8 Jun 2021

BUDAYA BACA

 “Mbak, syaratnya gimana? Boleh nggak aku kirim lewat email?” tanya seseakun di kolom komentar lomba penulisan yang diadakan oleh sebuah penerbit di kota Solo. Padahal semua ketentuan sudah dijelaskan di caption.

Agaknya si admin greget dengan pertanyaan itu, sehingga di postingan selanjutnya dia menulis, “Semua Syarat dan ketentuan sudah disertakan ya. Jadi mimin harap tak ada lagi yang bertanya tentang jumlah halaman, font, cara kirim bla…bla…bla…”

Pada kesempatan yang lain, seorang teman yang menjadi pimpinan pada sebuah lembaga pendidikan membuka lowongan kerja untuk tenaga pengajar di sekolah yang dikelolanya. Banyak yang bertanya tentang kualifikakasi, padahal semuanya sudah jelas ditulis disana.

Dari dua contoh di atas kita bisa melihat bahwa betapa banyak orang-orang yang darurat literasi. Mereka orang grasa-grusu yang tidak ingin merepotkan dirinya membaca dengan baik dan teliti. Jangankan tentang info lomba dan lamaran kerja, berita pun terkadang begitu. Hanya mencukupkan membaca judul laman berita di medsos, mereka sudah langsung main share.

Padahal mereka belum membaca isinya, baru baca judul. Tahu sendiri kan, laman berita sekarang ini judulnya suka nyerempet-nyerempet. Misal, ada berita berjudul ‘Roma Irama meninggal dunia. Padahal yang dimaksud Roma dalam judul itu bukan si penyanyi dangdut. Tapi rakyat biasa yang kebetulan namanya sama. Barangkali jika namanya tak sama persis dengan si penyanyi dangdut, tak akan kematiannya diberitakan.

Di kesempatan yang lain, saya pernah melihat ada tumpukan sampah menggunung di pojok jalan. Tepat di atas tumpukan sampah itu ada plang besar bertuliskan, “Dilarang buang sampah disini!!” Tapi tetap saja orang-orang tak mau peduli.

Mereka bukan berarti buta huruf sehingga tidak mampu membaca plang tersebut. Mereka mampu membaca dan memahami pesan dari plang tersebut. Tapi pesan itu tidak sampai ke hati mereka. Sama seperti para perokok. Sudah jelas ditulis di kemasan, ‘Merokok membunuhmu!’ tetap saja dibeli. Bakar uang setiap hari! Maka, saya katakan, kita darurat literasi. Karena literasi bukan hanya pandai membaca, tapi juga pandai memahami dan mengaplikasikan apa yang kita pahami.

Beberapa minggu kemudian, saya kembali lewat di pinggiran jalan dimana tumpukan sampah itu telah berkurang 80%. Sudah lumayan agak bersih, memang. Ternyata plang kayu yang berisi peringatan larangan buang sampah sembarangan itu telah dicopot. Diganti dengan seutas kain putih yang bertuliskan, “YANG BUANG SAMPAH DISINI HANYA BABI DAN MONYET!’ Tak lupa menyertakan gambar monyet dan babi yang tengah tersenyum lebar.


Ah! Agaknya masyarakat kita mesti dipanggil binatang dulu, baru bisa sadar!

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment