7 Jun 2021

ANTARA IDEALISME DAN SELERA PASAR



Apa yang membedakan karya sastra/fiksi yang terbit di platform kepenulisan dengan karya fiksi yang terbit di penerbit konvensional? Keduanya sama-sama karya fiksi dan punya penggemarnya masing-masing. Hanya saja yang membedakan adalah dari standar kualitas.

Platform kepenulisan tidak memiliki standar kualitas baku yang menjadi acuan. Asalkan tidak menyinggung SARA dan tidak typo, suatu karya bisa saja dipublikasikan dan mampu meraup pembaca dan menghasilkan cuan. Beda halnya dengan penerbit konvensional. Seorang penulis harus menunggu selama 2-3 bulan sampai dia mendapatkan kepastian dari sang editor tentang nasib karyanya. Belum dengan proses perombakan disana-sini untuk mempercantik dan menyempurnakan sebuah naskah sehingga layak untuk diterbitkan.

Dari kesimpulan perbedaan yang dasar itulah, kita mampu menarik benang merah bahwa penerbit memperhatikan tentang idealisme, sementara platform menjadikan idealisme bukan sebuah ukuran mutlak.

Maka, tak heran jika kemudian ramai-ramai para penulis berputar haluan. Idealisme kini telah menjadi nomor yang kesekian. Pada akhirnya selera pasar menjadi satu hal mutlak yang harus diikuti.

Lha, bukannya penerbit juga mempertimbangkan selera pasar? Memang, penerbit memperhatikan selera pasar dan target market sebuah karya. Akan tetapi, itu bukan satu timbangan besar. Meskipun satu karya memiliki banyak peminat jika dilempar ke pasaran, tapi jika karya itu menye-menye dan mirip alur sinetron, agaknya penerbit akan berpikir dua kali untuk menerbitkannya.

Untuk alasan itulah saya jarang (bahkan sekarang tidak pernah) membaca karya-karya fiksi di platform. Saya hanya menggunakan platform untuk menulis karya saya sendiri, bukan untuk membaca karya. Saya lebih nyaman membaca di aplikasi ipusnas atau membaca buku-buku yang memang benar-benar diterbitkan di penerbit buku. Meski yah, terkadang ada juga satu dua karya fiksi di platform yang memiliki kualitas bagus, bahkan lebih bagus dari buku yang diterbitkan secara konvensional.

Akhir kalam, semua kembali kepada selera. Tapi saya lebih memilih tentang idealisme daripada mengikuti selera pasar. Karena saya harus merdeka dengan kemauan diri saya sendiri. Saya tidak ingin menjadi budak pembaca. Terkadang, menulis ‘pesanan pembaca’ itu menyiksa. Saya tidak ingin didikte oleh kemauan pasar. Aduh, jangan-jangan saya harus kuliah marketing!

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment