Oleh: Husni Magz
Hampir setiap bulan ramadhan datang, warung Ceu Kokom tetap buka. Tengah hari bulan Ramadhan tidak ada bedanya denan hari-hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Yang membedakan adalah, jika di luar bulan Ramadhan Ceu Kokom biasa membuka tirai bambu, maka jika Ramadhan tiba, dia menutup tirai bambu itu sehingga aktifitas terlarang tidak terlihat oleh khalayak ramai.
Jika kau melintas di perempatan jalan, kau akan melihat warung di seberang salon kecantikan, dimana tukang ojek, tukang parkir dan para sopir truk akan ramai berkerumun disana.
Jika kau tak sengaja melintas satu meter di depan warung, maka kau akan melihat betis-betis berjajar di bawah tirai bambu itu. Itu artinya, kami tengah makan besar. Warung masih tetap buka, melayani mereka yang tidak taat aturan berpuasa.
Jika kau berjalan mendekat, maka kau akan mencium bau-bau rempah makanan yang membangkitkan selera. Membuat air liurmu ruah di mulut. Indera penciumanmu juga akan membaui berbagai jenis gorengan dari dalam warung Ceu Kokom. Telingamu akan mendengar denting alat makan dan suara minyak di penggorengan. Sesekali, aroma makanan itu bercampur dengan bau tembakau dan nikotin dari asap-asap rokok yang terhembus dari mulut para lelaki yang sengaja masuk untuk mencicipi satu dua batang rokok, segelas kopi dan sepiring gorengan yang disajikan.
Ceu Kokom, dan suaminya, Mang Juma, tidak peduli dengan anjuran Pak Walikota dan Satpol PP tentang betapa pentingnya menghormati orang-orang yang tengah berpuasa di bulan Ramadhan.
Bagiku, warung Ceu Kokom menjadi tempat pelarian ketika perutku keroncongan di tengah hari bulan Ramadhan. Tentu saja di rumahku ada nasi di rice cooker, bahkan nasinya masih banyak karena penghuni rumah tidak berselera makan terlalu banyak seperti hari-hari biasanya. Ada terlalu banyak snack, buah dan gorengan yang terhidang sehingga lauk dan nasi menjadi nomor dua. Ada lauk ayam dan goreng tempe di bawah tudung saji. Tapi aku tidak berani makan di rumah. Andai istriku tahu aku tidak puasa, dia akan uring-uringan sepanjang hari tentang pentingnya puasa dan memberi contoh anak-anak yang masih kecil.
“Kamu itu Akang, sudah punya dua anak. Harusnya semakin mangkat umur, semakin hideng! Ini mah makin tua makin tidak benar. Tuh lihat, si Cikal sudah bisa puasa? Masa kalah sama si cikal!” seru istriku ketika dia tahu aku membatalkan puasaku dengan sebatang rokok di toilet. Kecerobohanku sendiri yang lupa membuang puntung rokok. Bahkan jika aku tidak membuang puntung rokok ke dalam closet pun, istriku tentu tahu aku telah menyesap rokok. Karena bau nikotin itu tetap bertahan di dalam toilet berjam-jam lamanya. Dan untuk yang kesekian kalinya dia nyabit-nyabit* nama si cikal, anak pertamaku yang kini berusia tujuh tahun.
Tempo hari si cikal datang kepadaku dengan membanggakan dirinya. “Pah, Renald sudah bisa puasa sampe mahgrib lho.” Anakku tersenyum lebar sembari menepuk dada mungilnya. Sudah sepantasnya dia berbangga karena tahun kemarin dia hanya berpuasa sepuluh hari. Selebihnya Renald hanya mampu puasa sebeduk.
“Wah, hebat anak Papa.”
“Nanti pas lebaran beli sepeda baru ya Pa.”
“Iya, kalau puasa Renald tamat satu bulan. Puasanya nggak bolong-bolong, kan?”
Tiba-tiba istriku berdehem dari belakang. “Denger tuh, nasihat siapa itu? Jangan hanya ngomong doang, aplikasikan untuk diri sendiri.”
Wajahku merona merah karena sindirannya.
Lebih dari pada itu, aku tidak akan berani terang-terangan tidak berpuasa di hadapan istriku karena satu alasan yang paling mengkhawatirkan perihal hak diriku sebagai suami yang membutuhkan kehangatan di malam hari. Jika aku berani terang-terangan makan di siang bolong, siap-siap saja istriku memunggungiku di atas ranjang. Seperti kejadian dua malam yang lalu.
“Ngapain sih nyubit-nyubit punggung!” seru istriku. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Seperti biasa, memunggungiku dan pura-pura tidur.
“Minta jatah…” lirihku.
“Tidak! Tidak ada jatah untuk suami yang tidak berpuasa!”
“Itu hadits?”
“Iya.”
“Coba nanti aku tanya ke Haji sadeli,” jawabku. Haji Sadeli adalah Imam masjid yang biasa memberikan ceramah mingguan bakda subuh. Itu pun kata orang-orang yang biasa shalat subuh di masjid. Tidak seperti diriku yang masih bertemankan selimut, kemudian baru bangun jam tujuh pagi.
“Tanyakan saja nanti, sekalian shalat subuh!” seru istriku, masih dengan memunggungiku.
Ah, tapi aku pikir tidak mungkin aku bertanya seperti itu. Itu sama saja aku mempermalukan diriku di hadapan haji Sadeli dan jamaah. “Baru dengar hadits yang bunyinya seperti itu.”
“Ya iyalah baru dengar, sadar dong kamu nggak pernah ikut pengajian di masjid. Padahal jarak masjid dengan rumah hanya selemparan batu,” jawab istriku. Telak dan menohok hatiku. Ada benarnya juga apa yang dia bilang. Jangankan ikut pengajian, shalat berjamaah pun terkadang aku merasa berat jika tidak dipaksa oleh istriku ini. Kau lihat, istriku sekarang sudah terlelap, sementara aku tidak mampu memicingkan mata karena hasrat yang tidak tersalurkan.
Maka tak ada pilihan yang lebih bagus sekalin membawa uang dua puluh ribu ke warung Mak Kokom, cukup untuk membeli sebatang rokok, secangkir kopi hitam, dua gorengan dan satu piring nasi lengkap dengan sepotong ayam goreng dan sayur lodeh.
Ketika aku tiba di warung, aku menemukan Bang Supar dan Bang Rangga tengah menyesap udud dan air kopi mereka.
“Hei bro! ayo bergabung!” seru Supar sembari melambaikan tangan.
Aku tersenyum lebar. “Ceu Kokom, menu seperti biasa ya, plus satu gelas kopi hitam.”
“Asiyaaap!!” seru Ceu Kokom dengan semangat 45. Tangan gempalnya sibuk membolak balik bakwan di penggorengan. Untuk sementara, perempuan paruh baya itu mematikan kompor gas demi meladeni pesananku yang sudah matuh*. Dia tahu menu andalanku, ayam goreng dan sayur lodeh ditambah dua buah bakwan, bisa nambah jika kurang.
“Ini Kang,” seru Ceu Kokom sembari mengangsurkan piring berisi nasi dan lauk penuh di atas etalase kaca. Dengan semangat aku segera meraih piring itu dan makan dengan lahap di samping Supar dan Rangga. “Kalian sudah pada makan?” tanyaku dengan mulut penuh nasi. Ngosom.
“Sudah tadi.” Kali ini Bang Rangga, si supir angkot yang menjawab diantara sesapan air kopinya.
Tiba-tiba saja, Mang Juma suami Ceu Kokom datang dengan langkah tergesa. Ada rona kekhawatiran di gurat wajahnya. “Gawat Kom! Ada sweeping dari ormas islam!”
“Alaah…ormas kadrun ontohod!!” seru Ceu Kokom. Memuntahkan satu buah gehu yang dia kunyah sedari tadi. Sementara aku, Bang Rendi dan Bang Supar belingsatan, mencari tempat persembunyian. Supar dan Rangga bersembunyi di ruang dapur. Sementara aku hanya sempat merunduk di bawah meja etalase. Karena rombongan Sweeping sudah tiba di ambang pintu.
Kali ini Ceu Kokom yang menghadang dari pintu. Wanita itu memang memiliki keberanian yang tidak bisa diungkapkan dengan kata.
“Ibu, kenapa ibu nggak puasa?” tanya seorang anggota ormas yang memakai jubah putih dan sorban hijau itu dengan alis bertaut. Tentu saja dia bertanya begitu karena Ceu kokom masih mengunyah gehu.
“Saya datang bulan.” Aku mendengar alasan klise itu dari bawah meja. Ah! Tentu saja datang bulan versi Ceu kokom beda dengan datang bulan wanita pada umumnya. Dia datang bulan tiga puluh hari bulan ramadhan. Buktinya, dia tidak pernah berpuasa sebulan penuh dan jika ada yang bertanya, maka jawabannya persis seperti yang dia lontarkan kepada anggota ormas islam itu.
“Kenapa warung ibu masih buka? Ini kan bulan ramadhan! Hormati yang sedang berpuasa!” kali ini si teman sorban hijau ikut nimbrung, meluncurkan tanya. Dengan nada yang lebih tinggi.
“Saya mah kasihan sama orang-orang yang tidak puasa!” jawab Ceu Kokom dengan wajah tanpa dosa.
“Justru itu salahnya ibu! Orang maksiat kok dilayani. Ibu juga bisa ketiban dosanya!”
“Eh, kalian-kalian jangan dulu buruk sangka. Kalian belum belajar fiqih? Atau kalian tidak pernah merasakan hidup di pesantren. Nih, saya gini-gini juga pernah nyantri. Biar saya terangkan disini, tidak semua orang itu diwajibkan berpuasa. Ada yang diberi keringanan. Tiga golongan yang diberi keringanan tidak berpuasa itu. Pertama, orang yang sakit. Kedua, musafir yang sedang dalam perjalanan. Ketiga, orang tua yang sudah renta yang bisa mengganti puasanya dengan membayar fidyah. Saya ini hanya membantu mereka yang tidak berpuasa karena alasan tersebut. ”
Wah, sekarang Ceu Kokom sudah mirip Mamah Dedeh di layar kaca. Sampai-sampai rombongan ormas itu hanya diam terpaku dan merasa takjub dengan penjelasan Ceu Kokom.
“Tapi kami tadi melihat ada orang yang tengah makan di dalam warung,” sergah seorang anggota ormas.
“Itu mah orang non-muslim. Kan orang non-muslim itu tidak diwajibkan berpuasa, ini kan aturan agama islam. Bukan begitu, bapak-bapak?”
Aku yang mendengarkan kilah yang keluar dari mulut Ceu Kokom meringis di bawah kolong meja. Buset! Berani-beraninya Ceu Kokom mengatai saya sebagai orang kafir! Bah! Seburuk apa pun itu, saya masih tetap muslim.
“Ya sudah kalau begitu.” Akhirnya ketua kelompok sweeping itu kalah argumentasi. Tak mau lagi mendebat Ceu Kokom yang pada dasarnya memang tak mau kalah dan banyak berkilah. Mereka pun berlalu dari hadapan Ceu Kokom, melanjutkan aksi sweeping warung-warung dan restoran yang keukeuh buka di bulan suci Ramadhan.
“Woy, keluar woy! Mereka sudah kabur!” seru Ceu Kokom dari ambang pintu. Aku keluar dari bawah meja. Bang Supar dan Rangga nongol dari ruang dapur.
“Tega pisan Ceu Kokom mah bilang saya orang kafir,” seruku sembari tergelak.
“Lha, daripada kamu diceramahi mereka,” timpal Ceu Kokom sembari melanjutkan memakan gehu di atas piring. Aku pun melanjutkan makan setengah nasi yang masih tersisa di atas piring. Rangga melanjutkan menyeruput kopinya, Supar melanjutkan sesapan rokoknya.
Begitulah, hampir setiap hari aku menyambangi warung Ceu Kokom tanpa sepengetahuan istriku. Yang istriku tahu, aku menjalankan puasa seharian. Pun aku buka bersama dengan keluargaku di rumah.
“Nah, begitu dong, ikut puasa. Kalau bapaknya shaleh, anaknya juga shaleh,” puji istriku dengan senyuman lebar.
Tapi agaknya aksi makan diam-diam di warung Ceu Kokom harus berhenti di hari keduapuluh. Di hari pertama sepuluh hari terakhir Ramadan itu, musibah datang di warung itu. Kompor gas Ceu kokom meledak Karena selang bocor. Rumah makannya ludes terbakar, sementara Wajah dan tangan Ceu Kokom ikut tersambar lidah api.
TAMAT
Keterangan:
Mangkat: naik
Hideng: baik
Matuh: menetap
Nyabit-nyabit: menyebut
No comments:
Post a Comment