12 Apr 2022

Cerpen: Lelaki Tampan di Dalam Bis



Oleh: Husni Magz

 

Boleh aku duduk di sini?” suara bariton itu membuyarkan lamunanku.

Aku yang sedari tadi melemparkan pandangan ke luar bingkai jendela bis tergeragap dan serta merta menoleh ke pemilik suara. “Bo-boleh. Silakan. Masih kosong, kok.”

Di hadapanku kini menjulang sosok lelaki yang begitu sempurna. Dia lumayan tampan dengan cambang dan kumis tipisnya. Lelaki tipikalku. Wah, mimpi apa aku semalam? Aku tidak pernah menyangka perjalananku ini akan berdampingan dengan lelaki maco yang rupawan.

“Terimakasih,” ujar lelaki itu, kemudian dia menghempaskan tubuhnya di sampingku. Aroma parfum maskulin bulgari menguar, menggoda indra pencium. Aromanya lembut dan memabukan. Aku kembali membuang arah pandangan ke jendela hanya untuk memastikan bahwa aku akan baik-baik saja meski jantungku bertalu-talu.

“Mau mudik ke mana?” tanya dia dengan antusias.

Wah! Ini rezeki nomplok namanya. Sudah ganteng, ramah dan suka ngobrol juga. Pada dasarnya aku tidak suka diajak ngobrol oleh orang asing. Tapi karena dia lelaki rupawan nan menawan, maka itu tidak jadi soal.

“Mau ke Ciamis,” jawabku pendek. “Abang sendiri mau ke mana?”

“Wah, sama dong. Saya juga mau ke Banjar. Saya mau berkunjung ke rumah saudara saya,” jelas si lelaki tampan itu tanpa menunggu aku menanyainya tentang kepada siapa dia akan berkunjung. Kemudian lelaki itu mengulurkan tangannya yang kukuh. “Kenalkan, saya Rahman.”

Aku menyambut uluran tangannya dengan antusias dan senyuman. “Renita.”

“Nama kamu cantik. Sama seperti orangnya.”

Aku terbang karena pujian itu. “Ah, Akang bisa aja!” aku kembali membuang muka ke luar jendela. Aku sendiri bingung apa yang hendak aku obrolan dengan Rahman. Hanya saja aku merasa nyaman karena bisa duduk berdampingan dengan pria ini. Setidaknya, pulang kampung kali ini ada teman ngobrol. Syukur-syukur obrolan itu tidak hanya dicukupkan di sepanjang perjalanan, tapi berlanjut setelahnya dengan bertukar nomor whatsapp. Setelah itu aku berandai-andai bahwa aku dan Rahman semakin akrab, kemudian timbul rasa suka, kemudian lelaki menawan ini berniat untuk melamarku dengan langsung datang menemui Abah dan Emak. Ya Tuhan! Kau lihat bagaimana anganku melanglang hingga ujung cakrawala

“Kamu tiap lebaran pulang, ya?” Rahman kembali bertanya. Aku kembali mengalihkan pandangan dari jendela bis untuk menatap wajahnya yang enak dipandang itu. Aku sebenarnya gadis pemalu yang segan untuk menatap langsung lawan bicara, terutama ketika bercakap dengan lelaki tampan. Jadi, ketika Rahman bertanya ini dan itu, aku memiliki alasan untuk bisa menatap lama wajahnya itu. ah, padahal pada dasarnya aku orang yang paling malas ditanya macam-macam. Kecuali oleh lelaki ini, tentu saja.

“Sering. Bukan hanya lebaran. Barang enam bulan sekali aku pulang ke kampung,” jawabku antusias.

Singkat kata, aku benar-benar menikmati perjalanan itu. Rahman bertanya aku menjawab. Aku bertanya, dia menjawab. Kami mengobrol tentang berbagai hal sehingga lambat laun, perjalanan beberapa jam itu terasa begitu mengakrabkan. Aku bahkan sudah berani mencubit paha atau lengannya ketika dia melontarkan lelucon. Ah, sungguh nikmatnya perjalanan ini.

Ketika topik obrolan telah habis, kami pun sama-sama diam. Hanya saja diam kali ini tidak ada kecanggungan. Kulihat Rahman tertidur di joknya. Ketika dia tidur aku lebih leluasa untuk menatap wajah tampannya dengan begitu lekat. Tanpa dia sadari, dia menyenderkan kepalanya di bahuku. Hatiku bersorak senang. Lelaki itu kembali terbangun ketika bis berhenti di terminal Indihiang dan para pedagang asongan masuk ke dalam bis, menawarkan barang dagangannya dengan suara cempreng yang begitu ramai. Sebagian pedagang asongan itu menawarkan dagangannya dengan setengah memaksa.

Rahman tergeragap. Dia tampak terkejut mendapati kepalanya menyender di bahuku, hampir menyentuh leherku. Dia mengangkat kepala dengan roman malu dan meminta maaf.

“Tidak apa-apa,” jawabku dengan senyum simpul.

“Sudah sampai Tasik,” timpalnya.

“Iya.”

“Aku mau beli air minum dulu ke luar,” ujarnya kemudian.

“Lho, kenapa nggak ditunggu di sini aja. Nanti juga bakalan masuk penjaja minuman ke dalam bus,” ujarku, keheranan.

“Mau sekalian ke toilet,” balasnya. Dia pun berdiri dari jok dan berlalu dari hadapanku. Belasan menit setelahnya dia kembali dengan wajah yang lebih cerah karena sudah mencuci mukanya yang tampak suntuk. Dia kembali duduk sembari menawarkan air kemasan ke pangkuanku. “Minum, pasti kamu haus.”

Aku mengangguk, tersenyum lebar dan merasa tersanjung dengan keramahannya. “Terimakasih, kang.” Kemudian tanpa berpikir panjang aku membuka air minum kemasan itu dan meminumnya beberapa tegukan. Kemudian kami kembali mengobrol. Pedagang cimol masuk, Rahman menawariku dan aku mengangguk. Pedagang buah lengkeng masuk, aku yang membelinya, menawarkannya kepada Rahman. Dan kami semakin akrab.

Mesin bis menderu. Pak Sopir dan kondektur kembali masuk setelah memastikan semua penumpang telah menempati tempat duduknya masing-masing. Para pedagang belingsatan keluar dari bis, beberapa dengan terburu-buru menyerahkan uang kembalian kepada pembeli yang tak punya receh. Setelah itu bis kembali melaju, keluar dari terminal Tasikmalaya.

 Sepanjang perjalanan itu aku merasakan sensasi yang begitu aneh. Aku terus menerus menguap. Mengantuk berat. Setelah itu aku tertidur dengan begitu pulas. Kemudian terbangun ketika Rahman menepuk pundakku. “Sudah sampai, kita ada di Banjar,” ujarnya. Aku gelagapan. Pikiranku kosong dan tak tahu apa-apa. Tapi aku ingat tujuanku Ciamis. Rumahku di Ciamis. Itu artinya terminal sudah terlewat.

“Ayo turun, sayang,” Rahman menyentuh pergelangan tanganku. Anehnya, aku tidak membantah Rahman. Kusampirkan tas tanganku di bahu kanan, kemudian berdiri dan mengikuti langkah kaki lelaki itu. Kami berdua keluar dari bis dan aku tidak tahu apa-apa selain harus mengikuti langkah kaki Rahman.

Aku bagai kerbau dicocok hidung yang berjalan di belakang sang tuan. Rahman membawaku berjalan beberapa saat, kemudian kami tiba di sebuah hotel. Lelaki itu memesan kamar dan kami melangkah ke lantai dua dan berakhir terdampar di dalam kamar tersebut. Aku tidak tahu apa-apa. Aku seperti seonggok benda atau daging yang tak memiliki jiwa. Aku menuruti setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu. Aku seperti sebuah boneka mati ketika lelaki itu menyuruhku untuk berbaring. Aku terdiam ketika lelaki itu mulai menjamah setiap inci tubuhku. Setelah itu, aku kembali tertidur.

Samar-samar, selarik sinar matahari yang lolos dari kisi-kisi jendela kamar mampu menyadarkanku. Mataku mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keremangan ruangan dengan retina mata. Kepalaku terasa pening dan berat. Aku sadar bahwa posisi tidurku dalam keadaan tertelungkup. Aku bangkit dari ranjang dengan seprei yang semrawut. Bingung. Mataku bergulir, leherku menoleh ke sana kemari. Kutemukan tas tangan teronggok di atas nakas. Secara sadar, tanganku menjamah tas itu untuk mengambil ponselku. Tak kutemukan ponselku di sana. Pun tidak dengan dompetku yang berisi uang ratusan ribu.

Pada detik itulah aku sadar ada sesuatu yang tidak beres. Aku segera beranjak dari tempat tidur. Meraih pakaian luar dan dalam yang teronggok di lantai, kemudian mengenakannya. Aku bahkan tidak sempat berpikir kenapa aku tidur telanjang. Ketika keluar dari ruangan kamar itulah aku ingat bahwa terakhir kali aku datang ke sini bersama lelaki bernama Rahman. Kemudian aku juga teringat bagaimana lelaki itu memberiku minuman kemasan dengan senyum lebar. Senyum itu kini bisa aku mengerti sebagai senyuman iblis.

Dengan detak jantung yang semakin menjadi, aku berlari menyusuri koridor hotel –yang aku yakin sebagai hotel melati- dan menuruni tangga manual. Setibanya di meja resepsi, aku pun memberondong sang resepsionis dengan letupan tanya.

“Mbak, lelaki itu mana?”

“Lelaki yang mana?” tanya si resepsionis dengan kerut di dahi. Bingung.

“Lelaki yang namanya Rahman!”

Kali ini alis si resepsionis hampir bertaut. Dia kemudian menekuri layar komputer di hadapannya. “Tidak ada pemesan kamar yang namanya Rahman, Teh.”

Aku benar-benar menjadi gila. Kutepuk jidatku berkali-kali. Aku kembali berlari ke atas untuk memastikan nomor kamar yang dipesan. Setelah melihat nomor di pintu itu, aku kembali turun dengan hati yang semakin dilanda cemas. “Yang pesan kamar nomor 15, Teh.”

“Sebentar.” Wanita itu kemudian kembali menekuri komputer, mengetik beberapa ketukan di keyboard dan sejurus kemudian bibirnya yang bergincu itu bergerak menyebut nama. “Rian. Nama pemesannya atas nama Rian Suhanda.”

“Nah, itu. orangnya mana?”

“Sudah cek out empat jam yang lalu, Teh. Tepatnya setelah subuh. Oh, Teteh temannya itu ya. Dia titip pesan ke saya katanya kalau Teteh sudah bangun, bilang sama teteh, Terimakasih.”

“Ada nomor ponselnya?”

“Tidak ada.”

Aku benar-benar kalut. Kali ini aku sudah tidak bisa berpikir dengan benar apa yang harus aku lakukan setelah kejadian ini. Bagaimana aku bisa kembali ke Ciamis, sementara dompetku raib, dibawa oleh bajingan bernama Rahman atau Rian itu. Pun dengan ponselku. Mungkin aku masih bisa menelpon kakak untuk menjemputku ke Banjar jika si bajingan tengik itu masih berbaik hati menyisakan ponsel itu untukku. Nyatanya, tidak ada yang tersisa. Termasuk kehormatanku.

Aku keluar dari hotel tanpa menoleh lagi, meninggalkan raut bingung di wajah si resepsionis. Tujuanku sekarang adalah kantor polisi. Selain untuk melaporkan kejadian, barangkali polisi tahu bagaimana caranya aku pulang. Mungkin dengan memberi ongkos sekali jalan.

=

Husni Magz, lahir di Cikalong, Tasikmalaya 1993. Menulis novel, non fiksi dan cerpen. Bukunya yang telah terbit Filosofi Kehidupan (Quanta, 2019), Mencari Kebahagiaan yang Hilang (Quanta, 2018), Reunited (Lovrinz, 2021). Aktif menulis di blog pribadinya husni-magz.blogspot.com

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment