Suamiku mengalami PHK dari pabrik garmen tempat dia bekerja
dua bulan setelah pandemi corona mewabah kemana-mana. Sejak di-PHK, dia hanya
bisa diam di rumah dan tidak melakukan hal apa pun. Aku pikir, suamiku tidak
memiliki kemauan seperti orang-orang pada umumnya. Padahal, ini sudah masuk
hari pertama puasa. Anak-anak tidak mau tahu dan tidak akan pernah tahu tentang
kondisi keuangan kedua orangtuanya. Mereka akan tetap merengek meminta jatah
jajan. Mereka akan tetap berteriak meminta dibelikan takjil yang biasa dijual
di alun-alun kota. Mereka ingin makan enak seperti teman-temannya. Terkadang,
aku menyesal karena terbiasa memanjakan mereka ketika uang masih tidak sulit
dicari.
“Pa, coba atuh nyari pekerjaan yang lain,” seruku dengan
bibir cemberut. Setelah aku tahu bahwa suamiku tidak melakukan hal apa pun yang
berarti selain menunggu rezeki datang tiba-tiba. Kerjanya hanya tiduran di
bale-bale bambu sembari membaca koran. Lain waktu, dia ikut teman-temannya yang
hobi mancing.
“Mau kerja apa?” timpal suamiku. Merasa terganggu dan tak
tenang dengan pertanyaanku tersebut, entah yang keberapa kalinya.
“Kerja apa saja. Yang penting halal. Berapa pun aku akan
mensyukurinya.”
“Kamu pikir nyari kerja dalam kondisi seperti ini gampang?
Mau jadi driver ojek online tak punya motor dan ponsel canggih. Mau kerja
serabutan juga dimana? Mau dagang, dagang apa? Lagi pula aku tak punya modal.
Duit terakhir kita kan habis buat beli beras Neng.”
Aku hanya bisa diam dan menyadari bahwa apa yang dikatakan
suamiku benar adanya. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa memenuhi kebutuhan?
Akhirnya tak ada jalan lain selain menjual barang-barang
rumah yang memang masih layak dan bisa dijual. Untuk hari pertama, aku menjual
televisi tabung 21 inci di toko Babah Liong. Awalnya, aku tidak tega menjual
televisi tabung itu, mengingat itu adalah satu-satunya benda berharga yang
berfungsi sebagai hiburan anak-anakku ketika berada di rumah. Kau tahu kan
bahwa saat ini sekolah diliburkan selama musim pandemic corona. Maka anak-anak
tentu akan selalu berada di rumah. Apa jadinya jika aku menjual benda yang
selama ini menjadi benda yang menjadi andalan hiburan mereka? Mereka pasti akan
merasa kesepian. Ah, aku pikir ini tak jadi soal. Mereka bisa memiliki kegiatan
lain yang lebih bermanfaat dari sekedar nonton TV.
“Mak atuh, televisinya jangan dijual…” rengek si cikal. Dia
tentu tidak rela televisi itu dijual. Aku tahu setiap hari dia tak akan lepas
dari televisi itu. hampir setiap hari minggu dia tak terlewat menonton kartun
favoritnya.
Aku menghela napas panjang. Napas berat yang memaknai tentang
beratnya pilihan yang harus aku ambil. “Mau bagaimana lagi Ridwan, Emak sudah
tidak punya uang. Memangnya kamu mau kepalaran sambil nonton tivi?”
“Tapi Ridwan nanti tidak bisa nonton kartun lagi…”
“Mau nonton tivi tapi perut lapar, atau perut kenyang tapi
tidak nonton tivi.” Akhirnya aku memberikan pilihan.
Ridwan agaknya memahami alasan aku menjual televisi sehingga
dia tidak lagi merengek-rengek. Tapi tidak dengan adiknya, Anisa. Dia keukeuh
ingin mempertahankan televisi tabung itu. Aku tidak akan pernah tega membuat
anak-anakku kecewa. Tapi lebih tidak tega lagi jika aku membiarkan mereka
kelaparan.
Maka sesiang itu aku membawa televisi tabung itu ke toko
Babah Liong di pengkolan.
“Haiyaa…televisi tabung kuno sepelti ini, Oe…sanggup kasih
tiga latus libu…” seru Babah Liong dengan suaranya yang naek turun, ngirung dan
cadel.
“Lima ratus ribu saja, Babah… Jangan tiga ratus. Itu terlalu
murah,” tawarku.
“Haiya…tidak bisa. Ini balang kuno lho Mbak…”
“Justru barang semakin kuno semakin mahal kan Bah?”
“Tidak sepelti itu. Yang dimaksud balang kuno yang mahal itu
balang kuno yang antik. Televisi tabung ini bukan kategoli balang antik.”
“Tiga ratus lima puluh saja, Bah.” Aku mencoba menawar supaya
harga dinaikan lima puluh ribu lagi.
Beberapa saat lamanya Babah Liong terdiam. Seperti menimbang-nimbang
tawaran harga yang aku ajukan. “Haiyaa…ya sudah, owe ambil tiga latus lima
puluh libu…” ujar babah liong, kemudian dia menatap pekerjanya yang sedari tadi
memperhatikan percakapan kami. “Lusdin, ambil televisi ini ke lak”.
Sepulang dari toko Babah Liong, aku singgah dulu di warung Ni
Rasmi untuk membeli lima liter beras, beberapa bungkus mie instan dan dua buah
tempe untuk menu buka puasa hari ini. Aku harap, uang hasil menjual televisi
tabung itu cukup untuk makan kami sekeluarga selama dua minggu ini. Setidaknya
itu harapanku, meski pada kenyataannya, bisa jadi uang itu akan habis sebelum
dua minggu. Apalagi jika Anisa minta uang jajan. Kepalaku jadi pening
memikirkannya. Tapi kupikir bulan puasa seperti ini Anisa tidak akan minta uang
jajan. Ah, lupa aku. Bukannya setiap sore selalu ada pedagang takjil yang
lewat? Sudah pasti bulan Ramadan bukan bulan berhemat. Anisa pasti akan selalu
meminta jatah jajan. Tak peduli bulan puasa atau bukan.
Dan yang aku takutkan itu benar-benar terjadi. Di hari
kedelapan setelah aku menjual televisi tabung, di dompetku hanya tersisa uang
dua ribu rupiah. Apa yang bisa aku dapatkan dengan uang dua ribu rupiah?
Aku tidak bisa melakukan hal apa pun untuk menambah uang?
Meminta ke bapaknya anak-anak? Bahkan sejak di-PHK dia jarang ada di rumah.
Sekalinya ada di rumah ketika waktu berbuka tiba. Setelah berbuka puasa, dia
akan segera pergi. Begitu juga ketika selesai shalat subuh.
“Mak, buka puasa hari ini kita makan apa?” tanya si Ridwan
dari ruang tengah. Kali ini dia tidak melakukan hal apa pun selain menekuri
permainan ular tangga dengan adiknya. Mungkin jika Televisi itu tidak dijual,
dua anakku tengah ngabuburit sembari menonton televisi di ruang depan rumah
kontrakan kami.
“Mak, buka puasanya beli chicken mang Karta aja ya,” timpal
Annisa tak kalah semangat.
“Hush! Jangan beli chicken. Chicken itu mahal. Emak kan lagi
nggak punya banyak uang,” sergah sang Kakak.
Hatiku sungguh tersayat-sayat. Lebih pedih dari sayatan
silet. Perih tak terkira. Tidak! Aku akan tetap membuat anak-anakku senang dan
tidak akan pernah kelaparan.
Aku harus berhutang kepada Ni Karmi, begitulah bisik hatiku.
Saat itu juga, aku langsung bergegas menuju warung Ni Karmi.
“Emak mau kemana?” tanya Annisa.
“Emak mau ke warung Ni Karmi.”
“Beli Eskrim ya Mak.”
“Tidak bisa, Geulis. Uang Emak hanya cukup buat beli tahu,”
jelasku. tentu saja berbohong. Karena di tanganku tak ada uang. Modalku hanya
kenekatan dan muka tebal. Berhutang ke warung untuk kesekian kalinya. Padahal
utang hari kemarin dan hari kemarinnya lagi belum aku bayar. Mudah-mudahan saja
sang empunya warung paham dan bisa memberiku utangan.
***
No comments:
Post a Comment