27 Apr 2021

DIKIRA ADzAN MAGHRIB

Allahu Akbar...Allahu Akbar..."

Adzan mengalun dari toa masjid yang jaraknya hanya selemparan batu dari rumahku. Aku terperanjat. Mimpi indah dengan sang pujaan hati terputus begitu saja. Tapi tidak ada ruginya sama sekali, tersebab sekarang waktunya berbuka!

Dengan gegas aku segera menyibak selimut tebal dan turun dari ranjang. Tak perlu susah payah keluar dari kamar, aku bisa buka puasa di dalam kamarku sendiri. Ada mie sisa sahur yang masih enak dan menggoda. Ada jus limun yang belum dibuka. Dan tentu saja beberapa butir kurma yang ada di toples samping ranjang.

Oke, aku akan menyikat habis mie goreng terlebih dahulu. Tanpa pikir panjang, aku segera menyantapnya dengan lahap. Bagaimana tidak lahap, dini hari tadi makan sahurku terpotong karena sudah keburu imsak. Jadi, hanya beberapa suap mie goreng dan dua teguk air susu yang mampu masuk ke dalam perutku. Ah, begitulah akibatnya kalau malam begadang karena main  game bareng ponakanku, Halim.

"Hayo! Ketahuan nggak puasa Lo!" Sekonyong-konyong si Halim datang membuka pintu sembari menunjuk-nunjuk diriku dengan seringai jahil.

"Apaan sih!" Ini kan udah Maghrib, Halim!?" timpalku sembari mengunyah mie goreng dengan penuh semangat.

"Maghrib dari Hongkong!"

"Lha, barusan adzan!"

"Itu adzan Ashar, bahlul!" timpal Halim sembari berkacak pinggang, kemudian geleng-geleng kepala. Persis tingkah satpol PP atau polisi syariah yang mendapati warga makan-makan di siang bolong.

"Ya Amsong! Aku pikir barusan adzan Maghrib. Lagian gelap gini sih suasananya," erangku sembari memuntahkan mie goreng yang sudah kadung kukunyah ke piring.

"Ya iyalah gelap, orang lampu nggak dinyalain!" Halim menekan tombol stop kontak yang ngedaplok di samping pintu.

"Bukan masalah lampunya, di luar juga gelap. Udah kaya Maghrib aja nih."

"Jelas gelap, orang mendung! Sudah tahu sendiri kan tiap sore pasti turun hujan!"

"Wah, gimana dong, aku udah makan mie goreng. Btw, kata ustadz Abdullah kan puasa kita tetep nggak batal ya, selama kita lupa."

Halim tersenyum. "Betul banget Rud! Bahkan kata ustadz itu rezeki dari Gusti Allah kepada hamba-Nya yang lupa."

"Tapi gimana nih, tenggorokanku seret dan kering. Belum sempet minum nih."

"Hahah! Itu mah nasibmu aja yang apes kali Rud!"

"Lagian kamu keburu datang sih! Coba datangnya pas aku sudah selesai minum. Kan jadinya nggak tersiksa kayak gini."

"Udah sabar aja kali! Dua jam lagi berbuka puasa. Oh iya, hari ini ada undangan buka puasa dari Pak Sodikin lho."

"Wah, rejeki nomplok tuh."

"Makanya, kita sekalian ajak tuh si Padna sama si Supar. Biar rame-rame."

"Lha, itu Pak Sodikin ngundang kamu doang atau bareng kita-kita?"

"Ceu Marfuah bilang ke aku, ajak sekalian teman-temannya. Itu artinya aku bisa ajak kalian."

"Oke deh kalau begitu."
 

Haji Sodikin adalah seorang juragan beras sekaligus pengepul kopra yang menjadi bos besar hampir semua hasil kopra di desa kami. Sebulan sekali, Pak Haji Sodikin biasa iang* ke kabupaten dengan beberapa truk miliknya sendiri. Ada berkarung-karung sayur, kopra dan kelapa yang biasa dia setor ke kabupaten.

Pak Sodikin sengaja mengundang kami karena istrinya masih kerabat dari si Halim. Ceu Marfuah, istri Pak Sodikin bilang, buka puasa bersama dengan para tetangga itu mereka niatkan sebagai syukuran kecil-kecilan karena Ceu Marfuah sembuh dari sakit ayannya yang sudah menahun.

Maka sore itu, kami berdua bergegas menuju rumah gedong Milik Pak Sodikin. Tak lupa mengajak Supar dan Padna untuk membersamai kami. Tentu saja dua bocah itu mau kami ajak tanpa perlu banyak alasan. Siapa yang menolak diundang makan besar oleh sang Juragan.

"Lumayan, sekali-kali kita harus makan enak. Berani taruhan, pasti nanti kita makan sama bakakak*!" ujar Padna bersemangat.

"Halah, pake bilang taruhan segala. Yang jelas kita bakalan makan enak. Itu aja!" timpal Supar.

Kami disambut dengan baik oleh Ceu Marfuah dengan keramahan khas sang Tuan rumah. "Aèh, Ujang sudah pada daratang. Hayu ke dalam!" serunya demi melihat kami yang sudah datang bergerombol ke halaman rumahnya yang penuh dengan karung-karung kopra yang siap disetor ke Kota. Barangkali besok dini hari Pak Sodikin akan iang ke kota.

"Ayo, langsung saja ke ruang makan." ajak Ceu Marfuah demi melihat kami yang masih agak malu-malu ketika masuk ke ruang tengah.

"Pak Sadikinnya mana, Bu?" tanyaku kepada Ceu Marfuah yang kini tengah menyiapkan penganan dan gelas di atas karpet yang digelar di ruang makannya yang sangat luas.

"Si Bapak lagi benerin terpal dulu di belakang, buat persiapan iang besok ka Dayeuh."

Tak berapa lama Pak Sadikin muncul dari pintu belakang dan bergabung bersama Halim dan kawan-kawan. "Bagaimana kabar kalian? Pada sehat?"

"Alhamdulillah, sehat Pak. Sawangsulna?"

"Ah, beginilah, Jang. Umur sudah tua, banyak keluhan ini itu."

"Nih Kang, menu khusus," Ceu Marfuah datang dengan membawa satu piring ubi dan setangkup roti di piring porselen. "Kalau Bapak tidak boleh makan sembarangan. Nanti penyakitnya kambuh."

"Yah, beginilah Cep, Bapak mah sekarang tidak bisa makan seenaknya. Semua harus dalam pengawasan Pak Mantri," lirih Pak Sadikin dengan mimik pasrah.

"Iya, kemarin saja Bapak makan yang asin-asin langsung tensi darahnya naik," timpal sang istri sembari menambahkan teh tawar ke dalam cangkir suaminya yang sudah hampir kosong. "Bapak juga suka yang manis-manis. Apalagi kalau teh manis, sudah menu wajib setiap habis makan. Tapi semenjak diabetes tipe dua menyerang, Bapak harus pere makan dan minum yang manis-manis. Begitu juga dengan makanan yang berlemak. Pokoknya kalau makan yang berlemak, kolesterolnya naik. Kalau yang asam dan gurih, siap-siap kena asam urat."

"Semuanya jadi serasa hambar."

Pada buka puasa kali itu, Pak Sadikin begitu iri dengan anak-anak remaja yang makan dengan lahap di hadapannya. Bakakak yang menguarkan aroma semerbak gurih mampu menerbitkan air liurnya. Begitu juga dengan sirup Koko pandan yang berwarna merah darah dengan bulir-bulir air yang mengembun di luar teko.

Ah, andai saja aku bisa menjaga kesehatan dan pola hidup yang benar sejak dulu, bisik Pak Sadikin di dalam hati.

Pada akhirnya, Pak Sadikin sadar bahwa kekayaan dan kemewahan tidak ada artinya jika semua kenikmatan sehat tercerabut dari badan.

---
Keterangan arti kata 📚

Iang: setor
Bakakak: ayam muda yang dipanggang utuh
Dayeuh: Kota
Pere: libur
Sawangsulna: Sebaliknya. (ungkapan untuk menanyakan kembali kabar dari si penanya)

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment