18 Sept 2020

Utang Kehormatan

 Bagi Wesal, kehidupan adalah untuk dirayakan dan dinikmati setiap hari. Itu juga yang selalu ia katakan kepada sahabat karibnya, Khalid. Selain memiliki kesamaan karakter, mereka juga memiliki tingkat kenakalan yang sama semenjak kelas delapan. Dan kini, sebentar lagi mereka akan memasuki bangku universitas dengan kenakalan yang tiada habisnya.


Wesal selalu menikmati waktu luangnya untuk mengontrol dengan gadis-gadis di aplikasi kencan atau aplikasi pesan singkat. Dan itu dia tularkan kepada Khalid. 

 

"Ayolah, kita harus sedikit bersenang-senang untuk meringankan beban pikiran kita," tawar Wesal suatu hari. Dia menyodorkan nomor WhatsApp seorang gadis dari Riyadh yang dia temukan via aplikasi kencan yang dia download.

 

"Aku tidak yakin akan melakukannya," jawab Khalid sembari mengibaskan tangannya. Dia tidak pernah tertarik dengan tawaran sahabatnya untuk sedikit nakal dengan gadis-gadis online.

 

"Yallah, kita harus mengecap gaya hidup orang-orang Barat, bung. Selama ini, apakah kau tidak bosan hanya melihat makhluk bernama lelaki dan bahkan tidak pernah melihat wajah wanita selain ummi dan adik-adikmu," seloroh Wesal sembari menoyor kepala Khalid. Beruntungnya, Khalid mengelak dan melemparkan bantal ke muka Wesal.

 

"Kau pikir itu aman?" tanya Khalid sangsi.

 

"Maksudmu?"

 

"Bagaimana jika gadis-gadis yang kau hubungi itu melaporkan hal itu kepada babanya."

 

Wesal tergelak. "Mana bisa! Itu sama saja mengorbankan dirinya sendiri. Gadis-gadis nakal itu tidak akan pernah mengatakan hal buruk yang mereka lakukan kepada orang tuanya sebagaimana kita tidak mau hal ini diketahui oleh orang tua kita. Kenapa akalmu pendek sekali."

 

Khalid mendengus. "Ya sudah, berikan nomor itu kepadaku!"

 

Sebenarnya Khalid tidak memiliki pengalaman dalam merayu gadis-gadis. Dan dia yakin tidak juga teman-teman yang lainnya selain si Wesal ini. Khalid sudah dijodohkan dengan anak pamannya dan rencananya akan menikah dua tahun kemudian. Itu pun jika ayahnya sudah mengumpulkan biaya pesta pernikahan dan mahar yang lumayan besar.

 

Khalid pikir, sembari menunggu perjodohannya dengan sepupu, tak ada salahnya dia coba-coba untuk mengobrol dengan gadis-gadis cantik di whatsapp.

 

"Kau akan ketagihan," seru Wesal. Khalid hanya tertawa ringan

 

 

Benar saja. Khalid benar-benar ketagihan dan tak lagi berpikir dua kali untuk meninggalkan dunianya. Gadis demi gadis berhasil dia rayu. Bahkan diantara sebagiannya cukup memuaskan Khalid dengan percakapan mesum dan sarat dengan kebugilan.

 

Seperti saat ini, Khalid tampak sibuk membalas pesan-pesan mesum Noura. Noura adalah wanita yang baru menjadi mangsanya seminggu yang lalu. Meski usia wanita itu lima tahun lebih tuanya, Khalid tetap menikmatinya.

 

Noura bilang dia sudah bersuami dan merasa kesepian karena suaminya yang menjabat CEO perusahaan minyak Aramco sering bepergian ke luar negeri. Pada akhirnya Noura harus sendiri dan menanggung kesepian yang amat sangat di rumah mewahnya. Hanya ada dua pembantu asal Filipina yang menemaninya.

 

"Berlunjunglah kesini sebelum suamiku kembali," begitu pinta Noura kepada Khalid.

 

"Sayang sekali. Aku berada di Riyadh," balas Khalid. Dia tahu Noura berasal dari Jedah dan dia tidak ingin mengambil resiko dengan melakukan perjalanan demi wanita bersuami.

 

"Khalid, simpan ponselmu!" Itu adalah suara Baba yang tiba-tiba menyentak, membuyarkan keasyikan Khalid dengan gadgetnya. Khalid tersentak dan serta merta menyimpan ponsel canggihnya di atas meja makan.

 

"Memangnya kau tidak punya waktu lain untuk kekasihmu?" kali ini Nawal yang berkomentar dengan tatapan meremehkan.

 

"Diam Kau!" Khalid membalas tatapan sengit adik perempuannya dengan tatapan sebal.

 

"Apa? Kau mulai berani melirik gadis lain dan berbicara dengan mereka di telpon?" Tatapan tajam Baba seakan menegaskan kepada Khalid untuk mengingat tentang perjodohannya dengan Shafia, si anak paman.

 

"Oh, tidak Baba. Jangan percaya omongan Nawal. Dia berdusta."

 

*

 

Tidak seperti Khalid, Wesal memiliki ruang dan kebebasan yang lebih luas dan lapang. Dia telah tinggal di sebuah apartemen mewah di pinggiran

 

Riyadh. Gajinya sebagai pemimpin proyek kontraktor sudah tidak diragukan lagi. Sebulan yang lalu dia telah bercerai dengan istrinya tanpa menghasilkan anak satu pun. Perceraian itu sendiri karena kenakalannya dengan gadis-gadis SMA yang memang gampang dirayu. Dan istrinya mengetahui semuanya sehingga gugat cerai pun keluar dari mulut sang istri.

 

Seperi hari ini, Wesal punya janji dengan seorang gadis sekolahan yang sudah berhubungan dengannya beberapa hari belakangan. Wesal tersenyum lebar, baginya berhubungan dengan gadis sekolahan adalah keberuntungan karena mereka masih perawan dan segar.

 

"Ayolah, kau bisa datang ke apartemenku, sayang," pinta Wesal.

 

"Oh jangan harap! Jika baba dan kakak lelakiku mengetahui perbuatanku, mereka akan membunuhku demi kehormatan."

 

"Apakah kau sudah bertunangan?"

 

"Belum. Tapi aku sangat yakin orang tuaku merancang-ancang untuk menjodohkanku dengan anak paman."

 

"Bagaimana jika kau menikah denganku saja. Itu pun jika kau mau."

 

"Oh, tentu saja mau Wesal. Kau pria yang baik dan tampan. Tapi bagaimana itu terjadi?"

 

"Tentu saja itu bisa. Aku akan datang ke rumahmu. Hanya saja aku sangat ingin mengenalmu lebih dekat. Bagaimana jika sore nanti aku menjemputmu dari sekolah?" tawar Wesal dengan seringai lebar. Dia sudah membayangkan betapa nikmatnya menghabiskan waktu dengan si gadis.

 

"Jangan, nanti teman-temanku bertanya tentang dirimu. Biasanya aku juga dijemput oleh kakak laki-lakiku," tentu saja gadis tersebut menolak tawarannya. Dia takut untuk menantang resiko.

 

"Hei, bilang saja ke teman-temanmu bahwa aku sopir barumu, dan kakakmu sakit sehingga tidak bisa menjemputmu. Dan katakan kepada kakak lelakimu bahwa kau akan menginap di rumah teman-temanmu untuk mengerjakan tugas praktikum bersama," Wesal berusaha memberikan ide brilian untuk si gadis.

 

"Tapi..."

 

"Ayolah, aku sangat ingin bertemu denganmu. Kau sudah seperti candu bagiku."

 

"Baiklah."

 

Seringai di bibir Wesal semakin lebar mendengar jawaban si gadis yang meyakinkan.

 

***

 

Siang itu juga si gadis menghubungi saudara lelakinya untuk tidak menjemputnya dari sekolah. "Aku ada tugas praktikum dan harus menginap di rumah Sumaya," dalihnya dengan begitu fasih. Padahal itu adalah kebohongan pertama yang dia lontarkan selama hidupnya.

 

'Tak apa, hidup itu harus dinamis, tidak selalu lurus dan puritan.' hatinya mencoba menghibur keputusan yang telah ia ambil. Siang itu juga dia berdiri di pinggir jalan, menunggu kedatangan Wesal dengan mobil sport warna kuningnya.

 

'Sebentar lagi aku tiba.' Wesal mengirimkan pesan whatsapp. Benar saja, tak berapa lama, lelaki itu muncul dengan mobil sportnya yang keren dan mengkilap.

 

Teman-teman si gadis yang kebetulan berhamburan dari gerbang sekolah putri menatap si gadis dengan tatapan penuh tanda tanya.

