Sungguh nelangsa nasib seorang guru honorer. Jerih payah dan keringat yang dia peras untuk mendidik anak-anak bangsa tak dihargai dengan harga yang layak.
Sebutlah misalnya Pudin (bukan nama sebenarnya). Pudin adalah tetangga saya yang mencoba peruntungan sebagai pengajar guru olahraga dan basa Sunda di SD Negeri tempat dimana saya dulu belajar. Dia digaji hanya 300 ribu perbulan. Bayangkan! Apa yang bisa dia lakukan dengan gaji hanya 300 ribu? Bahkan mungkin untuk beli kebutuhan dapur selama dua Minggu pun tidaklah cukup.
Pudin mengisahkan joke kepada bapakku. Lebih tepatnya joke yang menyedihkan! Dan bapakku cerita ke emak. Seperti biasa, emak yang selalu galecok menyampaikan semua cerita dan kisah dari kampung lewat sambungan telpon.
"Kasihan Mang Pudin," ujar Emak setelah kami puas melepas rindu dengan menanyakan kabar satu sama lain, tanya kabar kerabat dan tanya kabar sekolah tiga adik.
"Kenapa memangnya, Mak?"
"Gajinya aja nggak cukup buat bayar uang kopi dan gorengan di kantin sekolah," ujar Emak memulai cerita dengan judul 'MANG PUDIN GURU HONORER'.
"Terus?"
"Ya iya. Hampir tiap hari, sehabis ngajarin anak-anak olahraga di lapangan, mang Pudin langsung ke warung buat minum kopi dan gorengan. 'Bayarnya nanti pas gajian,' begitu kata mang Pudin. Hari gajian tiba, mang Pudin pun menerima gajinya yang sebesar 300 ribu. Sepulang dari sekolah, Mang Pudin mampir ke kantin Bu Nanik untuk bayar uang kopi dan gorengan selama sebulan.
"Semuanya 240 ribu Pak guru," jelas Bu Nanik.
Mang Pudin tercenung. Wah, nggak kerasa ya. Tapi diitung-itung, masuk akal sih sebulan habis 230 ribu untuk gorengan dan kopi. Kopi segelas tiga ribu ditambah gorengan lima biji. Sehari delapan ribu dikali 30 hari.
Mang Pudin menghela napas panjang. Kemudian merogoh dompetnya dan mengangsurkan uang merah tiga lembar yang baru dia terima dari TU.
"Kembaliannya pak Pudin," ujar Bu Nanik, mengangsurkan satu lembar biru dan selembar uang sepuluh ribu. Mang pudin mengambil kembalian dan menjejalkannya ke dompet yang koredas. Hanya tersisa 60 ribu untuk sang istri di rumah. Heuheuy Deudeuh!
Untunya Mang Pudin masih punya dua petak sawah plus pekarangan sebagai sumber pangan dia dan keluarganya. Tapi....tetap saja uang 60 ribu itu terasa kurang untuk membeli kebutuhan bumbu dapur, sabun dan tetek bengeknya. Lupakan tentang pakaian baru atau semacamnya.
Biarkan saya menghembuskan napas sejenak. Menulis kisah mang Pudin membuat hati saya terenyuh. Betapa tidak berharganya tenaga para guru honorer di negeri kita. Ditengah kemampuan mengajarnya yang lebih mumpuni dibanding guru-guru kolot senior jebolan SPG jaman baheula, sang guru honorer menyimpan kegetiran mereka.
Ya. Secara kemampuan dan kreativitas, guru honorer lebih kapabel di bidangnya. Saya sendiri merasakan hal itu ketika duduk di bangku SMP dan SMA. Betapa beberapa guru jadul membuat saya mengantuk di kelas. Sementara para guru honorer yang ganteng dan cantik membuat kita tertawa dan tak pernah bosan.
"Mungkin orang begitu 'serab' dengan title guru. Padahal nggak semua guru itu enak hidupnya ya," Emak ngagareuwahkeun saya yang termenung.
"Iya mak. Orang lain serab dengan baju seragam yang dipakai guru. Padahal, cuman guru honorer," pungkas saya masih dengan kegetiran yang sama.
Sementara di sekolah swasta dengan dana mandiri, guru-guru honorer sangatlah sejahtera. Terutama di kota-kota besar. Mereka bisa digaji 1-2 juta perbulan karena kemurahan yayasan atau instansi tempatnya bekerja. Bahkan, teman saya yang mengajar di SDIT digaji satu juta setengah selama sebulan. Padahal kuliah pun baru semester dua. Jauh berbeda dengan guru-guru honorer di sekolah negeri.
Kemudian saya berpikir, andai saja para guru jegud yang sudah PNS plus pak kepsek di instansi sekolah memiliki inisiatif untuk menyisihkan satu dua perak untuk uang tambah gaji guru honorer di sekolahnya. Atau andai para orang tua memberi uang tambahan belanja untuk bapak dan ibu guru honorer yang baik hati. Siapa peduli, andai saja ketika mengajar di depan kelas, tiba-tiba suara sumbang datang dari perut pak guru yang keroncongan karena sengaja melewatkan sarapan.
Semoga pak Presiden dan Bapak Menteri membaca tulisan ini. Ah, kenapa ekspektasi saya begitu tinggi?
Sebutlah misalnya Pudin (bukan nama sebenarnya). Pudin adalah tetangga saya yang mencoba peruntungan sebagai pengajar guru olahraga dan basa Sunda di SD Negeri tempat dimana saya dulu belajar. Dia digaji hanya 300 ribu perbulan. Bayangkan! Apa yang bisa dia lakukan dengan gaji hanya 300 ribu? Bahkan mungkin untuk beli kebutuhan dapur selama dua Minggu pun tidaklah cukup.
Pudin mengisahkan joke kepada bapakku. Lebih tepatnya joke yang menyedihkan! Dan bapakku cerita ke emak. Seperti biasa, emak yang selalu galecok menyampaikan semua cerita dan kisah dari kampung lewat sambungan telpon.
"Kasihan Mang Pudin," ujar Emak setelah kami puas melepas rindu dengan menanyakan kabar satu sama lain, tanya kabar kerabat dan tanya kabar sekolah tiga adik.
"Kenapa memangnya, Mak?"
"Gajinya aja nggak cukup buat bayar uang kopi dan gorengan di kantin sekolah," ujar Emak memulai cerita dengan judul 'MANG PUDIN GURU HONORER'.
"Terus?"
"Ya iya. Hampir tiap hari, sehabis ngajarin anak-anak olahraga di lapangan, mang Pudin langsung ke warung buat minum kopi dan gorengan. 'Bayarnya nanti pas gajian,' begitu kata mang Pudin. Hari gajian tiba, mang Pudin pun menerima gajinya yang sebesar 300 ribu. Sepulang dari sekolah, Mang Pudin mampir ke kantin Bu Nanik untuk bayar uang kopi dan gorengan selama sebulan.
"Semuanya 240 ribu Pak guru," jelas Bu Nanik.
Mang Pudin tercenung. Wah, nggak kerasa ya. Tapi diitung-itung, masuk akal sih sebulan habis 230 ribu untuk gorengan dan kopi. Kopi segelas tiga ribu ditambah gorengan lima biji. Sehari delapan ribu dikali 30 hari.
Mang Pudin menghela napas panjang. Kemudian merogoh dompetnya dan mengangsurkan uang merah tiga lembar yang baru dia terima dari TU.
"Kembaliannya pak Pudin," ujar Bu Nanik, mengangsurkan satu lembar biru dan selembar uang sepuluh ribu. Mang pudin mengambil kembalian dan menjejalkannya ke dompet yang koredas. Hanya tersisa 60 ribu untuk sang istri di rumah. Heuheuy Deudeuh!
Untunya Mang Pudin masih punya dua petak sawah plus pekarangan sebagai sumber pangan dia dan keluarganya. Tapi....tetap saja uang 60 ribu itu terasa kurang untuk membeli kebutuhan bumbu dapur, sabun dan tetek bengeknya. Lupakan tentang pakaian baru atau semacamnya.
Biarkan saya menghembuskan napas sejenak. Menulis kisah mang Pudin membuat hati saya terenyuh. Betapa tidak berharganya tenaga para guru honorer di negeri kita. Ditengah kemampuan mengajarnya yang lebih mumpuni dibanding guru-guru kolot senior jebolan SPG jaman baheula, sang guru honorer menyimpan kegetiran mereka.
Ya. Secara kemampuan dan kreativitas, guru honorer lebih kapabel di bidangnya. Saya sendiri merasakan hal itu ketika duduk di bangku SMP dan SMA. Betapa beberapa guru jadul membuat saya mengantuk di kelas. Sementara para guru honorer yang ganteng dan cantik membuat kita tertawa dan tak pernah bosan.
"Mungkin orang begitu 'serab' dengan title guru. Padahal nggak semua guru itu enak hidupnya ya," Emak ngagareuwahkeun saya yang termenung.
"Iya mak. Orang lain serab dengan baju seragam yang dipakai guru. Padahal, cuman guru honorer," pungkas saya masih dengan kegetiran yang sama.
Sementara di sekolah swasta dengan dana mandiri, guru-guru honorer sangatlah sejahtera. Terutama di kota-kota besar. Mereka bisa digaji 1-2 juta perbulan karena kemurahan yayasan atau instansi tempatnya bekerja. Bahkan, teman saya yang mengajar di SDIT digaji satu juta setengah selama sebulan. Padahal kuliah pun baru semester dua. Jauh berbeda dengan guru-guru honorer di sekolah negeri.
Kemudian saya berpikir, andai saja para guru jegud yang sudah PNS plus pak kepsek di instansi sekolah memiliki inisiatif untuk menyisihkan satu dua perak untuk uang tambah gaji guru honorer di sekolahnya. Atau andai para orang tua memberi uang tambahan belanja untuk bapak dan ibu guru honorer yang baik hati. Siapa peduli, andai saja ketika mengajar di depan kelas, tiba-tiba suara sumbang datang dari perut pak guru yang keroncongan karena sengaja melewatkan sarapan.
Semoga pak Presiden dan Bapak Menteri membaca tulisan ini. Ah, kenapa ekspektasi saya begitu tinggi?
No comments:
Post a Comment