20 Apr 2021

Ramadhan Dalam Sepi

TUKANG JEPITAN YANG KESEPIAN

 

 

Ramadhan tahun ini aku masih sendiri. Well, secara harfiah aku tidak sendiri, ada kucing belang tiga yang aku beri nama Oneng yang menjadi temanku di rumah kontrakan sepetak ini. Kucing itu aku pungut dari jalanan untuk aku pelihara dan rawat dengan semestinya. Sebagaimana kucing liar pada umumnya, ketika aku menemukannya, si Oneng dalam keadaan kurus kering dengan bulu-bulunya yang kusam. Kali pertama kutemukan, Oneng tampak begitu kelaparan. Dia mengeong berkali-kali ketika aku melewatinya sehingga timbulah rasa iba di hatiku kala itu.

 

Sebelum Oneng ditemukan, aku sebenarnya hidup berempat dengan teman-teman satu kontrakan yang sama-sama berprofesi sebagai penjual aksesoris dan jepitan di Ibu kota. Kami mengontrak bersama-sama untuk meringankan biaya sewa kontrakan yang boleh dibilang tidak murah untuk orang-orang seperti kami. Apalagi harga kontarakan di ibu kota sangatlah mahal. Bahkan untuk ukuran kontrakan paling sederhana yang berupa satu petak ruangan dengan kamar mandi keroyokan sekalipun. Ketiga temanku, Asep, Dedi dan Ajat. Sama-sama pedagang jepitan yang melanglang gang demi gang,jalan demi jalan, menjajakan jepitan dan aksesoris khas wanita seperti bando, beberapa alat kosmetik KW dan mainan anak-anak. Kami menjual semua itu lewat gerobak kayu yang kami dorong di bilangan Kebayoran Lama.

 

Tapi ternyata nasib membiarkan kami berpisah satu sama lain. Dua tahun yang lalu, Ajat berpisah karena kawin dengan anak tetangganya. Dia alih profesi menjadi tukang rujak bebek keliling di kampungnya. Alasannya, dia tidak mau meninggalkan sang istri dan sang istri tidak mau dibawa ke belantara ibu kota. Pernah sih si Ajat membawa ikut serta istrtinya ke kota, tapi si gadis kampung itu tidak kerasan dan merengek-rengek minta pulang. Maka Ajat mau tak mau harus menuruti maunya istri.

 

“Tidak apa-apa lah, saya mah jualan rujak bebek saja di kampung,” begitulah pengakuan Ajat ketika dia pulang ke Garut, kampung halamannya. Kami pun memeluknya dan mengucapkan selamat tinggal.

 

Ah! Setidaknya, dengan kepergian Ajat, rumah yang kami sewa agak sedikit lapang, yah, meskipun harus menambah patungan beberapa rupiah. Seandainya kau main kemari dan melihat bagaimana kami tidur bersama di satu ruangan yang sempit dan panas, maka kau akan menyaksikan kami tidur berdempetan layaknya ikan asin yang dijual di pasar kedip yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakan kami.

 

Setelah kepergian Ajat, satu tahun setelahnya Dedi pulang ke Ciamis untuk menyiapkan pernikahannya yang super mewah. Nasibnya lebih bagus dibandingkan si Ajat yang menikahi anak tetangga. Dedi ditakdirkan menikahi janda kaya raya yang mewarisi kekayaan mendiang suaminya di tatar Kawali.

 

“Wah, jadi saudagar dadakan nih,” selorohku waktu itu.

 

“Jadi OKB nih,” timpal Asep sembari tergelak.

 

“OKB apaan?”

 

“Orang Kaya Baru,” jelasnya masih dengan gelak khas.

 

Dedi hanya tersenyum tipis dan menonjok bahuku. “Aku menikahi janda itu bukan karena hartanya, tapi karena cinta, Bro.”

 

“Lagi pula siapa yang menuduhmu?”

 

Singkat cerita, Dedi pun pulang untuk menjemput cintanya. sama seperti Ajat, Dedi tidak perlu kembali ke Jakarta untuk mengais rezeki. Karena rezeki telah Tuhan gariskan untuknya lewat kekayaan si janda yang melimpah ruah. Ah, benar-benar nasib yang sangat beruntung.

 

Sementara, tiga bulan setelah itu, Asep juga pulang kembali ke Tasikmalaya. Tapi dia pulang bukan untuk menikah sebagaimana dua teman kami yang telah dijemput takdirnya masing-masing. Takdir Asep sangat kontradiktif dengan dua teman kami yang pulang untuk hari pernikahan. Asep harus pulang karena sang Bapa yang sudah tua renta meninggal setelah bertahun-tahun lamanya berjuang melawan penyakit TBC.

 

“Agaknya aku tidak akan kembali lagi ke sini, Sar. Aku harus menunggui dan merawat ibuku. Mungkin aku akan melanjutkan menggarap sepetak sawah di kampung,” ujar Asep di hari perpisahan kami.

 

“Sukses selalu untukmu, Sep,” balasku sembari menepuk pundaknya, kala itu.

 

Sekarang, aku tinggal sendiri dalam kesepian yang mencekam. Tentu saja aku harus semakin giat jualan karena aku harus menanggung uang sewa rumah kontrakan sendirian. Si Oneng hanya kucing betina yang tidak bisa apa-apa selain menemani sang tuan tidur dengan dengkuran halusnya.

 

Jika teman-temanku pulang dengan menjemput nasibnya masing-masing, aku tidak tahu apakah diriku masih memiliki tempat untuk pulang? Kedua orangtuaku sudah meninggal dunia, paman-pamanku juga tidak ada yang terlalu dekat denganku. Setelah kepergian emak dan bapak, para uwak dan mamang di kampung seakan-akan memandangku hanya sebagai beban. Lagipula harta yang diwariskan dari Bapak dan Emak tidak ada. Orangtuaku hanya mewariskan kemiskinan yang menjelma dalam satu petak tanah dimana rumah reyot kami berdiri disana. Tak ada sawah, tak ada kebun. Karena orangtuaku hanya buruh harian di tanah milik orang. Sehingga aku melarikan diri ke kota Jakarta dengan mengikuti jejak Kadir yang lebih dulu datang ke ibukota untuk menjadi pedagang jepitan keliling.

 

Satu tahun lamanya aku membersamai Kadir, menjadi anak buahnya yang harus menyetor uang hasil berdagang setiap harinya dengan upah setengah dari keuntungan. Setelah menabung cukup lama, aku akhirnya mampu membeli gerobak sendiri dan berpisah dengan Kadir, mengontrak bareng dengan teman-teman lain sesama penjual jepitan.

 

Masa pandemi corona tiba, pemasukan dari penjualan menurun. Tapi tidak sampai membuatku kelaparan. Dua puasa dan dua lebaran telah aku lewati. Orang-orang mengeluh karena pemerintah melarang pulang kampung. Sementara aku masih tetap betah di ruangan kontrakanku yang sumpek. Tak ada bedanya hari lebaran dan bukan hari lebaran. Aku tidak pernah mengenal jalan pulang.

 

Hari ini, puasa masih tetap aku jalani seperti biasa. Aku tetap melangkahkan kakiku, mendorong gerobakku dibawah terik matahari yang memanggang ibukota.

 

“Jepit….Jepit…Jepit…” seruku dengan suara yang mulai menyerak karena rasa haus. Aku menjajakan daganganku, melewati gang demi gang.

 

Sesekali, dua tiga wanita menengokan kepalanya dari pagar, menanyakan barang yang mereka butuhkan.

 

“Bang ada bando?”

 

“Bang, minta peniti sama cotton bud, dong.”

 

“Bang, ada jepitan yang buat gelung rambut nggak?”

 

Terkadang jika melewati ibu-ibu yang merumpi di teras rumah, aku sengaja berhenti di depan mereka sehingga mereka merubungi gerobakku.

 

“Bang, boleh dicoba nggak lipstiknya?”

 

Aku menggeleng. Kapok aku mengizinkan mereka mencobai barang-barangku, terutama lisptik KW yang aku jual. Pernah aku mengizinkan para pembeli mencobai semua warna lipstick di dalam box. Hasilnya, lipstick itu semakin pendek dan tak berbentuk, dicobai oleh ratusan bibir-bibir centik dari mulai gadis kecil hingga wanita paruh baya. Kebanyakan dari mereka hanya mencoba, tapi membeli satu pun tidak. Bah! Keterlaluan itu namanya.

 

Ketika menjelang kepulangan, aku sempat singgah di alun-alun untuk membeli takjil dan pulang dengan membawa kolak pisang dan lauk untuk berbuka puasa. Si Oneng tengah menantiku di teras luar sembari mengeong meminta jatah.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment