6 Sept 2020

MISTERI MAYAT DI SUNGAI

Sore itu, langit dipenuhi oleh mendung hitam . Kesiut angin mempermainkan reranting dan dedaunan. Sebagian berguguran. Tak berapa lama, hujan pun turun bagai ditumpahkan dari langit.

Bi Isah yang sedari tadi asyik mengupas jagung untuk dibuat boder tergesa-gesa turun dari Palupuh untuk mengambil jemuran. "Akang, bantuin eneng angkat jemuran atuh!" serunya dari pekarangan, sementara tangannya sibuk mengangkat pakaian yang sudah kering dari galah bambu.

"Ya," jawab Mang Sadeli dari dalam dapur. Tak berapa lama dia sudah berada di samping istrinya.

"Aeh, Teteh, akang, malam ini sepertinya hujan." Tiba-tiba seseorang muncul dari arah belakang. Uha, keponakan Sadeli telah datang dengan menenteng buwu dan pancingan.

"Ah, paling bakda Maghrib juga hujannya reda, Uha," jawab Mang Sadeli sembari membawa pakaian yang telah dijemur ke dalam rumah. "Masuk Uha. Tuh, ada singkong bakar, kopi sama udud," timpalnya sembari menunjuk dengan dagu ke tengah rumah.

"Wah, kabeneran ari kieu mah," seru Uha sumringah.
Mang Sadeli dan Uha pun ngobrol ngaler ngidul di ruang tengah sembari menikmati bubuy sampeu dan kopi hitam cap liong.

"Tah geura Jang Uha, bibi mah punya pisang Raja cere. Asak na tangkal," tiba-tiba bi Isah datang dari arah dapur dengan membawa sesikat pisang raja yang sudah matang.

"Jadi bagaimana, apakah malam ini jadi ngabuwu sama mancing di sungai cinyunjung?" tanya Bi isah yang ditujukan kepada suaminya.

"Jadilah bi," Uha yang menjawab sembari ngaregot* air kopi.

"Ya mudah-mudahan saja hujanya reda sebelum isya." Timpal Mang Sadeli.

"Pokoknya kalau sampai tangkapannya banyak, aku mau ngasih emak."

"Sok teh teuing," mang Sadeli menandaskan kopinya.

Sebakda isya, setelah shalat bertiga di rumah, Mang Uha dan Mang Sadeli pun turun dari rumah. Mengambil buwu dan pancingan yang mereka simpan di babancik.

"Nanti pintunya jangan ditulak, Nyi," pinta Mang Sadeli kepada istrinya, "sepertinya kita pulang tengah malam.

"Iya. Jangan terlalu larut malam kalau bisa."

"Kenapa emangnya?"

"Takut, sendirian di rumah."

"Lah, borangan-borangan teuing ari jadi jalema. Tolong ambilkan obornya, Nyi."

Isah menyodorkan obor yang terbuat dari batang bambu yang diisi minyak tanah dan ditutupi dengan sabut kelapa di atasnya. "Hati-hati kang."

Mang Sadeli menyulut obor dengan paneker. Bring Mang Sadeli dan Uha menyusuri pematang sawah. Langit masih hitam oleh mendung sehingga tak tampak Kerlip bintang dan bulan. Suara arus air sungai Cinyunjung terdengar jelas dari jarak belasan meter.

"Kayaknya sih sungai meluap ya Mang Sadeli" ujar Uha.

"Sudah pasti. Tiap hujan Cinyunjung selalu caah."

Beberapa menit kemudian mereka berbelok ke arah jalan kecil menuju sungai. Benar apa yang mereka kira sebelumnya, air sungai meluap, bahkan sampai ke pematang sawah yang letaknya tepat di bibir sungai. Tapi....ada sesuatu yang menarik perhatian mereka berdua.

"Mang Sadeli, kok sepertinya ada lilin yang hanyut di hilir."

