Semasa lajang dahulu, aku jarang masak di dapur. Maka nggak
heran deh jika kompor gas awet hingga berbulan-bulan. Lha iya, dipakenya cuman
buat nyeduh kopi sama mie doang. Tapi terkadang, jika dompet sudah menipis,
saya nyoba-nyoba belanja sayur di warung bu Dargo.
Et dah, ini mah udah kayak pangeran tersesat di kayangan.
Pelataran depan warung bu dargo penuh sama ibu-ibu. Hanya ada saya sebagai
makhluk bernama lelaki.
“Beli apa pa?” tanya bu Dargu. Aku hanya bisa melongok.
Sejak kapan ya aku dipanggil bapak-bapak. Perasaan mukaku unyu-unyu dah.
“Beli terong, kangkung sama bumbu.”
“Bumbunya apa?”
“Kalo bumbu buat sayur tumis apa ya?” aku malah balik nanya.
“Oh, biasanya sih pake royco, bawang putih, bawang merah,
cabe, bla…bla..bla…”
“Ya sudah, itu saja.” Pungkasku.
“Istrinya sakit pak?” hmm, Ibu yang satu ini penjual sayur
apa wartawan ya. Aku curiga jangan-jangan dia dulunya kuliah jurusan
komunikasi, tapi prakteknya jadi tukang sayur. Ah, sudahlah.
“Saya belum punya bu.” Jawabku kalem dengan senyum simpul.
“Oalah…” seru Bu Dargo, kemudian diiringi tawa ibu-ibu yang
mendengar percakapan kami.
*
Dan setelah menikah pun aku belajar untuk bantu-bantu istri
dalam urusan rumah tangga, wabil khusus urusan belanja kebutuhan di dapur.
Istriku bilang, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam juga selalu membantu
istrinya dalam urusan domestik rumah tangga.
“Abang juga harus gitu. Neladanin nabi.” Sesumbar istriku.
“Iya beb.”
“Mulai besok abang yang nyuci, ngepel, nyetrika sama nyapu
ya.”
“Maunya….”
Dan suatu hari, istriku minta tolong untuk beli kebutuhan
dapur di warung bu dargo. “Bang, tolong beliin taoge tiga ribu, bawang putih
sama bawang merah dicampur lima ribu, abis itu….sama kangkung dua iket, tempe
dua, saus tiram, terigu segitiga sama terigu bumbu masing-masing satu, terasi
dua ikan tongkol dua.”
Aku hanya bisa melongo. Ya Salaam….aku hanya bingung,istriku
ngomong udah kayak gerbong kereta.
Dan sepanjang jalan kenangan, eh, maksudnya sepanjang jalan
menuju warung bu Dargo aku berusaha keras mengingat semua list belanja. Setelah
selesai urusan, aku balik ke kontrakan dan menyerahkan hasil belanja kepada
istri.
“Lho, kok taogenya nggak ada. Tempe juga.”
Aku cuman bisa nyengir. “Lupa.”
“Ini lagi, kenapa pula ada pare sama jengkol.” Lanjut
istriku.
“Tadi abang liat pare sama jengkol tiba-tiba terbit selera.
Nanti dibikin tumis pare sama semur jengkol ya.”
“Ya deh.” Jawab istriku. Dia pasti mau bikinin meski aku
tahu dia nggak suka pare sama jengkol yang kata istriku baunya naudzubillah.
“Biar nggak lupa lain kali belanja harus pake catatan kali
ya bang.” Lanjut istriku.
“Good Idea.” Seruku.
Dan beberapa hari kemudian, istriku kembali memintaku untuk
kembali belanja ketika dia tahu aku mau keluar untuk membantu temanku pindahan
kontrakan. Tapi kali ini list belanjanya nggak terlalu banyak.
“Nanti kalo abis pulang sekalian mampir di warung bang. Bang
beli bawang merah sama terasi ya. Udah abis nih.”
“Oke.”
Beberapa jam kemudian, setelah selesai urusan dengan sang
teman dan ngobrol ngalor ngidul, aku pun mampir di warung dan membeli apa yang
diperlukan istri.
Sampai di kontrakan aku pun menyerahkan belanjaan plus
kembalian.
“Bang, kenapa beli bawang putih? Aku kan mintanya bawang
merah…..ini lagi, bukan sambal terasi sachet, tapi emang terasi mentah yang
belum jadi.”
Aku hanya bisa tepok jidat.
No comments:
Post a Comment