Jika saya menulis opini atau artikel, justru ide-ide berletupan tak terbendung. Satu artikel memancing ide untuk artikel lain begitu seterusnya. Sebagai contoh adalah apa yang saya alami di hari kemarin. Kemarin saya menulis tentang harga buku yang melangit karena adanya pajak buku dan penerbitan. Eh, tiba-tiba otakku langsung konek untuk membahas tentang pajak. Akhirnya saya pun menulis artikel selanjutnya yang bertajuk ‘antara pajak dan palak.’ Kemudian saya tercenung, kok bisa ya satu artikel bisa ngasih ide ke artikel yang lain? Akhirnya lahirlah artikel ini. Jadi, begitulah bagaimana ide itu beranak pinak di benak saya.
Pakai Outline
Saya sebenarnya tidak pernah memakai outline ketika menulis. Hanya sesekali memakai outline, selebihnya saya runut sebuah cerita di kepala. Kecuali untuk cerita yang membutuhkan detail yang kompleks, tokoh yang bejibun atau alur maju mundur (jangan mikir yang ngeres tentang video viral itu, please…). Semakin kompleks sebuah cerita atau konsep cerita, maka kebutuhan terhadap outline semakin dibutuhkan.
Saya biasanya menggunakan metode mind map. Dimana saya akan menuliskan ide utama di tengah-tengah, kemudian ide utama itu memiliki ide cabang atau ranting di pinggirnya. Jika menulis fiksi, saya akan memvisualisasikan karakter atau tokoh yang akan saya ceritakan di beberapa kertas. Misal si A karakternya begini dan begini, punya hubungan dengan si B seperti ini, Bla…bla…bla…
Jadi, selamat menulis
No comments:
Post a Comment