"Mana?" Tanya Mang Sadeli sembari memicingkan matanya. Ingin menegaskan apa yang dikatakan Uha. Tatapan matanya mengikuti arah telunjuk keponakannya. "Betul apa yang kamu bilang. Itu kayaknya lilin."

"Yuk kita lihat."

Didorong oleh rasa penasaran, mereka pun melangkah ke arah hilir hingga cahaya kerlip lilin yang ngangkleung di sungai pun tampak semakin jelas. "Bener, sebatang lilin...tapi....seperti ada bungkusan panjang."

"Wah, apa isinya ya. Coba mendekat. Hati-hati, pegaang akar pohon Kiara, jangan sampai kamu terbawa arus air.

"Pantas saja bungkusan itu tak ikut hanyut. Rupanya tersangkut di akar kiara."

"Ayolah, buka bungkusannya."

Dengan hati-hati Uha semakin mendekat ke arah bungkusan. Tangan kanannya membuka kain yang menutupi benda di bawahnya. "Astaghfirullah...tobat Gusti!" Tiba-tiba saja jantungnya berdetak semakin keras. Andai siang hari, tentu Mang Sadeli bisa melihat wajah Uha yang tiba-tiba pias karena keterkejutan yang datang secara tiba-tiba.

"Aya naon?" tanya Mang Sadeli dengan kerut di dahi.

"Mayat!!"

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Mang Sadeli dengan mata yang masih terpaku pada wajah mayat yang pias. Entah pias karena memang begitulah galibnya mayat, atau mungkin pias karena terendam air.

"Kita hanyutkan saja, kang," balas Uha dengan suara bergetar. Jelas dia masih merasa shock karena tiba-tiba harus menemukan mayat ditengah rencana mencari ikan tengah malam itu. Satu hal yang tidak pernah dia duga.

"Tunggu dulu, kenapa ada mayat yang hanyut di sungai ya?"

"Mana aku tahu kang, tanya saja sama mayatnya."

"Kalau bicara yang bener Uha! Masa mamang harus bicara sama mayat."

"Ya siapa tahu mayatnya bisa ngomong," timpal Uha.

"Ih, tong heureuy maneh teh Uha."

Kaok...Kaok....

Mang Uha dan Mang Sadeli tibuburanjat demi mendengar suara memgaok tepat ketika mereka tengah berdebat tentang si mayat yang hanya berjarak satu meter dari wajah mereka.

"Astaghfirullah, serasa mau copot ini jantung. Kirain yang berkoak teh mayat." Seru Mang Sadeli sembari melihat gagak hitam yang berkelebat di atas mereka.

"Pikasebeleun teh eta gagak," timpal Uha. Sementara jantungnya masih berdebar tak karuan.

"Coba lihat!" Seru Mang Sadeli, "Mamang melihat bungkusan banyak banget. Isinya apa ya?"

"Tak usah banyak tanya Mang. Tak perlu tahu kita mah, palidkeun saja sekarang."

"Tunggu dulu, jangan rurusuhan."

Tanpa menunggu lama, tangan Mang Sadeli langsung mengambil satu bungkusan plastik berwarna hitam dan membuka isinya. "Ya Allah, isinya duit Uha! Rezeki nomplok Uha! Duit! Deuleu ku maneh!"

Uha hanya bisa geleng-geleng kepala. "Mang, jangan berani mengambilnya. Itu bukan punya kita."

"Alaah...kan yang punyanya sudah meninggal dunia Uha. Mana ada mayat minta duit, iya kan?"

"Uha hanya bisa meringis. Sedikit ngeri dengan kalimat yang terlontar dari mulut Mang Sadeli.

"Saran saya, jangan mang. Itu tetap bukan hak kita. Lebih baik kita hanyutkan saja mayat ini. Habis perkara. Biar tidak terlalu panjang urusannya."

"Hih, kamu teh gimana. Ada rezeki nomplok di depan mata kok dibiarkan saja."

"Bagaimana kalau mayatnya nggak ridho mang?"

"Tahayul kamu mah. Masa iya ada mayat mau protes!"

"Mang, mending kita langsung masang buwu saja. Biar kita segera dapat ikan. Ceu Isah nungguin di rumah tuh. Hayu lah kang."

"Ke heula! Aneh maneh mah. Ada rezeki malah dibiarkan. Mamang pokoknya mau ngambil uangnya. Setelah itu kita hanyutkan mayitnya.

Bosan mendebat mang Sadeli, Uha hanya bisa angkat bahu. "Kumaha mamang wae."

Mang Sadeli tersenyum lebar. Dia tak peduli dengan wajah pias Uha yang ketakutan. Dia juga tidak peduli dengan jasad mayat di depannya. Tangannya terulur ke tubuh mayat dan membuka bungkusan yang tertindih pinggang si mayat. Satu bungkusan, dua bungkusan hingga semua bungkusan berisi uang telah dia pindahkan ke dalam sarung yang sedari tadi dia selempangkan. Kemudian menjadikannya sebagai buntalan.

"Pokoknya mamang habis ini mau ke Dayeuh dan beli semua perlengkapan rumah tangga. Uangnya mamang beli tanah saja. Tenang, kamu juga akan dapat bagian, Uha!"

"Mamang meni luluasan kitu, palalaur abdi mah."

"Ah, kamu mah borangan Uha! Mayit mah nggak jauh beda sama benda. Sudah jadi benda mati seperti batang pisang. Kenapa harus takut."

"Tapi tetap saja manusia, mamang. Kata Haji Marhaban mah, mayat juga masih punya hak sebagai manusia."

"Biar saja. Kita kan orang awam, bukan haji."

Untuk yang kedua kalinya Uha hanya geleng-geleng kepala dengan sikap Mang Sadeli yang keras kepala.

"Hayu!" seru Mang Sadeli dengan nada penuh antusias. Senyuman masih bertahan di bibir hitamnya. Tentu saja dia tersenyum lebar karena ada uang gepokan di buntalan sarungnya. Mang Sadeli pun melangkahkan kaki dari tepian sungai dengan langkah tergesa.

"Mamang, mayatnya nggak dihanyutkan?"

"Hanyutkan saja sama kamu, Uha. Mamang Tunggu disini."

Si Uha hanya bisa cemberut karena tidak suka diperintah. Dia dengan susah payah melepaskan satu batang rakit bambu yang tersangkut di akar kiara. Beberapa menit kemudian dia berhasil melepaskan batang bambu itu dari akar dan rakit berisi mayat misterius itu pun hanyut. Ditelan banjir air sungai Cinyunjung.

Uha menyusul Mang Sadeli, menyusuri jalan setapak sehingga mereka tiba di atas pematang sawah.

"Lho,mamang, kan katanya mau ngabuwu, tapi kenapa balik lagi."

"Tidak jadi. Untuk apa ikan kalau di buntalan ada yang lebih berharga daripada ikan, Uha."

"Uha hanya mengangguk pelan. Mereka pun berjalan beriringan menembus kegelapan dengan penerang sebatang obor.

"Mang, tunggu!" seru Uha dengan wajah yang semakin pias. Bulu kuduknya meremang.

"Ada apa Uha."

"Kok serasa ada yang mengikuti kita."

"Ah, kamu mah ada-ada saja. Itu mah perasaan kamu saja. Saking takutnya jadi kupingmu jadi halusinasi."

"Tidak mamang. Coba diam dan dengarkan."

Mang Sadeli pun menghentikan langkahnya dan menajamkan Indra pendengarannya. "Ah, tidak ada suara apa pun."

Krasak......krasak!! Krasak! Ada suara nyaring dari semak belukar.

Krasak! Krasak! Untuk yang kedua kalinya mereka berdua mendengar bunyi berkerisik dari semak belukar diiringi oleh alang-alang basah yang bergoyang-goyang.

"Mamang, sepertinya kita diikuti..." bisik Uha dengan suara bergetar. Di dalam benaknya dia membayangkan mayat itu mengikuti mereka.

Mang Sadeli terdiam. Sorot matanya semakin tajam. Dia mengangkat lampu obor itu untuk memperjelas apa yang ada di balik alang-alang itu. "Anjir teh, itu hanya seekor musang, Uha!"

"Musang?"

"Iya. Musang. Memangnya kau pikir yang bergerak di semak itu apa? Mayat yang tadi kita hanyutkan? Haha, yang benar saja Uha!" seru Mang Sadeli diiringi oleh tawanya yang khas. "Dasar penakut."

"Ya siapa tahu," timpal Uha dengan bibir cemberut. Tak suka diejek oleh Mang Uha sebagai lelaki penakut.

Akhirnya mereka pun melanjutkan perjalanan pulang. Tapi untuk yang kesekian kalinya suara gemerisik semak terdengar di belakang mereka.

"Mamang, apakah mamang mendengar? Sesuatu di semak mengikuti kita. Masa iya musang mengikuti kita."

Mang Sadeli terdiam sejenak. Setelah itu terdengar suara langkah kaki. Masih di semak.

"Siapa itu?"

Tak ada sahutan menyambut.

"Lari mang! Seru Uha sembari berlari, meninggalkan Mang Sadeli yang masih terpana.

"Lari mamang!" Seru Uha untuk yang kedua kalinya. Mang Sadeli seakan tersihir oleh sesuatu dibalik semak-semak. Uha kembali ke tempat semula dan menyeret tangan Mang Sadeli. Berlari secepat yang dia bisa. Pada akhirnya Mang Sadeli bisa mengimbangi langkah kaki Uha. Napas mereka terengah, tersengal dan pendek.

Telinga mereka menangkap suara langkah kaki telanjang di tanah berbecek tepat di belakang mereka.

"Cepat Uha! Ada seseorang yang mengikuti kita!" seru Mang Sadeli sembari menoleh ke arah belakang. Anehnya dia tak menemukan apa pun.

Waktu terasa lama untuk mencapai halaman rumah Mang Sadeli. Setelah tiba di depan pintu, Mang Sadeli menggedor-gedor daun pintu dengan hantaman yang keras.

"Isah! Isah! Buka pintu!"

"Bibi! Buka pintu!!!" Seru Uha menimpali. Lebih keras dari suara Sadeli. Napas mereka semakin pendek dan memburu.

Tak berapa lama, terdengar langkah kaki di palupuh dan daun pintu pun terbuka. Disana bi Isah menatap kedatangan suaminya dan Uha dengan tatapan sayu disertai menguap panjang. Tidur nyenyaknya telah terganggu oleh kedatangan sang Suami.

"Kok sudah...." belum sempat menuntaskan kalimatnya, Uha dan Mang Sadeli langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan cepat. Sementara napas mereka masih pendek dan terengah. BI Isah hanya menatap mereka dengan tatapan keheranan. "Kenapa sudah pulang? Apakah akang nggak jadi ngabuwu? Itu yang dibuntal di sarung apa?"

"Uang," jawab Mang Sadeli pendek. Dia masih mengatur napasnya yang tak beraturan.

"Uang dari mana? Kenapa lari?" tanya selanjutnya terlontar dari mulut Isah. Bahkan dia sendiri masih tidak mengerti dan tak habis pikir kenapa suaminya datang dengan wajah yang ketakutan, sementara ada sebuntal uang di dalam sarung. Apakah suaminya dan Uha sudah merampok rumah saudagar?

"Apa yang kamu lakukan akang?"

Belum sempat menjawab pertanyaan istrinya, tiba-tiba suara langkah kaki telanjang muncul dari arah belakang. Langkah-langkah kaki itu menghentak tanah. Kemudian tak lama setelah itu, seseorang dari luar memukul setiap pinggir gedhek bambu. Meneror orang yang ada di dalamnya.

"Innalilahi...akang!" bisik Isah dengan wajah pias. "Siapa yang mengejar akang?"

"Tidak tahu!" jawab Sadeli dengan wajah yang sulit ditafsirkan.

"Mayat, Bibi."

"Mayat?" Isah mengulang jawaban Uha.

Sekali lagi, pukulan mendarat hampir di setiap bagian dinding. Langkah kaki yang berat masih terdengar mengelilingi rumah.

"Hadieukeun huit haing (kadieukeun duit aing)" seru seseorang dengan suara yang sengau.

Isah langsung memeluk suaminya karena ketakutan. Uha tak mau kalah, memeluk mang Sadeli dari sisi sebelah kiri. Mereka duduk di tengah-tengah rumah dengan mata yang memindai setiap sudut bilik bambu. Dimana suara langkah kaki diluar terdengar, kesanalah alamat tatapan mata mereka. Tatapan penuh ketakutan. Sementara langkah kaki sosok misterius di luar rumah meneror mereka dengan sempurna.

Hadieukeun huit haing (kadieukeun duit aing)," sosok misterius itu kembali berteriak sengau diantara kerisik angin malam yang mempermainkan dedaunan. Bleduk! Bleduk! Sekali lagi sosok tak dikenal itu menggebuk dinding bilik dengan pukulan yang keras. "Huit haing hadieukeun.... hadieukeun..."

"Apa katanya?" tanya Bi isah dengan bisikan yang pelan di telinga kanan suaminya. Cengkeraman tangannya semakin keras di lengan suaminya.

"Kadieukeun duit aing, katanya."

BI Isah mencubit pinggang suaminya. "Apa yang telah akang lakukan? Akang habis merampok orang?"

"Mamang Sadeli mengambil uang di sungai. Ada mayat yang hanyut sama bungkusan uang," jelas Uha. Kedua tangannya juga masih terpaut di bahu Mang Sadeli.

"Si Kakang mah keterlaluan. Ini akibatnya. Jurig si Mayit datang tuh buat minta duitnya dibalikin!" bisik Isah dengan suara ditekan. Kesal sekaligus ngeri.

"Ih kamu teh Uha, kalo megang jangan keras-keras!" bentak Mang Sadeli sembari menepis tangan Uha dari bahu dan tangannya.

Suara si Mayit yang menagih uangnya dikembalikan semakin intens diantara hantaman di bilik bambu. Bukan hanya hantaman biasa, tapi seperti hantaman dari tubuh yang dilemparkan. "Hadieukun huit haing siaah...."

"Kumaha ieuh akaang..." Isah ngarenghik dan mulai terisak-isak karena ketakutan yang begitu menyesakan dadanya.

"Mamamg, kita kembalikan saja uangnya sekarang," saran Uha. Kini kedua tangannya tidak lagi bertengger di bahu dan lengan Mang Sadeli. Tapi tubuhnya tetap tak berani untuk menjauh.

"Tapi bagaimana?" tanya Mang Sadeli dengan suara gemetar. Semua keberaniannya telah menguap.

"Kita keluar sekarang. Temui dia."

"Tapi tak ada jaminan dia tidak akan mencelakai kita Uha. Bagaimana jika dia nyekek kita sampai mati."

"Jurig! Saya akan mengembalikan uangnya!" Tiba-tiba saja Isah berteriak dengan memberanikan diri.

"Ari maneh Isah, memangnya kamu berani ngasih ke jurig!"

"Aeh, kenapa jadi Isah. Tidak masuk akal. Akang kan yang bawa uangnya. Ya akang yang ngasih ke Jurig, masa isah," protes Isah sembari mencubit pinggang suaminya untuk yang kedua kalinya.

"Hadieukeun huit haing..." Bleduk! Bleduk! Seseorang di luar sana sudah tidak sabar.

"Kamu yang mengembalikan uangnya, Uha."

"Kok jadi saya yang katempuhan. Kan sudah saya bilang tadi juga ke mamang, jangan ambil uangnya, kita hanyutkan saja mayatnya dengan uang itu. Tapi mamang tak peduli."

"Hudangkeun Abah!" seru Mang Sadeli. Teringat pada ayahnya yang sedari tadi tetap di kamarnya. Sepertinya Abah sudah tidur pulas dan tidak terganggu dengan keributan.

"Kenapa Abah tidak bangun?" tanya Uha.

"Maklum, dia sesiang ini kecapean kerja di huma," timpal Isah.

"Hih kalian teh bagaimana. Mana peduli. Sekarang kita harus bangunkan Abah!"

Isah berdiri dan berlari ke kamar Abah yang hanya dibatasi tirai tipis. Benar saja! Abah tidur dengan pulas. Saking pulasnya, dengkurannya begitu keras.

"Abah! Abah! Bangun Abah! Aya jurig!"

Abah tibuburanjat dan mengucek matanya. Isah membangunkannya tidak seperti biasanya. Kasar dan grasak-grusuk. "Ada apa Isah? Ada maling?"

"Bukan maling Abah! Eh iya, Si Sadeli maling uang!"

"Astaghfirullah....jangan bercanda!"

"Iya Abah!"

Gdebuk!Gedebuk! Brak! Seseorang di luar sana kembali menubruk bilik dengan tubuhnya. Hampir-hampir bilik itu jebol. Semua orang menjerit, termasuk Isah.

"Siapa di luar Isah? Apa yang terjadi!" tanya abah.

"Jurig Abah! Si akang mencuri uang dari mayat yang hanyut di sungai!" Pas pulang mayatnya ngikutin dan meneror!"

"Wah! Mayat ngopet itu!" terang Abah. Dia berdiri dari ranjang dan beranjak menuju ruang tengah diikuti Isah. Melihat abah muncul, Mang Sadeli dan Uha langsung merubung Abah bagai anak kucing melihat kedatangan induknya.

"Bagaimana ini Abah!"

"Woyahna, kamu harus mengembalikan uang itu!" seru Abah sembari menunjuk Sadeli. Kemudian tatapan abah berpaling ke arah suara langkah kaki di luar. "Hei Maneh! Kembalilah ke sungai. Kami akan mengembalikannya sekarang. Tapi kamu harus terlebih dahulu ke sungai."

"Hangan hohong (jangan bohong). Hembalikan huit haya (kembalikan duit saya."

"Iya. Kembalilah terlebih dahulu," Abah menjawabnya.

Setelah itu, semuanya kembali sepi. Tidak ada lagi suara sengau yang menagih untuk mengembalikan uang. Tidak ada lagi tubrukan di dinding. Semua kembali seperti semula. Sepi.

Si Uha mengernyitkan dahi, "sepertinya jurig itu bibirnya cacat ya. Mungkin sumbing. Soalnya bicaranya seperti itu."

Mang Sadeli mendelik, "Ari maneh, sempat-sempatnya memikirkan hal itu. Sekarang pikir bagaimana caranya supaya kamu tidak dicekik jurig itu."

Uha diam.

"Sekarang keluar Sadeli!" perintah Abah.

"Hah! Saya Abah?"

"Iya, kan ini gara-gara kamu!"

"Tapi Abah!"

"Ya sudah, Abah dan Uha akan menemani. Tapi kamu yang duluan keluar.

Sadeli pias. Tapi dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Kulutrak! Selot di pintu dibuka. Sadeli mengintip keluar babancik. Tidak ada hal yang mencurigakan. Di luar gelap gulita. Suara kesiut angin malam mempermainkan batang bambu sehingga menimbulkan bunyi gemerisik dan berderit. Sementara kodok bersahutan merayakan hujan yang turun sore tadi.

"Keluar sekarang Sadeli. Tunggu apa lagi," seru Abah tak sabaran.

Sadeli melangkahkan kaki kananya terlebih dahulu. Tapi sejurus kemudian dia kembali ke dalam rumah sembari membanting pintu dan berteriak bagai kesetanan. "Awww! Astaghfirullah....Gusti.... Gusti...."

"Ada apa?"

"Kaki saya menginjak sesuatu yang kenyal."

Abah mengerutkan kening. Kemudian Abah membuka pintu dan menyorotkan senternya. Di babancik tampak sesosok mayat terlentang. Tepat di depan pintu.

Abah Madhasim hanya bisa geleng-geleng kepala melihat mayat yang terlentang di babancik. Sementara Uha, Sadeli dan Isah mengintip dari bahu abah dengan tatapan yang was-was. Ketakutan seakan sedikit menguap demi melihat keberanian Abah.
“Abah, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Abah mendelik ke arah Sadeli, “Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu tidak mata duitan, kejadian ini tidak akan terjadi. Kamu serakah. Harusnya kamu hanya mengambil satu bungkusan dan membiarkan mayat ini hanyut dengan bungkusan uang lainnya.”
Sadeli hanya terdiam dan tak mau berkomentar.
“Sekarang kita harus mengembalikan mayat ini ke sungai. Bawa uangnya Sadeli.”
Sadeli pun kembali ke tengah rumah dan mengambil buntalan sarung yang berisi uang tersebut. Kemudian kembali ke depan.
“Sekarang, ambil dua galah bambu di belakang, Uha. Kita harus menggotong mayat ini ke sungai,” perintah Abah kepada Uha.
Uha hanya bisa garuk-garuk kepala. “Ini kan salah Mang Sadeli Aki, kenapa saya yang harus katempuhan.”
“Kan kamu juga ikut.”
“Nggak, saya justru melarang mang Sadeli tadi, tapi dia tetap keukeuh dengan pendiriannya.”
Mang Sadeli mendelik. “Ari maneh Uha. Tolonglah! Masa semua harus dilakukan sama saya. Tak punya solidaritas kamu mah.”
Mau tak mau Uha melangkahkan kaki ke belakang untuk mengambil galah bambu. Beberapa detik kemudian Uha menjerit kencang. “Jurig! Jurig!”
Mang Sadeli terkejut. Pun dengan Abah dan Isah. Mereka langsung berlari ke arah belakang rumah. Begitu juga dengan isah yang tak mau ditinggal di babancik bersama si mayit yang tidak bergerak sama sekali.
“Ada apa?”
Uha hanya tersenyum malu, “Taka da apa-apa abah. Barusan ada daun jati jatuh ke kepala saya. Saya pikir ada jurig yang noel.”
Mang Sadeli hanya bisa memutar bola matanya. Sementara abah geleng-geleng kepala. Mereka kembali ke depan rumah dengan membawa dua galah bambu untuk dijadikan tandu si mayat yang terlentang di babancik.
“Huh, dasar mayat manja!” seru Mang Sadeli sembari memelototi mayat. Dia bisa berani melakukan itu karena ada abah bersamanya. Konon, abah memang tak mengenal kata takut ketika menghadapi jurig.
“Ih ari si akang, kalau ngomong teh suka sapok-pokeun.” Seru Isah kesal.
“Iya mang. Ini mah manja mayat teh. Kenapa dia tadi bisa mengikuti kita sampai rumah. Eh, giliran disuruh balik ke sungai, malah diam di babanjik, bukannya pergi sendiri, malah minta ditandu. Manja!”
“Mungkin jasadnya tertinggal,” jelas Abah, “hanya lelembutnya saja yang pergi.”
“Abah, bukannya orang yang sudah mati arwahnya diambil Gusti Allah?”
“Betul. Tapi bisa jadi belis yang menguasai jasadnya. Asal kalian tahu, mayat ini adalah mayat pesugihan yang meminta kekayaan dunia kepada setan atau iblis. Karena tingkahnya ini, mayat ini tidak diterima oleh bumi. Ahli warisnya atau keluarganya memilih untuk melarung si mayat di sungai dengan sejumlah bungkusan uang.”
“Kenapa harus dengan uang abah?” tanya Uha.
“Uang itu bisa dikatakan sebagai upah untuk orang-orang yang menemukan si mayat tersangkut di tepi sungai, kemudian dia harus menghanyutkan rakit mayat sembari mengambil satu bungkus uang sebagai upah.”
“Da sarakah si akang mah,” seru Isah sembari mendelik kepada suaminya, “duitna ngadon dibadog kabeh.”
“Kan akang belum tahu aturan mainnya, eneng!” timpal Mang Sadeli kesal karena terus disalahkan.
“Aeh! Gusti! Mayatnya berkedip!” seru Uha tiba-tiba. Semua berlari menjauhi babancik dimana mayat itu berada, termasuk Abah karena kaget. Tapi sejurus kemudian Uha tertawa. Tahu bahwa Uha hanya bercanda, semua menumpahkan kekesalannya kepada Uha. Mang Sadeli menoyor kepalanya, Isah mencubit lengannya dan Abah memelototinya.
Akhirnya, abah pun membuat tandu dengan kain sarung yang diikatkan ke batang bambu. “Nah, Sadeli kamu memikulnya di depan, dan Uha di belakang. Sekarang bantu abah mengangkat tubuh si mayat.”
Dengan ragu-ragu, Sadeli menyentuh bagian kaki si mayat, siap untuk diangkat.
“Kamu ambil bagian kepala Sadeli!” pinta Abah.
Sadeli terkesiap. Justru dia menghindari bagian paring horror itu. Bagaimana jika ketika dia mengangkatnya, si mayat membuka mata dan menggigitnya. Hiyy. Tapi mau tak mau dia harus nurut sama Abah, terlebih semua kekacauan ini bermula dari keserakahannya.
Mereka pun mengangkat si mayit ke dalam tandu dan menggotongnya ke sungai bersama-sama, termasuk bersama Isah yang tak mau ditinggal di rumah.
“Ieuh, ulah ngarepotkeun, maneh mah di imah wae!” seru mang sadeli kepada istrinya
“Embung!” timpal Isah keras kepala.
Bring! Berempat menuju sungai cinyuncung untuk mengembalikan mayat. Menyimpannya di atas rakit yang tadi ditinggalkan.
“Tah, ambil satu bungkus buat upah kamu, Sadeli,” ujar Abah sembari melemparkan satu bungkusan uang, sisanya yang berjumlah puluhan bungkus dia simpan di bawah tubuh si mayat. Rakit dilepas ke tengah sungai, air bah pun membawanya hanyut ke hilir.

Kosakata sunda
Aya naon: Ada apa
Ngangkleung: terapung
Caah: banjir
Paneker: pemantik api.
Babancik: teras rumah panggung
Borangan-borangan teuing ari jadi jalema: jangan jadi orang penakut.
Bubuy sampeu: singkong bakar
Buwu: alat menangkap ikan dari anyaman bambu
Palupuh: lantai yang terbuat dari batang bambu yang diratakan.
Wah, kabeneran ari kieu mah: wah, kebetulan ini.
Ngaregot: menghisap, menyesap.
Asak na tangkal: masak di pohon.
Sok teh teuing: silakan saja
Ih tong heureuy maneh teh Uha: jangan bercanda kamu Uha.
Pikasebeleun: menjengkelkan
Palidkeun: hanyutkan
Rurusuhan: tergesa-gesa
Deuleu ku maneh: lihat sama kamu
Ke heula: tunggu dulu.
Kumaha maneh: terserah kamu
Mamang mani luluasan kitu, palaur abdi mah: mamang kok berani sekali. Saya takut.
Borangan: penakut

Kadieukeun duit aing: kesinikan uangku
Kumaha ieuh: bagaimana ini
Ngarenghik: terisak
Nyekek: mencekik
Ari maneh: Gimana sih kamu
Katempuhan: kena getahnya.
Hudangkeun: Bangunkan
Aya jurig: ada hantu.
Tibuburanjat: terkejut, terkesiap
Ngopet: ngepet

Keukeuh: keras kepala, tidak mau dibilangin
Noel: menjawil
Sapok-pokeun: sekata-katanya, nggak dijaga kata-katanya, asal njeplak
Lelembut: arwah
Belis: iblis
Duitna ngadon dibadog kabeh: duitnya malah dicuri semua
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment