Cerpen oleh Husni Magz
Hari sudah mulai pagi ketika aku mendengar suara ribut dari ruang depan. Tidak salah lagi, Emak dan Bapak pasti sedang bertengkar. Tapi pertengkaran kali ini tentu saja berbeda dengan pertengkaran emak dan Bapak di hari-hari sebelumnya. Dengan mata yang masih mengantuk, aku mengintip dari balik pintu kamar yang hanya ditutupi tirai gorden kumal -yang entah kapan menyentuh sabun dan air-, disana Bapak sudah membawa tas bututnya serta dua buah kardus bekas mie instan yang telah dililiti tali rafia.
“Pergi saja, aku tidak akan menyesal!” seru Emak. Masih dengan suara yang bergetar. Entah karena sedih atau karena marah. Aku tidak tahu pasti.
Bapak memanggil Teh Anih dan Kang sapta, kedua kakakku. Namanya dipanggil, keduanya datang dengan tubuh yang sudah terbalut baju terbaik mereka. Rapi.
“Kalian berdua ikut bersama Bapak. Sinta bersama Emak,” ujar Bapak sembari mengelus-elus rambut Anih.
Aku yang mendengar percakapan itu segera berlari ke ruang depan sembari berteriak, “Bapak mau kemana? Sinta ikut!”
Bapak menatapku dengan tatapan sayu. Sementara Emak hanya membuang muka. Bapak berjongkok, menjawil pipi tembebku dan berkata dengan lembut, “karena Sinta masih kecil. masih menyusu sama Emak. Anak kecil tak baik bepergian terlalu jauh.”
Aku percaya saja. Aku menganggukan kepala dan meminta bapak untuk segera pulang dengan membawa gula-gula. Tapi di umur 3 tahun seperti itu, aku tidak pernah menyangka bahwa itu adalah hari terakhir aku melihat Bapak dan kedua kakakku. Mereka pergi, meninggalkan –atau lebih tepatnya- mencampakan emak dan aku di gubuk yang reyot ini. Bapak tidak meninggalkan apa pun selain kesedihan yang setiap hari bersemayam di hati emak. Emak selalu bilang, Bapak bajingan. Tapi aku tidak pernah mengerti apa yang dimaksud bajingan itu.
Aku selalu bertanya kepada Emak, kenapa Bapak tidak pulang juga. Emak selalu menjawabnya dengan derai air mata. Tapi jika tanya dari mulut kecilku semakin menjadi, Emak marah dan berteriak, “Bapakmu Modar!”
Kelak aku mengerti kenapa Bapak meninggalkanku dengan Emak, sementara dia membawa dua saudaraku yang sudah besar. Barangkali Bapak tidak ingin menambah beban dosanya dengan meninggalkan Emak sendirian di gubuk yang lapuk dan apak ini. Setidaknya dengan kehadiranku, Emak masih bisa menjaga kewarasannya.
Akan tetapi ternyata Emak tetap saja dianggap kurang waras. Setidaknya itu yang tetanggaku bilang. Mereka menganggap Emak sudah setengah gila karena selalu berteriak tengah malam. Lambat tapi pasti, Emak tidak hanya berteriak di tengah malam saja. Jika emak sedang kambuh, dia akan bersumpah serapah di pagi hari, siang hari, sore hari, atau kapan pun dia mau. Dia menyumpahi bapak dengan sumpah serapah yang menyakitkan telinga. Tetanggaku bilang emak depresi karena ditinggal bapak. Sementara yang lainnya bilang Emak agak kurang waras karena tekanan dan tuntutan kehidupan.
Emak juga sekarang tidak lagi memperhatikan kebersihannya. Pun dengan diriku. Emak tidak lagi mencuci baju, tidak juga menanak nasi dan memasak lauk untuk makan siang dan makan malam. Apa? Kamu bertanya tentang waktu makan kami? Ya, aku makan hanya dua kali dalam sehari. Jika tidak menyantap sarapan di pagi hari, setidaknya aku memiliki makan siang meski hanya dengan menu yang sederhana. Sambal goang dan selada liar yang aku petik dari sawah dan selokan. Sesekali aku memetik pakis di semak belukar kebun.
Sebelumnya, aku tidak pernah merasa melarat karena meski ditinggal bapak aku masih punya Nek Uti, si tetangga yang baik hati. Nenek yang tidak punya keturunan karena gabuk itu menumpahkan cintanya untukku, menganggapku sebagai cucunya sendiri. Masih tergiang di telingaku suara Nek Uti yang lembut.
“Neng, masih punya beras?” itu adalah suara Nek Uti beberapa tahun silam. Tetanggaku yang baik hati yang selalu membawakan aku beras atau lauk untuk makan malam. Jika tidak ada Nek Uti, barangkali aku dan Emak sudah kelaparan.
“Ada satu kobok lagi nek,” jawabku dari dapur.
Nenek Uti masuk ke dalam gubuk reyot kami yang aku sangat yakin jika ada angin dan badai, gubuk reyot ini akan roboh dan rata dengan tanah. Jika musim hujan tiba, ada lima titik bocor dari atap rumbia yang mengalirkan tetesan air.
“Ini, Nek Uti bawa lima kobok beras. Nanti kalau sudah habis bilang ya,” ujar Nenek uti sembari mengelus-elus rambutku yang kusut dan bau matahari. “Emakmu mana?”
“Tadi di belakang,” jawabku. Terakhir kali aku melihat Emak tengah meracau di belakang. Tentu saja menyumpahi bapak sembari memukul-mukul bilik bambu.
Aku menyeka air mataku. Mencoba melupakan kenangan tentang Nek Uti yang baik hati. Tiga bulan yang lalu Nek Uti meninggal dunia karena penyakit jantung. Tidak ada lagi yang rutin memberiku beras dan lauk pauk. Aku harus bekerja untuk membeli beras. Memang ada tetangga yang baik hati datang untuk membawa beras. Tapi itu jarang sekali. Lagi pula, rumah kami jauh dari pemukiman warga. Rumah kami hanya ada di pinggir kebun yang terpisah sawah dan kebun pisang.
Aku berpikir, agaknya aku akan menjalani kehidupanku dalam ketidakpastian. Aku harus menemani emak sepanjang sisa usianya tanpa pernah mengenal bangku sekolah dan berteman. Aku ingin bisa membaca, menulis dan berhitung seperti anak-anak lainnya.
Gusti Allah tampaknya berbaik hati karena tak berapa lama setelah Nek Uti meninggal dunia, ada dua orang wanita yang berpakaian rapi menyambangi gubuk reyot kami yang hampir roboh. Mereka ditemani seorang lelaki berseragam. Dia bilang, namanya Pak Tatang dari kelurahan.
“Nak Sinta, Ini Ibu Rina dan Sofiya dari yayasan yatim piatu. Mereka datang untuk membantu Sinta dan Emak Sinta,” terang Pak Tatang sembari mengelus rambutku.
Aku hanya terdiam dan mencoba mencerna maksud dibalik kata-kata lelaki bernama Pak Tatang itu.
“Sinta mau sekolah kan?”
Aku mengangguk dengan anggukan yang kuat karena rasa antusias yang langsung memenuhi dadaku.
“Nah, besok kamu bisa berangkat ke kota bareng Bu Rina untuk sekolah di yayasan mereka.”
Kali ini aku menggeleng. “Sinta tidak ingin meninggalkan Emak. Nanti Emak tidak ada yang merawat.”
“Nanti Emak ada yang merawat dari rumah sakit jiwa. tapi nanti tempatnya beda dengan yayasan tempat Sinta sekolah.”
“Sinta tidak mau berpisah dengan Emak,” lirihku. Kali ini air mata berleleran di kedua pelupuk mataku.
“Sinta masih bisa kok menjenguk Emak. Kalau Emak terus disini, Emak tidak akan sembuh. Emak akan terus menerus meracau seperti orang tidak waras. Begitu juga kamu, kalau disini terus, Sinta tidak bisa bersekolah.”
Jadi begitulah. Aku mengikuti Bu Rina ke kota. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku memiliki kasur empuk lengkap dengan selimutnya yang begitu hangat. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bisa makan tiga kali dalam sehari dengan lauk daging ayam dan ikan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku memiliki banyak pakaian dan gaun yang bisa aku pakai. Bu Rina mencintaiku seperti dia mencintai belasan anak lain yang ditampung di rumah besarnya. Sebulan sekali aku diajak Bu Rina untuk menjenguk Emak yang dirawat di rumah sakit jiwa di kota sebelah.
Belasan tahun lamanya aku hidup di rumah bu Rina dengan hidup yang penuh warna. Meski kepedihan itu masih tersisa di hatiku karena ternyata Emak masih belum sembuh dari ketidakwarasannya. Barangkali sampai akhir hayatnya Emak akan tetap seperti itu. Dan sepanjang hayatnya aku akan menjenguknya sebulan sekali.
Ada satu misteri besar yang belum bisa terpecahkan sampai detik ini adalah perihal Bapak dan kedua saudara kandungku. Seringkali, di tengah malam mimpi buruk itu datang dan memaksaku untuk bangun dan tidak lagi tidur di sisa malam hingga fajar tiba. Dalam mimpi itu aku melihat Bapak dan kedua kakakku meninggalkanku sendirian di tengah lapangan luas.
“Gusti…dimana Bapak dan kedua saudara kandungku….” Lirihku diantara derai air mata. Aku selalu berharap kelak Tuhan mempertemukanku dengan mereka.
Hingga di siang yang panas mentereng, sepulang dari menjenguk Emak di RSJ, aku melihat seorang gadis berkerudung ungu menjajakan sale pisang dan noga di terminal bis. Dia menjajakan sale dan noga dari bus ke bus dan dari penumpang ke penumpang yang berlalu lalang.
Ah, tiba-tiba saja aku merindukan sale bikinan Emak belasan tahun silam. Jika ada pisang berlebih, Emak selalu membuat sale yang rasanya legit dan manis sekali.
“Salenya Teh!” seruku. Perempuan berkerudung ungu itu datang mendekat dan menurunkan baskom yang berisi sale dan noga yang sudah dikemas.
“Beli tiga bungkus ya, Teh,” ujarku sembari mengeluarkan dompet dari tas tangan. Aku harus membeli banyak untuk adik-adik pantiku di rumah. “Semuanya berapa?”
“Tiga puluh rebu, Teh,” jawab si penjual sembari mendongakan wajahnya. Di saat yang sama aku pun menatapnya. Tapi…sepertinya aku sangat familiar dengan wajah itu. Aku juga melihat wajah si wanita penjaja sale itu berubah seketika. Seperti ada keterkejutan yang menghantam jiwanya. Wajahnya pias.
“Sinta!” serunya dengan tangis yang datang seketika. Tanpa mempedulikan responku, wanita penjaja sale itu langsung memelukku.
“Bagaimana Teteh tahu namaku?” tanyaku dengan kebingungan yang semakin menjadi.
“Aku Teh Anih! Aku tahu betul kamu, Sinta. Aku meliha tahi lalat di bawah bibirmu. Aku juga tahu tanda lahir di tangan kananmu,” jelasnya sembari meraih tangan kananku. Dan tangisnya semakin buncah ketika dia melihat lingkaran hitam di lenganku.
Kami berdua meledak dalam derai tangis tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang yang tertarik dengan drama kehidupan kami.
TAMAT.
huhuhuhu..
ReplyDeletesesingkat ini aja udah bikin begidik yaa....
sehat terus kang husni...