Dulu saya bertanya-tanya kenapa sih
menikah selalu disebut sebagai setengah agama. Konon, jika seseorang belum
menikah, maka dia belum menyempurnakan setengah dien-nya. Seistimewa apa sih
menikah sampai-sampai orang yang belum menunaikannya belum menyempurnakan
agama?
Sekarang baru saya memahaminya setelah
saya menikah. Dan bukan berarti saya memprovokasi kalian yang belum menikah
untuk segera menikah. Bukan, hanya untuk memotivasi. Apa bedanya ya. Hehe
Pertama, menikah menjaga kemaluan dan
pandangan
Mungkin sebelum menikah kita sering
tergelincir mengumbar pandangan. Astaghfirullah. Tapi ketika menikah, kita bisa
menjaga mata kita dari melihat hal-hal yang haram yang dilesatkan oleh busur
panah setan lewat pandangan dan lirikan. Jika memang sudah ada yang halal, lalu
untuk apa mencari yang haram? Jika kita bisa melampiaskan naluri syahwat di
jalur yang halal, maka yang haram tidak lagi mendapatkan tempat di hati.
Etapi kenapa masih ada orang yang sudah
menikah tapi masih tetap jelalatan kesana kemari. Kenapa masih ada yang sudah
berumahtangga tapi doyan selinguh? Maka ada yang salah dengan orangnya. Jika ada
jomblo yang jelalatan mengumbar pandangan dan pacaran, maka dia dipastikan
jomblo yang bodoh. Tapi jika ada orang yang sudah berumahtangga masih jelalatan
main mata dan selinguh, maka ini bodohnya kuadrat. Allah sudah berikan jalan yang
halal, tapi dia masih mencari cara yang haram. Tidak bersyukur namanya.
Kedua, menikah membuatmu semakin takwa
“Bang, udah adzan tuh, shalat dulu.” Begitu
bisik istri di telinga kanan saya ketika adzan ashar berkumandang sementara
saya masih terlelap dalam tidur siang. Kemudian saya berpikir tentang betapa
saya kerap melewatkan shalat berjamaah subuh atau ashar karena ketiduran. Itu dulu,
ketika masih melajang. Hehe. Tapi setelah menikah, akan ada seseorang yang
selalu mengingatkan kita dalam kebaikan. Saling nasihat menasihati dalam
kebaikan dan kesabaran.
Tapi tunggu, ini hanya berlaku bagi
mereka yang tidak salah pilih dalam mencari pendamping hidup. Karena toh banyak
kasus, para istri/suami yang justru menjerumuskan pasangannya ke lembah
jahanam. Naudzubillahi mindzalik. Oleh karena itu, perhatikan seperti apa dan
bagaimana kadidat pasangan hidupmu. Saya menikahi istri saya karena saya yakin
bahwa dia terbaik untuk hidup saya dan yakin bahwa dia bisa menjadi partner
saya dalam kebaikan dan ketakwaan. Insya Allah.
Ketiga, menikah membuatmu semakin mawas
diri
“Bang, aku tuh nggak suka kalau lihat
status abang di facebook yang mengundang perdebatan. Kalau bisa nggak usah
nytatus tentang furu’iyah atau apalah. Aku gerah lihatnya.” Ujar istriku suatu
hari. Memang satu hari sebelumnya saya memposting status yang menimbulkan
polemik dan perdebatan antar teman.
Di lain kesempatan istri saya sesumbar, “Bang,
aku tuh nggak suka tipe lelaki yang suka selfie. Kalau bisa selfienya
dikurangin. Ntar kena ‘ain lagi.”
Apakah saya menganggap istri saya ‘si
pengatur’? Apakah saya menganggap istri saya ‘si tukang ikut campur?’ atau
apakah saya merasa dikekang oleh permintaan istri? tidak. Wajar jika pasangan
hidup ikut andil ‘mengatur kehidupamu’ dalam batas-batas yang wajar. Apalagi jika
‘aturan’ itu dimaksudkan supaya kita tetap menjadi pribadi yang baik di jalan
keridhoan-Nya.
Saya hanya mengangguk dan mengiyakan. Saya
tidak akan berargumen dan membela diri saya karena apa yang istri saya katakan
kepada saya 100% benar. tidak ada yang salah. Dalam hati saya berkata lirih, “Terimakasih
ya Allah. Engkau telah anugerahkan saya istri yang tidak sungkan mengoreksi
kesalahan dan sikap abai saya.”

No comments:
Post a Comment