7 Apr 2020

Kenapa Menikah Disebut Setengah Dari Agama Kita? Inilah 3 Alasannya


Dulu saya bertanya-tanya kenapa sih menikah selalu disebut sebagai setengah agama. Konon, jika seseorang belum menikah, maka dia belum menyempurnakan setengah dien-nya. Seistimewa apa sih menikah sampai-sampai orang yang belum menunaikannya belum menyempurnakan agama?
Sekarang baru saya memahaminya setelah saya menikah. Dan bukan berarti saya memprovokasi kalian yang belum menikah untuk segera menikah. Bukan, hanya untuk memotivasi. Apa bedanya ya. Hehe

Pertama, menikah menjaga kemaluan dan pandangan

Mungkin sebelum menikah kita sering tergelincir mengumbar pandangan. Astaghfirullah. Tapi ketika menikah, kita bisa menjaga mata kita dari melihat hal-hal yang haram yang dilesatkan oleh busur panah setan lewat pandangan dan lirikan. Jika memang sudah ada yang halal, lalu untuk apa mencari yang haram? Jika kita bisa melampiaskan naluri syahwat di jalur yang halal, maka yang haram tidak lagi mendapatkan tempat di hati.


Etapi kenapa masih ada orang yang sudah menikah tapi masih tetap jelalatan kesana kemari. Kenapa masih ada yang sudah berumahtangga tapi doyan selinguh? Maka ada yang salah dengan orangnya. Jika ada jomblo yang jelalatan mengumbar pandangan dan pacaran, maka dia dipastikan jomblo yang bodoh. Tapi jika ada orang yang sudah berumahtangga masih jelalatan main mata dan selinguh, maka ini bodohnya kuadrat. Allah sudah berikan jalan yang halal, tapi dia masih mencari cara yang haram. Tidak bersyukur namanya.

Kedua, menikah membuatmu semakin takwa

“Bang, udah adzan tuh, shalat dulu.” Begitu bisik istri di telinga kanan saya ketika adzan ashar berkumandang sementara saya masih terlelap dalam tidur siang. Kemudian saya berpikir tentang betapa saya kerap melewatkan shalat berjamaah subuh atau ashar karena ketiduran. Itu dulu, ketika masih melajang. Hehe. Tapi setelah menikah, akan ada seseorang yang selalu mengingatkan kita dalam kebaikan. Saling nasihat menasihati dalam kebaikan dan kesabaran.

Tapi tunggu, ini hanya berlaku bagi mereka yang tidak salah pilih dalam mencari pendamping hidup. Karena toh banyak kasus, para istri/suami yang justru menjerumuskan pasangannya ke lembah jahanam. Naudzubillahi mindzalik. Oleh karena itu, perhatikan seperti apa dan bagaimana kadidat pasangan hidupmu. Saya menikahi istri saya karena saya yakin bahwa dia terbaik untuk hidup saya dan yakin bahwa dia bisa menjadi partner saya dalam kebaikan dan ketakwaan. Insya Allah.

Ketiga, menikah membuatmu semakin mawas diri

“Bang, aku tuh nggak suka kalau lihat status abang di facebook yang mengundang perdebatan. Kalau bisa nggak usah nytatus tentang furu’iyah atau apalah. Aku gerah lihatnya.” Ujar istriku suatu hari. Memang satu hari sebelumnya saya memposting status yang menimbulkan polemik dan perdebatan antar teman.

Di lain kesempatan istri saya sesumbar, “Bang, aku tuh nggak suka tipe lelaki yang suka selfie. Kalau bisa selfienya dikurangin. Ntar kena ‘ain lagi.”

Apakah saya menganggap istri saya ‘si pengatur’? Apakah saya menganggap istri saya ‘si tukang ikut campur?’ atau apakah saya merasa dikekang oleh permintaan istri? tidak. Wajar jika pasangan hidup ikut andil ‘mengatur kehidupamu’ dalam batas-batas yang wajar. Apalagi jika ‘aturan’ itu dimaksudkan supaya kita tetap menjadi pribadi yang baik di jalan keridhoan-Nya.

Saya hanya mengangguk dan mengiyakan. Saya tidak akan berargumen dan membela diri saya karena apa yang istri saya katakan kepada saya 100% benar. tidak ada yang salah. Dalam hati saya berkata lirih, “Terimakasih ya Allah. Engkau telah anugerahkan saya istri yang tidak sungkan mengoreksi kesalahan dan sikap abai saya.”

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment