Sore itu,
langit dipenuhi oleh mendung hitam . Kesiut angin mempermainkan reranting dan
dedaunan. Sebagian berguguran. Tak berapa lama, hujan pun turun bagai
ditumpahkan dari langit.
Bi Isah yang
sedari tadi asyik mengupas jagung untuk dibuat boder tergesa-gesa turun dari
Palupuh untuk mengambil jemuran. "Akang, bantuin eneng angkat jemuran
atuh!" serunya dari pekarangan, sementara tangannya sibuk mengangkat
pakaian yang sudah kering dari galah bambu.
"Ya,"
jawab Mang Sadeli dari dalam dapur. Tak berapa lama dia sudah berada di samping
istrinya.
"Aeh,
Teteh, akang, malam ini sepertinya hujan." Tiba-tiba seseorang muncul dari
arah belakang. Uha, keponakan Sadeli telah datang dengan menenteng buwu dan
pancingan.
"Ah,
paling bakda Maghrib juga hujannya reda, Uha," jawab Mang Sadeli sembari
membawa pakaian yang telah dijemur ke dalam rumah. "Masuk Uha. Tuh, ada
singkong bakar, kopi sama udud," timpalnya sembari menunjuk dengan dagu ke
tengah rumah.
"Wah,
kabeneran ari kieu mah," seru Uha sumringah.
Mang Sadeli
dan Uha pun ngobrol ngaler ngidul di ruang tengah sembari menikmati bubuy
sampeu dan kopi hitam cap liong.
"Tah
geura Jang Uha, bibi mah punya pisang Raja cere. Asak na tangkal,"
tiba-tiba bi Isah datang dari arah dapur dengan membawa sesikat pisang raja
yang sudah matang.
"Jadi
bagaimana, apakah malam ini jadi ngabuwu sama mancing di sungai
cinyunjung?" tanya Bi isah yang ditujukan kepada suaminya.
"Jadilah
bi," Uha yang menjawab sembari ngaregot* air kopi.
"Ya
mudah-mudahan saja hujanya reda sebelum isya." Timpal Mang Sadeli.
"Pokoknya
kalau sampai tangkapannya banyak, aku mau ngasih emak."
"Sok
teh teuing," mang Sadeli menandaskan kopinya.
Sebakda
isya, setelah shalat bertiga di rumah, Mang Uha dan Mang Sadeli pun turun dari
rumah. Mengambil buwu dan pancingan yang mereka simpan di babancik.
"Nanti
pintunya jangan ditulak, Nyi," pinta Mang Sadeli kepada istrinya,
"sepertinya kita pulang tengah malam.
"Iya.
Jangan terlalu larut malam kalau bisa."
"Kenapa
emangnya?"
"Takut,
sendirian di rumah."
"Lah,
borangan-borangan teuing ari jadi jalema. Tolong ambilkan obornya, Nyi."
Isah
menyodorkan obor yang terbuat dari batang bambu yang diisi minyak tanah dan
ditutupi dengan sabut kelapa di atasnya. "Hati-hati kang."
Mang Sadeli
menyulut obor dengan paneker. Bring Mang Sadeli dan Uha menyusuri pematang
sawah. Langit masih hitam oleh mendung sehingga tak tampak Kerlip bintang dan
bulan. Suara arus air sungai Cinyunjung terdengar jelas dari jarak belasan
meter.
"Kayaknya
sih sungai meluap ya Mang Sadeli" ujar Uha.
"Sudah
pasti. Tiap hujan Cinyunjung selalu caah."
Beberapa
menit kemudian mereka berbelok ke arah jalan kecil menuju sungai. Benar apa
yang mereka kira sebelumnya, air sungai meluap, bahkan sampai ke pematang sawah
yang letaknya tepat di bibir sungai. Tapi....ada sesuatu yang menarik perhatian
mereka berdua.
"Mang
Sadeli, kok sepertinya ada lilin yang hanyut di hilir."
"Mana?"
Tanya Mang Sadeli sembari memicingkan matanya. Ingin menegaskan apa yang
dikatakan Uha. Tatapan matanya mengikuti arah telunjuk keponakannya.
"Betul apa yang kamu bilang. Itu kayaknya lilin."
"Yuk
kita lihat."
Didorong
oleh rasa penasaran, mereka pun melangkah ke arah hilir hingga cahaya kerlip
lilin yang ngangkleung di sungai pun tampak semakin jelas. "Bener,
sebatang lilin...tapi....seperti ada bungkusan panjang."
"Wah,
apa isinya ya. Coba mendekat. Hati-hati, pegaang akar pohon Kiara, jangan
sampai kamu terbawa arus air.
"Pantas
saja bungkusan itu tak ikut hanyut. Rupanya tersangkut di akar kiara."
"Ayolah,
buka bungkusannya."
Dengan
hati-hati Uha semakin mendekat ke arah bungkusan. Tangan kanannya membuka kain
yang menutupi benda di bawahnya. "Astaghfirullah...tobat Gusti!"
Tiba-tiba saja jantungnya berdetak semakin keras. Andai siang hari, tentu Mang
Sadeli bisa melihat wajah Uha yang tiba-tiba pias karena keterkejutan yang datang
secara tiba-tiba.
"Aya
naon?" tanya Mang Sadeli dengan kerut di dahi.
"Mayat!!"
"Apa
yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Mang Sadeli dengan mata yang
masih terpaku pada wajah mayat yang pias. Entah pias karena memang begitulah
galibnya mayat, atau mungkin pias karena terendam air.
"Kita
hanyutkan saja, kang," balas Uha dengan suara bergetar. Jelas dia masih
merasa shock karena tiba-tiba harus menemukan mayat ditengah rencana mencari
ikan tengah malam itu. Satu hal yang tidak pernah dia duga.
"Tunggu
dulu, kenapa ada mayat yang hanyut di sungai ya?"
"Mana
aku tahu kang, tanya saja sama mayatnya."
"Kalau
bicara yang bener Uha! Masa mamang harus bicara sama mayat."
"Ya
siapa tahu mayatnya bisa ngomong," timpal Uha.
"Ih,
tong heureuy maneh teh Uha."
Kaok...Kaok....
Mang Uha dan
Mang Sadeli tibuburanjat demi mendengar suara memgaok tepat ketika mereka
tengah berdebat tentang si mayat yang hanya berjarak satu meter dari wajah
mereka.
"Astaghfirullah,
serasa mau copot ini jantung. Kirain yang berkoak teh mayat." Seru Mang
Sadeli sembari melihat gagak hitam yang berkelebat di atas mereka.
"Pikasebeleun
teh eta gagak," timpal Uha. Sementara jantungnya masih berdebar tak
karuan.
"Coba
lihat!" Seru Mang Sadeli, "Mamang melihat bungkusan banyak banget.
Isinya apa ya?"
"Tak
usah banyak tanya Mang. Tak perlu tahu kita mah, palidkeun saja sekarang."
"Tunggu
dulu, jangan rurusuhan."
Tanpa
menunggu lama, tangan Mang Sadeli langsung mengambil satu bungkusan plastik
berwarna hitam dan membuka isinya. "Ya Allah, isinya duit Uha! Rezeki
nomplok Uha! Duit! Deuleu ku maneh!"
Uha hanya
bisa geleng-geleng kepala. "Mang, jangan berani mengambilnya. Itu bukan
punya kita."
"Alaah...kan
yang punyanya sudah meninggal dunia Uha. Mana ada mayat minta duit, iya
kan?"
"Uha
hanya bisa meringis. Sedikit ngeri dengan kalimat yang terlontar dari mulut
Mang Sadeli.
"Saran
saya, jangan mang. Itu tetap bukan hak kita. Lebih baik kita hanyutkan saja
mayat ini. Habis perkara. Biar tidak terlalu panjang urusannya."
"Hih,
kamu teh gimana. Ada rezeki nomplok di depan mata kok dibiarkan saja."
"Bagaimana
kalau mayatnya nggak ridho mang?"
"Tahayul
kamu mah. Masa iya ada mayat mau protes!"
"Mang,
mending kita langsung masang buwu saja. Biar kita segera dapat ikan. Ceu Isah
nungguin di rumah tuh. Hayu lah kang."
"Ke
heula! Aneh maneh mah. Ada rezeki malah dibiarkan. Mamang pokoknya mau ngambil
uangnya. Setelah itu kita hanyutkan mayitnya.
Bosan
mendebat mang Sadeli, Uha hanya bisa angkat bahu. "Kumaha mamang
wae."
Mang Sadeli
tersenyum lebar. Dia tak peduli dengan wajah pias Uha yang ketakutan. Dia juga
tidak peduli dengan jasad mayat di depannya. Tangannya terulur ke tubuh mayat
dan membuka bungkusan yang tertindih pinggang si mayat. Satu bungkusan, dua
bungkusan hingga semua bungkusan berisi uang telah dia pindahkan ke dalam
sarung yang sedari tadi dia selempangkan. Kemudian menjadikannya sebagai
buntalan.
"Pokoknya
mamang habis ini mau ke Dayeuh dan beli semua perlengkapan rumah tangga.
Uangnya mamang beli tanah saja. Tenang, kamu juga akan dapat bagian, Uha!"
"Mamang
meni luluasan kitu, palalaur abdi mah."
"Ah,
kamu mah borangan Uha! Mayit mah nggak jauh beda sama benda. Sudah jadi benda
mati seperti batang pisang. Kenapa harus takut."
"Tapi
tetap saja manusia, mamang. Kata Haji Marhaban mah, mayat juga masih punya hak
sebagai manusia."
"Biar
saja. Kita kan orang awam, bukan haji."
Untuk yang
kedua kalinya Uha hanya geleng-geleng kepala dengan sikap Mang Sadeli yang
keras kepala.
"Hayu!"
seru Mang Sadeli dengan nada penuh antusias. Senyuman masih bertahan di bibir
hitamnya. Tentu saja dia tersenyum lebar karena ada uang gepokan di buntalan
sarungnya. Mang Sadeli pun melangkahkan kaki dari tepian sungai dengan langkah
tergesa.
"Mamang,
mayatnya nggak dihanyutkan?"
"Hanyutkan
saja sama kamu, Uha. Mamang Tunggu disini."
Si Uha hanya
bisa cemberut karena tidak suka diperintah. Dia dengan susah payah melepaskan
satu batang rakit bambu yang tersangkut di akar kiara. Beberapa menit kemudian
dia berhasil melepaskan batang bambu itu dari akar dan rakit berisi mayat
misterius itu pun hanyut. Ditelan banjir air sungai Cinyunjung.
Uha menyusul
Mang Sadeli, menyusuri jalan setapak sehingga mereka tiba di atas pematang
sawah.
"Lho,mamang,
kan katanya mau ngabuwu, tapi kenapa balik lagi."
"Tidak
jadi. Untuk apa ikan kalau di buntalan ada yang lebih berharga daripada ikan,
Uha."
"Uha
hanya mengangguk pelan. Mereka pun berjalan beriringan menembus kegelapan dengan
penerang sebatang obor.
"Mang,
tunggu!" seru Uha dengan wajah yang semakin pias. Bulu kuduknya meremang.
"Ada
apa Uha."
"Kok
serasa ada yang mengikuti kita."
"Ah,
kamu mah ada-ada saja. Itu mah perasaan kamu saja. Saking takutnya jadi
kupingmu jadi halusinasi."
"Tidak
mamang. Coba diam dan dengarkan."
Mang Sadeli
pun menghentikan langkahnya dan menajamkan Indra pendengarannya. "Ah,
tidak ada suara apa pun."
Krasak......krasak!!
Krasak! Ada suara nyaring dari semak belukar.
Krasak!
Krasak! Untuk yang kedua kalinya mereka berdua mendengar bunyi berkerisik dari
semak belukar diiringi oleh alang-alang basah yang bergoyang-goyang.
"Mamang,
sepertinya kita diikuti..." bisik Uha dengan suara bergetar. Di dalam
benaknya dia membayangkan mayat itu mengikuti mereka.
Mang Sadeli
terdiam. Sorot matanya semakin tajam. Dia mengangkat lampu obor itu untuk
memperjelas apa yang ada di balik alang-alang itu. "Anjir teh, itu hanya
seekor musang, Uha!"
"Musang?"
"Iya.
Musang. Memangnya kau pikir yang bergerak di semak itu apa? Mayat yang tadi
kita hanyutkan? Haha, yang benar saja Uha!" seru Mang Sadeli diiringi oleh
tawanya yang khas. "Dasar penakut."
"Ya
siapa tahu," timpal Uha dengan bibir cemberut. Tak suka diejek oleh Mang
Uha sebagai lelaki penakut.
Akhirnya
mereka pun melanjutkan perjalanan pulang. Tapi untuk yang kesekian kalinya
suara gemerisik semak terdengar di belakang mereka.
"Mamang,
apakah mamang mendengar? Sesuatu di semak mengikuti kita. Masa iya musang
mengikuti kita."
Mang Sadeli
terdiam sejenak. Setelah itu terdengar suara langkah kaki. Masih di semak.
"Siapa
itu?"
Tak ada
sahutan menyambut.
"Lari
mang! Seru Uha sembari berlari, meninggalkan Mang Sadeli yang masih terpana.
"Lari
mamang!" Seru Uha untuk yang kedua kalinya. Mang Sadeli seakan tersihir
oleh sesuatu dibalik semak-semak. Uha kembali ke tempat semula dan menyeret
tangan Mang Sadeli. Berlari secepat yang dia bisa. Pada akhirnya Mang Sadeli
bisa mengimbangi langkah kaki Uha. Napas mereka terengah, tersengal dan pendek.
Telinga
mereka menangkap suara langkah kaki telanjang di tanah berbecek tepat di
belakang mereka.
"Cepat
Uha! Ada seseorang yang mengikuti kita!" seru Mang Sadeli sembari menoleh
ke arah belakang. Anehnya dia tak menemukan apa pun.
Waktu terasa
lama untuk mencapai halaman rumah Mang Sadeli. Setelah tiba di depan pintu,
Mang Sadeli menggedor-gedor daun pintu dengan hantaman yang keras.
"Isah!
Isah! Buka pintu!"
"Bibi!
Buka pintu!!!" Seru Uha menimpali. Lebih keras dari suara Sadeli. Napas
mereka semakin pendek dan memburu.
Tak berapa
lama, terdengar langkah kaki di palupuh dan daun pintu pun terbuka. Disana bi
Isah menatap kedatangan suaminya dan Uha dengan tatapan sayu disertai menguap
panjang. Tidur nyenyaknya telah terganggu oleh kedatangan sang Suami.
"Kok
sudah...." belum sempat menuntaskan kalimatnya, Uha dan Mang Sadeli
langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan cepat. Sementara napas
mereka masih pendek dan terengah. BI Isah hanya menatap mereka dengan tatapan
keheranan. "Kenapa sudah pulang? Apakah akang nggak jadi ngabuwu? Itu yang
dibuntal di sarung apa?"
"Uang,"
jawab Mang Sadeli pendek. Dia masih mengatur napasnya yang tak beraturan.
"Uang
dari mana? Kenapa lari?" tanya selanjutnya terlontar dari mulut Isah.
Bahkan dia sendiri masih tidak mengerti dan tak habis pikir kenapa suaminya
datang dengan wajah yang ketakutan, sementara ada sebuntal uang di dalam
sarung. Apakah suaminya dan Uha sudah merampok rumah saudagar?
"Apa
yang kamu lakukan akang?"
Belum sempat
menjawab pertanyaan istrinya, tiba-tiba suara langkah kaki telanjang muncul
dari arah belakang. Langkah-langkah kaki itu menghentak tanah. Kemudian tak
lama setelah itu, seseorang dari luar memukul setiap pinggir gedhek bambu.
Meneror orang yang ada di dalamnya.
"Innalilahi...akang!"
bisik Isah dengan wajah pias. "Siapa yang mengejar akang?"
"Tidak
tahu!" jawab Sadeli dengan wajah yang sulit ditafsirkan.
"Mayat,
Bibi."
"Mayat?"
Isah mengulang jawaban Uha.
Sekali lagi,
pukulan mendarat hampir di setiap bagian dinding. Langkah kaki yang berat masih
terdengar mengelilingi rumah.
"Hadieukeun
huit haing (kadieukeun duit aing)" seru seseorang dengan suara yang
sengau.
Isah
langsung memeluk suaminya karena ketakutan. Uha tak mau kalah, memeluk mang
Sadeli dari sisi sebelah kiri. Mereka duduk di tengah-tengah rumah dengan mata
yang memindai setiap sudut bilik bambu. Dimana suara langkah kaki diluar
terdengar, kesanalah alamat tatapan mata mereka. Tatapan penuh ketakutan.
Sementara langkah kaki sosok misterius di luar rumah meneror mereka dengan
sempurna.
Hadieukeun
huit haing (kadieukeun duit aing)," sosok misterius itu kembali berteriak
sengau diantara kerisik angin malam yang mempermainkan dedaunan. Bleduk!
Bleduk! Sekali lagi sosok tak dikenal itu menggebuk dinding bilik dengan
pukulan yang keras. "Huit haing hadieukeun.... hadieukeun..."
"Apa
katanya?" tanya Bi isah dengan bisikan yang pelan di telinga kanan
suaminya. Cengkeraman tangannya semakin keras di lengan suaminya.
"Kadieukeun
duit aing, katanya."
BI Isah
mencubit pinggang suaminya. "Apa yang telah akang lakukan? Akang habis
merampok orang?"
"Mamang
Sadeli mengambil uang di sungai. Ada mayat yang hanyut sama bungkusan
uang," jelas Uha. Kedua tangannya juga masih terpaut di bahu Mang Sadeli.
"Si
Kakang mah keterlaluan. Ini akibatnya. Jurig si Mayit datang tuh buat minta
duitnya dibalikin!" bisik Isah dengan suara ditekan. Kesal sekaligus
ngeri.
"Ih
kamu teh Uha, kalo megang jangan keras-keras!" bentak Mang Sadeli sembari
menepis tangan Uha dari bahu dan tangannya.
Suara si
Mayit yang menagih uangnya dikembalikan semakin intens diantara hantaman di
bilik bambu. Bukan hanya hantaman biasa, tapi seperti hantaman dari tubuh yang
dilemparkan. "Hadieukun huit haing siaah...."
"Kumaha
ieuh akaang..." Isah ngarenghik dan mulai terisak-isak karena ketakutan
yang begitu menyesakan dadanya.
"Mamamg,
kita kembalikan saja uangnya sekarang," saran Uha. Kini kedua tangannya
tidak lagi bertengger di bahu dan lengan Mang Sadeli. Tapi tubuhnya tetap tak
berani untuk menjauh.
"Tapi
bagaimana?" tanya Mang Sadeli dengan suara gemetar. Semua keberaniannya
telah menguap.
"Kita
keluar sekarang. Temui dia."
"Tapi
tak ada jaminan dia tidak akan mencelakai kita Uha. Bagaimana jika dia nyekek
kita sampai mati."
"Jurig!
Saya akan mengembalikan uangnya!" Tiba-tiba saja Isah berteriak dengan
memberanikan diri.
"Ari
maneh Isah, memangnya kamu berani ngasih ke jurig!"
"Aeh,
kenapa jadi Isah. Tidak masuk akal. Akang kan yang bawa uangnya. Ya akang yang
ngasih ke Jurig, masa isah," protes Isah sembari mencubit pinggang
suaminya untuk yang kedua kalinya.
"Hadieukeun
huit haing..." Bleduk! Bleduk! Seseorang di luar sana sudah tidak sabar.
"Kamu
yang mengembalikan uangnya, Uha."
"Kok
jadi saya yang katempuhan. Kan sudah saya bilang tadi juga ke mamang, jangan
ambil uangnya, kita hanyutkan saja mayatnya dengan uang itu. Tapi mamang tak
peduli."
"Hudangkeun
Abah!" seru Mang Sadeli. Teringat pada ayahnya yang sedari tadi tetap di
kamarnya. Sepertinya Abah sudah tidur pulas dan tidak terganggu dengan
keributan.
"Kenapa
Abah tidak bangun?" tanya Uha.
"Maklum,
dia sesiang ini kecapean kerja di huma," timpal Isah.
"Hih
kalian teh bagaimana. Mana peduli. Sekarang kita harus bangunkan Abah!"
Isah berdiri
dan berlari ke kamar Abah yang hanya dibatasi tirai tipis. Benar saja! Abah
tidur dengan pulas. Saking pulasnya, dengkurannya begitu keras.
"Abah!
Abah! Bangun Abah! Aya jurig!"
Abah
tibuburanjat dan mengucek matanya. Isah membangunkannya tidak seperti biasanya.
Kasar dan grasak-grusuk. "Ada apa Isah? Ada maling?"
"Bukan
maling Abah! Eh iya, Si Sadeli maling uang!"
"Astaghfirullah....jangan
bercanda!"
"Iya
Abah!"
Gdebuk!Gedebuk!
Brak! Seseorang di luar sana kembali menubruk bilik dengan tubuhnya.
Hampir-hampir bilik itu jebol. Semua orang menjerit, termasuk Isah.
"Siapa
di luar Isah? Apa yang terjadi!" tanya abah.
"Jurig
Abah! Si akang mencuri uang dari mayat yang hanyut di sungai!" Pas pulang
mayatnya ngikutin dan meneror!"
"Wah!
Mayat ngopet itu!" terang Abah. Dia berdiri dari ranjang dan beranjak
menuju ruang tengah diikuti Isah. Melihat abah muncul, Mang Sadeli dan Uha
langsung merubung Abah bagai anak kucing melihat kedatangan induknya.
"Bagaimana
ini Abah!"
"Woyahna,
kamu harus mengembalikan uang itu!" seru Abah sembari menunjuk Sadeli.
Kemudian tatapan abah berpaling ke arah suara langkah kaki di luar. "Hei
Maneh! Kembalilah ke sungai. Kami akan mengembalikannya sekarang. Tapi kamu
harus terlebih dahulu ke sungai."
"Hangan
hohong (jangan bohong). Hembalikan huit haya (kembalikan duit saya."
"Iya.
Kembalilah terlebih dahulu," Abah menjawabnya.
Setelah itu,
semuanya kembali sepi. Tidak ada lagi suara sengau yang menagih untuk
mengembalikan uang. Tidak ada lagi tubrukan di dinding. Semua kembali seperti
semula. Sepi.
Si Uha
mengernyitkan dahi, "sepertinya jurig itu bibirnya cacat ya. Mungkin
sumbing. Soalnya bicaranya seperti itu."
Mang Sadeli
mendelik, "Ari maneh, sempat-sempatnya memikirkan hal itu. Sekarang pikir
bagaimana caranya supaya kamu tidak dicekik jurig itu."
Uha diam.
"Sekarang
keluar Sadeli!" perintah Abah.
"Hah!
Saya Abah?"
"Iya,
kan ini gara-gara kamu!"
"Tapi
Abah!"
"Ya
sudah, Abah dan Uha akan menemani. Tapi kamu yang duluan keluar.
Sadeli pias.
Tapi dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Kulutrak! Selot di pintu
dibuka. Sadeli mengintip keluar babancik. Tidak ada hal yang mencurigakan. Di
luar gelap gulita. Suara kesiut angin malam mempermainkan batang bambu sehingga
menimbulkan bunyi gemerisik dan berderit. Sementara kodok bersahutan merayakan
hujan yang turun sore tadi.
"Keluar
sekarang Sadeli. Tunggu apa lagi," seru Abah tak sabaran.
Sadeli
melangkahkan kaki kananya terlebih dahulu. Tapi sejurus kemudian dia kembali ke
dalam rumah sembari membanting pintu dan berteriak bagai kesetanan. "Awww!
Astaghfirullah....Gusti.... Gusti...."
"Ada
apa?"
"Kaki
saya menginjak sesuatu yang kenyal."
Abah
mengerutkan kening. Kemudian Abah membuka pintu dan menyorotkan senternya. Di
babancik tampak sesosok mayat terlentang. Tepat di depan pintu.
Abah Madhasim
hanya bisa geleng-geleng kepala melihat mayat yang terlentang di babancik. Sementara
Uha, Sadeli dan Isah mengintip dari bahu abah dengan tatapan yang was-was. Ketakutan
seakan sedikit menguap demi melihat keberanian Abah.
“Abah,
bagaimana? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Abah
mendelik ke arah Sadeli, “Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu tidak mata
duitan, kejadian ini tidak akan terjadi. Kamu serakah. Harusnya kamu hanya
mengambil satu bungkusan dan membiarkan mayat ini hanyut dengan bungkusan uang
lainnya.”
Sadeli hanya
terdiam dan tak mau berkomentar.
“Sekarang
kita harus mengembalikan mayat ini ke sungai. Bawa uangnya Sadeli.”
Sadeli pun
kembali ke tengah rumah dan mengambil buntalan sarung yang berisi uang
tersebut. Kemudian kembali ke depan.
“Sekarang,
ambil dua galah bambu di belakang, Uha. Kita harus menggotong mayat ini ke
sungai,” perintah Abah kepada Uha.
Uha hanya
bisa garuk-garuk kepala. “Ini kan salah Mang Sadeli Aki, kenapa saya yang harus
katempuhan.”
“Kan kamu
juga ikut.”
“Nggak, saya
justru melarang mang Sadeli tadi, tapi dia tetap keukeuh dengan pendiriannya.”
Mang Sadeli
mendelik. “Ari maneh Uha. Tolonglah! Masa semua harus dilakukan sama saya. Tak punya
solidaritas kamu mah.”
Mau tak mau
Uha melangkahkan kaki ke belakang untuk mengambil galah bambu. Beberapa detik
kemudian Uha menjerit kencang. “Jurig! Jurig!”
Mang Sadeli
terkejut. Pun dengan Abah dan Isah. Mereka langsung berlari ke arah belakang
rumah. Begitu juga dengan isah yang tak mau ditinggal di babancik bersama si
mayit yang tidak bergerak sama sekali.
“Ada apa?”
Uha hanya
tersenyum malu, “Taka da apa-apa abah. Barusan ada daun jati jatuh ke kepala
saya. Saya pikir ada jurig yang noel.”
Mang Sadeli
hanya bisa memutar bola matanya. Sementara abah geleng-geleng kepala. Mereka kembali
ke depan rumah dengan membawa dua galah bambu untuk dijadikan tandu si mayat
yang terlentang di babancik.
“Huh, dasar
mayat manja!” seru Mang Sadeli sembari memelototi mayat. Dia bisa berani
melakukan itu karena ada abah bersamanya. Konon, abah memang tak mengenal kata
takut ketika menghadapi jurig.
“Ih ari si
akang, kalau ngomong teh suka sapok-pokeun.” Seru Isah kesal.
“Iya mang. Ini
mah manja mayat teh. Kenapa dia tadi bisa mengikuti kita sampai rumah. Eh,
giliran disuruh balik ke sungai, malah diam di babanjik, bukannya pergi
sendiri, malah minta ditandu. Manja!”
“Mungkin
jasadnya tertinggal,” jelas Abah, “hanya lelembutnya saja yang pergi.”
“Abah,
bukannya orang yang sudah mati arwahnya diambil Gusti Allah?”
“Betul. Tapi
bisa jadi belis yang menguasai jasadnya. Asal kalian tahu, mayat ini adalah
mayat pesugihan yang meminta kekayaan dunia kepada setan atau iblis. Karena tingkahnya
ini, mayat ini tidak diterima oleh bumi. Ahli warisnya atau keluarganya memilih
untuk melarung si mayat di sungai dengan sejumlah bungkusan uang.”
“Kenapa
harus dengan uang abah?” tanya Uha.
“Uang itu
bisa dikatakan sebagai upah untuk orang-orang yang menemukan si mayat
tersangkut di tepi sungai, kemudian dia harus menghanyutkan rakit mayat sembari
mengambil satu bungkus uang sebagai upah.”
“Da sarakah
si akang mah,” seru Isah sembari mendelik kepada suaminya, “duitna ngadon dibadog
kabeh.”
“Kan akang
belum tahu aturan mainnya, eneng!” timpal Mang Sadeli kesal karena terus
disalahkan.
“Aeh! Gusti!
Mayatnya berkedip!” seru Uha tiba-tiba. Semua berlari menjauhi babancik dimana
mayat itu berada, termasuk Abah karena kaget. Tapi sejurus kemudian Uha
tertawa. Tahu bahwa Uha hanya bercanda, semua menumpahkan kekesalannya kepada
Uha. Mang Sadeli menoyor kepalanya, Isah mencubit lengannya dan Abah
memelototinya.
Akhirnya,
abah pun membuat tandu dengan kain sarung yang diikatkan ke batang bambu. “Nah,
Sadeli kamu memikulnya di depan, dan Uha di belakang. Sekarang bantu abah
mengangkat tubuh si mayat.”
Dengan ragu-ragu,
Sadeli menyentuh bagian kaki si mayat, siap untuk diangkat.
“Kamu ambil
bagian kepala Sadeli!” pinta Abah.
Sadeli terkesiap.
Justru dia menghindari bagian paring horror itu. Bagaimana jika ketika dia
mengangkatnya, si mayat membuka mata dan menggigitnya. Hiyy. Tapi mau tak mau
dia harus nurut sama Abah, terlebih semua kekacauan ini bermula dari
keserakahannya.
Mereka pun
mengangkat si mayit ke dalam tandu dan menggotongnya ke sungai bersama-sama,
termasuk bersama Isah yang tak mau ditinggal di rumah.
“Ieuh, ulah
ngarepotkeun, maneh mah di imah wae!” seru mang sadeli kepada istrinya
“Embung!”
timpal Isah keras kepala.
Bring! Berempat
menuju sungai cinyuncung untuk mengembalikan mayat. Menyimpannya di atas rakit
yang tadi ditinggalkan.
“Tah, ambil
satu bungkus buat upah kamu, Sadeli,” ujar Abah sembari melemparkan satu
bungkusan uang, sisanya yang berjumlah puluhan bungkus dia simpan di bawah
tubuh si mayat. Rakit dilepas ke tengah sungai, air bah pun membawanya hanyut
ke hilir.
Kosakata
sunda
Aya naon:
Ada apa
Ngangkleung:
terapung
Caah: banjir
Paneker:
pemantik api.
Babancik:
teras rumah panggung
Borangan-borangan
teuing ari jadi jalema: jangan jadi orang penakut.
Bubuy
sampeu: singkong bakar
Buwu: alat
menangkap ikan dari anyaman bambu
Palupuh:
lantai yang terbuat dari batang bambu yang diratakan.
Wah,
kabeneran ari kieu mah: wah, kebetulan ini.
Ngaregot:
menghisap, menyesap.
Asak na
tangkal: masak di pohon.
Sok teh
teuing: silakan saja
Ih tong
heureuy maneh teh Uha: jangan bercanda kamu Uha.
Pikasebeleun:
menjengkelkan
Palidkeun:
hanyutkan
Rurusuhan:
tergesa-gesa
Deuleu ku
maneh: lihat sama kamu
Ke heula:
tunggu dulu.
Kumaha
maneh: terserah kamu
Mamang mani
luluasan kitu, palaur abdi mah: mamang kok berani sekali. Saya takut.
Borangan:
penakut
Kadieukeun
duit aing: kesinikan uangku
Kumaha ieuh:
bagaimana ini
Ngarenghik:
terisak
Nyekek:
mencekik
Ari maneh:
Gimana sih kamu
Katempuhan:
kena getahnya.
Hudangkeun:
Bangunkan
Aya jurig:
ada hantu.
Tibuburanjat:
terkejut, terkesiap
Ngopet:
ngepet
Keukeuh:
keras kepala, tidak mau dibilangin
Noel:
menjawil
Sapok-pokeun:
sekata-katanya, nggak dijaga kata-katanya, asal njeplak
Lelembut:
arwah
Belis: iblis
Duitna ngadon
dibadog kabeh: duitnya malah dicuri semua
No comments:
Post a Comment