kepadaku.

“Istrimu masih menjanda.”

Aku tertegun. Kau masih menjanda? Kupikir kau meminta cerai kepadaku karena kau sudah bosan hidup denganku dan diam-diam kau punya lelaki idaman lain. Sudah hampir setahun lamanya perceraian itu telah terjadi dan kau masih hidup sendiri.

“Dia punya pekerjaan yang bagus. Kata pembantunya, dia sekarang menjadi seorang direktur perusahaan batubara.”

Wah! Aku bertepuk tangan di dalam hati. Dahulu bahkan kita tidak mampu untuk bisa menggaji asisten rumah tangga. Tapi tunggu, bukankah dahulu kau pernah bilang ingin melamar pekerjaan di sebuah perusahaan batu bara dengan bekal setumpuk ijazahmu?

“Anakmu sekarang sudah masuk TK,” tambah karibku untuk melengkapi laporannya.

Hatiku berdesir. Sudah hampir setahun lamanya aku tidak melihat wajah anak semata wayangku itu. Bagaimana dia sekarang? Apakah dia tambah lucu dan cantik? Tentu saja dia akan bertambah cantik seperti ibunya. Mata dan hidungnya adalah imitasi paling sempurna dari mata dan hidung sang ibu. Sementara, rambut ikal bergelombangnya adalah warisan dariku. Ah, aku semakin diamuk rindu. “Kau tahu alamat rumahnya?”

Karibku tersenyum lebar. Agaknya dia merasa bangga karena berhasil membantuku. Meskipun aku tak membayar jasanya, tapi setidaknya aku sering mengajak dia untuk menghirup kopi bersama, atau bahkan lebih dari itu.

“Tentu saja aku tahu alamat rumahnya. Aku bahkan kemarin mengobrol dengan pembantunya yang cantik tapi kampungan itu. Jika kau mau berkunjung, kita bisa kesana untuk yang kedua kalinya. Dan sebagai informasi tambahan, rumahnya sangat megah dan besar seperti rumah-rumah yang aku lihat di sinetron dan FTV.”

“Aku khawatir bertemu dengannya.” Ya. aku khawatir. Jangan-jangan kau akan mengusirku sebelum aku benar-benar menginjak halaman rumahmu. Lebih dari itu, aku tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk menghadapi dirimu yang baru. Rosita yang kini adalah seorang direktur perusahaan batubara yang memiliki rumah mewah seperti rumah-rumah di sinetron. Itu jika karibku tidak berbohong. Tapi sejak kapan karibku itu punya kebiasaan ngibul?

“Jangan khawatir. Pembantunya bilang, dia jarang ada di rumah. Dia selalu berangkat kerja sebelum subuh, dan pulang ke rumah tepat pukul sepuluh malam.”

“Begitukah?”

“Ya, sungguh sangat beruntung pembantunya itu. Karena rumah megah dengan segala keglamouran di dalamnya hanya menjadi surga bagi pembantunya yang kampungan.”

Aku bisa membayangkan bagaimana anakku kesepian karena kau tinggalkan bekerja. Tiba-tiba aku marah. Kau memang benar-benar kurang ajar! Bagaimana mungkin kau dulu mengejekku karena menganggap aku tidak mungkin becus mengurus anak kita, sementara sekarang kau meninggalkannya demi uang, kemudian menyerahkan semuanya kepada seorang pembantu.

Hari yang aku sepakati dengan sang karib pun tiba. Aku harus rela membolos dan siap disemprot bos di hari esok demi misi penting ini. Aku menemukan rumahmu yang dia bilang sungguh megah seperti rumah-rumah di sinetron. Oke, dia tidak berbohong. Aku juga menemukan sang pembantu mengantar anakku  yang sudah rapi dengan seragam TK dan tasnya yang terlalu besar jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya. Hatiku berdesir. Oh, itu anakku. Dugaanku tidak melesat. Dia semakin cantik dan menggemaskan.

“Apakah setiap hari dia diantar oleh pembantunya?”

“Tentu saja. Dan pembantunya itu biasanya kembali pulang ke rumah. Kemudian akan kembali menjemput pulang anakmu tepat pukul sepuluh nanti.”

“Aku akan membawa anakku pergi.”

“Apa kau gila? Kau bisa saja kena pasal penculikan anak jika kau melakukannya!” sanggah karibku tak setuju. Jelas dia tidak akan pernah setuju. Lebih dari itu, dia tidak ingin terlibat masalah.

“Kalau begitu, kau bisa pulang terlebih dahulu. Aku tidak akan melibatkanmu dalam hal ini. Jadi, terimakasih karena sudah membantuku sampai di sini.”

Karibku pulang, dan aku masih duduk di warung kopi, mengamati anakku yang menggemaskan. Mengamati sang pembantu kampungan itu hingga dia benar-benar pulang.

Aku dirajam rasa bosan setengah mati harus menunggu satu jam setengah. Tapi apa pentingnya rasa bosan itu jika dibandingkan hasrat untuk bisa bertemu anak semata wayang? Sebelum si pembantu kampungan itu datang, aku harus segera bergerak. Aku datang ke sekolah TK itu dengan hati berdebar. Kemudian menemui sang guru yang bertubuh mungil nan cantik jelita sembari berkata, “Hai, kenalkan, saya Rio.”

Aku seorang pria yang memiliki penampilan yang sangat meyakinkan. Aku juga pernah membuat beberapa wanita jatuh cinta, meski jumlahnya tidak sampai selusin. Tapi yang jelas, tampangku bukan tampang seorang penjahat.

“Ya, Pak Rio?” tanya si guru jelita itu dengan sorot mata yang ramah.

“Saya Ayahnya Tiara. Anakku harus segera pulang karena Omanya sakit.”

Ada binar keraguan di mata jelitanya. “Sebenarnya waktu belajar hanya tinggal setengah jam lagi. Mungkin Pak Rio bisa menunggu?”

“Tidak bisa. Ini emergency. Omanya ingin ketemu cucunya.”

“Bukannya dia biasa dijemput sama Baby sitternya?”

“Baby sitternya sibuk.”

Hatiku mulai berdebar tak karuan. Hingga tiba-tiba suara kecil itu menyelamatkanku. “Papa! Papa!”

Aku menolehkan kepalaku. Pun dengan si guru jelita itu. Di bangku baris keempat kulihat bidadari kecilku melambaikan tangan. Ah! Kupikir waktu setahun ini dia akan melupakanmu. Ternyata tidak!

Binar keraguan telah hilang di mata si guru jelita itu. Dia memperbolehkanku untuk membawa Tiara pulang bersamaku. Sekarang, aku bisa mencium dan memeluk darah dagingku. Sekarang, aku bisa mengajaknya pulang. Meski dengan jalan curang. Aku bisa membayangkan betapa rasa bersalah akan menjalari hati si guru jelita itu jika si pembantu itu datang. Aku bisa mereka ulang di benakku bagaimana si pembantu itu datang dengan kepanikan karena tak menemukan Tiara. Kemudian kepanikan itu menjalar. Termasuk kamu. Sudah jelas si pembantu akan menelponmu. Kau akan pulang lebih cepat dari biasanya. Kemudian kau akan lapor polisi dengan laporan penculikan anak.

Aku tertawa. Aku tidak peduli. Yang kuinginkan sekarang adalah menghabiskan waktu bersama putri kecilku.

Dua hari lamanya aku membawa anakku ke rumah neneknya. Setelah itu aku mengembalikannya ke rumahmu. Tampaknya kau tak masuk kerja dan masih dipusingkan oleh kasus hilangnya anak kita. Di ambang pintumu, kau menatapku seperti menatap hantu. Sementara Tiara berada di sampingku dengan mimik semringah.

 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment