Oleh: Husni Magz
|
Boleh aku duduk di sini?” suara bariton itu
membuyarkan lamunanku.
Aku yang sedari tadi melemparkan pandangan
ke luar bingkai jendela bis tergeragap dan serta merta menoleh ke pemilik
suara. “Bo-boleh. Silakan. Masih kosong, kok.”
Di hadapanku kini menjulang sosok lelaki
yang begitu sempurna. Dia lumayan tampan dengan cambang dan kumis tipisnya.
Lelaki tipikalku. Wah, mimpi apa aku semalam? Aku tidak pernah menyangka
perjalananku ini akan berdampingan dengan lelaki maco yang rupawan.
“Terimakasih,” ujar lelaki itu, kemudian
dia menghempaskan tubuhnya di sampingku. Aroma parfum maskulin bulgari menguar,
menggoda indra pencium. Aromanya lembut dan memabukan. Aku kembali membuang
arah pandangan ke jendela hanya untuk memastikan bahwa aku akan baik-baik saja
meski jantungku bertalu-talu.
“Mau mudik ke mana?” tanya dia dengan
antusias.
Wah! Ini rezeki nomplok namanya. Sudah
ganteng, ramah dan suka ngobrol juga. Pada dasarnya aku tidak suka diajak ngobrol
oleh orang asing. Tapi karena dia lelaki rupawan nan menawan, maka itu tidak
jadi soal.
“Mau ke Ciamis,” jawabku pendek. “Abang
sendiri mau ke mana?”
“Wah, sama dong. Saya juga mau ke Banjar.
Saya mau berkunjung ke rumah saudara saya,” jelas si lelaki tampan itu tanpa
menunggu aku menanyainya tentang kepada siapa dia akan berkunjung. Kemudian
lelaki itu mengulurkan tangannya yang kukuh. “Kenalkan, saya Rahman.”
Aku menyambut uluran tangannya dengan
antusias dan senyuman. “Renita.”
“Nama kamu cantik. Sama seperti orangnya.”
Aku terbang karena pujian itu. “Ah, Akang
bisa aja!” aku kembali membuang muka ke luar jendela. Aku sendiri bingung apa
yang hendak aku obrolan dengan Rahman. Hanya saja aku merasa nyaman karena bisa
duduk berdampingan dengan pria ini. Setidaknya, pulang kampung kali ini ada
teman ngobrol. Syukur-syukur obrolan itu tidak hanya dicukupkan di sepanjang
perjalanan, tapi berlanjut setelahnya dengan bertukar nomor whatsapp. Setelah
itu aku berandai-andai bahwa aku dan Rahman semakin akrab, kemudian timbul rasa
suka, kemudian lelaki menawan ini berniat untuk melamarku dengan langsung
datang menemui Abah dan Emak. Ya Tuhan! Kau lihat bagaimana anganku melanglang
hingga ujung cakrawala
“Kamu tiap lebaran pulang, ya?” Rahman
kembali bertanya. Aku kembali mengalihkan pandangan dari jendela bis untuk
menatap wajahnya yang enak dipandang itu. Aku sebenarnya gadis pemalu yang
segan untuk menatap langsung lawan bicara, terutama ketika bercakap dengan
lelaki tampan. Jadi, ketika Rahman bertanya ini dan itu, aku memiliki alasan
untuk bisa menatap lama wajahnya itu. ah, padahal pada dasarnya aku orang yang
paling malas ditanya macam-macam. Kecuali oleh lelaki ini, tentu saja.
“Sering. Bukan hanya lebaran. Barang enam
bulan sekali aku pulang ke kampung,” jawabku antusias.
Singkat kata, aku benar-benar menikmati
perjalanan itu. Rahman bertanya aku menjawab. Aku bertanya, dia menjawab. Kami
mengobrol tentang berbagai hal sehingga lambat laun, perjalanan beberapa jam
itu terasa begitu mengakrabkan. Aku bahkan sudah berani mencubit paha atau
lengannya ketika dia melontarkan lelucon. Ah, sungguh nikmatnya perjalanan ini.
Ketika topik obrolan telah habis, kami pun
sama-sama diam. Hanya saja diam kali ini tidak ada kecanggungan. Kulihat Rahman
tertidur di joknya. Ketika dia tidur aku lebih leluasa untuk menatap wajah
tampannya dengan begitu lekat. Tanpa dia sadari, dia menyenderkan kepalanya di
bahuku. Hatiku bersorak senang. Lelaki itu kembali terbangun ketika bis
berhenti di terminal Indihiang dan para pedagang asongan masuk ke dalam bis,
menawarkan barang dagangannya dengan suara cempreng yang begitu ramai. Sebagian
pedagang asongan itu menawarkan dagangannya dengan setengah memaksa.
Rahman tergeragap. Dia tampak terkejut
mendapati kepalanya menyender di bahuku, hampir menyentuh leherku. Dia
mengangkat kepala dengan roman malu dan meminta maaf.
“Tidak apa-apa,” jawabku dengan senyum
simpul.
“Sudah sampai Tasik,” timpalnya.
“Iya.”
“Aku mau beli air minum dulu ke luar,”
ujarnya kemudian.
“Lho, kenapa nggak ditunggu di sini aja.
Nanti juga bakalan masuk penjaja minuman ke dalam bus,” ujarku, keheranan.
“Mau sekalian ke toilet,” balasnya. Dia pun
berdiri dari jok dan berlalu dari hadapanku. Belasan menit setelahnya dia
kembali dengan wajah yang lebih cerah karena sudah mencuci mukanya yang tampak
suntuk. Dia kembali duduk sembari menawarkan air kemasan ke pangkuanku. “Minum,
pasti kamu haus.”
Aku mengangguk, tersenyum lebar dan merasa
tersanjung dengan keramahannya. “Terimakasih, kang.” Kemudian tanpa berpikir
panjang aku membuka air minum kemasan itu dan meminumnya beberapa tegukan.
Kemudian kami kembali mengobrol. Pedagang cimol masuk, Rahman menawariku dan
aku mengangguk. Pedagang buah lengkeng masuk, aku yang membelinya,
menawarkannya kepada Rahman. Dan kami semakin akrab.
Mesin bis menderu. Pak Sopir dan kondektur
kembali masuk setelah memastikan semua penumpang telah menempati tempat
duduknya masing-masing. Para pedagang belingsatan keluar dari bis, beberapa
dengan terburu-buru menyerahkan uang kembalian kepada pembeli yang tak punya
receh. Setelah itu bis kembali melaju, keluar dari terminal Tasikmalaya.
Sepanjang perjalanan itu aku merasakan sensasi
yang begitu aneh. Aku terus menerus menguap. Mengantuk berat. Setelah itu aku
tertidur dengan begitu pulas. Kemudian terbangun ketika Rahman menepuk
pundakku. “Sudah sampai, kita ada di Banjar,” ujarnya. Aku gelagapan. Pikiranku
kosong dan tak tahu apa-apa. Tapi aku ingat tujuanku Ciamis. Rumahku di Ciamis.
Itu artinya terminal sudah terlewat.
“Ayo turun, sayang,” Rahman menyentuh
pergelangan tanganku. Anehnya, aku tidak membantah Rahman. Kusampirkan tas
tanganku di bahu kanan, kemudian berdiri dan mengikuti langkah kaki lelaki itu.
Kami berdua keluar dari bis dan aku tidak tahu apa-apa selain harus mengikuti
langkah kaki Rahman.
Aku bagai kerbau dicocok hidung yang
berjalan di belakang sang tuan. Rahman membawaku berjalan beberapa saat,
kemudian kami tiba di sebuah hotel. Lelaki itu memesan kamar dan kami melangkah
ke lantai dua dan berakhir terdampar di dalam kamar tersebut. Aku tidak tahu
apa-apa. Aku seperti seonggok benda atau daging yang tak memiliki jiwa. Aku
menuruti setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu. Aku seperti sebuah
boneka mati ketika lelaki itu menyuruhku untuk berbaring. Aku terdiam ketika
lelaki itu mulai menjamah setiap inci tubuhku. Setelah itu, aku kembali
tertidur.
Samar-samar, selarik sinar matahari yang
lolos dari kisi-kisi jendela kamar mampu menyadarkanku. Mataku mengerjap
berkali-kali untuk menyesuaikan keremangan ruangan dengan retina mata. Kepalaku
terasa pening dan berat. Aku sadar bahwa posisi tidurku dalam keadaan
tertelungkup. Aku bangkit dari ranjang dengan seprei yang semrawut. Bingung.
Mataku bergulir, leherku menoleh ke sana kemari. Kutemukan tas tangan teronggok
di atas nakas. Secara sadar, tanganku menjamah tas itu untuk mengambil
ponselku. Tak kutemukan ponselku di sana. Pun tidak dengan dompetku yang berisi
uang ratusan ribu.
Pada detik itulah aku sadar ada sesuatu
yang tidak beres. Aku segera beranjak dari tempat tidur. Meraih pakaian luar
dan dalam yang teronggok di lantai, kemudian mengenakannya. Aku bahkan tidak
sempat berpikir kenapa aku tidur telanjang. Ketika keluar dari ruangan kamar
itulah aku ingat bahwa terakhir kali aku datang ke sini bersama lelaki bernama
Rahman. Kemudian aku juga teringat bagaimana lelaki itu memberiku minuman
kemasan dengan senyum lebar. Senyum itu kini bisa aku mengerti sebagai senyuman
iblis.
Dengan detak jantung yang semakin menjadi,
aku berlari menyusuri koridor hotel –yang aku yakin sebagai hotel melati- dan
menuruni tangga manual. Setibanya di meja resepsi, aku pun memberondong sang
resepsionis dengan letupan tanya.
“Mbak, lelaki itu mana?”
“Lelaki yang mana?” tanya si resepsionis
dengan kerut di dahi. Bingung.
“Lelaki yang namanya Rahman!”
Kali ini alis si resepsionis hampir
bertaut. Dia kemudian menekuri layar komputer di hadapannya. “Tidak ada pemesan
kamar yang namanya Rahman, Teh.”
Aku benar-benar menjadi gila. Kutepuk
jidatku berkali-kali. Aku kembali berlari ke atas untuk memastikan nomor kamar
yang dipesan. Setelah melihat nomor di pintu itu, aku kembali turun dengan hati
yang semakin dilanda cemas. “Yang pesan kamar nomor 15, Teh.”
“Sebentar.” Wanita itu kemudian kembali
menekuri komputer, mengetik beberapa ketukan di keyboard dan sejurus
kemudian bibirnya yang bergincu itu bergerak menyebut nama. “Rian. Nama
pemesannya atas nama Rian Suhanda.”
“Nah, itu. orangnya mana?”
“Sudah cek out empat jam yang lalu, Teh.
Tepatnya setelah subuh. Oh, Teteh temannya itu ya. Dia titip pesan ke
saya katanya kalau Teteh sudah bangun, bilang sama teteh, Terimakasih.”
“Ada nomor ponselnya?”
“Tidak ada.”
Aku benar-benar kalut. Kali ini aku sudah
tidak bisa berpikir dengan benar apa yang harus aku lakukan setelah kejadian
ini. Bagaimana aku bisa kembali ke Ciamis, sementara dompetku raib, dibawa oleh
bajingan bernama Rahman atau Rian itu. Pun dengan ponselku. Mungkin aku masih
bisa menelpon kakak untuk menjemputku ke Banjar jika si bajingan tengik itu
masih berbaik hati menyisakan ponsel itu untukku. Nyatanya, tidak ada yang
tersisa. Termasuk kehormatanku.
Aku keluar dari hotel tanpa menoleh lagi,
meninggalkan raut bingung di wajah si resepsionis. Tujuanku sekarang adalah
kantor polisi. Selain untuk melaporkan kejadian, barangkali polisi tahu
bagaimana caranya aku pulang. Mungkin dengan memberi ongkos sekali jalan.
=
Husni Magz, lahir di Cikalong, Tasikmalaya 1993. Menulis novel, non fiksi dan cerpen. Bukunya yang telah terbit Filosofi Kehidupan (Quanta, 2019), Mencari Kebahagiaan yang Hilang (Quanta, 2018), Reunited (Lovrinz, 2021). Aktif menulis di blog pribadinya husni-magz.blogspot.com
No comments:
Post a Comment