20 Sept 2020

Minah dan Anak Majikan

Banyak sekali curhatan-curhatan para TKW yang menarik perhatianku. Salahsatunya adalah cerita Minah yang jatuh cinta sama anak majikannya yang baru masuk kuliah. Mungkin usianya awal 20-an, jika Minah tidak salah dalam menduga.

 

Untungnya, Minah masih perawan, jadi untuk urusan jatuh cinta bukan jadi soal. Karena kata Minah, banyak cerita si pembantu jatuh cinta sama anak majikan atau sama majikannya, sayangnya sudah punya suami di kampung. Nah, untuk yang satu ini Minah harus bersyukur.

 

Minah punya rahasia sendiri yang tidak diketahui oleh teman-teman sesama TKW. Dia sudah bertunangan dengan pemuda sekampung bernama Joko. Hanya saja, setelah mengetahui bahwa lelaki ras Arab jauh lebih rupawan daripada lelaki kampung semacam Joko, Minah jadi punya cita-cita yang sungguh tinggi.  Dia punya angan, andai dia menikah dengan sang anak Tuan, tak segan baginya untuk memutuskan hubungan dengan Joko. Toh masih banyak perempuan di kampung yang bisa dinikahi Joko, bukan? Dan kesempatan yang baik tidak akan pernah datang dua kali. Kesempatannya untuk menggaet cinta lelaki Arab adalah sekarang. Begitulah pikir Minah dengan akalnya yang 'pintar'.

 

Hanya saja yang menjadi soal adalah, akankah si anak majikan menangkap getar-getar sinyal cinta Minah yang selalu diaktifkan setiap kali Minah berpapasan. Minah tidak yakin. Tapi dia memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi dan memiliki tekad yang kuat untuk urusan cinta. Terkadang dia juga curhat masalah yang satu ini dengan teman-teman sesama TKW di Facebook. Hampir setiap malam sebelum tidur, Minah selalu berfacebook ria barang sejam atau setengah jam hanya untuk mengusir kepenatan setelah berjibaku dengan tugas-tugas harian. Ada juga satu grup whatsapp yang seringkali menjadi ajang curhat-curhat gajebo (nggak jelas boo).

 

"Duh Gusti, anak Tuan Wasim gantengnya nggak ketulungan!" Minah membuka pembicaraan di grup Whatsapp "TKW ARAB".


'Embat aja Nah, jangan kasih kendor,' komentar Euis, TKW asal Bandung. Tak lupa menambahi emot jempol.

 

'Nah, kalo menurut peribahasa, kamu itu bagai Pungguk Merindu bulan. Sadar diri dong kalo kamu orang kampung. Lha iya, masa ada putra tuan Wasim yang ganteng itu jatuh cinta sama kamu. La yumkin,' kali ini yang menimpali adalah si Badriah, TKW asal Cilacap yang bekerja di Jeddah. Memang dia punya lidah setajam silet. Jadi, Minah sudah cukup maklum dengan komentar pedasnya.

 

Semalaman itu Minah menyimak komentar teman-temannya. Ada yang mensupport, ada yang mencibir, ada juga yang menertawakan.

 

Tapi, Minah sudah kadung cinta sama anak si majikan bernama Husam itu. Minah jatuh cinta dalam diam.

 

Minah tahu bahwa dirinya memiliki kecantikan alami khas wanita Asia. Oleh karena alasan inilah dia memiliki ekspektasi yang cukup tinggi dalam urusan mengkhayal. Seringkali dia mengkhayal bahwa Tuan Wasem menjadikannya sebagai seorang mantu. Jadi, terlihat keren untuk dibuatkan sinetron dengan judul 'Pembantu yang menjadi seorang putri pendamping pangeran.' Uhuyy.

 

FYI, Tuan Wasem ini seorang miliarder yang memiliki jabatan yang cukup strategis di perusahaan kilang minyak Aramco world. Husam, si anak pertama pun kini katanya kuliah di universitas King Saud dengan konsentrasi ilmu teknologi. Minah jadi semakin melambung dalam mimpi demi menjadi gadis kampung yang kaya mendadak karena diperistri oleh pangeran Arab.

 

Hari demi hari cinta Minah semakin membara. Dia tahu bahwa dia tidak boleh diam. Dia harus selalu mengirimkan sinyal-sinyal itu.

 

Seperti malam ini, ketika Husam tengah berbaring di depan televisi plasma layar datar yang menayangkan liga Arab, Minah mendekat dalam jarak dua meter dan pura-pura membersihkan nakas dan meja.

 

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?' pikir Minah, berusaha memeras otak untuk menarik perhatian sang pangeran rupawan. Lagi pula, jika dia benar-benar melalukan sesuatu untuk menarik perhatiannya, akankah lelaki itu benar-benar tertarik.

 

'Ingat Minah, kamu adalah gadis cantik khas Asia. Betapa banyak kau dengar cerita tentang lelaki Arab yang menyukai wanita Asia,' bisik di hatinya meyakinkan.

 

Minah pun mendapatkan ide untuk menemukan perhatian si anak majikan yang luar biasa tampan itu

 

"Aduuh!!" jerit Minah sembari mengurut betisnya yang sebenarnya baik-baik saja. Tangannya menyingkap betis putihnya dan mengurutnya perlahan.

 

"Ada apa?" Tanya Husam dengan dahi berkerut. Dua alis hitam tebalnya hampir bertautan satu sama lain bak payung yang meneduhi dua sorot mata tajamnya yang dihiasi bulu mata tebal dan lentik.

 

"Aku kram," jawab Minah. Dia sangat ingin memandang Husam dan menikmati pesonanya. Tapi dia tidak berani untuk melakukannya.

 

"Kalau begitu istirahatlah, kau bisa mengerjakan sisa pekerjaan esok hari, lagi pula ini kan waktunya istirahat," timpal Husam sembari mendegus dan kembali menyibukkan diri dengan kacang yang dia kunyah sedari tadi. Sementara matanya tak lepas dari bola yang bergulir dari satu kaki ke kaki lainnya di layar datar televisi plasma.

 

Minah menghela napas panjang dan bangkit dari lantai dengan berjalan tertatih. Tanggung untuk berdrama. Dia masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Sudah pasti dia memiliki ekspektasi yang tinggi. Husam tidak akan pernah mencintai seorang gadis kampung pesek seperti dirinya. Terlebih dia hanya seorang pembantu.

 

Hanya saja, malam itu Minah berfantasi. Jika Husam tidak dia dapatkan, agaknya fantasi panas pun sudah cukup baginya.

 

***

Orang bilang hidup itu bagai roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang di atas. Orang bilang, manusia itu memiliki hati yang kontans dan terus berubah. Tampaknya hal itu juga terjadi pada diri Husam.

 

Pagi itu ketika Minah tengah mengepel lantai ruang keluarga, sementara Husam -seperti biasa- berbaring malas-malasan sembari menikmati butir demi butir kuaci sebagai teman nonton liga inggris yang tengah live di televisi.

 

Tiba-tiba saja Husam berkedip-kedip bagai seorang pangeran yang kelilipan debu jalanan. Tidak hanya berkedip-kedip tak karuan, Husam juga bersiul pelan.

 

Minah jadi serba salah. Dia tidak ingin cepat-cepat menafsirkan bahwa kedipan dan siulan itu ditujukan kepada dirinya. Tempo hari sudah cukup menjadi bukti bahwa anak lelaki tuan Wasem tidak tertarik padanya.

 

Mungkin saja Husam berkedip dan bersiul pada seekor cecak yang lewat di dinding. Tapi untuk apa?

 

"Kamu bersiul kepadaku, Tuan Husam?" tanya Minah dengan hati yang berdebar-debar. Takut dia benar-benar kege-eran.

 

"Kepada siapa lagi?" timpal Husam dengan kedipan mata yang kedua. "Kemarilah!"

 

Dengan patuh Minah mendekati Husam dan bersimpuh di samping pria itu. Husam mengangkat tangannya dan membelai pipi Minah.

 

"Jangan Tuan, nanti Baba akan datang dan memergokimu. Jika itu terjadi, dia akan marah kepada saya."

 

"Jangan bodoh, Baba dan Ummi sedang berada di luar. Hanya ada kita berdua," bisik Husam. "Berapa usiamu?"

 

"25 tahun."

 

"Tapi kau tampak segar. Kau kelihatan seperti gadis yang berumur 18 tahun. Kemarilah."

 

Begitulah. Minah terjerat bujuk rayu anak majikannya dan lambat tapi pasti dia terbiasa dengan semua itu. Bahkan dia telah berani melanggar batas-batas yang seharusnya tidak dia lewati.

 

Setiap malam, setelah memastikan semua penghuni rumah telah tidur, Husam akan keluar dari kamarnya, mengendap-endap menghampiri kamar pembantunya yang berada tak jauh dari ruang dapur untuk menuntaskan hasratnya.

 

Dengan pelan tangannya yang besar mengetuk pintu kamar Minah. Tak menunggu lama, Minah akan dengan senang hati membukakan pintu hingga mereka menjadi budak setan durjana hampir setiap malam.

 

Seperti malam ini, jarum jam menunjukkan pukul 11.30. Husam keluar dari peraduannya dengan gejolak yang tak tertahankan. Dia membuka pintu kamarnya dan berbelok ke lorong menuju ruang makan. Untuk apa lagi kalau bukan untuk mengetuk pintu kamar Minah.

 

Husam mengetuk pintu dan berbisik, "Habibti, buka pintunya."

 

Apesnya, saat itulah dia berpapasan dengan ibunya yang sama-sama keluar dari kamar, entah untuk urusan apa. "Husam! Apa yang sedang kau lakukan?"

 

Husam terperanjat bukan Alang kepalang. Mukanya memerah bak kepiting bakar. Apes! Dia benar-benar tertangkap basah tengah mengetuk pintu kamar si Minah.

 

"Mengapa kau mengetuk kamar Minah, Husam?" seru Nyonya Hindun dengan sorot mata penuh kecurigaan. Bagaimana tidak curiga, sementara dia mendapati putra pertamanya mengetuk pintu sang pembantu wanita di waktu yang tidak semestinya.

 

"Eh...e...aku ingin Minah menyiapkan makanan. Aku ingin makan mie instan. Perutku sangat lapar," tiba-tiba saja Husam memiliki alasan untuk menutupi niat buruknya.

 

Sementara Minah yang sedari tadi mendengar ketukan di pintunya tidak jadi beranjak dari kasur dan membuka pintu untuk pujaan hatinya. Hatinya ikut-ikutan berdebar demi mendengar sang nyonya rumah menegur putranya di luar sana.

 

'Semoga ini selalu menjadi rahasia hingga kepulanganku ke Indonesia,' bisiknya di dalam hati.

 

"Tidak biasanya kau lapar tengah malam," ternyata masih ada tanya yang terlontar dari mulut sang Nyonya untuk anaknya.

 

"Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba merasa lapar."

 

"Bukankah kau ikut makan malam?"

 

"Ya. Tapi sekarang aku merasakan lapar kembali."

 

Nyonya Hindun mendecakan lidah. Dia menghampiri pintu kamar Minah dan menggedornya dengan keras. "Minah! Aftahal Bab!!"

 

Minah terperanjat dari duduknya dan segera menghampiri pintu. "Iya Nyonya."

 

"Husam ingin memakan mie. Buatkan dia mie sekarang!" perintah sang Nyonya rumah. Setelah itu dia melangkah ke rak untuk mengambil obat reumatik yang kemarin dia bawa dari apotik. Akhir-akhir ini reumatik sang Nyonya kembali kambuh.

 

Minah patuh dengan perintah Nyonya besar. Dia membuka bungkus mie dan merebusnya untuk Husam. Sementara Husam duduk menunggu di meja makan dengan kerlingan.

 

"Jangan khawatir. Kita akan melakukannya setelah aku memakan mie bikinanmu," bisik Husam.

***

Seperti malam-malam sebelumnya, Minah dan Husam diamuk oleh gairah yang dihembuskan setan durjana yang mencintai kerusakan. Setelah menandaskan mie rebus yang dijadikan sebagai tameng alasan, Husam dan Minah masuk ke kamar. Itu mereka lakukan sstelah benar-benar yakin Nyonya besar Hindun sudah tidur dan tidak akan kembali ke dapur.

 

Malam itu mereka melakukan hal itu tidak seperti biasanya, lebih lama dan lebih panas. Hingga aturan yang seharusnya mereka patuhi mereka abaikan. Aturan macam apa? Aturan apalagi kalau bukan aturan 'Husam harus segera kembali ke kamarnya jika urusan selesai.'

 

Tapi malam itu tidak. Setelah kelelahan karena memforsir tenaganya untuk urusan syahwat yang haram, Husam jatuh tertidur di pelukan sang pembantu murahan. Pun Minah tak risih dan tak sungkan untuk memeluk anak majikannya.

 

Semua mimpi indah telah memenuhi malam Minah.

 

Hingga gedoran keras di pintu terdengar begitu nyaring, mengalahkan nyaringnya dentuman musik yang mengiringi para biduanita dan penari perut di kafe-kafe rahasia.

 

"Minah! Minah! Dasar perempuan tak tahu diri!" Itu suara Nyonya Hindun yang diamuk oleh amarah. Ya, Minah tahu dari intonasi suara Nyonya bahwa sang Nyonya sedang marah.

 

Minah terperanjat dari tidurnya. Begitu juga Husam yang terlelap di dada telanjang Minah, ikut terperanjat, bahkan hampir jatuh dari atas ranjang Minah yang pada dasarnya sempit. Ditambah dengan fakta bahwa Husam memiliki postur tubuh yang tinggi besar.

 

"Minah! Kenapa kau masih di dalam!" sekali lagi, suara Nyonya Hindun memecah keheningan pagi yang damai.

 

Minah benar-benar takut. Apakah Nyonya besar sudah tahu bahwa anaknya tidur di kamarnya? Apakah Nyonya besar akan menyiksa atau memukulinya karena telah lancang membiarkan si sulung menidurinya? Apakah dia akan diusir sebelum masa kontrak kerja habis.

 

Minah diamuk rasa mencekam yang begitu mengerikan.

 

"Minah! Apakah kau Tuli!!" Kali ini suara Nyonya besar naik menjadi tiga oktaf. "Keluar kau!"

 

"I-iya nyonya. Saya sedang ganti baju. Tunggu sebentar."

 

Mendengar si penghuni kamar menjawab teriakannya, Nyonya Hindun tak lagi menggedor pintu.

 

Minah terisak dalam diam saking takutnya. Pun dengan Husam. Ternyata anak itu, meskipun memiliki tampang yang ganteng dan sangar, nyalinya tak lebih dari anak ingusan.

 

"Apakah ibumu telah mengetahui perbuatan kita?" tanya Minah diantara isaknya.

 

"Aku tidak tahu!" seru Husam. Roman mukanya begitu kusut alamat dilanda keresahan.

 

"Kau harus sembunyi di kolong ranjangku," bisik Minah. "Setelah itu kau bisa keluar ketika ibumu tidak ada di dapur."

 

"Yang benar saja. Seperti kau tidak tahu saja bahwa Ummi selalu diam di dapur hanya untuk mengawasimu dan mengemil hingga jam sepuluh pagi. Apalagi sekarang dia selalu menonton televisi di ruang makan.

Kau pikir aku bisa tidur di bawah ranjang hingga berjam-jam?"

 

Minah mendecakan lidah.

 

"Tidak. Kau tidak tahu, terkadang Ummi beranjak menuju toilet karena penyakit besernya kambuh. Kau bisa menyelinap ke luar dari kamarku ketika beliau di WC."

 

Husam mengangguk pasrah. Dia pun merunduk, dan memasukan kepalanya ke bawah kolong ranjang. Tapi sejurus kemudian dia kembali menjulurkan kepalanya ke luar disertai dengan bersin-bersin hebat. Sudah tahu punya riwayat alergi debu, masa iya memaksakan diri tidur di bawah ranjang.

 

Minah gregetan. Bagaimana jika Nyonya Hindun mendengar suara bersin lelaki di kamarnya. Sudah pasti dia akan curiga.

 

"Yallah, kau tidak pernah membersihkan kolong tidurmu!" bisik Husam. Dia tak habis pikir bagaimana mungkin si Minah yang selalu rajin membersihkan kamar tuan rumah tak mampu merawat kamar miliknya sendiri.

 

"Karena waktuku habis untuk mengurus semua ruangan disini sehingga aku tidak punya waktu untuk sekedar membersihkan kamarku sendiri," Minah seakan tahu arah pembicaraan Husam.

 

"Minah! Apa yang kau tunggu!" Nyonya Hindun sudah kalap karena Minah tidak juga mau keluar dari kamar.

 

"Iya Nyonya, saya sedang memakai kutang," seru Minah.

 

"Butuh berapa abad lamanya kau memakai bajumu, Minah!"

 

"Iya Nyonya, sebentar lagi."

 

"Aku akan keluar lewat jendela," bisik Husam.

 

Tanpa berkata-kata lagi, Husam langsung loncat ke Jendela.

 

"Husam, kau lupa memakai bajumu!" bisik Minah dengan gemas. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika Husam meloncat ke luar kamar dengan tubuh telanjang.

 

Husam kembali menurunkan tangannya yang sudah mendarat di kusen jendela, meraup kaus, celana dalam dan kolornya, memakainya dengan tergesa dan kembali berusaha menjulurkan tubuh besarnya di jendela yang sempit.

 

"Cepatlah! Sebelum ibumu mendobrak pintu kamarku!" Bisik Minah gemas.

 

"Kau pikir keluar dari jendela kecil ini mudah, huh!" timpal Husam tak kalah gemasnya. Dia bukan gemas kepada komentar Minah, tapi gemas pada si jendela yang tidak bisa diajak kompromi.

 

Mau tak mau Minah harus turun tangan dan mendorong tubuh Husam yang beratnya Na'udzubillah. "Kau bisa, dorong tubuhmu!"

 

Husam mengerahkan seluruh tenaganya hingga dia mampu lolos dari jerat jendela. Tapi sayangnya, ketika dia tengah berusaha keluar...

 

Brek!!!

 

Kolornya nyangkut pada sebuah paku yang menyembul yang entah kenapa harus ada di kusen jendela. Karena panik, Husam menarik kolornya hingga bagian pantatnya robek dengan sempurna.

 

Lebih apes lagi, Husam tidak sadar bahwa di bawah jendela Minah ada kolam taman mini yang penuh dengan air.

 

Byur! Kecipak! Kecipak!

 

Husam basah kuyup dengan kolor yang robek tak karuan.

 

Beberapa meter dari sana, Julian, sang sopir pribadi tuan Wasem tengah menyapu halaman belakang taman ketika mendengar suara suatu benda besar yang tampaknya jatuh ke kolam taman.

 

Lelaki asal Filipina itu segera bergegas ke sumber suara dan terngaga demi menyaksikan anak sang tuan berenang di taman kolam.

 

"Tuan Husam, kenapa tuan berenang disini?" tanya Julian. Sejurus kemudian mata si Julian melihat jendela di atas kolam yang terbuka. Dia tahu persis bahwa itu adalah jendela si Minah. Karena diam-diam dia juga pernah mengintip Minah sedang ganti baju di kamarnya lewat jendela itu.

 

Husam memasang muka yang masam sembari mengepalkan tinju di depan wajah Julian. "Jika kau buka mulut, kau bisa tahu akibatnya."

 

Julian tentu saja takut. Jadi dia hanya menganggukan kepala. Sementara di benaknya berkecamuk tanya, 'Kenapa tuan Husam keluar dari jendela si Minah. Wah, pasti ada sesuatu, pikirnya. Sementara hatinya dilanda cemburu karena ternyata Minah telah jatuh cinta sama anak tuan. Dengan alasan itulah Minah selalu bersikap dingin padanya.

 

***

Setelah yakin bahwa Husam telah berada di luar kamar, Minah segera membuka kunci pintu kamarnya. Hal pertama yang harus ia lihat adalah wajah Nyonya Hindun yang terlihat sangar. Well, hal ini bukan hal yang aneh mengingat si Nyonya besar memang memiliki karakter yang temperamental.

 

"Kenapa kau lama sekali!" seru Nyonya Hindun dengan berkacak pinggang. "Tidak biasanya kau bangun terlambat. Aku tahu kau biasa bangun untuk memasak sebelum waktu fajar tiba. Tapi sekarang, setelah matahari terbit kau masih saja di kamarmu!" Rentetan kalimat omelan berletupan dari mulut sang Nyonya bak peluru nyasar yang dimuntahkan dari selongsong senjata.

 

"Maaf Nyonya, saya semalam tidur terlambat dan lupa menyalakan alarm," kilah Minah.

 

Tapi kemarahan Nonya besar belum juga reda. Matanya masih menatap Minah dengan tatapan yang nyalang. "Kenapa semalam kau tidur terlalu larut, hah!"

 

"E...sa-saya insomnia, Nonya," jawab Minah takut-takut.

 

"Insomnia? Sejak kapan kau terserang insomnia. Aku pikir kau bercakap-cakap dengan Husam semalam," cecar Nyonya Hindun, masih belum puas untuk mengorek sang asisten rumah tangga. Nyonya besar menangkap gelagat tidak beres dari kegugupan si Minah.

 

"Tidak Nyonya, saya tidak ngobrol dengan tuan Husam. Setelah makan, dia langsung pergi."

 

"Oh begitu?" timpal Nyonya Hindun dengan tatapan menyelidik. "Tapi aku pikir semalam aku melihat kalian berdua saling mengerling di meja makan."

 

Minah terdiam untuk beberapa saat lamanya. "Maksud Nyonya?"

 

"Ah sudahlah!" timpal Nyonya Hindun sembari mengibaskan tangganya. "Teruskan pekerjaanmu. Jika besok kamu mengulangi kesalahanmu ini, tidak segan saya akan memulangkanmu ke agen karena ketidakbecusanmu."

 

"Baik Nyonya." Minah segera menjerang air dan menyiapkan teflon untuk membuat telur gulung sebagai menu sarapan.

 

"Cepatlah, nanti cucuku terlambat ke sekolah jika kau bekerja lamban."

 

"Baik Nyonya."

 

Sebagai informasi, Nyonya Hindun memiliki dua orang cucu dari anak keduanya yang bernama Alia yang menikah dengan si Bilal, anak pamannya sendiri. Alia tak kalah judes dengan ibunya. Usianya terpaut tiga tahun dari Husam.

 

Kedua anaknya bernama Salim dan Salma. Hanya terpaut satu tahun sehingga mereka tampak seperti saudara kembar. Lucu memang. Tapi kelakuan dua bocah tersebut sebelas dua belas dengan monyet di ragunan; susah diatur. (Lain kali aku akan menceritakan dua bocah tersebut kepada kalian).

 

"Kemana Husam? Biasanya dia sepagi ini sudah bangun dan memintamu untuk dibuatkan kopi."

 

"Saya tidak tahu, Nyonya," jawab Minah dengan hati yang mulai mencelos. Gawat kalau sampai si Nyonya terus menanyainya.

 

"Biar aku periksa kamarnya. Barangkali dia masih tidur. Sudah kubilang ini hari pertamanya dia masuk kuliah, tapi tetap saja melakukannya malas dan menyebalkan." Setelah puas mengomeli Minah, sekarang Nyonya Hindun mengomeli kelakukan anak sulungnya itu.

 

"Buatkan aku susu yang rendah lemak," pinta Nyonya sembari beranjak dari kursi untuk memeriksa kamar si anak sulung. Sejurus kemudian dia meringis sembari mengerang, "Dasar reumatik sialan!"

 

Tiba-tiba saja dari arah berlawanan  dua anak nakal berlarian bagai gasing.

 

 "Jadati!"

 

"Tidak bisakah kau diam, Salim! Salma!" bentak sang nenek karena kesal dia hampir ditabrak oleh dua gasing hidup tersebut.

 

"Minah, buatkan aku susu!" seru si Salim sembari menarik-narik rok si Minah sehingga hampir kedodoran. Andai ibu kandung si anak tidak sejudes tokoh antagonis sinetron, mungkin si Minah sudah menggetok kepala si Salim dengan centong, tak peduli betapa lucunya anak lelaki itu. Toh anak monyet juga lucu. Jadi apa bedanya.

 

"Minah! Cepat buatkan aku susu!" seru si Salim tak sabaran.

 

"Aku juga!" timpal si adik. Parahnya si adik yang sepertinya belajar kenakalan ala anak monyet dari si kakak ikut-ikutan menarik rok si Minah.

 

"Uskut! Uskut! Ijlis! Minah akan buatkan kalian susu. Tapi duduk di meja makan."

 

Kedua anak monyet, eh, maksudnya anak manusia sebandel monyet itu kini menurut. Syukurlah! Mereka duduk di meja makan dengan tetap berceloteh tentang banyak hal.

 

Seakan-akan mulut mereka disetel untuk terus bercuap-cuap kecuali ketika mereka sudah terlelap di tempat tidur.

 

Minah menghela napas panjang. Dia di kampung punya banyak keponakan, tapi tidak senakal dua bocah ini. Minah jadi bertanya-tanya, apakah memang semua bocah Arab sebandel Salim dan Selma. Sepertinya dia harus membicarakan hal ini dengan teman-teman TKW-nya di grup whatsapp. Tapi nanti.

 

"Cepat, Minah!"

 

"Iya, sebentar Salim!"

 

"Tambahkan sereal!" timpal Salma.

 

"Iya!!"

 

Husam tidak ada di kamarnya!" Kali ini suara Nyonya Hindun yang menimpali dari arah pintu ruang makan, "Tidak biasanya dia pergi pagi-pagi. Atau....."

 

Nyonya Hindun tidak meneruskan kata-katanya, dia berlalu dari ruang tamu menuju kamar si Minah.

 

Gawat, batin Minah di dalam hati. Dia segera berlari ke arah kamarnya mendahului si Nyonya.

 

"Nyonya mau ke kamar saya?"

 

"Ya. Siapa tahu si Husam nyasar ke kamarmu semalam."

 

"Yallah, tidak mungkin Nyonya. Saya malu kamar saya berantakan."

 

"Aku tidak peduli."

 

"Tapi, Nyonya...."

 

"Ingat! Aku ini yang punya rumah. Kamu tidak bisa lancang melarangku."

 

"Baiklah Nyonya," dengan takut-takut Minah bergeser dari pintu kamar, tapi masuk terlebih dahulu ke kamar. Sejurus kemudian dia melihat iPhone milik Husam tertinggal di ranjang. Dengan gesit Minah menutupnya dengan bantal Kumal miliknya sehingga tidak mungkin terlihat oleh si Nyonya.

 

"Husam! dimana kau!" seru Nyonya Hindun seakan-akan dia sudah yakin bahwa si Husam telah nyasar di kamar si pembantu. Nyonya Hindun membuka pintu lemari Minah dan berharap menemukan anaknya bersembunyi di sana. Sementara Nyonya membuka pintu lemari, Minah melihat celana dalam Husam teronggok di bawah ranjang. Dengan cekatan dia mengambilnya dan menjejalkannya di saku seragamnya. Syukurlah! teriak hatinya. Andrenalinnya terpacu dengan cepat.

 

Setelah itu Nyonya berjongkok dan melongokan kepalanya ke kolong ranjang. Tentu saja disertai ringisan karena reumatik.

 

Puas, gerutu Minah di dalam hati.

 

Tiba-tiba iPhone di bawah bantal berdering dengan nyaring.

 

"Suara apa itu?" tanya Nyonya.

 

"Itu alarm handphone saya, Nyonya," balas Minah dengan muka pucat. Musibah baru pasti akan datang.

 

***

Nyonya besar Hindun mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan dan berusaha menajamkan pendengarannya untuk mendeteksi dari mana suara itu berasal. Tak perlu menunggu lama, Nyonya sudah tahu bahwa suara itu bersumber dari bawah bantal kumal milik Minah.

Minah tidak berdaya dan hanya bisa pasrah ketika dia melihat tangan kanan si Nyonya terjulur untuk menyingkirkan bantalnya yang berwarna hijau muda itu. Dia hanya bisa menahan napas. Sungguh, tamat riwayatnya. Saat ini juga dia harus menguatkan diri jika Nyonya memintanya untuk angkat kaki dari rumahnya karena mendapati ponsel putranya berada di atas ranjangnya. Ada dua kemungkinan yang bisa menyertai kemarahan si Nyonya. Pertama, bisa saja si Nyonya menyangka Husam telah bermain cinta dengan pembantunya (dan ini memang benar). Kedua, jika Minah dan Husam menyangkal hal itu, maka bisa saja si Nyonya menganggap Minah telah mencuri ponsel anaknya.

“Ini kan ponsel Iphone,” seru Nyonya Hindun, sementara matanya menelusuri setiap inci dari ponsel milik Husam yang dia gengam.
“I-iya, Nyonya,” jawab Minah dengan nada gugup.

“Bagaimana mungkin kamu punya ponsel Iphone?” tanya si Nyonya dengan nada penuh selidik, “baru kali ini saya punya asisten rumah tangga yang ponselnya mewah. Ini kan ponsel orang-orang kaya, kau tahu?”

“Ti-tidak, Nyonya.”

“Wah, seleramu sungguh luar biasa, Minah. Lalu untuk apa kau menjadi asisten rumah tangga jika kau mampu membeli ponsel mahal seperti ini?”
“Itu ponsel yang diberikan tunangan saya di kampung, Nyonya.”

“Wah, beruntung sekali kau punya tunangan yang baik hati.”

“Kau tahu, kau itu harus fokus untuk bekerja. Aku tidak ingin kau keasyikan bermain handphone atau semacamnya. Kau tahu, tugasmu disini hanya membereskan semua pekerjaanmu dengan sempurna dan kau akan mendapatkan gaji yang banyak.”

“Iya, Nyonya.”

“Sepertinya aku harus memberikan penegasan mulai sekarang. Kau hanya bisa bermain ponsel di hari jumat. Jadi, selain hari itu biar aku yang pegang ponselmu ini.”

Minah hanya bisa ternganga dan tidak tahu apa yang harus dia katakan. Jika dia harus memilih, lebih baik ponsel keluaran cina miliknya yang berada di lemari yang disita daripada iphone punya Husam ada di tangan si Nyonya. Itu terlalu riskan.

“Ta-tapi nyonya.”

“Tapi kenapa?”

“Saya membutuhkan ponsel itu.”

“Tidak bisa. Biar aku yang pegang.”

Jika Si Nyonya Besar sudah memutuskan suatu perkara, maka Minah haram untuk membantahnya. Dia harus manut pada keputusan si Nyonya besar. Akhirnya, riwayat Iphone milik Husam itu harus berakhir di tangan ibunya.

Nyonya Hindun berlalu dari kamar Minah dengan menenteng ponsel itu. Sejurus kemudian dia kembali berteriak, “Jangan lupa buatkan aku susu rendah lemak Minah.

“Minah, susu dan serealku mana?” kali ini Salim yang sedari tadi duduk manis di meja makan kembali berteriak karena merasa diabaikan.
“Iya minah, Salma sudah lapar,” timpal si adik.

Minah jadi pening sekali.

Dalam keadaan serba salah itu, tiba-tiba Husam muncul dengan kondisi yang boleh dibilang sangat memprihatinkan. rambut acak-acakan, kaus oblong yang basah kuyup, kolor yang robek selebar 20 centimeter di bagian pantat, korban paku sialan di jendela. Kemudian di tambah dengan rambut ikalnya yang berantakan tak karuan dengan muka yang ditekuk.

“Ha, akhirnya kau datang juga, Husam sayang,” seru ibunya dengan nada jengkel, “dari mana saja kau? Tidak biasanya keluar pagi-pagi.”

“Paman Husam!” seru si Salim dengan memalingkan muka.

“Paman Husam!” seru si Salma. Huh, dia memang selalu copy paste semua tingkah laku kakak lelakinya.

“Hai!” seru Husam melambai kepada dua keponakannya, mengacak-acak rambut mereka berdua, kemudian duduk di samping mereka berdua. “Buatkan aku kopi hitam, Minah,” serunya seakan semalam tidak ada apa-apa diantara mereka berdua.

“Baik Tuan,” jawab Minah dengan patuh dan sopan. Padahal semalam dia menyebut husam dengan panggilan ‘Husam sayang.’ Huh, sandiwara yang sungguh sempurna, Minah!


Nyonya Hindun masih diam di tempatnya berdiri sembari mengamati putranya seakan seorang ilmuwan yang mengamati spesies simpanse yang baru dia temukan di benua afrika. “Husam, darimana saja kamu?”

E…A-aku baru saja jogging keliling komplek,” jawab Husam penuh dusta.

“Tapi…kenapa bajumu basah kuyup begitu?” tanya Hindun. Husam sangat yakin, ibunya sangat berbakat untuk menjadi detektif. Kejeliannya mengalahkan si detektif conan atau Sherlock Holmes. Jika dia sudah curiga pada satu hal, maka rentetan tanya akan berluncuran dari mulutnya. Siap-siap saja untuk dibuat pening untuk menjawabnya.

“Ini keringatku,” jawab Husam

“Masa iya keringat sekuyup itu. Itu seperti kau jatuh ke kolam renang dan berenang di dalamnya,” bantah ibunya. Kemudian setelah itu tatapan tajam matanya beralih ke Minah, “Ya ampun, kenapa kau bengong saja Minah. Cepat buatkan susu untukku, susu untuk salim dan Salma, dan kopi untuk anakku!”

“Iya Nyonya.” Sepertinya satu hari saja Minah sudah mengatakan kalimat ‘Iya Nyonya’ sebanyak seratus kali. Rekor baru untuk memperoleh penghargaan Muri.

“Husam, bagaimana mungkin keringat sebanyak itu?”

“Aku tidak tahu. Mungkin karena aku tidak berolahraga dalam sebulan, jadi keringat sebulan itu keluar semua di hari ini,” jawab Husam ngasal dan ngawur. Logika darimana itu?

“Terserah kamu saja,” timpal Nyonya Hindun tak mau tahu. Kali ini Minah sudah menyajikan susu rendah lemak di hadapannya. Kemudian setelah itu menyajikan dua gelas susu dan sereal untuk Salim dan Salma. “Kopinya belum saya bikin, tuan, saya akan membuatnya sekarang.”

“Biar aku saja yang membuatnya,” Husam bangkit dari kursinya.

Nyonya Hindun mendelik tak senang. “Untuk apa aku menggaji Minah jika aku memanjakannya. Minah, buatkan kopi. Dan Husam, duduk di tempatmu.”

Husam kembali duduk, tapi kolornya yang robek terlanjur terlihat oleh sang ibu, “Kenapa dengan kolormu itu?”

“E…euh…tadi aku dikejar anjing, kemudian anjing itu mengigit pantatku hingga kolornya robek.”

“Hah?” seru Nyonya Hindun, ekspresinya seperti seseorang yang melongo ketika ada orang yang bercerita bahwa monyet juga punya belalai seperti gajah. “Mana ada anjing di komplek ini. Siapa yang punya anjing di komplek? Selama belasan tahun aku tinggal di sini, aku tidak pernah melihat ada anjing.”

“Aku juga tidak tahu, mungkin saja Tuan Usama atau anaknya memelihara anjing.”

“Mana ada muslim yang memelihara anjing.”

“Aku bilang aku tidak tahu!” seru Husam kesal. Lama-lama ubun-ubunnya bisa berasap karena meladeni pertanyaan demi pertanyaan ibunya.
“Terserahlah.”

Setelah Nyonya Hindun menandaskan susu rendah lemaknya, dia kembali bangkit dari kursi untuk menonton serial tivi di ruang kamarnya sendiri. Seperti biasa, disertai dengan kernyitan penuh derita gara-gara reumatiknya. “Aku kadang heran, kenapa suamiku masih sehat, sementara aku sudah memiliki banyak keluhan di pinggang dan lututku,” keluhnya yang tidak ditunjukan kepada siapa pun selain kepada dirinya sendiri.

“Makanya Ummi, berolahragalah, biar besok aku daftarkan di gym pusat, disana ada gym khusus wanita.”

“Ah, buang-buang waktu saja,” serunya sembari mengibaskan tangan. Seakan-akan tidur di kamar seharian dan menonton serial berjam-jam tidak dikualifikasikan sebagai kegiatan yang buang-buang waktu. Sampai-sampai Minah ingin mencibir dan gemas mendengar kata-katanya.

Setelah sang Nyonya berlalu, Husam mendekati Minah dan berbisik, “Iphoneku tertinggal di atas ranjangmu.”

Minah meringis, “Ibumu kira itu ponselku. Dia menyitanya dan akan memberikannya kepadaku hanya di hari jumat.”
Husam menepuk jidatnya sendiri seakan dia diberitahu bahwa besok kiamat akan tiba. “Tamatlah riwayatku.”

Bersambung

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment