Malam itu, saya diajak oleh bapak mertua untuk menjenguk seorang tetangga yang jarak rumahnya dengan rumah kami hanya selemparan batu. Sebagai tetangga yang baik (ehm) kami pun menjenguk dengan hati yang tulus. Tak lupa kami membawa selembar amplop yang telah kami selipkan uang sebesar 50 ribu untuk sang tetangga. Konon, si tetangga ini terkena gejala stroke ringan.
Kemudian kami pun berbasa-basi, bertanya tentang kronologi kenapa si bapak sampai kena stroke ringan.
“Waktu itu si bapak lagi ngarit di tegalan. Bapak bilangnya puyeng. Abis itu berdiri, eh tiba-tiba langsung semaput,” terang anak sulungnya.
“Ibu mertua saya juga dulu kena stroke, sampai beliau meninggal dunia,” timpal seorang tetangga lain yang juga tengah menjenguk di saat yang sama.
“Iya pak, Pak suparman juga kasusnya begitu. Awalnya dia bilang puyeng gitu, abis itu pulang, sorenya mandi. Berjam-jam dia nggak keluar dari kamar mandi, pas dibuka pintunya, udah terlentang di lantai kamar mandi, sampai koma beliau itu,” timpal yang lain.
Saya menghela napas sedalam-dalamnya. Ya Allah, mereka sadar nggak sih jika semua celoteh mereka itu justru membawa beban dan ketakutan untuk sang tetangga yang tengah mereka jenguk. Andai si tetangga yang sakit itu bisa bicara, mungkin dia sudah sejak tadi mengusir kami karena kebisingan dan cerita-cerita ‘horor’ tersebut.
Terkadang kita tidak sadar dengan celoteh-celoteh ringan yang kita lontarkan, bahwa itu bisa saja membuat sakit dan jengah orang yang mendengarnya.
Paska menjenguk si tetangga yang sakit, saya jadi teringat dengan pengalaman saya ketika sakit dulu. Senangnya luar biasa ketika dijenguk oleh orang-orang terdekat. Apalagi kalau dikasih amplop atau buah tangan semacam buah-buahan. Tapi tetap saja, buah tangan itu lebih sering habis oleh adik-adik yang ketiban rezeki tersembunyi dari sakitnya saya.
“Coba akang sakitnya agak lamaan, biar dapet kiriman buah terus,” celoteh si adik sadis, karena dia tahu sakit saya hanya meriang biasa. “Lagian kan dedek juga selalu kecipratan.”
Ambyar!
Tapi saya suka aneh dengan perilaku orang-orang tercinta ketika kita sakit. Ibu saya selalu membelikan semua yang saya inginkan ketika saya sakit.
“Mak, pengen baso..” lirih saya.
Emak pun langsung berlari ke warung baso bi Iis untuk membeli baso special untuk saya. Mungkin beliau berpikir dengan wasilah baso itu saya bisa sembuh.
“Mak, pengen buah melon sama anggur,” ujar saya di kesempatan yang lain.
Emak pun langsung pergi ke pasar untuk membeli buah yang saya pinta. Padahal, biasanya emak seringkali menolak membeli buah-buahan ‘mewah’ dengan alasan harganya yang mahal. Padahal, jangankan buat beli buah, buat beli beras pun terkadang kami tak punya. Tapi ketika saya sakit, beliau tak punya alasan untuk menolak. Atau mungkin beliau khawatir itu bisa jadi permintaan terakhir saya. Waduh…
Padahal, apa pun makanan yang tersaji, tetap saja tak akan sampai tandas hingga suapan terakhir. Sehingga lagi-lagi para adik tercinta yang selalu kecipratan ‘berkah’ dari sakit yang saya alami.
Ngobrolin tentang sakit, saya ingin sedikit berfilosofi tentang keberkahan dan kenikmatan. Coba kita banyangkan, betapa banyak orang kaya raya dengan harta berlimpah tapi tak bisa menikmati hartanya.
Tidur di kasur empuk pun tak lagi dia nikmati karena memikirkan tentang resiko bisnis atau semacamnya. Rumah gedong dengan segala fasilitasnya seringkali dia tinggalkan untuk urusan bisnisnya, hatta si bibi pembantulah yang menjadi penikmat sejati semua kekayaan sang tuan.
Ingin makan yang asin, takut tensi darah kembali naik. Ingin makan yang manis, diabetes mengintai. Ingin makan yang berlemak, kolestrol siap menghantam. Duh, lalu apa yang ingin dinikmati?
Sementara, banyak dari mereka yang begitu nikmat menyuap nasi meski hanya dengan sambal dan tempe goreng sederhana. Sementara banyak diantara mereka yang nyenyak tidur meski hanya dengan beralaskan tikar pandan.
Duh, sungguh sederhana kebahagiaan dan kenikmatan itu. Karena dia tidak diukur oleh harta, tapi oleh keberkahan yang telah dititipkan Tuhan.
Semoga kita selalu bersyukur atas segala nikmat-Nya.
No comments:
Post a Comment