23 Apr 2021

MAK, BUKA PUASA SAMA APA?

Suamiku mengalami PHK dari pabrik garmen tempat dia bekerja dua bulan setelah pandemi corona mewabah kemana-mana. Sejak di-PHK, dia hanya bisa diam di rumah dan tidak melakukan hal apa pun. Aku pikir, suamiku tidak memiliki kemauan seperti orang-orang pada umumnya. Padahal, ini sudah masuk hari pertama puasa. Anak-anak tidak mau tahu dan tidak akan pernah tahu tentang kondisi keuangan kedua orangtuanya. Mereka akan tetap merengek meminta jatah jajan. Mereka akan tetap berteriak meminta dibelikan takjil yang biasa dijual di alun-alun kota. Mereka ingin makan enak seperti teman-temannya. Terkadang, aku menyesal karena terbiasa memanjakan mereka ketika uang masih tidak sulit dicari.

“Pa, coba atuh nyari pekerjaan yang lain,” seruku dengan bibir cemberut. Setelah aku tahu bahwa suamiku tidak melakukan hal apa pun yang berarti selain menunggu rezeki datang tiba-tiba. Kerjanya hanya tiduran di bale-bale bambu sembari membaca koran. Lain waktu, dia ikut teman-temannya yang hobi mancing.

“Mau kerja apa?” timpal suamiku. Merasa terganggu dan tak tenang dengan pertanyaanku tersebut, entah yang keberapa kalinya.

“Kerja apa saja. Yang penting halal. Berapa pun aku akan mensyukurinya.”

“Kamu pikir nyari kerja dalam kondisi seperti ini gampang? Mau jadi driver ojek online tak punya motor dan ponsel canggih. Mau kerja serabutan juga dimana? Mau dagang, dagang apa? Lagi pula aku tak punya modal. Duit terakhir kita kan habis buat beli beras Neng.”

Aku hanya bisa diam dan menyadari bahwa apa yang dikatakan suamiku benar adanya. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa memenuhi kebutuhan?

Akhirnya tak ada jalan lain selain menjual barang-barang rumah yang memang masih layak dan bisa dijual. Untuk hari pertama, aku menjual televisi tabung 21 inci di toko Babah Liong. Awalnya, aku tidak tega menjual televisi tabung itu, mengingat itu adalah satu-satunya benda berharga yang berfungsi sebagai hiburan anak-anakku ketika berada di rumah. Kau tahu kan bahwa saat ini sekolah diliburkan selama musim pandemic corona. Maka anak-anak tentu akan selalu berada di rumah. Apa jadinya jika aku menjual benda yang selama ini menjadi benda yang menjadi andalan hiburan mereka? Mereka pasti akan merasa kesepian. Ah, aku pikir ini tak jadi soal. Mereka bisa memiliki kegiatan lain yang lebih bermanfaat dari sekedar nonton TV.

“Mak atuh, televisinya jangan dijual…” rengek si cikal. Dia tentu tidak rela televisi itu dijual. Aku tahu setiap hari dia tak akan lepas dari televisi itu. hampir setiap hari minggu dia tak terlewat menonton kartun favoritnya.

Aku menghela napas panjang. Napas berat yang memaknai tentang beratnya pilihan yang harus aku ambil. “Mau bagaimana lagi Ridwan, Emak sudah tidak punya uang. Memangnya kamu mau kepalaran sambil nonton tivi?”

“Tapi Ridwan nanti tidak bisa nonton kartun lagi…”

“Mau nonton tivi tapi perut lapar, atau perut kenyang tapi tidak nonton tivi.” Akhirnya aku memberikan pilihan.

Ridwan agaknya memahami alasan aku menjual televisi sehingga dia tidak lagi merengek-rengek. Tapi tidak dengan adiknya, Anisa. Dia keukeuh ingin mempertahankan televisi tabung itu. Aku tidak akan pernah tega membuat anak-anakku kecewa. Tapi lebih tidak tega lagi jika aku membiarkan mereka kelaparan.

Maka sesiang itu aku membawa televisi tabung itu ke toko Babah Liong di pengkolan.

“Haiyaa…televisi tabung kuno sepelti ini, Oe…sanggup kasih tiga latus libu…” seru Babah Liong dengan suaranya yang naek turun, ngirung dan cadel.

“Lima ratus ribu saja, Babah… Jangan tiga ratus. Itu terlalu murah,” tawarku.

“Haiya…tidak bisa. Ini balang kuno lho Mbak…”

“Justru barang semakin kuno semakin mahal kan Bah?”

“Tidak sepelti itu. Yang dimaksud balang kuno yang mahal itu balang kuno yang antik. Televisi tabung ini bukan kategoli balang antik.”

“Tiga ratus lima puluh saja, Bah.” Aku mencoba menawar supaya harga dinaikan lima puluh ribu lagi.

Beberapa saat lamanya Babah Liong terdiam. Seperti menimbang-nimbang tawaran harga yang aku ajukan. “Haiyaa…ya sudah, owe ambil tiga latus lima puluh libu…” ujar babah liong, kemudian dia menatap pekerjanya yang sedari tadi memperhatikan percakapan kami. “Lusdin, ambil televisi ini ke lak”.

Sepulang dari toko Babah Liong, aku singgah dulu di warung Ni Rasmi untuk membeli lima liter beras, beberapa bungkus mie instan dan dua buah tempe untuk menu buka puasa hari ini. Aku harap, uang hasil menjual televisi tabung itu cukup untuk makan kami sekeluarga selama dua minggu ini. Setidaknya itu harapanku, meski pada kenyataannya, bisa jadi uang itu akan habis sebelum dua minggu. Apalagi jika Anisa minta uang jajan. Kepalaku jadi pening memikirkannya. Tapi kupikir bulan puasa seperti ini Anisa tidak akan minta uang jajan. Ah, lupa aku. Bukannya setiap sore selalu ada pedagang takjil yang lewat? Sudah pasti bulan Ramadan bukan bulan berhemat. Anisa pasti akan selalu meminta jatah jajan. Tak peduli bulan puasa atau bukan.

Dan yang aku takutkan itu benar-benar terjadi. Di hari kedelapan setelah aku menjual televisi tabung, di dompetku hanya tersisa uang dua ribu rupiah. Apa yang bisa aku dapatkan dengan uang dua ribu rupiah?

Aku tidak bisa melakukan hal apa pun untuk menambah uang? Meminta ke bapaknya anak-anak? Bahkan sejak di-PHK dia jarang ada di rumah. Sekalinya ada di rumah ketika waktu berbuka tiba. Setelah berbuka puasa, dia akan segera pergi. Begitu juga ketika selesai shalat subuh.

 

“Mak, buka puasa hari ini kita makan apa?” tanya si Ridwan dari ruang tengah. Kali ini dia tidak melakukan hal apa pun selain menekuri permainan ular tangga dengan adiknya. Mungkin jika Televisi itu tidak dijual, dua anakku tengah ngabuburit sembari menonton televisi di ruang depan rumah kontrakan kami.

 

“Mak, buka puasanya beli chicken mang Karta aja ya,” timpal Annisa tak kalah semangat.

 

“Hush! Jangan beli chicken. Chicken itu mahal. Emak kan lagi nggak punya banyak uang,” sergah sang Kakak.

 

Hatiku sungguh tersayat-sayat. Lebih pedih dari sayatan silet. Perih tak terkira. Tidak! Aku akan tetap membuat anak-anakku senang dan tidak akan pernah kelaparan.

 

Aku harus berhutang kepada Ni Karmi, begitulah bisik hatiku. Saat itu juga, aku langsung bergegas menuju warung Ni Karmi.

 

“Emak mau kemana?” tanya Annisa.

 

“Emak mau ke warung Ni Karmi.”

 

“Beli Eskrim ya Mak.”

 

“Tidak bisa, Geulis. Uang Emak hanya cukup buat beli tahu,” jelasku. tentu saja berbohong. Karena di tanganku tak ada uang. Modalku hanya kenekatan dan muka tebal. Berhutang ke warung untuk kesekian kalinya. Padahal utang hari kemarin dan hari kemarinnya lagi belum aku bayar. Mudah-mudahan saja sang empunya warung paham dan bisa memberiku utangan.

 

***

 


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment