Cerpen oleh Husni Magz
Arini iri dengan kehidupan rumah tangga tetangganya, Marliah dan Pak Somad. Pasangan berdarah Sunda itu sangatlah romantis. Bahkan romantisnya tak jauh beda dengan pasangan-pasangan yang dia lihat di sinetron; saling mengerling dan melempar senyum satu sama lain, saling memberi hadiah, dan memiliki ungkapan kesayangan masing-masing.
Marliah selalu menyebut Pak Somad dengan panggilan ‘cintaku’. Sementara Pak Somad memanggil Marliah dengan panggilan, sayangku. Tentu saja Arini tahu karena dia sangat sering bertandang ke rumah tetangganya hanya sekedar bergosip atau berbagi cemilan. Agaknya tetangganya itu tidak merasa malu memanggil pasangannya masing-masing layaknya anak ABG.
“Emangnya kamu nggak malu pake sayang-sayangan begitu, Mar?” tanya Arini suatu hari.
“Malu kenapa atuh teteh. Justru suami istri itu harus romantis. Kan boring atuh kalo punya suami kayak robot,” jawab Marliah sembari tertawa lebar. Tapi tawa itu serasa jadi ejekan. Karena Arini juga tahu bahwa Marliah mengenal seperti apa Purnomo.
Sementara suaminya, Purnomo? Uh! Jangankan diajak untuk romantis-romantisan, dirajuk dengan panggilan sayang pun tak pernah mempan. Suatu hari, Arini pernah memanggilnya dengan panggilan ‘Sayang’, lelaki itu hanya bergeming dan menatap Arini dengan tatapan aneh penuh tanda tanya. “Kamu kenapa sih Arini? Kesambet ya?”
Uh, sungguh mengesalkan, begitulah bisik Arini. Yang jelas, dia tidak pernah menyangka bakal mendapatkan lelaki yang sangat-sangat tidak romantis. Bahkan boleh dibilang Purnomo adalah tipe lelaki dingin, pendiam dan tak banyak omong.
Hm, mengingat itu semua, Arini jadi teringat masa-masa ABG dulu, ketika dia bertukar biodata dengan teman-temannya di buku loosleaf. Disana dia selalu menulis kriteria lelaki impiannya.
Begini bunyinya,
Pasangan masa depan; Aku ingin cowok yang humoris, romantis dan nggak kaku.
Ya Tuhan, tampaknya dia kena karma sehingga justru tipe lelaki yang tidak dia suka itu justru ada pada suaminya. Kaku. Jarang senyum. Tidak humoris. Dan tentu saja tidak romantis.
“Mas, sekali-kali memang salah ya kalo kita romantis-romantisan?” tanya Arini suatu hari, sepulang suaminya ngojek.
“Malu sama umur, kayak ABG aja,” jawab Purnomo pendek. Melepas jaket hijaunya dan merebahkan dirinya di atas sofa.
“Sini mas, rebahannya di pangkuan Arini,” tawar Arini dengan kerlingan.
“Gerah, Ni. Enakan di sofa,” jawab Purnomo.
Benar, kan, apa yang Arini bilang. Suaminya memang kaku seperti robot.
Di lain hari, Arini berkumpul dengan teman-teman arisan di rumah Bu Denok, istri dari seorang suami yang berprofesi sebagai pedagang kain di pasar kecamatan. Ketika berkumpul itulah, Bu Denok memamerkan tas barunya.
“Wah, beli dimana itu Bu?” tanya Arini penasaran.
“Dibeliin suamiku lah,” jawab Bu Denok dengan senyum sumringah. “Ini tuh hadiah ulang tahun aku yang ke-45. Setiap tahun dia pasti ngasih hadiah.
“Oh, kita sama Bu Denok,” timpal Suminem, istri sang sopir truk yang saban hari suaminya keluar kota untuk mengangkut pasir dan material bangunan. “Suamiku juga suka ngasih hadiah lho. Kemarin-kemarin, pas aniversiti_”
“Ralat!” potong Marliah demi mendengar celoteh aneh Suminem. “Bukan aniversiti, tapi anipersari…”
“Terserah lu deh.”
“Jadi?”
“Iya, pas anipersiti, eh maksudku anipersari aku, Mas Aji memberi saya anting-anting baru. Cantik banget lho.”
Hadiah ulang tahun? Arini memang selalu ingat tanggal lahirnya. Dia juga dulu pernah mengadakan syukuran hari ulang tahunnya. Tapi Purnomo tidak pernah tahu tanggal lahirnya, tidak pernah pula menanyakan kepadanya. Pun tidak juga memberi hadiah di hari spesial itu. Nah, seminggu lagi kan hari ulang tahunku, begitulah pikir Arini.
Seminggu setelahnya, dia mulai memainkan tebak-tebakan di hadapan Purnomo. “Mas, hari ini hari apa, coba.”
“Hari rabu,” jawab suaminya pendek. Mengenakan jaket hijau sebagai seragam ojek online yang dikenakan saban hari. Saking seringnya terpanggang matahari, sampai-sampai jaketnya terlihat sangat kusam.
“Bukan itu yang Arini maksud, Mas.”
“Lalu apa?”
“Hari ini hari ulang tahun aku, Mas.”
“Oh…”
“Hanya oh?” tanya Arini dengan cemberut maksimal.
“Lho, kok marah. Terus aku harus gimana?”
“Beliin aku hadiah lah, Mas.”
“Oh, kamu mau apa?”
“Apa aja deh, terserah.”
Sepulang kerja bakda isya, suaminya sudah kembali setelah keliling-keliling kota pake delman istimewa, eh, pake motor maksudnya. Ada raut lelah di wajahnya. Ada peluh di keningnya. Ada bau matahari dan keringat di badannya.
“Dek, ini hadiahnya.” Serunya tepat di ambang pintu, mengangsurkan bungkusan kecil ke hadapan Arini.
“Apa ini, Mas?” tanya Arini penasaran. Dia berharap itu adalah Iphone yang selama ini dia damba-dambakan atau mungkin kotak perhiasan atau… Tapi, masa iya dibungkus kresek?
“Buka saja.”
“Kok nggak pake kertas kado sih, Mas.”
“Oh, harus pake kertas kado, ya?”
“Ya iyalah.”
“Mau pake kertas kado atau bukan, kan intinya sama-sama dibuka, sama-sama hadiah.”
“Tau ah!”
Dengan hati yang berdebar-debar, Arini pun membuka kantong kresek itu. Sejurus kemudian, dahinya kembali berkerut-kerut. Lima lipatan sempurna tercetak di jidatnya. “Kok? Martabak?”
“Aku ingat kamu suka martabak pengkolan itu. Ya sudah tadi aku beliin.”
Arini menepuk jidatnya berkali-kali.
***
Hari itu, roman Marliah tidak seperti biasanya. Wajahnya tampak begitu murung ketika Arini mengantarkan serantang sayur lodeh kepada tetangganya itu. “Kamu kenapa sih, Mbak Mar? Kok murung begitu?”
Alih-alih menjawab, Marliah malah menangis sesenggukan di hadapan Arini. Tangisan itu sudah barang tentu menambah kadar penasaran di hati Arini. “Ada apa sih?”
“Suamiku…”
“Kenapa dengan Mas Somad?” Apakah Mas somad sakit, kecelakaan, atau bagaimana? Hati Arini dikecamuki banyak tanya.
“Suamiku kedapatan selingkuh, Rin?”
“Apa? Kok bisa?”
“Aku juga nggak tahu….”
Detik itu juga Arini bertanya-tanya dan tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang lelaki romantis seperti Pak Somad bisa menjadi seorang lelaki pengkhianat cinta. Seakan-akan, semua keromantisan yang dia umbar terhadap istrinya hanyalah semu belaka. Kemudian Arini kembali berpikir, jika Pak Somad saja yang romantis bisa selingkuh, tentu suaminya yang dingin dan kaku memiliki peluang yang lebih besar!
Arini paranoid. Dia tidak pernah berpikir untuk mencuri-curi membuka ponsel suaminya ketika suaminya lengah. Tapi setelah mendengar pengkhianatan Pak Somad terhadap istrinya, dia jadi rajin mengecek ponsel sang suami. Mulai dari aplikasi pesan singkat, media sosial, hingga kontak berhasil dia sisir dengan sempurna. Tapi tak ada yang mencurigakan. Pun suaminya juga tidak pernah mengunci ponselnya.
Ah, Arini bergumam pelan. Dia hanya paranoid. Suaminya orang baik-baik.
Ya, suaminya memang baik dan tak pernah neko-neko. Dia suka membantu dan tak pernah mengeluh ketika dimintai tolong. Lihatlah ketika pagi hari mulai menggeliat. Arini menyapu, Purnomo mengepel. Arini mencuci, Purnomo menjemur. Arini memandikan anak, Purnomo menidurkannya. Arini begini, Purnomo begitu. dia ringan tangan membantu semua pekerjaan istrinya sebelum dia berangkat ngojek.
Lihatlah ketika Purnomo menjemur cucian di halaman rumah. Sementara di seberang jalan sana, Pak Somad tengah duduk ongkang-ongkang kaki, menyeruput kopi sembari menekuri lembar demi lembar Koran. Sementara sang istri, Marliah sibuk di dapur tanpa sekali pun dia peduli.
Berbilang bulan telah berlalu. Arini sakit keras hingga harus dirawat inap di rumah sakit. Dokter bilang, ada kanker yang bersarang di rahimnya. Ini adalah titik paling mengerikan sekaligus menakutkan dalam episode hidup Arini. Tapi sekaligus membawa satu fakta yang selama ini tersembunyi dan tak pernah dia lihat.
Arini terbaring lemah, sementara Purnomo duduk bersimpuh di sampingnya. Siang malam lelaki itu menggengggam tangannya, sesekali menyebut namanya sembari berbisik. ‘Cepat sembuh ya, Dik.”
Kali itu Arini percaya bahwa Purnomo adalah lelaki yang romantis. Jauh lebih romantis dibanding Pak Somad, Pak Jali atau siapa pun itu yang pernah dia sebut sebagai suami romantis bagi para istrinya.
No comments:
Post a Comment