 

"Nawal, siapakah dia? Apakah kau punya kakak lelaki yang lain selain Khalid. Omong-omong, dia sangat ganteng," bisik Zaenab yang dengan sengaja melewatinya hanya untuk bertanya.

 

"Dia sopir baruku," kilah Nawal.

 

Tak mau semakin banyak menarik perhatian, dia pun membuka pintu sebelah kiri dan masuk ke dalam. Wesal menatapnya dengan lekat. "Siap berpetualang?"

 

Nawal mengangguk pasti. Sementara dia tidak menyadari bahwa maut mungkin saja mengintainya.

*

Nawal diamuk rasa khawatir dan bersalah. Dia tahu itu. Dia sadar bahwa tindakannya sangatlah beresiko. Tapi semua sudah terlanjur. Dia sudah terlanjur mengiyakan petualangan panas yang ditawarkan oleh Wesal. Andai baba dan kakak lelakinya mengetahui apa yang dia lakukan, mungkin mereka tak segan untuk membunuhnya demi kehormatan keluarga.

 

"Aku takut," lirih Nawal kepada Wesal. Matanya mengerjap berkali-kali karena kekhawatiran yang berlebihan.

 

"Jangan terlalu paranoid, semuanya baik-baik saja," hibur Wesal tanpa perlu melirik kekasihnya yang cantik itu. Kedua matanya yang memiliki tatapan tajam itu fokus melihat jalan lurus yang membelah kota Riyadh.

 

"Aku khawatir kakak lelakiku dan Baba akan mengetahui perbuatanku ini."

 

"Mustahil, bagaimana mereka tahu hal itu? Kecuali jika kau memang jujur mengakui kesalahanmu kepada mereka berdua." Wesal tentu saja harus selalu meyakinkan Nawal agar rencana 'petualangan panasnya' terlaksana. Bahkan, jalanan Riyadh terasa lebih panjang dari biasanya karena hatinya sudah tidak sabar untuk sampai ke apartemen dan mereguk kenikmatan yang dia dambakan sejak lama. Selama ini dia hanya mampu menjerat para wanita dalam video call sex, berpuas diri dengan memandangi kebugilan virtual. Tapi untuk yang satu ini adalah pengalaman baru. Dimana dia berhasil menjerat mangsa untuk datang langsung ke apartemennya. Bahkan dia tidak percaya ada gadis yang begitu mudah diajak ke apartemennya begitu saja.

 

"Ayolah, jangan khawatir seperti itu. Aku tidak suka melihat wajahmu ditekuk, sayang."

 

Mau tak mau Nawal tersenyum lebar. Demi kekasihnya. Dia berpikir Wesal adalah kekasih sejatinya. Bagi Nawal, mendapatkan senyuman dan perhatian dari seorang pemuda bak menemukan oase di tengah Sahara yang begitu gersang. Selama ini dia tidak pernah merasakan cukup kasih sayang dari dua lelaki yang ada di hidupnya. Baba terlalu sibuk dengan bisnis kilang minyaknya sehingga sangat jarang berada di rumah. Hanya pada hari-hari tertentu lelaki tua itu akan ada di rumah dengan percakapan yang sangat minim. Mungkin dia bisa menghitung berapa kata yang akan keluar dari mulut ayahnya dalam sehari selama dia ada di rumah. Matanya tak akan pernah lepas dari layar komputer atau gadget yang selalu bertengger di tangannya.

 

Sementara Khalid, sang kakak juga tak ubahnya seperti baba. Seorang lelaki cuek yang hanya peduli dengan urusannya sendiri. Khalid tak pernah memujinya atau apa pun yang bisa dilakukan sebagai seorang kakak kepada adiknya. Bahkan, perintah Ummi untuk menjemputnya setiap pulang sekolah pun dilaksanakan dengan setengah hati.

 

Terkadang Nawal merasa iri dengan Zaenab yang begitu akrab dengan kakak lelakinya. Jika hari ulang tahun tiba, kakak lelaki zenab yang entah siapa namanya selalu memberinya hadiah-hadiah kejutan yang membuat terharu adiknya. Zaenab juga sering menceritakan tentang kakak lelaknya yang selalu mengajaknya berpetualang mengelilingi pinggiran Riyadh. Bahkan dia dan kakak lelakinya membuat Chanel YouTube bersama. Diam-diam Nawal selalu berharap sekaligus berandai-andai. Andai saja ia bisa bertukar peran dengan Zenab. Ada atau tidak ada kakak lelaki baginya sama saja. Dia terlalu kesepian. Itu semua berubah setelah dia memgenal Wesal si lelaki periang. Wesal selalu menyapanya setiap pagi dan memastikan apakah dia sudah sarapan atau bahkan melewatkan sarapan.

 

Jika dia menjawab sudah, maka Wesal akan bertanya tentang menu. 'Apa yang kau makan pagi ini?' dia bilang dia suka khubz dan panekuk. Wesal bilang, 'Wow, benarkah? Aku juga suka itu!' Kapan-kapan aku akan mengajakmu makan di restoran favoritku.'

 

Bersama Wesal, dia tidak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Tidak seperti ketika dia berbicara dengan Ummi, Baba dan Khalid yang selalu berkisar di jawaban antara ya atau tidak. Bersama Wesal semuanya begitu berwarna.

 

"Hei, kenapa kau bengong terus?" Kali ini Wesal menolehkan kepalanya dan mengangkat dagu Nawal. Senyumnya masih tetap merekah. "Kau masih khawatir?"

 

"Tidak. Aku tidak khawatir," jawab Nawal meyakinkan diri.

 

Jika Wesal sudah menghiburnya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, maka dia harus percaya. Lelaki itu tidak pernah berbohong dan tidak mungkin membohongi dirinya. Dia terlalu baik, begitulah pikir Nawal.

 

"Aku jamin kau tidak akan menyesal," janji Wesal. Dia masih menatap Nawal dan mengabaikan apa yang seharusnya dia lakukan selama mengemudi.

 

"Fokuslah pada jalan yang kau lalui. Berbahaya jika kau sering menelengkan kepalamu," Nawal memperingatkan.

 

"Tentu saja tidak sayang, jalanan ini lengang dan itu tidak mungkin terjadi. Omong-omong kau bisa membuka hijabmu. Kau akan menemukan sensasi luar biasa dengan membiarkan angin mempermainkan rambut indahmu."

 

"Nanti Askar akan melihatku dan aku akan terlibat dalam masalah."

 

"Itu tidak mungkin. Sepanjang jalan ini tidak ada Askar, sayang."

 

Akhirnya Nawal membuka hijabnya dan membiarkan rambut hitam lurusnya tergerai dengan sempurna. Dia tak lagi perlu canggung karena semua hal telah dia lakukan bersama Wesal. Bahkan dua hari kemarin dia menuruti keinginan Wesal untuk mempertontonkan apa yang selayaknya ditutupi oleh kain. Tapi dia tak pernah menyesal untuk hal itu. Karena baginya, apa pun akan dilakukan, asalkan Wesal yang memintanya.

 

***

 

iPhone Nawal berdering begitu kencang. Dia pun segera mengaduk-aduk isi tasnya untuk menemukan iphone-nya. Dapat. Dia membuka kunci dan menemukan bahwa ibunyalah yang menelpon. Nawal menggeser simbol telpon berwarna hijau ke atas untuk menjawab panggilan ibunya.

 

"Nawal, apakah kau benar sedang berada di rumah Zenab?" tanya ibunya dari seberang sana.

 

"Ma'am Ummi. Aku haru mengerjakan tugas praktikum bersama."

 

"Kau tidak berbohong kan?"

 

"Tentu saja tidak Ummi, bagaimana bisa Ummi menganggapku berbohong?" Nawal tidak tahu apakah ibunya bisa menangkap dusta dari nada bicaranya atau bagaimana. Tapi yang jelas dia sangat yakin bahwa ibunya tidak mungkin tahu tentang trik kebohongannya. Lebih beruntung lagi adalah fakta bahwa dia tidak pernah membagikan nomor teman-temannya kepada Sang ibu. Andai saja ibunya tahu nomor Zenab, mungkin saja ibunya akan menghubungi teman karibnya itu untuk memastikan apakah dia jujur atau berdusta.

 

"Ibumu?" tanya Wesal.

 

"Ya, terkadang dia cukup menjengkelkan dengan kecerewetannya."

 

Wesal tertawa renyah. "Jangan diambil hati, semua ibu memang selalu begitu."

 

Dua puluh menit kemudian mereka tiba di apartemen Wesal. Apartemennya luar biasa canggih dan mewah. Wesal membuka kunci ruangannya dengan kartu yang ditempelkan dan mereka berdua masuk dengan hati yang berdebar-debar.

 

Untuk sesaat mereka merasa bingung apa yang harus mereka lakukan hingga pada akhirnya Nawal membuyarkan kebisuan. "Aku lapar."

 

"Aku juga. Kalau begitu aku akan membeli makanan di luar. Tunggulah sebentar. Aku tidak akan lama."

 

Nawal menganggukan kepalanya dan duduk di atas sofa merah. Mencoba menenangkan debaran jantungnya yang sedari naik lift selalu berdentum-dentum tak karuan. Dia pikir apa yang akan dia lakukan dengan bermalam di apartemen seorang pemuda lajang selain dengan bercinta habis-habisan.

 

'Aku tidak akan menyesal meskipun harus memberikan keperawananku kepada Wesal,' akunya di dalam hati.

 

"Hei, apakah kau ingin memesan sesuatu?" Tanya Wesal membuyarkan lamunannya.

 

"Aku ingin lemon dingin dan kebab."

 

"Baiklah."

 

Wesal keluar dan tanpa sepengetahuan Nawal mengunci pintu apartemen dari luar. Kemudian dia membuka pintu lift dengan siulan yang tak berkesudahan.

***

Setelah mendapatkan apa yang Nawal inginkan, Wesal memacu mobil sportnya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli dengan aturan lalu lintas, toh kondisi jalanan begitu lengang. Lebih dari itu, tidak ada polisi yang menjaga jalanan.

 

Wesal menggerutu demi melihat lampu merah menyala. Sementara hatinya selalu terpaut pada Nawal yang dia tinggalkan sendirian di apartemen. Lampu merah lalu lintas itu seakan mengejeknya dan menyala lebih lama dari biasanya. Atau memang dirinya yang dilanda keterburuan sehingga merasa waktu begitu lama. Hatinya terpancang pada Nawal dan ingin segera mencicipinya.

 

Wesal menarik napas dalam-dalam dan menancap gas. Dia tak peduli lampu lalu lintas masih merah menyala. Dia ingin segera menuntaskan keinginannya yang tertahan.

 

Sejurus kemudian dari kaca spion ia melihat mobil kepolisian yang mengejarnya. Beberapa kali klakson dibunyikan sebagai peringatan awal; menepi atau kami akan terus mengejarmu.

 

Wesal menghembuskan napas dengan kasar. Dia tidak pernah menduga bahwa romantisme erotisnya bersama sang gadis yang dia berhasil bawa ke apartemen akan tertahan karena ulah polisi. Mau tak mau Wesal menepikan mobil sportnya.

 

Seorang polisi berbadan tambun dengan kumis tebal datang menghampiri dari arah kanan. "Anda telah melanggar peraturan lalu lintas. Seharusnya Anda tidak menerobos lampu merah itu."

 

"Tapi jalanan lenggang. Hal ini tidak berbahaya sama sekali. Ini hanya omong kosong," bantah Wesal. Bagi Wesal, membantah polisi lalu lintas bukanlah sebuah pelanggaran atas aturan tatakrama. Ia sudah terlanjur sebal.

 

"Uskut!!" Seru si polisi berkumis tebal itu. Tampaknya tak terlalu suka ada anak muda yang mungkin sepantaran dengan anak keduanya berani membantah terkait aturan. "Bisa kau tunjukan surat izin mengemudimu?" pintanya kemudian.

 

Wesal meraih dompet yang sengaja dia letakan di dashboard dan mengambil surat izin mengemudi kemudian menyodorkannya ke polisi tersebut. Polisi itu mengamati sejenak dan mengembalikannya. "Lain kali kau harus mematuhi peraturan."

 

"Baiklah," seru Wesal bersemangat. Ia yakin urusannya beres.

 

"Tunggu dulu, kau harus ikut kami ke kantor polisi."

 

"Kenapa?" tanya Wesal terperangah.

 

"Ini adalah pelanggaran ketujuh. Dasar bocah nakal, kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu, huh. Bocah ingusan sok kaya yang sering melanggar peraturan lalu lintas, bukan? Aku sudah muak melihat wajahmu. Kami harus menahan anda malam ini."

 

Wesal menggelosor lemas. Bukan karena dia akan ditahan semalaman, tapi dia memikirkan tentang Nawal yang mungkin akan menunggunya di apartemen dengan perut kelaparan. Lebih dari itu, ini adalah moment pertamanya tidur bersama gadis cantik. Dan polisi sialan itu telah menghancurkan kesenangannya.

 

Wesal digelandang ke kantor polisi dan ditahan di sebuah sel. Selama beberapa jam lamanya dia masih berpiir tentang Nawal yang mungkin kini kesal karena menunggunya terlalu lama. Hingga tiba-tiba saja terbetik nama Khalid di benaknya. Aha! dalam kondisi seperti ini, Khalid bisa diandalkan. Begitulah pikir Wesal. Dia berteriak dari balik sel kepada seorang polisi yang bertugas supaya memberikan iphone-nya. "Aku harus menelpon temanku karena keperluan mendesak."

 

Petugas itu memberikan iphone-nya dan Wesal menghubungi Khalid saat itu juga. Wesal harus menunggu hingga deringan terakhir hingga pada akhirnya karibnya itu menjawab panggilannya. "Hai, tidak bisakah kau menelponku besok? Kau mengganggu tidurku tahu."

 

"Aku butuh bantuamu," timpal Wesal.

 

"Oke, tapi sebelum kau meminta bantuanku, dengarkan dulu ceritaku Wesal. Kau tahu Noura, si wanita bersuami yang pernah aku ceritakan pekan kemarin kepadamu? Malam kemarin aku berhasil menidurinya. Ternyata wanita bersuami sama enaknya," seloroh Khalid dengan tawa terbahak.

 

"Aku tidak peduli dengan urusanmu. Saat ini kamu harus menolongku, Khalid," timpal Wesal cepat. Dia berpikir bahwa dalam kondisi ini bukan saatnya membicarakan tentang wanita yang berhasil ditiduri secara acak.

 

"Dari tadi kau selalu bilang butuh bantuanku. Memangnya apa yang kau inginkan? Kau ingin pinjam uangku?"

 

"Bukan! Saat ini aku sedang berada di kantor polisi. Polisi sialan itu_" Wesal tidak melanjutkan kalimatnya demi melihat lirikan tajam si petugas yang berjarak tiga meter dari selnya. Sialan! Polisi itu mendengar pembicaraannya sehingga dia harus memelankan suaranya. "Aku melanggar peraturan lalu lintas."

 

"Itu sudah kebiasaanmu, kan? Jadi nikmati saja!" Seru Khalid. "Apa maumu? Kau ingin aku membayar tebusan, nak? Kau minta tolong saja pada Babamu."

 

"Bukan itu! Saat ini ada kekasihku di apartemen yang menunggu kedatanganku. Berani bersumpah dia pasti kelaparan dan kesal menunggu kedatanganku. Sialnya lagi aku menguncinya di dalam apartemen."

 

"Jadi?"

 

"Kau harus datang kesini untuk memberi gadis itu makan dan memgambil kunci apartemenku. Katakan kepada gadis itu masalahku. Semoga saja gadis itu mengerti," jelas Wesal.

 

"Dimana kau ditahan?"

 

"Di kantor polisi Diriyyah. Letaknya tidak jauh dari apartemenku."

 

"Baiklah," pungkas Khalid.

 

Dia harus menolong temannya saat itu juga. Tanpa menunggu lama, Khalid segera beranjak dari tempat tidurnya. Menyambar jaket kulit dan kunci jaguarnya. Kemudian setelah itu membelah jalan menuju kantor polisi dimana Wesal berada dengan menggunakan google map di smartphonenya.

 

Tak berapa lama, dia sudah tiba di kantor polisi. Menanyakan keberadaan temannya kepada seorang petugas yang memiliki wajah yang tidak terlalu sangar. Khalid pikir lelaki itu lebih pantas menjadi seorang dokter alih-alih menjadi seorang polisi. Petugas itu membawanya masuk ke dalam dan disanalah dia melihat Wesal duduk menekuk lutut di balik sel. Khalid tertawa renyah. "Baba sudah memberimu nasihat ribuan kali nak, jangan pernah melanggar peraturan lalu lintas," seloroh Khalid.

 

"Tidak lucu!" sengit Wesal dengan bibir ditekuk. Dia mengeluarkan kunci apartemen dan bungkusan makanan yang telah dia beli untuk makan malam kekasihnya.

 

"Tolong beritahu dia keadaanku. Semoga dia memaafkanku" pesan Wesal. Khalid menganggukan kepala dan membawa bungkusan itu ke dalam jaguarnya. Kini hatinya bersiul. Dia pikir siapa lagi gadis Arab yang mau diajak menginap di apartemen lelaki asing selain seorang pelacur. Khalid berpikir bahwa dia bisa merasakan manisnya si gadis. Tidak ada salahnya sekali-kali mencurangi teman, bukan?

***

Nawal menunggu Wesal kembali ke apartemen dengan menyalakan televisi kabel yang berada di ruang depan. Satu jam lamanya dia memindahkan Chanel demi Chanel, tapi Wesal belum juga datang. Nawal berpikir mungkin Wesal tengah mengantri di gerai kebab karena pelanggan yang ramai. Oleh karena itu, Nawal berusaha untuk bersabar. Toh kondisi itu juga mrnguntungkan baginya untuk mempersiapkan diri sebelum Wesal tiba.

Nawal akhirnya melepas pakaiannya dan memanjakan diri di bathtub selama yang ia mau. Dia pikir dia akan beranjak dari bathub jika Wesal telah tiba. Atau mungkin mereka langsung mandi bersama dalam amukan gairah yang membara.

Benar apa yang Nawal duga. Tak berapa lama dia mendengar suara pintu apartemen yang dibuka diiringi oleh suara sepatu yang bergema di ruangan apartemen.

"Wesal! Kemarilah!" seru Nawal dengan suara yang mendayu dan desah yang mengiringinya.

Suara langkah kaki itu mendekat dengan pasti dan Nawal sudah mempersiapkan diri untuk mempersembahkan apa yang paling berharga dalam dirinya untuk kekasih tercinta.

Pintu bathub yang terbuat dari kaca riben itu terbuka. Sesosok lelaki berdada bidang dan bertubuh jangkung menjulang disana. Lelaki itu menyeringai. Tapi seringainya mendadak sirna beberap detik setelahnya. Tiba-tiba saja kedua manik mata yang berbinar itu terlalap oleh lidah-lidah api amarah yang membuncah.

Pun dengan senyuman menggoda yang menghiasi bibir Nawal. Lenyap bagai air yang menguap di bawah terik matahari yang membara. Tubuhnya bergetar hebat karena rasa malu dan takut yang begitu sangat.

"Khalid!"

"Nawal! Apa-apaan ini? Kenapa kau berada disini?"

Nawal menggigil. Air hangat yang memenuhi bathub tidak berpengaruh apa pun. Tubuhnya menjadi panas dingin. "Aku bisa menjelaskannya, Khalid! Tolong, jangan salah paham..."

"Persetan! Dasar jalang murahan! Aku tidak akan pernah rela memiliki seorang adik yang menjadi pelacur."

Khalid terlanjur tenggelam dalam amarah. Dia menjambak rambut Nawal dan mengangkat tubuh Nawal dari bathtub bak mengangkat sampah yang sangat menjijikan.

"Khalid, kumohon jangan marah."

"Kau telah mengorbankan kehormatan keluarga, jalang kecil! " Seru Khalid. Gelegar suaranya begitu kalap. Dia sudah kehilangan akal sehat karena amarah yang memenuhi jiwanya secara tiba-tiba. Ya, dia marah kepada Wesal. Tapi kemarahan itu berkali-kali lipat untuk Nawal. Seakan-akan adik perempuannya itu menampar mukanya berkali-kali dengan fakta bahwa dia berada di apartemen teman karibnya.

"Kau tidak pantas hidup, Nawal!" seru Khalid sembari menjambak rambut adiknya dan membenturkannya ke dinding. Nawal berteriak sekencang yang dia bisa, berharap para tetangga mendengar teriakannya.

"Kau tidak pantas hidup dengan kehinaanmu!" Seru Khalid dan membenturkan kepala adiknya untuk yang kesekian kalinya.

"Toloong!!...Tolong..!" Nawal tetap berteriak, berharap dinding apartemen itu tidak kedap suara sehingga siapa pun di luar sana akan mendengar permintaan tolongnya. Dia tahu bahwa maut sedang mengintainya bersama kehadiran sang kakak.

Khalid ingin membunuhnya karena telah merobek kehormatan keluarga. Itu sudah pasti. Nawal tak ingin mati konyol di tangan Khalid. Dia berusaha melawan saudara lelakinya sebisa mungkin. Kedua tangannya yang rapuh meronta-ronta. Jemarinya yang lentik -yang beruntungnya kuku-kuku jemarinya belum ia potong- berusaha mencakar muka Khalid.

Tapi Khalid tak kalah gesit. Dia sudah tidak lagi memiliki nurani atau belas kasih. Setan mungkin telah menguasai jiwanya dan tertawa di belakangnya. Khalid mengambil pisau lipat yang biasa ia gunakan untuk mencukur janggut dari saku dan menekannya ke urat nadi di leher Nawal.

Nawal tersedak


Darah memuncrat dari sayatan di lehernya. Membanjiri dadanya.
Memancar dan sebagian tersesat di wajah dan dada Khalid.
Napas Khalid memburu. Dia seperti binatang buas yang telah kehilangan kendalinya.

Setan tertawa terbahak-bahak di tempat yang tiada pernah disadari oleh makhluk bernama manusia.

Khalid tercenung untuk beberapa saat bak seorang lelaki yang kehilangan akal. Pisau cukur itu jatuh dan berdentang kecil di atas lantai marmer. Tubuh Nawal terkulai seperti boneka kain yang tak memiliki kekuatan. Khalid menggelosor di lantai dengan Isak penyesalan.

Orang-orang, para tetangga apartemen yang datang terlambat menyembul dari pintu dengan mulut yang menganga. Kengerian telah tergambar dengan jelas tidak hanya di wajah mereka, tapi juga di benak mereka. Selama ini mereka melihat berita pembunuhan di televisi, dan kini semua terpampang di hadapan mereka. Seseorang diantara mereka yang dilanda kengerian itu langsung menghubungi polisi dan menyebutkan tempat kejadian perkaranya.

Sementara Wesal yang tengah meringkuk mendengar seorang petugas menyebutkan alamatnya. Nomor rumah apartemennya.

"Lapor komandan, telah terjadi kasus pembunuhan di flat almansuriyah nomor 6 lantai 4," lapor seorang petugas jaga yang baru saja menerima telpon dari nomor tak dikenal.

Wesal terkesiap dan langsung bangun dari lantai yang dingin. Berdiri di balik jeruji. "Apa kau bilang?"

"Ada apa denganmu?" tanya sang polisi dengan kerut keheranan di dahinya.

"Kau tadi menyebut nomor rumahku."

"Kau ngelindur! Tidurlah! Besok kau bisa bebas dengan syarat."

"Tidak! Bisakah kau mengulang lokasi pembunuhan yang tadi alamatnya kau sebut?" Aku mendengar kau menyebut nomor rumahku."

"Kau salah dengar," sergah sang polisi.

"Ulangi lagi. Aku sangat yakin kau menyebutkannya."

Si polisi yang pada dasarnya berperangai lembut itu menyebutkan nama apartemen dimana dia tinggal, dan nomor apartemennya sendiri.

"Itu apartemenku!" seakan ada sengatan listrik yang menjalari tubuh Wesal. Dia berharap itu hanya kekeliruan sebuah laporan. "Antarkan aku ke sana."

"Tenanglah!"

***

Inilah akhir tragis dari petualangan dan kenakalan Khalid dan Wesal. Mereka kini memgganti pertemanan karib mereka dengan kebencian yang menggunung satu sama lain.

"Kau telah merusak adik perempuanku, iblis keparat," sergah Khalid.

"Sesungguhnya kamulah yang telah merusaknya. Ingat, kamu telah membunuhnya. Bahkan aku tidak tahu dia adalah adikmu. Andai saja aku tahu, aku tidak akan menyentuhnya."

"Kau keparat!"

"Hei kawan, apa yang telah kau lakukan terhadap wanita bersuami bernama Noura. Kau pun tak punya kehormatan, tapi kenapa kau begitu marah ketika adikmu berada disini. Kau telah merusak istri orang lain, sekarang....mungkin adikmu menjadi tumbal dari perbuatanmu."

Wesal tak mau disalahkan. Tapi dia sadar bahwa dirinya memiliki andil dalam tragedi tersebut.

Sementara Khalid hanya menunggu tanggal dimana seorang algojo akan memenggal kepalanya, memutuskan urat penyambung nyawa di lehernya. Sungguh kasihan orang tuanya karena harus kehilangan dua anak di waktu yang hampir bersamaan. Penodaan telah dibayar dengan penodaan yang serupa.

TAMAT

Based on true story di tanah Arab Saudi.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment