Kemudian seorang talafi lain (yang memiliki lidah lebih pedas sepedas lombok) ikut berkoar, "daripada demo berjilid-jilid untuk penista agama, mending kalian dakwah tauhid sehingga umat tidak terjatuh kepada kesyirikan."
Untuk beberapa saat saya menganggukan kepala. Benar sekali apa yang mereka katakan. Apa pentingnya sih dakwah tentang khilafah dan kepemimpinan islam, sementara kondisi umat masih carut marut. Bukankah kondisi pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya sendiri? Tapi, untuk beberapa hari setelah itu saya baru menyadari bahwa ada kerancuan disini. Memang, pemimpin itu cerminan dari rakyatnya, tapi tetap saja pemimpin yang baik itu mesti diperjuangkan dalam semua lini. Tidak hanya dakwah tauhid, kita juga harus melebarkan sayap dakwah kepada objek dakwah yang berbeda dengan kemasan dan isi dakwah yang berbeda pula.
Secara tidak langsung mereka bilang bahwa hanya orang-orang merekalah yang begitu giat berdakwah dengan dakwah tauhid. Apakah orang tarbiyah tidak berdakwah tauhid? apakah orang Hizbut tahrir tidak dakwah tauhid? Apakah orang Muhammadiyah abai dengan dakwah tauhid?
Innalillahi, kesombongan macam apa ini?
Saya tidak menihilkan peran yang begitu besar dari saudara-saudara salafi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tapi saya juga tidak abai dengan peran umat islam yang 'tidak menyebut diri mereka salafi' dalam dakwah Tauhid. Misal, bagaimana sepak terjang Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam memberantas bid'ah dan khurafat. dan Kyai Haji Ahmad Dahlan bukan seorang yang menyebut dirinya salafi.
Saya punya guru seorang PERSIS (ini juga bukan salafi). Dia berdakwah di pelosok desa, mengajar ngaji dan begitu tulus dalam membimbing umat yang masih berkubang dalam kegelapan. Lambat tapi pasti, penduduk kampung mulai memahami ajaran islam yang benar. Para ibu-ibu mulai mengenakan hijab dan anak-anak mulai mengeja alif ba ta. Satu persatu, khurafat dan bidah sirna. Alhamdulillah.... Sekali lagi, ustadz itu bukan seorang 'salafi', tapi orang PERSIS.
Saya punya guru dari perguruan hidayatullah yang berdakwah di pedalaman Papua dan Maluku. Beliau berdakwah di pedalaman tanpa akses listrik dan teknologi. Beliau mendatangi mad'u setiap minggu dengan menggunakan rakit atau getek yang melintas rawa-rawa yang dihuni buaya. Tapi keikhlasan tak akan pernah mengkhianati ikhtiar. Sang guru mulai membenahi aqidah sehingga tak sedikit diantara penduduk pedalaman yang menerima cahaya islam karena dakwah tauhidnya. Apakah dia seorang salafi? Bukan, dia dai harokah dari hidayatullah yang berafliiasi dengan gerakan mana pun dan tidak pernah nyinyir terhadap siapa pun.
Sementara para grup 'nyinyirun' saya temukan hanya berpuas diri berdakwah di radio dan televisi sembari menudingkan jari telunjutknya tentang 'haramnya demonstrasi, kewajiban taat pada 'ulil amri, dan sesatnya IM dan HTI, bla...bla...bla...."
Nah, daripada nyinyirin ormas lain tentang 'pentingnya dakwah tauhid dibanding khilafah dan politik islam' saya ingin bertanya kepada kalian yang begitu kotor bacotnya (maaf saya kasar karena terbawa esmosi); Apa yang telah kalian lakukan untuk umat ini? Kontribusi apa yang telah kalian torehkan selain nyinyiran dan ghibah yang membumi?
Sudah gitu aja. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan yang terang benderang
Bersatu Tidak Mesti Banyak?
Ada seorang ustadz Salafi yang bilang bahwa bersatu tidak mesti banyak. Statement itu muncul ketika ormas islam bersatu dalam acara parade tauhid beberapa tahun yang lalu. Tapi benarkah pernyataan tersebut?
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ان الله لا يجمع أمتي على ضلالة , و يد الله على الجماعة , من شد شد الى النار , رواه الترمذي , زاد ابن ماجه : فاذا وقع الاختلاف , فعليك بالسواد الأعظم , مع الحق و أهله…
Sesungguhnya Allah tidak akan menyesatkan umatku secara keseluruhan. Tangan Allah berada diatas Jama’ah. Barangsiapa yang keluar (berpisah dari jama’ah kaum muslimin), maka ia akan terjerumus ke dalam api neraka”.
(HR. Imam Tirmidzi)
Ibnu Majah menambahkan: “jika terjadi perbedaan (di antara kalian), maka hendaklah kalian berpegang tegung pada “As-Sawad Al-Adhzam” (KAUM MAYORITAS) beserta al-haq dan ahlinya…”
Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa kaum mayoritas tidak mungkin sepakat diatas kesesatan. Namun, Al-Quran mencela jumlah mayoritas (kebanyakan), tetapi pada konteks yang bagaimana dulu. Disinilah letak pentingnya kita mempelajari tafsir para ulama terkait ayat-ayat dan juga asbab nuzul (sebab turunnya) ayat-ayat itu.
Jika statemen seorang ustadz salafi itu dianggap mutlak benar, yakni bahwa bersatu tidak mesti banyak, maka:
Ahmadiyyah juga tidak banyak, mereka sedikit…
Syi’ah di indonesia juga tidak banyak, mereka sedikit…
Aliran Gafatar juga tidak banyak, mereka sedikit…
LDII alias Islam Jama’ah juga tidak banyak, mereka sedikit…
Aliran sesat Inkar Sunnah juga tidak banyak, mereka sangat sedikit…
Aliran Lia Eden juga tidak banyak, mereka sangat sedikit…
Lantas, apakah mereka yang bersatu dalam jumlahnya yang sedikit ini berada dalam AL-HAQ (kebenaran) ?
Janganlah memanipulasi atau memonopoli “ghuroba” (kaum asing) itu hanya kelompok anda sendiri. Sebab, “ghuroba” itu sejatinya terasing karena ia diasingkan oleh pembenci ajaran Islam, musuh-musuh islam, yakni kaum musyrikin dan para penyembah thoghut. Bukan karena mengasingkan diri dari kaum muslimin lalu menyebut diri dan kelompok sendiri sebagai “ghuroba” (yakni kaum terasing yang berpegang teguh diatas Sunnah). Orang cerdas akan mampu membedakan antara ghuroba’ sejati (kaum yang dianggap asing) dengan kaum yang sengaja mengasingkan diri. Hitungan ghuroba adalah seluruh kaum muslimin sedunia, siapapun dia.. bukan hanya kaum persiradja (pendengar setia Radio Rodja) atau para pecinta ‘ustadz recommended’.
=
Duhai Salafi, Tolong Jangan Sakiti Hati Saudaramu
Dulu saat ummat islam dari berbagai ormas bersatu menggelar Parade Tauhid di Jakarta, kalian pun mengadakan Tabligh Akbar di masjid Istiqlal dengan mengundang Syaikh Ali Hasan Al-Halabi (ulama BNPT) dari Yordan. Apa maksudnya ini, wahai saudaraku ?
Dulu saat ummat islam sedunia (termasuk para Ulama timur tengah) berbela sungkawa atas musibah yang menimpa Syaikh DR. A’idh Al-Qarni yang di tembak oleh oknum Syi’ah di philipina, kalian sebarluaskan artikel Abu Yahya Badrussalam yang isinya mengatakan bahwa Syaikh A’idh Al-Qarni itu khawarij. Apa maksudnya ini, wahai saudaraku ?
Dulu saat ummat islam DKI Jakarta mengkritik Ahok dan bersatu melawan kezoliman Ahok (china kafir) secara terang-terangan, kalian sebarluaskan statement “Ahok itu ulil amri yang wajib di taati” lewat website Aslibumiayu. Apa maksudnya ini, wahai saudaraku ?
Dulu saat kaum muslimin bersama Front Pembela Islam (FPI) berdemo menuntut agar Ahok di periksa KPK, kalian sebarluaskan ceramah Riyadh Bajery yang mengatakan bahwa para demonstran itu halal darahnya. Apa maksudnya ini, wahai saudaraku ?
Dulu saat seorang da’i muda alumni LIPIA (yaitu Ustad Oemar Mita) mulai ‘naik daun’ di dunia dakwah dan kajian-kajiannya di gandrungi kaum ummahat, kalian sebarluaskan fitnah dan omongan-omongan kotor terhadap dirinya lewat broadcast dan jejaring sosial lainnya. Kalian sebut ia khawarij, hizbi, sesat, dst. Tidak sampai disitu, bahkan Indadari (istri Cesar Aditya mantan raja joget) mengadu bahwa dirinya diprovokasi untuk tidak mengaji ke Ustadz Oemar Mita. Apa maksudnya ini, wahai saudaraku ?
Dulu ketika ummat islam berkumpul di Istiqlal jakarta, menanggalkan atribut harokah dan bendera organisasi mereka, menyatukan suara untuk tidak memilih orang kafir jadi pemimpin, kalian malah menyebarluaskan pernyataan Abu Yahya Badrussalam bahwa “bersatu tidak mesti banyak”. Apa maksud semua ini, wahai saudaraku ?
No comments:
Post a Comment