TUKANG JEPITAN YANG KESEPIAN
Ramadhan tahun ini aku masih sendiri. Well, secara harfiah
aku tidak sendiri, ada kucing belang tiga yang aku beri nama Oneng yang menjadi
temanku di rumah kontrakan sepetak ini. Kucing itu aku pungut dari jalanan
untuk aku pelihara dan rawat dengan semestinya. Sebagaimana kucing liar pada
umumnya, ketika aku menemukannya, si Oneng dalam keadaan kurus kering dengan
bulu-bulunya yang kusam. Kali pertama kutemukan, Oneng tampak begitu kelaparan.
Dia mengeong berkali-kali ketika aku melewatinya sehingga timbulah rasa iba di
hatiku kala itu.
Sebelum Oneng ditemukan, aku sebenarnya hidup berempat dengan
teman-teman satu kontrakan yang sama-sama berprofesi sebagai penjual aksesoris
dan jepitan di Ibu kota. Kami mengontrak bersama-sama untuk meringankan biaya
sewa kontrakan yang boleh dibilang tidak murah untuk orang-orang seperti kami. Apalagi
harga kontarakan di ibu kota sangatlah mahal. Bahkan untuk ukuran kontrakan paling
sederhana yang berupa satu petak ruangan dengan kamar mandi keroyokan
sekalipun. Ketiga temanku, Asep, Dedi dan Ajat. Sama-sama pedagang jepitan yang
melanglang gang demi gang,jalan demi jalan, menjajakan jepitan dan aksesoris
khas wanita seperti bando, beberapa alat kosmetik KW dan mainan anak-anak. Kami
menjual semua itu lewat gerobak kayu yang kami dorong di bilangan Kebayoran
Lama.
Tapi ternyata nasib membiarkan kami berpisah satu sama lain.
Dua tahun yang lalu, Ajat berpisah karena kawin dengan anak tetangganya. Dia
alih profesi menjadi tukang rujak bebek keliling di kampungnya. Alasannya, dia
tidak mau meninggalkan sang istri dan sang istri tidak mau dibawa ke belantara
ibu kota. Pernah sih si Ajat membawa ikut serta istrtinya ke kota, tapi si
gadis kampung itu tidak kerasan dan merengek-rengek minta pulang. Maka Ajat mau
tak mau harus menuruti maunya istri.
“Tidak apa-apa lah, saya mah jualan rujak bebek saja di
kampung,” begitulah pengakuan Ajat ketika dia pulang ke Garut, kampung
halamannya. Kami pun memeluknya dan mengucapkan selamat tinggal.
Ah! Setidaknya, dengan kepergian Ajat, rumah yang kami sewa
agak sedikit lapang, yah, meskipun harus menambah patungan beberapa rupiah.
Seandainya kau main kemari dan melihat bagaimana kami tidur bersama di satu
ruangan yang sempit dan panas, maka kau akan menyaksikan kami tidur berdempetan
layaknya ikan asin yang dijual di pasar kedip yang jaraknya tidak terlalu jauh
dari rumah kontrakan kami.
Setelah kepergian Ajat, satu tahun setelahnya Dedi pulang ke
Ciamis untuk menyiapkan pernikahannya yang super mewah. Nasibnya lebih bagus
dibandingkan si Ajat yang menikahi anak tetangga. Dedi ditakdirkan menikahi
janda kaya raya yang mewarisi kekayaan mendiang suaminya di tatar Kawali.
“Wah, jadi saudagar dadakan nih,” selorohku waktu itu.
“Jadi OKB nih,” timpal Asep sembari tergelak.
“OKB apaan?”
“Orang Kaya Baru,” jelasnya masih dengan gelak khas.
Dedi hanya tersenyum tipis dan menonjok bahuku. “Aku menikahi
janda itu bukan karena hartanya, tapi karena cinta, Bro.”
“Lagi pula siapa yang menuduhmu?”
Singkat cerita, Dedi pun pulang untuk menjemput cintanya.
sama seperti Ajat, Dedi tidak perlu kembali ke Jakarta untuk mengais rezeki.
Karena rezeki telah Tuhan gariskan untuknya lewat kekayaan si janda yang
melimpah ruah. Ah, benar-benar nasib yang sangat beruntung.
Sementara, tiga bulan setelah itu, Asep juga pulang kembali
ke Tasikmalaya. Tapi dia pulang bukan untuk menikah sebagaimana dua teman kami
yang telah dijemput takdirnya masing-masing. Takdir Asep sangat kontradiktif
dengan dua teman kami yang pulang untuk hari pernikahan. Asep harus pulang
karena sang Bapa yang sudah tua renta meninggal setelah bertahun-tahun lamanya
berjuang melawan penyakit TBC.
“Agaknya aku tidak akan kembali lagi ke sini, Sar. Aku harus
menunggui dan merawat ibuku. Mungkin aku akan melanjutkan menggarap sepetak
sawah di kampung,” ujar Asep di hari perpisahan kami.
“Sukses selalu untukmu, Sep,” balasku sembari menepuk
pundaknya, kala itu.
Sekarang, aku tinggal sendiri dalam kesepian yang mencekam.
Tentu saja aku harus semakin giat jualan karena aku harus menanggung uang sewa
rumah kontrakan sendirian. Si Oneng hanya kucing betina yang tidak bisa apa-apa
selain menemani sang tuan tidur dengan dengkuran halusnya.
Jika teman-temanku pulang dengan menjemput nasibnya
masing-masing, aku tidak tahu apakah diriku masih memiliki tempat untuk pulang?
Kedua orangtuaku sudah meninggal dunia, paman-pamanku juga tidak ada yang
terlalu dekat denganku. Setelah kepergian emak dan bapak, para uwak dan mamang
di kampung seakan-akan memandangku hanya sebagai beban. Lagipula harta yang
diwariskan dari Bapak dan Emak tidak ada. Orangtuaku hanya mewariskan
kemiskinan yang menjelma dalam satu petak tanah dimana rumah reyot kami berdiri
disana. Tak ada sawah, tak ada kebun. Karena orangtuaku hanya buruh harian di
tanah milik orang. Sehingga aku melarikan diri ke kota Jakarta dengan mengikuti
jejak Kadir yang lebih dulu datang ke ibukota untuk menjadi pedagang jepitan
keliling.
Satu tahun lamanya aku membersamai Kadir, menjadi anak
buahnya yang harus menyetor uang hasil berdagang setiap harinya dengan upah
setengah dari keuntungan. Setelah menabung cukup lama, aku akhirnya mampu
membeli gerobak sendiri dan berpisah dengan Kadir, mengontrak bareng dengan
teman-teman lain sesama penjual jepitan.
Masa pandemi corona tiba, pemasukan dari penjualan menurun.
Tapi tidak sampai membuatku kelaparan. Dua puasa dan dua lebaran telah aku
lewati. Orang-orang mengeluh karena pemerintah melarang pulang kampung.
Sementara aku masih tetap betah di ruangan kontrakanku yang sumpek. Tak ada
bedanya hari lebaran dan bukan hari lebaran. Aku tidak pernah mengenal jalan pulang.
Hari ini, puasa masih tetap aku jalani seperti biasa. Aku
tetap melangkahkan kakiku, mendorong gerobakku dibawah terik matahari yang
memanggang ibukota.
“Jepit….Jepit…Jepit…” seruku dengan suara yang mulai menyerak
karena rasa haus. Aku menjajakan daganganku, melewati gang demi gang.
Sesekali, dua tiga wanita menengokan kepalanya dari pagar,
menanyakan barang yang mereka butuhkan.
“Bang ada bando?”
“Bang, minta peniti sama cotton bud, dong.”
“Bang, ada jepitan yang buat gelung rambut nggak?”
Terkadang jika melewati ibu-ibu yang merumpi di teras rumah,
aku sengaja berhenti di depan mereka sehingga mereka merubungi gerobakku.
“Bang, boleh dicoba nggak lipstiknya?”
Aku menggeleng. Kapok aku mengizinkan mereka mencobai
barang-barangku, terutama lisptik KW yang aku jual. Pernah aku mengizinkan para
pembeli mencobai semua warna lipstick di dalam box. Hasilnya, lipstick itu
semakin pendek dan tak berbentuk, dicobai oleh ratusan bibir-bibir centik dari
mulai gadis kecil hingga wanita paruh baya. Kebanyakan dari mereka hanya
mencoba, tapi membeli satu pun tidak. Bah! Keterlaluan itu namanya.
Ketika menjelang kepulangan, aku sempat singgah di alun-alun
untuk membeli takjil dan pulang dengan membawa kolak pisang dan lauk untuk
berbuka puasa. Si Oneng tengah menantiku di teras luar sembari mengeong meminta
jatah.
No comments:
Post a Comment