2 Sept 2021

DRIVER OJOL DAN ELEGI CINTA YANG MEMILUKAN

Hari ini, Miranti harus pergi ke resepsi pernikahan sahabatnya. Sayangnya, motor matic kebanggaannya ngadat dan tidak mau hidup meski berkali-kali dia starter. Dia tentu saja tidak bisa kick starter karena standar ganda itu harus dia fungsikan. Sementara untuk urusan menggunakan standar ganda motor, Miranti tak becus melakukannya. Akhirnya dia meminta Pak Parto, tukang bakso keliling yang menjadi tetanggannya selama tiga bulan ini.


"Tolong Pak, standarin motor saya," pinta Miranti dengan wajah memelas.

"Oalah," jawab Pak Parto pendek.

Berkali-kali Pak Parto mencoba kick starter, tapi tetap saja matic itu tak berkutik. Habis perkara, Miranti pun memesan jasa ojek online dari aplikasi di ponselnya.


Beberapa detik kemudian, akun seorang driver ojol terdekat terdeteksi. Tapi tunggu! Sepertinya nama dan muka foto profil di driver ojol itu sangat familiar di benak Miranti.

 
Purnomo


Itu kan nama mantan suaminya?

Beberapa detik kemudian Miranti mengamati foto si driver. Dan dia hakul yakin 100 persen bahwa si driver ojol itu adalah mantan suaminya yang telah bercerai degannya dua tahun yang lalu.

 

Miranti bertanya-tanya, sejak kapan Purnomo menjadi ojek online? Bukankah dulu ketika mereka bercerai lelaki itu tidak punya harta, termasuk sepeda motor sekalipun. Dulu memang dia pernah punya motor, tapi motor bebeknya dijual untuk menutupi utang kepada rentenir kelas kakap yang terkenal memiliki debit collector yang kejam dan menakutkan.

 

Puncaknya, Miranti menggugat cerai suaminya karena suaminya hobi judi sabung ayam plus ditambah dengan hobinya yang meminjam uang di pinjaman online dengan bunga yang tak masuk akal.

Sementara pekerjaanya yang hanya buruh pabrik garment tidaklah seberapa. Dia pernah merasakan bagaimana hatinya didera rasa takut dan khawatir karena kehadiran debit collector saban pekan. Tobat dah!

 

Semuanya dia ungkapkan di pengadilan sehingga tidak ada lagi kata damai. Tidak ada lagi saran untuk memperbaiki keadaan. Hakim mengetok palu, mereka resmi bercerai. Kembali hidup masing-masing dengan membawa luka satu sama lain.

 

Tidak, Tidak! Dia tidak ingin memesan jasa ojek online dari mantan suaminya. Itu terlalu riskan dan memalukan. Miranti mencancel pesanannya sebelum lelaki itu benar-benar mendeteksi keberadaannya.

 

Miranti pun berjalan ke depan gang dan berharap ada driver ojol lain yang terdeteksi oleh aplikasi ponselnya. Siapa pun selain Purnomo. Miranti membuka aplikasi ojek online itu dan melakukan pesanan, lagi-lagi yang muncul adalah purnomo.

 

Miranti hendak mencancel pesanan ketika tiba-tiba seorang driver ojek online dengan jaket hijaunya meluncur dan berhenti tepat di hadapannya.

 

“Miranti?”

 

“Bukan!” seru Miranti dengan rasa kesal. Bagaimana mungkin dia bisa kembali bertemu dengan Purnomo. Satu hal yang tidak pernah dia inginkan sekaligus tidak juga pernah dia angan-angankan sepanjang kehidupannya pasca perceraian.

 

“Aku tahu kamu Miranti. Lagian ngapain sih ngeles,” seru Purnomo, melajukan motor Beatnya sehingga kembali sejajar dengan Miranti yang bergegas. “Ini udah cancel dua kali, Ti. Kamu mau rating aku turun, Ya.”

 

“Ih, ngapain sih. Aku nggak mau pake jasa kamu.”

 

“Ti…”

 

“Nggak!”

 

“Ini aku udah berjam-jam nungguin yang mau diantar, nggak ada satu pun. Kamu ini customer pertamaku, Ti. Meski begitu, aku nggak bakalan minta bayarin, aku gratisin. Hitung-hitung buat menebus semua kesalahanku di masa lalu.”

 

“Terlalu murah! Masa iya untuk menebus semua kekacauan itu hanya seharga 20 ribu.”

 

“Ti, kok kamu sinis gitu sih. Udah, sini aku anterin.” Belum sempat Miranti menjawab, Purnomo sudah memberikan helm yang sedari tadi nangkring di depan. Meminta Miranti untuk duduk di belakang.

 

Mau tak mau Miranti menurut. Bagai kerbau dicocok hidung, dia menerima helm yang diangsurkan Purnomo dan duduk di jok belakang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bah! Miranti rasa-rasanya seperti terhipnotis. Entah bagaimana, jantungnya berdebar-debar demi mengenang masa-masa tiga tahun ke belakang, sebelum prahara menghantam rumah tangga mereka. Miranti ingat bagaimana awal mereka saling mengenal. Purnomo sering sekali menjemput dia untuk jalan-jalan sore. Mereka berkeliling kota untuk menikmati udara sore dan matahari senja di ufuk barat. Terkadang, Purnomo akan membawanya ke bakso Pak Kumis di perempatan yang kata orang terkenal enak dan lezat. Terkadang Purnomo mengajak Miranti untuk nonton bioskop. Pun di awal-awal masa pernikahan, sering sekali pria itu memberinya kejutan. Hingga judi dan pinjaman online jahanam itu membuat hubungan mereka retak seretak-retaknya. Lebih tepatnya hancur berkeping-keping.

 

“Mau ngapain kamu ke Planet Hall, Ti?” tanya Purnomo. Tanya pertama setelah mereka melesat di tengah kemacetan. Berbelok ke kanan, berkelit ke kiri, bak seorang pembalap handal yang tak lagi takut malaikat maut yang kadang kala bertugas diantara kesemrawutan lalu lintas.

 

“Mau ngehadirin undangan pernikahan teman,” jawab Miranti seadanya.

 

Kemudian kembali diam.

 

“Kamu udah nikah lagi, Ti?” tanya kedua meluncur dari bibir Purnomo.

 

“Belum,” jawab Miranti pendek. Sebenarnya dia ingin melontarkan pertanyaan yang sama kepada Purnomo. Tapi dia segan. Entah kenapa, hati kecilnya berharap mantan suaminya itu belum mendapatkan jodohnya setelah perceraian terjadi diantara mereka.

 

“Aku udah menikah, Ti. Udah punya satu anak dari istriku yang sekarang.” Seakan tahu arah pikiran Miranti, Purnomo menjelaskan tentang statusnya. Ada satu lubang yang menganga di hati Miranti. Apa-apaan ini! Miranti menyumpah-nyumpahi dirinya yang begitu gampangan. Dia kembali memikirkan tentang si Purnomo bajingan yang hobi judi sabung ayam. Dia memikirkan si purnomo bajingan yang menghabiskan semua gajinya dari pabrik garment untuk judi sehingga lupa menafkahi istri.

 

“Maaf ya Ti. Aku dulu membuat hidup kamu sengsara.” Sejak kapan lelaki itu memiliki ilmu batin? Begitulah pikir Miranti. Setiap pernyataan yang terlontar seakan-akan merefleksikan pertanyaan atau pikiran yang berkecamuk di benak Miranti.

 

“Sudah terlanjur! Luka tidak bisa sembuh hanya dengan permintaan maaf, Purnomo! Hoho! Sungguh kasar sekali jawaban yang terlontar dari mulut Miranti. Tapi dia tidak menyesal telah mengungkapkannya. Setidaknya dia ingin bahwa mantan suaminya itu tahu betapa dia masih sakit hati dengan masa lalu mereka. Apa? Jangan berbohong! Yang sebenarnya Miranti merasa sakit hati lagi setelah mendengar kabar Purnomo sudah kawin. Sementara dirinya masih sendiri dengan status jandanya.

 

“Apa yang harus aku lakukan buat menebus semua kesalahanku, Ti?” tanya Purnomo lagi.

 

Miranti terdiam. Apa yang dia harapkan? Apakah dia menginginkan Purnomo memberinya ganti rugi atas luka batin yang ditinggalkan? Berapa juta rupiah yang dia inginkan untuk menebus rasa sakit hati itu?

 

“Jujur saja, Ti. Sejak perceraian antara kita, aku mulai berpikir kembali tentang orientasi hidupku. Aku mulai menata ulang hidupku yang berantakan. Satu demi satu, permasalahan itu aku benahi. Mulai dari utang-utang yang menumpuk, hingga kredit yang macet. Sejak perceraian itu, aku juga meninggalkan sabung ayam.”

 

“Syukurlah kalau begitu.”

 

“Iya Ti. Beberapa bulan setelah perceraian kita. Aku gelap mata. Aku awalnya ingin mengakhiri hidupku di jembatan merah itu. Tapi rupanya Tuhan masih menakdirkan aku hidup. Dia mengirimkan malaikat penolong yang berwujud seorang wanita. Wanita itulah yang sekarang menjadi istriku.”

 

Lagi-lagi ada lubang yang kembali menganga di hati Miranti demi mendengar bagaimana Purnomo menyebut istrinya. “Bagaimana itu bisa terjadi?”

 

“Saat aku hendak meloncati pagar itu, Arini berteriak kepadaku untuk tidak nekad mengakhiri hidup.”

 

Oh, jadi nama istrinya Arini.

 

“Arini mengingatkanku bagaimana orangtuaku akan merasa sedih dan hancur jika mendengar kabar kematianku yang tidak wajar. Kau tahu sendiri kan, aku paling lemah untuk urusan orangtua. Kamu juga pernah mengancam akan melaporkanku ke Emak ketika aku hendak meminjam uang dari rentenir, sehingga aku batal melakukannya.”

 

Miranti mengangguk paham. Mantan suaminya itu memang sangat menghormati dan menyayangi ibunya.

 

“Demi orangtua yang disebut, aku batal loncat dari jembatan, Ti. Arini menghiburku dan memintaku untuk kembali turun dari pagar jembatan. Sejak saat itu kami berkenalan dan menjadi teman. Arini anak seorang Haji saudagar kain yang selama ini menolongku.”

 

Tak terasa, ada dua titik air mata yang menggenang di pipi Miranti. Ada rasa trenyuh yang menghinggapi hatinya mendengar cerita mantan suaminya itu.

 

“Jika kamu tidak keberatan, kamu bisa kapan-kapan main ke rumahku, Ti. Arini pasti senang. Dia orangnya baik.”

 

‘Tidak, terimakasih,’ jawab Miranti, hanya di dalam hati.

 

“Aku doakan semoga kamu mendapatkan jodoh yang sholeh dan baik hati. Aku merasa berdosa karena pernah menjadi suami kurang ajar di masa lalumu, Ti.”

 

“Sudah sampai, Bang!” seru Miranti demi melihat plang hall beberapa meter di depannya. Dia sudah tidak tahan lagi. Dia menyerahkan helm, mengeluarkan dompetnya dan mengangsurkan uag ongkos.

 

“Nggak usah, Ti.” Purnomo menolaknya dengan senyuman yang merekah. Senyuman yang membuat hati Miranti semakin tak karuan. Ada rasa sedih yang semakin menenggelamkan segenap perasaannya. Ada cinta yang beberapa menit yang lalu merekah akibat nostalgia, kemudian tiba-tiba harus kembali tenggelam karena kenyataan.

 

“Terimakasih, Mas.”

 

Mas? Kenapa pula dia memanggil Purnomo dengan panggilan ‘sayang’ itu? Lidahnya sedang tidak sinkron.

 

Purnomo mengangguk dan berlalu. Miranti hanya tergugu.

 

Hatinya mulai menangis. Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya perceraian dua tahun yang lalu membawa hikmah dalam hidup Purnomo. Jika perceraian itu tidak terjadi, mungkin Purnomo masih gila judi. Perceraian itulah yang membuat Purnomo berubah menjadi lelaki yang baik dan sekaligus menjadi suami yang baik untuk wanita yang menjadi istrinya.

 

‘Tuhan, kenapa Kau takdirkan aku menjadi istrinya ketika dia hidup dalam keburukan?’ hati Miranti menggugat. Tapi sejurus kemudian dia meminta ampun karena telah menggugat takdirnya sendiri yang telah digariskan Tuhan.

 

“Hei, Ti!” seseorang memanggil namanya. Miranti melihat Anisa sudah menunggunya di tangga hall. “Wah, dianterin mantan suami nih. Jangan-jangan lagi CLBK.”

 

Miranti kembali menangis di dalam hati.

 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment